“Sergio, sebenarnya apa yang kamu sembunyikan?”
Livy turun dari ranjang lalu mendekati suaminya. Ia menyelami kedua mata sang suami, menuntut jawaban.
“Ah sudahlah.” Sergio mengibaskan tangan. “Kamu ‘kan tidak pernah kerja, jadi tidak tahu kalau kertas itu penting.” Pria itu meraih tas dan melenggang pergi.Livy terlonjak, karena Sergio keluar kamar dan membanting pintu dengan kasar. Ia geleng-geleng kepala, betapa berliku kehidupan rumah tangganya. Sembari mengusap dada, Livy bergegas melakukan aktfitasnya.Setelah selesai, ia bergegas ke toko roti. Hari ini ada pegawai baru, setidaknya kesibukan di toko membuat Livy bisa melupakan sejenak masalah di rumah. Livy membuka toko hingga hari berubah gelap, karenanya ia membeli makanan siap saji. Badannya terlalu lemah harus memasak. Rasanya ingin sekali mengambil hari libur, tetapi tidak bisa karena esok adalah hari pertama Livy berkerja sama dengan Torres Inc.Wanita itu menghela napas panjang, lalu menyemangati diri sendiri, ‘Kamu pasti bisa Livy!’
**Keesokan harinya, karena ingin memastikan segalanya berjalan mulus, Livy turun tangan secara langsung untuk menyerahkan pesanan Torres Inc. Ia terpana menatap gedung percakar langit. Jauh lebih megah daripada kantor suaminya.Akan tetapi, wajah Livy berubah mendung. Ia melihat para wanita cantik berpakaian rapi serta modis memasuki gedung utama. Seketika bola mata coklat menurunkan pandangan, membandingkan dengan penampilannya.Ia mengembuskan napas, meneguhkan hati agar tetap percaya diri. Livy berjalan menuju meja resepsionis. Kemudian diantar ke area ruang makan serta dapur. Di sini, tanpa sungkan dan canggung, wanita mungil itu berbaur bersama petugas menata makanan.Saking sibuk dengan kegiatan baru, Livy tidak menyadari seluruh petugas sedikit membungkuk hingga ia melihat pantulan seorang pria melalui kaca. Setelan jas mahal membalut tubuh atletis itu, derap langkah sepatu pantofel kian mendekat, memberi beban tersendiri pada kedua pundaknya.Livy memutar badan, turut memberi hormat. Ia tahu sosok itu adalah Presdir Torres Inc, kakak iparnya, El.“Selamat pagi Livyata, semoga hari ini menjadi awal yang baik bagi hubungan kita.” El mengulurkan tangan.Namun, Livy tidak fokus akibat mendengar kalimat yang keluar dari bibir kakak iparnya. Ia mendongak dan memandangi kedua manik biru safir yang tampak indah.‘Hubungan kita?' kata Livy dalam hati.“Livy? Kenapa melamun?” El mengerutkan kening.“Oh ya. T-terima kasih,” ujar Livy pada akhirnya dengan perasaan gugup.Tidak diduga, El menarik tangannya dan membawa Livy duduk di meja khusus petinggi perusahaan. Keduanya sempat menjadi tontonan para pegawai, tetapi mereka langsung mengalihkan perhatian ketika sang presdir menyorot tajam.“Duduklah!” El mempersilakan Livy, menarik kursi dan meletakkan serbet di atas paha.Sungguh perlakukan yang teramat sangat manis. Bahkan selama menikah dengan Sergio, belum pernah suaminya itu bersikap sebaik ini.“Pasti kamu terlalu sibuk sampai lupa tidak sarapan. Kita makan bersama, temani aku!” El mengangkat tangan kepada petugas.Benar saja, beban pada pundak Livy semakin berat. Ia tidak bisa terus menerus menerima bentuk perhatian dari kakak iparnya. Wajah garang Sonia selalu muncul dalam benaknya.“Kak, a-ku bisa makan bersama tim yang lain. Ini tidak pantas—““Apa yang tidak pantas? Kamu rekan kerja sama Torres Inc, tidak salah ‘kan kalau aku memperlakukanmu dengan baik?”Spontan Livy mengangguk, mata El seolah menekankan tidak menerima bantahan. Bahkan Livy terpana, kharisma pria di depannya ini mengalihkan dunianya.Tanpa sadar El telah menghabiskan setengah porsi roti isi. Pria itu, tampak menikmati, berulang kali El mengacungkan ibu jari.“Kamu memang berbakat Livy, tetap semangat dan …” El tersenyum sebab pagi ini tingkah Livy menggemaskan. Tiba-tiba, otaknya memiliki ide cemerlang, ia mendekat dan duduk tepat di samping Livy. “Bagaimana menurutmu, hari ini aku tampan bukan?”“Iya Kak.” Livy mengerjap, langsung memukul bibirnya lancang. Lebih terkejut lagi karena El telah berada di sisinya, melengkungkan senyum yang teramat manis. “Maaf Kak, aku tidak bermaksud kurang ajar.”Livy meraih segelas air, tetapi karena gugup, menumpahkan isinya sehingga membasahi kemeja. Otomatis, ia bergerak mundur dan berdiri memandangi pakaiannya. Sial, ia menggunakan warna putih sehingga pakaian dalamnya bisa terlihat semua orang.Sigap, El melepas jas dan melekatkannya ke badan Livy. Tanpa membuang waktu, ia menggiring wanita ini keluar dari ruang makan.Livy menunduk saja karena menahan malu, ternyata El membawanya ke ruang kerja.
