Share

Bab 8: Kenyataan Pahit

“Bu, kalau tidak enak badan biar kami saja yang mengantar roti,” ucap seorang pegawai toko.

Bukan tanpa alasan karena sejak memanggang roti, Livy sering melamun dan menyandarkan tubuh pada dinding. Sekarang, hari mulai terlihat terang, wanita ini terlihat pucat dan lemas.

“Bu? Bagaimana kalau ke dokter?” saran pegawai.

Jujur, isi kepala Livy bercabang, masalah rumah tangga menjadi beban paling berat. Ditambah, hubungannya bersama Sonia, dan paling mencengangkan adalah cek pemberian kakak ipar.

“Ah ya? Aku … sehat, ini karena kurang tidur.” Livy tersenyum lalu memeriksa kemasan roti di atas meja.

Kemarin, sebelum ia meninggalkan ruang kerja Presdir Torres Inc, pria itu memberikan selembar cek bernominal fantastis. Livy tidak bisa menerima begitu saja, tetapi El memaksa dengan alasan pembayaran roti serta investasi di tokonya.

Livy tak bisa beradu pendapat, apa lagi didesak oleh tatapan sinis Sonia. Membuatnya hanya bisa menerima dan menjalani hubungan kerja sama itu.

Mulai sekarang tidak bisa menghindari kakak iparnya. Entah mengapa sejak kejadian malam itu, keduanya selalu dipertemukan oleh takdir.

Tanpa membuang waktu, Livy merapikan penampilan, bergegas menuju gedung tinggi milik Torres Inc. Hari kedua ini, ia tidak lagi membandingkan diri dengan para wanita. Livy sadar, jalan hidupnya memang berbeda. Meski bukan wanita kantoran, Livy bersyukur diberi diberi anugerah lain berupa keahlian membuat roti yang tidak semua orang bisa.

Ketika kegiatan sarapan dimulai, Livy sibuk melayani pegawai Torres Inc. Dari meja khusus petinggi perusahaan, sepasang manik biru safir tak henti memandang ke arahnya. Ia menyadari hal itu, tetapi mengabaikan tatapan kakak iparnya.

Selesai membagikan roti isi, ia beranjak menuju dapur. Kepalanya berdenyut, bahkan ia menjatuhkan nampan kosong hingga suara nyaring terdengar ke luar. Tidak lama El membuka pintu, betapa terkejutnya melihat Livy tergolek tidak berdaya.

“Livyata! Livy, ada apa denganmu?” El panik, langsung menggendong Livy. Kemudian menoleh ke salah satu pertugas di dapur dan memerintah, “Katakan pada sopir untuk menungguku di depan lobi!”

“Kak?” lirih Livy.

“Aku akan membawamu ke rumah sakit.” Lantang El terus melangkah lebar.

Tidak membutuhkan waktu lama, keduanya tiba di rumah sakit. El setia mendampingi Livy, pria ini cemas sebab wajah cantik adik ipar sangat pucat dengan bibir pecah-pecah.

“Kak?” panggil Livy yang telah siuman.

“Diam, jangan bawel! Kamu kelelahan Livy, istirahatlah. Dokter bilang, setelah infus habis boleh pulang.”

“Terima kasih, Kak. Aku …” Livy menggantung kalimatnya. Ia memandangi pria di sisi ranjang lalu berkata, “Aku haus.”

Sigap El membantu duduk dan minum, memberi perhatian layaknya seorang pria kepada wanita. Menambah rasa canggung singgah lebih lama, Livy nyaris tersedak karena kelima jari kakak ipar merapikan anak rambut yang menghalangi pipi.

“Kamu demam. Apa ini karena pesanan Torres Inc yang sangat banyak?”

Livy menggelengkan kepala menjawab pertanyaan itu. Memang bukan, hanya saja belakangan ini masalah hidupnya bertambah runyam.

“Dokter juga bilang, kamu selalu melewatkan jam makan. Sekarang makan dulu.”

Livy terperangah sebab kakak iparnya membantu menyuapi dan memberi obat. Sebagai orang lain, tentu saja sikap lembut itu dianggap kurang pantas.

“Kenapa Kakak perhatian sekali? Aku ‘kan hanya adik angkat Kak Sonia.”

El terlihat menarik napas, “Bukankah aku sudah bilang? Kamu juga adikku, dan aku punya adik bungsu perempuan. Sudah sepantasnya sebagai kakak melindungi dan menjaga adiknya.”

‘Oh adik ya,’ lirih Livy dalam hati.

Entahlah, mendengar jawaban itu mampu menyebabkan hati dan pikirannya kecewa. Buru-buru Livy menepis, bahwa ia telah salah mengartikan perhatian itu.

Setelah cairan infus habis, Livy dan El keluar dari instalasi gawat darurat. Sementara El mengambil obat di depo farmasi, ia menunggu di lobi. Wanita ini sibuk membalas pesan dari pegawainya.

