“Bu, kalau tidak enak badan biar kami saja yang mengantar roti,” ucap seorang pegawai toko.
Bukan tanpa alasan karena sejak memanggang roti, Livy sering melamun dan menyandarkan tubuh pada dinding. Sekarang, hari mulai terlihat terang, wanita ini terlihat pucat dan lemas.“Bu? Bagaimana kalau ke dokter?” saran pegawai.Jujur, isi kepala Livy bercabang, masalah rumah tangga menjadi beban paling berat. Ditambah, hubungannya bersama Sonia, dan paling mencengangkan adalah cek pemberian kakak ipar.“Ah ya? Aku … sehat, ini karena kurang tidur.” Livy tersenyum lalu memeriksa kemasan roti di atas meja.Kemarin, sebelum ia meninggalkan ruang kerja Presdir Torres Inc, pria itu memberikan selembar cek bernominal fantastis. Livy tidak bisa menerima begitu saja, tetapi El memaksa dengan alasan pembayaran roti serta investasi di tokonya.Livy tak bisa beradu pendapat, apa lagi didesak oleh tatapan sinis Sonia. Membuatnya hanya bisa menerima dan menjalani hubungan kerja sama itu.Mulai sekarang tidak bisa menghindari kakak iparnya. Entah mengapa sejak kejadian malam itu, keduanya selalu dipertemukan oleh takdir.Tanpa membuang waktu, Livy merapikan penampilan, bergegas menuju gedung tinggi milik Torres Inc. Hari kedua ini, ia tidak lagi membandingkan diri dengan para wanita. Livy sadar, jalan hidupnya memang berbeda. Meski bukan wanita kantoran, Livy bersyukur diberi diberi anugerah lain berupa keahlian membuat roti yang tidak semua orang bisa.Ketika kegiatan sarapan dimulai, Livy sibuk melayani pegawai Torres Inc. Dari meja khusus petinggi perusahaan, sepasang manik biru safir tak henti memandang ke arahnya. Ia menyadari hal itu, tetapi mengabaikan tatapan kakak iparnya.Selesai membagikan roti isi, ia beranjak menuju dapur. Kepalanya berdenyut, bahkan ia menjatuhkan nampan kosong hingga suara nyaring terdengar ke luar. Tidak lama El membuka pintu, betapa terkejutnya melihat Livy tergolek tidak berdaya.“Livyata! Livy, ada apa denganmu?” El panik, langsung menggendong Livy. Kemudian menoleh ke salah satu pertugas di dapur dan memerintah, “Katakan pada sopir untuk menungguku di depan lobi!”“Kak?” lirih Livy.“Aku akan membawamu ke rumah sakit.” Lantang El terus melangkah lebar.Tidak membutuhkan waktu lama, keduanya tiba di rumah sakit. El setia mendampingi Livy, pria ini cemas sebab wajah cantik adik ipar sangat pucat dengan bibir pecah-pecah.“Kak?” panggil Livy yang telah siuman.“Diam, jangan bawel! Kamu kelelahan Livy, istirahatlah. Dokter bilang, setelah infus habis boleh pulang.”“Terima kasih, Kak. Aku …” Livy menggantung kalimatnya. Ia memandangi pria di sisi ranjang lalu berkata, “Aku haus.”Sigap El membantu duduk dan minum, memberi perhatian layaknya seorang pria kepada wanita. Menambah rasa canggung singgah lebih lama, Livy nyaris tersedak karena kelima jari kakak ipar merapikan anak rambut yang menghalangi pipi.“Kamu demam. Apa ini karena pesanan Torres Inc yang sangat banyak?”Livy menggelengkan kepala menjawab pertanyaan itu. Memang bukan, hanya saja belakangan ini masalah hidupnya bertambah runyam.“Dokter juga bilang, kamu selalu melewatkan jam makan. Sekarang makan dulu.”Livy terperangah sebab kakak iparnya membantu menyuapi dan memberi obat. Sebagai orang lain, tentu saja sikap lembut itu dianggap kurang pantas.“Kenapa Kakak perhatian sekali? Aku ‘kan hanya adik angkat Kak Sonia.”El terlihat menarik napas, “Bukankah aku sudah bilang? Kamu juga adikku, dan aku punya adik bungsu perempuan. Sudah sepantasnya sebagai kakak melindungi dan menjaga adiknya.”‘Oh adik ya,’ lirih Livy dalam hati.Entahlah, mendengar jawaban itu mampu menyebabkan hati dan pikirannya kecewa. Buru-buru Livy menepis, bahwa ia telah salah mengartikan perhatian itu.Setelah cairan infus habis, Livy dan El keluar dari instalasi gawat darurat. Sementara El mengambil obat di depo farmasi, ia menunggu di lobi. Wanita ini sibuk membalas pesan dari pegawainya.Ketika kepalanya terangkat untuk mencari keberadaan kakak ipar, sepasang iris coklat ini malah melihat sosok lain. Livy berdiri, kedua sudut bibir mengukir senyum, alam bawah sadarnya membawa ia untuk mendekat.