“Tunggu di sini, aku akan minta sekretarisku membeli baju baru.”“Ti-tidak perlu Kak, aku terlalu banyak merepotkan.”El tidak mengindahkan penolakan Livy, pria pemilik perusahaan terbesar di Spanyol ini keluar ruangan. Entah apa yang dilakukan oleh kakak iparnya, tidak membutuhkan waktu lama, El kembali masuk menyerahkan pakaian bersih.“Ganti di sana, bajumu tidak bisa kering dengan cepat.” El menunjuk pintu di ujung ruangan.Livy menurut serta tidak banyak tanya, segera masuk ke toilet. Rasanya malu sekali karena bertindak gegabah di hari pertama. Ia terus menenangkan diri sembari menatap pantulannya pada cermin.Ketika Livy keluar dari toilet, ia mematung dan kebingungan. Pasalnya, tidak menyangka Sonia datang mengunjungi El. Sekarang, Livy bagaikan seorang selingkuhan yang menyaksikan secara langsung kemesraan dari sepasang suami istri itu.“Hah, Livy, kenapa kamu ada di sini?” Sonia turun dari atas paha El. Kakak angkatnya ini sibuk merapikan dress yang berantakan. “Sayang, apa yang kalian lakukan? Kamu menyembunyikan Livy di toilet?”“Kak, aku ke sini karena—““Diam kamu! Aku bertanya pada suamiku,” hardik Sonia.Tidak tinggal diam, El menyerahkan berkas kerja sama ke tangan Sonia. “Mulai hari ini toko roti Livy bertugas menyiapkan sarapan bagi seluruh karyawan Torres Inc. Jangan berpikiran macam-macam Sonia!”Kakak angkatnya itu membuka berkas, sesekali melayangkan tatapan tajam penuh intimidasi. Livy yakin setelah ini Sonia akan semakin membencinya. Sungguh ia tidak berniat masuk ke ruangan kakak ipar, semua terjadi karena tidak disengaja.“Ok aku percaya. Tapi kamu tidak harus masuk ke ruang kerja suamiku ‘kan?” Sonia memang memelankan suara tetapi raut wajahnya tidak berubah.“Baiklah, kalau begitu seluruh rekan kerja Torres Inc tidak boleh masuk ke ruang Presdir.” El bersiap menghubungi seseorang.“Eh sayang bukan begitu maksudku. Jangan salah paham El.” Sonia membalik badan.Sesaat, Livy bisa bernapas lega. Tetapi El mengabaikan Sonia yang mendekat, pria itu memilih mengayunkan kaki ke arah Livy. Mengeluarkan sesuatu dari saku kemeja, El meraih tangan kanan Livy, memberikan sesuatu seraya tersenyum tipis.