Ketika kepalanya terangkat untuk mencari keberadaan kakak ipar, sepasang iris coklat ini malah melihat sosok lain. Livy berdiri, kedua sudut bibir mengukir senyum, alam bawah sadarnya membawa ia untuk mendekat.

“Sergio,” gumam Livy.

Wanita cantik berambut coklat ini yakin jika El menghubungi Sergio agar datang ke rumah sakit. Namun, kedua tungkai berhenti di balik pintu, melirik keterangan yang menempel, lantas memperhatikan gerak-gerik pria itu.

“Ruang rawat bayi?” monolog Livy. Ia menghirup oksigen sebanyak mungkin, dan masuk ke dalam ruangan lalu memanggil sang suami, “Sergio? Kenapa kamu ada di sini?”

Bagai tersambar petir di siang bolong, Livy disuguhkan pemandangan tak biasa. Seorang wanita berbaju pasien memeluk suaminya, menangis sesenggukan.

Seketika Sergio dan wanita itu menoleh, ketiga pasang mata saling menatap. Tenggorokan Livy terasa kering dan panas, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata di ujung bibir.

“Livy?” Sergio melotot ke arahnya.

“Si-siapa dia?” dadanya teriris perih, tangan Sergio menggenggam erat tangan wanita itu.

Bukannya menjawab, Sergio malah menarik paksa tangan Livy, menyeretnya keluar ruangan dan menuju basement. Tanpa hati suaminya mendorong kasar, hingga punggungnya membentur pilar peyangga.

“Aw!” Livy terpekik saat nyeri menjalar pada tulang belakang.

“Apa kamu mengikutiku, hah?” Sergio mencengkeram kuat rahang sang istri, tatapan bengis menusuk semakin dalam. “Jawab Livyata, bukan diam saja!”

Lagi, Sergio menghempas tiada ampun. Menjambak rambut, hingga Livy bisa merasakan helaian surai panjang terlepas dari kulit kepala.

“Apa wanita itu selingkuhanmu? Apa dia wanita yang sering kamu telepon?” Livy tak sanggup menahan tangis. Bibirnya bergetar dan tidak bisa lagi berpikir jernih. “Aku ingin kita bercerai, biar aku yang mengurus semuanya.”

“Cerai? Tidak akan! Anak angkat sepertimu mendapat suami dengan karir cemerlang sepertiku saja sudah bagus.” Sergio tersenyum sinis, menunjukkan sikap angkuh. “Jadi tetaplah diam. Tidak perlu ikut campur kehidupanku!”

“Kamu gila!” teriak Livy. Kedua tangannya berusaha melepaskan rambut.

Sergio menggeleng dan tertawa sinis, lantas melepaskan Livy. Namun, kembali menyudutkan sang istri, menancapkan jari serta kuku pada lengan.

Livy terisak, hatinya tersayat sembilu, kecewa di dalam hati. Ia tidak mengerti mengapa kehidupan rumah tangganya sangat pelik. Perasaan tulusnya dibalas dengan luka menganga lebar yang ditorehkan oleh sang suami.

Pikirannya melayang pada aroma parfum wanita, panggilan kata ‘sayang’, resep obat serta keterangan ibu mertua. Ternyata semua berhubungan menjadi satu, Livy menyadari kebodohannya, tidak mengetahui sejak awal.

“Aku pastikan gugatan cerai disetujui pengadilan!” gertak Livy.

Sergio tertawa sumbang, hendak melayangkan tangan ke pipi mulus wanita cantik ini. Tetapi seseorang berhasil menghadang, mendorong sang suami menjauh. Seketika Livy menoleh, pandangannya yang buram mengetahui sosok pria yang menolongnya.

“Oh, pantas saja kamu memaksa bercerai. Rupanya …” Sergio geleng-geleng kepala, menatap jijik kepada Livy dan El. “Kamu bilang aku selingkuh? Tidak salah?”

“Apa maksudmu?” Livy membalas perkataan suaminya.

“Livy kamu itu benar-benar tidak tahu diri. Menjalin hubungan dengan kakak iparmu sendiri, memalukan,” sindir Sergio merasa puas bisa memutar balik fakta.

El menarik kerah kemeja Sergio, sebagai seorang pria mengutuk tindak kekerasan yang dilakukan. Ia memberi hadiah tinju keras mendarat pada rahang Sergio.

“Kalaupun aku memiliki hubungan dengan Livy, apa peduli kamu?”

 

 

 

 

 

 

 

Komen (24)
goodnovel comment avatar
Elsa Putri
seru cerita nya tp kesel berbayar
goodnovel comment avatar
Rosda Lina
ceritanya bagus tapi susahnya berbayar
goodnovel comment avatar
Ari Lee
ujung2nya bayar..gagal pokus penonton
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status