“Sergio,” gumam Livy.Wanita cantik berambut coklat ini yakin jika El menghubungi Sergio agar datang ke rumah sakit. Namun, kedua tungkai berhenti di balik pintu, melirik keterangan yang menempel, lantas memperhatikan gerak-gerik pria itu.“Ruang rawat bayi?” monolog Livy. Ia menghirup oksigen sebanyak mungkin, dan masuk ke dalam ruangan lalu memanggil sang suami, “Sergio? Kenapa kamu ada di sini?”Bagai tersambar petir di siang bolong, Livy disuguhkan pemandangan tak biasa. Seorang wanita berbaju pasien memeluk suaminya, menangis sesenggukan.Seketika Sergio dan wanita itu menoleh, ketiga pasang mata saling menatap. Tenggorokan Livy terasa kering dan panas, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata di ujung bibir.“Livy?” Sergio melotot ke arahnya.“Si-siapa dia?” dadanya teriris perih, tangan Sergio menggenggam erat tangan wanita itu.Bukannya menjawab, Sergio malah menarik paksa tangan Livy, menyeretnya keluar ruangan dan menuju basement. Tanpa hati suaminya mendorong kasar, hingga punggungnya membentur pilar peyangga.“Aw!” Livy terpekik saat nyeri menjalar pada tulang belakang.“Apa kamu mengikutiku, hah?” Sergio mencengkeram kuat rahang sang istri, tatapan bengis menusuk semakin dalam. “Jawab Livyata, bukan diam saja!”Lagi, Sergio menghempas tiada ampun. Menjambak rambut, hingga Livy bisa merasakan helaian surai panjang terlepas dari kulit kepala.“Apa wanita itu selingkuhanmu? Apa dia wanita yang sering kamu telepon?” Livy tak sanggup menahan tangis. Bibirnya bergetar dan tidak bisa lagi berpikir jernih. “Aku ingin kita bercerai, biar aku yang mengurus semuanya.”“Cerai? Tidak akan! Anak angkat sepertimu mendapat suami dengan karir cemerlang sepertiku saja sudah bagus.” Sergio tersenyum sinis, menunjukkan sikap angkuh. “Jadi tetaplah diam. Tidak perlu ikut campur kehidupanku!”“Kamu gila!” teriak Livy. Kedua tangannya berusaha melepaskan rambut.Sergio menggeleng dan tertawa sinis, lantas melepaskan Livy. Namun, kembali menyudutkan sang istri, menancapkan jari serta kuku pada lengan.Livy terisak, hatinya tersayat sembilu, kecewa di dalam hati. Ia tidak mengerti mengapa kehidupan rumah tangganya sangat pelik. Perasaan tulusnya dibalas dengan luka menganga lebar yang ditorehkan oleh sang suami.Pikirannya melayang pada aroma parfum wanita, panggilan kata ‘sayang’, resep obat serta keterangan ibu mertua. Ternyata semua berhubungan menjadi satu, Livy menyadari kebodohannya, tidak mengetahui sejak awal.“Aku pastikan gugatan cerai disetujui pengadilan!” gertak Livy.Sergio tertawa sumbang, hendak melayangkan tangan ke pipi mulus wanita cantik ini. Tetapi seseorang berhasil menghadang, mendorong sang suami menjauh. Seketika Livy menoleh, pandangannya yang buram mengetahui sosok pria yang menolongnya.“Oh, pantas saja kamu memaksa bercerai. Rupanya …” Sergio geleng-geleng kepala, menatap jijik kepada Livy dan El. “Kamu bilang aku selingkuh? Tidak salah?”“Apa maksudmu?” Livy membalas perkataan suaminya.“Livy kamu itu benar-benar tidak tahu diri. Menjalin hubungan dengan kakak iparmu sendiri, memalukan,” sindir Sergio merasa puas bisa memutar balik fakta.El menarik kerah kemeja Sergio, sebagai seorang pria mengutuk tindak kekerasan yang dilakukan. Ia memberi hadiah tinju keras mendarat pada rahang Sergio.“Kalaupun aku memiliki hubungan dengan Livy, apa peduli kamu?”“Jadi benar kalian memiliki hubungan?” Sergio menatap nyalang kepada Livy yang masih tampak terpukul. “Istri macam apa kamu?”