“Apa ini, Kak?” Livy menatap telapak tangannya.“Bu, kalau tidak enak badan biar kami saja yang mengantar roti,” ucap seorang pegawai toko.Bukan tanpa alasan karena sejak memanggang roti, Livy sering melamun dan menyandarkan tubuh pada dinding. Sekarang, hari mulai terlihat terang, wanita ini terlihat pucat dan lemas.“Bu? Bagaimana kalau ke dokter?” saran pegawai.Jujur, isi kepala Livy bercabang, masalah rumah tangga menjadi beban paling berat. Ditambah, hubungannya bersama Sonia, dan paling mencengangkan adalah cek pemberian kakak ipar.“Ah ya? Aku … sehat, ini karena kurang tidur.” Livy tersenyum lalu memeriksa kemasan roti di atas meja.Kemarin, sebelum ia meninggalkan ruang kerja Presdir Torres Inc, pria itu memberikan selembar cek bernominal fantastis. Livy tidak bisa menerima begitu saja, tetapi El memaksa dengan alasan pembayaran roti serta investasi di tokonya. Livy tak bisa beradu pendapat, apa lagi didesak oleh tatapan sinis Sonia. Membuatnya hanya bisa menerima dan menjalani hubungan kerja sama itu.Mulai sekarang ti
“Jadi benar kalian memiliki hubungan?” Sergio menatap nyalang kepada Livy yang masih tampak terpukul. “Istri macam apa kamu?”“Tentu saja aku dan Livy memiliki hubungan.” El merangkul pundak Livy, ia kembali bersuara, “Kamu bilang istri? Seorang suami harus menghargai dan memperlakukan istrinya dengan baik!” hardik El.Seketika kelopak mata Livy melebar, menatap pria di sampingnya. Keterkejutannya belum berakhir, kini ketakutannya bertambah. Ia menggeleng lemah sebagai penolakan, sungguh tidak siap jika El mengatakan kejadian malam itu.Kedua lelaki ini beradu pandang, rahang El mengeras dan kedua tangannya mengepal, siap memberi Sergio pelajaran berarti agar lebih menghargai wanita. “Luar biasa, wanita kampungan sepertimu tega merebut suami kakaknya sendiri. Apa jadinya kalau ayah tahu?” Sergio tersenyum miring, lalu kembali mencemooh sang istri, “Orang asing yang dibawa pulang ke rumah, merusak pernikahan Sonia.”“Cukup!” teriak Livy.Wanita ini menutup kedua telinga, enggan menden
“Hah, t-tapi … bagaimana kalau Kak Sonia tahu? Aku …”Livy segera menggelengkan kepala, langsung mengingat wajah Sonia. Kakak angkatnya itu bisa berbuat nekat, ia tidak mau menyakiti siapa pun. Terlebih, ia tahu bagaimana rasanya dikhianati, apalagi hubungan El dan Sonia jauh lebih baik dibanding dirinya.“Kenapa memangnya?” El mengerutkan kening, lalu kembali mengeluarkan suara, “Kamu bilang tidak mau pulang. Jangan pergi ke sembarang tempat!”Pertanyaan El tidak bisa dijawab, Livy meremas kesepuluh jarinya. Tidak mungkin ‘kan kalau ia mengatakan bahwa Sonia mengancamnya? Jika itu terjadi, bisa dibayangkan reaksi kakak serta ayah angkatnya.Akhirnya Livy hanya diam saja sembari menggelengkan kepala. Tiba-tiba ia tersentak karena El membelai kepala, membuatnya kembali fokus menatap wajah sempurna milik kakak ipar.“Sonia tidak akan tahu. Kamu ingat kemarin dia datang ke kantor?” tanya El yang diangguki oleh Livy. Pria ini menarik sebelah sudut bibir, lantas berkata, “Dia meminta izin
“Aku … pergi ke …” Livy tidak bisa menjawab, hatinya ketar-ketir. Ditambah ayahnya terus memperhatikan gerak-gerik mencurigakan. Livy benar-benar terpojok, haruskah ia jujur dan mengatakan El membawanya ke griya tawang atau lebih baik berbohong? Di saat Livy kebingungan, El masuk dan menyapa Tuan Fabregas. Pria itu benar-benar memberi efek tak terhingga, lihat saja ayah angkatnya langusung bersikap manis. Bukan hanya itu saja, El menyembunyikan tangan di balik punggung lalu menggerakkanya, memberi perintah agar Livy menjauh. Segera ia mengayunkan kaki menuju dapur, membersihkan dan merapikan kekacauan yang terjadi. Tidak lupa membuat minum, Livy juga teringat perbincangan bersama asisten rumah tangga. Ia membuka beberapa kabinet mencari sesuatu, hingga secangkir pelepas dahaga siap diantar ke ruang tamu. Perlahan Livy melangkah dan meletakkannya di atas meja, kemudian ia pamit undur diri. Tidak ingin mengganggu dialog antara kakak ipar dan ayah angkatnya. Dari balik dinding, sayu
“Di mana Livyata?” tanya El kepada seorang petugas.Tepat pukul delapan pagi, El terkejut karena bukan Livy yang mengantar roti, melainkan salah satu pegawai. Pria ini, setia menanti jawaban keluar dari bibir petugas dapur, namun hanya kalimat berbelit yang diterima. “T-tidak tahu Tuan, katanya Livy sibuk banyak pesanan lalu sakit dan tidak ada kabar lagi, jadi anak muda itu yang mengantar kemari,” tutur petugas dapur merasa aura tak mengenakan keluar dari Bos tampan rupawan.Sebenarnya El ingin berangkat sekarang juga, untuk mencari kebenaran terkait informasi itu. Namun, kesibukan menuntutnya untuk tetap menjalankan tanggung jawab. Akhirnya, ia hanya bisa memajukan jadwal rapat dan mempercepat durasi. Dibantu asisten pribadi yang telah puluhan tahun mengabdi pada Torres Inc, El dapat menyelesaikan semua pekerjaan. Perasaannya gelisah, entah mengapa ia selalu berpikiran buruk. Berulang kali menepis, tetapi otak dan hatinya tidak bisa tenang.Tepat jam istirahat kantor, El keluar da
“Livy … lupakan Sergio! Kamu pantas mendapat yang lebih baik,” ucap El.Bibir keduanya semakin dekat, tersisa jarak kurang dari lima senti. Bahkan Livy bisa merasakan, bagaimana jemari milik kakak iparnya menyentuh daging kenyal itu. Namun, Livy segera diberi kesadaran, sehingga mendorong dada bidang kakak iparnya. Ia langsung menjauhkan kepala, dan mengalihkan wajah ke arah lain. “Kak, t-terima kasih bu-buahnya.” Livy berusaha mencari topik pembicaraan lain, detak jantungnya tidak normal. Napasnya tersenggal seakan baru saja berhenti setelah berlari.El berdeham lalu duduk di kursi tepi ranjang. “Hu’um ya.”Aura canggung memenuhi kamar rawat ini, Livy selalu membuang muka. Ia merasa perlu menetralkan suasana apa lagi pipinya begitu panas. Ia yakin, sekarang kulit wajahnya berubah merah.Namun, berbeda dengan El, kakak iparnya ini duduk dengan tenang. Bahkan, Livy terkesiap, karena pria itu meraih kedua tangannya, menatap pilu pada lebam di sekitar pergelangan. Sentuhan antar kulit
“Kamu?! Dasar tidak tahu diri!” Suara lantang itu ditujukan kepada Livy.Seketika El dan Livy berjauhan, keduanya tertangkap basah oleh Sonia. Wanita cantik itu baru saja tiba di rumah, seharusnya kembali esok pagi, tetapi Tuan Fabregas mengirimkan pesan bahwa kakak dan adik ipar ini semakin dekat.Semula Sonia sangat malas harus pulang ke rumah, sebab pesawatnya baru saja tiba di Madrid. Kakak angkat Livy ini ingin menginap dulu di hotel, menikmati kebebasan sebelum kembali ke sisi sang suami.“Menjauh dari suamiku!” Sonia mendekat, mendorong Livy dengan kasar. Kemudian menatap nyalang pada adik angkatnya. “Di mana suamimu? Apa kamu jal*ng yang mencari belaian dari pria lain?” Tidak terima terus direndahkan seperti ini, Livy membalas tatapan kakak angkatnya. Tubuhnya gemetar, bukan karena takut, tetapi menahan amarah. Bibir merah mudanya hendak menjawab, sayang, El lebih dulu mengeluarkan suara.“Sonia ini bukan salah Livy! Perutku lapar, sengaja melihat apa yang dia masak.” El sege
“Kenapa kamu melihatku seperti itu?!” Livy menautkan alis, karena Sergio terus menatapnya. Setelah susah payah melangkah dari depan pintu kamar Sonia, ia kembali dihadapkan oleh sikap sang suami.Pria itu memandang seolah Livy tidak layak berada di ruangan yang sama. Sergio turun dari ranjang seraya membawa bantal. Ia pikir suaminya akan tidur di tempat lain, ternyata salah. Sang suami hanya duduk di sofa menghadap laptop. “Buatkan aku kopi!” Perintah Sergio tanpa menoleh, karena tak mendapat reaksi apa pun, ekor matanya melirik tajam pada Livy. “Apa kamu tuli dan cacat, hah?! Cepat!”“Kamu punya tangan dan kaki, kenapa tidak turun sendiri ke dapur?” sarkas Livy, hendak melenggang ke kamar mandi.“Ingat Livyata, kamu masih istriku!” bentak Sergio.Livy berdecak sebal, lalu kembali ke dapur, meracik kopi untuk suaminya. Kalau saja bukan karena ayah angkatnya, pasti ia telah meninggalkan Sergio. Rasa cinta di hati yang baru saja tumbuh berubah layu karena sikap pria itu. Bahkan Livy ber