“Tentu saja aku dan Livy memiliki hubungan.” El merangkul pundak Livy, ia kembali bersuara, “Kamu bilang istri? Seorang suami harus menghargai dan memperlakukan istrinya dengan baik!” hardik El.Seketika kelopak mata Livy melebar, menatap pria di sampingnya. Keterkejutannya belum berakhir, kini ketakutannya bertambah. Ia menggeleng lemah sebagai penolakan, sungguh tidak siap jika El mengatakan kejadian malam itu.Kedua lelaki ini beradu pandang, rahang El mengeras dan kedua tangannya mengepal, siap memberi Sergio pelajaran berarti agar lebih menghargai wanita. “Luar biasa, wanita kampungan sepertimu tega merebut suami kakaknya sendiri. Apa jadinya kalau ayah tahu?” Sergio tersenyum miring, lalu kembali mencemooh sang istri, “Orang asing yang dibawa pulang ke rumah, merusak pernikahan Sonia.”“Cukup!” teriak Livy.Wanita ini menutup kedua telinga, enggan menden
“Hah, t-tapi … bagaimana kalau Kak Sonia tahu? Aku …”Livy segera menggelengkan kepala, langsung mengingat wajah Sonia. Kakak angkatnya itu bisa berbuat nekat, ia tidak mau menyakiti siapa pun. Terlebih, ia tahu bagaimana rasanya dikhianati, apalagi hubungan El dan Sonia jauh lebih baik dibanding dirinya.“Kenapa memangnya?” El mengerutkan kening, lalu kembali mengeluarkan suara, “Kamu bilang tidak mau pulang. Jangan pergi ke sembarang tempat!”Pertanyaan El tidak bisa dijawab, Livy meremas kesepuluh jarinya. Tidak mungkin ‘kan kalau ia mengatakan bahwa Sonia mengancamnya? Jika itu terjadi, bisa dibayangkan reaksi kakak serta ayah angkatnya.Akhirnya Livy hanya diam saja sembari menggelengkan kepala. Tiba-tiba ia tersentak karena El membelai kepala, membuatnya kembali fokus menatap wajah sempurna milik kakak ipar.“Sonia tidak akan tahu. Kamu ingat kemarin dia datang ke kantor?” tanya El yang diangguki oleh Livy. Pria ini menarik sebelah sudut bibir, lantas berkata, “Dia meminta izin
“Aku … pergi ke …” Livy tidak bisa menjawab, hatinya ketar-ketir. Ditambah ayahnya terus memperhatikan gerak-gerik mencurigakan. Livy benar-benar terpojok, haruskah ia jujur dan mengatakan El membawanya ke griya tawang atau lebih baik berbohong? Di saat Livy kebingungan, El masuk dan menyapa Tuan Fabregas. Pria itu benar-benar memberi efek tak terhingga, lihat saja ayah angkatnya langusung bersikap manis. Bukan hanya itu saja, El menyembunyikan tangan di balik punggung lalu menggerakkanya, memberi perintah agar Livy menjauh. Segera ia mengayunkan kaki menuju dapur, membersihkan dan merapikan kekacauan yang terjadi. Tidak lupa membuat minum, Livy juga teringat perbincangan bersama asisten rumah tangga. Ia membuka beberapa kabinet mencari sesuatu, hingga secangkir pelepas dahaga siap diantar ke ruang tamu. Perlahan Livy melangkah dan meletakkannya di atas meja, kemudian ia pamit undur diri. Tidak ingin mengganggu dialog antara kakak ipar dan ayah angkatnya. Dari balik dinding, sayu
“Di mana Livyata?” tanya El kepada seorang petugas.Tepat pukul delapan pagi, El terkejut karena bukan Livy yang mengantar roti, melainkan salah satu pegawai. Pria ini, setia menanti jawaban keluar dari bibir petugas dapur, namun hanya kalimat berbelit yang diterima. “T-tidak tahu Tuan, katanya Livy sibuk banyak pesanan lalu sakit dan tidak ada kabar lagi, jadi anak muda itu yang mengantar kemari,” tutur petugas dapur merasa aura tak mengenakan keluar dari Bos tampan rupawan.Sebenarnya El ingin berangkat sekarang juga, untuk mencari kebenaran terkait informasi itu. Namun, kesibukan menuntutnya untuk tetap menjalankan tanggung jawab. Akhirnya, ia hanya bisa memajukan jadwal rapat dan mempercepat durasi. Dibantu asisten pribadi yang telah puluhan tahun mengabdi pada Torres Inc, El dapat menyelesaikan semua pekerjaan. Perasaannya gelisah, entah mengapa ia selalu berpikiran buruk. Berulang kali menepis, tetapi otak dan hatinya tidak bisa tenang.Tepat jam istirahat kantor, El keluar da
“Livy … lupakan Sergio! Kamu pantas mendapat yang lebih baik,” ucap El.Bibir keduanya semakin dekat, tersisa jarak kurang dari lima senti. Bahkan Livy bisa merasakan, bagaimana jemari milik kakak iparnya menyentuh daging kenyal itu. Namun, Livy segera diberi kesadaran, sehingga mendorong dada bidang kakak iparnya. Ia langsung menjauhkan kepala, dan mengalihkan wajah ke arah lain. “Kak, t-terima kasih bu-buahnya.” Livy berusaha mencari topik pembicaraan lain, detak jantungnya tidak normal. Napasnya tersenggal seakan baru saja berhenti setelah berlari.El berdeham lalu duduk di kursi tepi ranjang. “Hu’um ya.”Aura canggung memenuhi kamar rawat ini, Livy selalu membuang muka. Ia merasa perlu menetralkan suasana apa lagi pipinya begitu panas. Ia yakin, sekarang kulit wajahnya berubah merah.Namun, berbeda dengan El, kakak iparnya ini duduk dengan tenang. Bahkan, Livy terkesiap, karena pria itu meraih kedua tangannya, menatap pilu pada lebam di sekitar pergelangan. Sentuhan antar kulit
“Kamu?! Dasar tidak tahu diri!” Suara lantang itu ditujukan kepada Livy.Seketika El dan Livy berjauhan, keduanya tertangkap basah oleh Sonia. Wanita cantik itu baru saja tiba di rumah, seharusnya kembali esok pagi, tetapi Tuan Fabregas mengirimkan pesan bahwa kakak dan adik ipar ini semakin dekat.Semula Sonia sangat malas harus pulang ke rumah, sebab pesawatnya baru saja tiba di Madrid. Kakak angkat Livy ini ingin menginap dulu di hotel, menikmati kebebasan sebelum kembali ke sisi sang suami.“Menjauh dari suamiku!” Sonia mendekat, mendorong Livy dengan kasar. Kemudian menatap nyalang pada adik angkatnya. “Di mana suamimu? Apa kamu jal*ng yang mencari belaian dari pria lain?” Tidak terima terus direndahkan seperti ini, Livy membalas tatapan kakak angkatnya. Tubuhnya gemetar, bukan karena takut, tetapi menahan amarah. Bibir merah mudanya hendak menjawab, sayang, El lebih dulu mengeluarkan suara.“Sonia ini bukan salah Livy! Perutku lapar, sengaja melihat apa yang dia masak.” El sege
“Kenapa kamu melihatku seperti itu?!” Livy menautkan alis, karena Sergio terus menatapnya. Setelah susah payah melangkah dari depan pintu kamar Sonia, ia kembali dihadapkan oleh sikap sang suami.Pria itu memandang seolah Livy tidak layak berada di ruangan yang sama. Sergio turun dari ranjang seraya membawa bantal. Ia pikir suaminya akan tidur di tempat lain, ternyata salah. Sang suami hanya duduk di sofa menghadap laptop. “Buatkan aku kopi!” Perintah Sergio tanpa menoleh, karena tak mendapat reaksi apa pun, ekor matanya melirik tajam pada Livy. “Apa kamu tuli dan cacat, hah?! Cepat!”“Kamu punya tangan dan kaki, kenapa tidak turun sendiri ke dapur?” sarkas Livy, hendak melenggang ke kamar mandi.“Ingat Livyata, kamu masih istriku!” bentak Sergio.Livy berdecak sebal, lalu kembali ke dapur, meracik kopi untuk suaminya. Kalau saja bukan karena ayah angkatnya, pasti ia telah meninggalkan Sergio. Rasa cinta di hati yang baru saja tumbuh berubah layu karena sikap pria itu. Bahkan Livy ber
“S-si-siapa yang cemburu?” Suara Livy terbata.“Kamu.” Tunjuk El ke arahnya.Wanita ini menelan saliva yang terasa pekat, mendadak tangannya gemetaran karena gugup. Sejenak Livy berpikir untuk memastikan bahwa tidak ada yang salah pada kalimatnya. Namun, dalam kondisi begini malah membuat otaknya tidak bisa mencerna dengan baik. Hanya Livy yang dikuasai oleh kegugupan, sedangkan pria paling digilai seantero Spanyol tampak santai. Bahkan El memelankan laju dan menepikan kendaraan miliknya. Ia melepas sabuk keselamatan, lalu duduk menghadap adik ipar.Sungguh Livy merasa sedang berada di ruang sidang, padahal ia juga tidak tahu, lantaran belum pernah masuk ke pengadilan. Antara takut, penasaran dan merasa bersalah bercampur menjadi jadi satu. “Kak, m-maaf aku lancang. Tapi aku tidak—“ “Aku dan Sonia tidak melakukan apa pun. Semalam, setelah makan aku langusng tidur,” tutur El seolah mengerti apa yang dimaksud adik iparnya.Jawaban yang keluar dari bibir agak tebal itu sangat berbeda