“Bagaimana ini?” keluh Livy tanpa suara.
Debar jantungnya tidak lagi aman, kini bukan hanya Sonia yang memperhatikannya. Tuan Fabregas pun menatap penuh intimidasi, pria paruh baya itu tidak ingin pernikahan putri kesayangan rusak karena Livy. Ditambah Sergio, bukannya membela sang istri malah ikut memojokkan.“El?” Sonia menjulurkan tangan ke depan suaminya. Namun, pandangan tajam bak menguliti tidak teralih dari Livy. “Mana saputanganmu?”“Kamu ini apa-apaan Sonia?! Itu hanya saputangan biasa.” Pria itu menatap tajam ke arah sang istri.Di balik ketenangannya, Presdir Torres Inc ini tengah berpikir keras, berusaha menemukan alasan tepat. El melirik Livy yang tidak mampu menjawab sepatah kata pun. Wanita cantik itu memandang tepat ke arah El, meminta pertolongan, bahasa tubuhnya memperlihatkan bahwa ia sedang ketakutan.Sejurus kemudian, Sonia kembali menatap murka ke arah sang adik, “Kenapa kamu diam? Jangan-jangan kamu memaksa suamiku ke kamarmu, jawab!”“I-itu a-aku –““Sonia jaga sikapmu!” El memperingatkan sang istri, lalu teringat sesuatu dan berkata, “Apa kamu lupa di rumah ini Livy yang bertanggung jawab mencuci pakaian? Bisa jadi terbawa ke kamarnya.”Jawaban El mampu mengalihkan atensi seluruh anggota keluarga, termasuk Livy yang sangat berharap kepada kakak ipar. Setidaknya, ia bisa sedikit menghirup udara bebas karena tidak menjadi sorotoan lagi.Sungguh malam ini nasibnya sial, ia tidak pernah menyangka Sergio menemukan benda milik kakak iparnya dan dengan lancang memakainya. Livy mengutuk kecerobohannya, kurang teliti hingga meninggalkan jejak.“Ini bukan pertama kali, pakaian ayah juga pernah tertinggal di kamar kita.” Sambung El lalu menatap ke ayah mertua. “Apa kamu juga menuduh ayah masuk tanpa izin?”Sonia dan Tuan Fabregas kompak menggelengkan kepala, penjelasan El bisa diterima oleh akal sehat mereka. Begitu pun Sergio yang tampak tidak peduli terhadap Livy.Namun, ekor mata Livy menangkap keraguan pada diri Sonia. Di bawah meja, Sonia mengepalkan tangannya karena amarahnya yang memuncak terpaksa harus ia redam.“El maaf karena kecerobohan Livy membuatmu tidak nyaman. Anak ini memang tidak becus melakukan tugasnya.” Tuan Fabregas mengakhiri makan malamnya, yang diikuti oleh Sergio.Setelah ayah dan suaminya pergi dari ruang makan, Livy buru-buru membersihkan piring kotor. Di dapur, ia mengembuskan napas lega, rasa takutnya sedikit menghilang.Ketika Livy mencuci piring, tiba-tiba tepukan keras mendarat pada bahu. Ia langsung menoleh, terperanjat karena mendapati Sonia berdiri angkuh.Kakak angkatnya itu mendorong Livy hingga membentur sudut meja konter. Deru napas serta pandangan sinis Sonia seakan ingin melahapnya.“Aw … Kak—““Diam! Sekarang jujur, kamu mau merebut suamiku, hah? Kamu memang tidak tahu malu!” Sonia terus menindas dan menarik rambut coklat Livy. “Jangan pernah bermimpi menggantikan posisiku!”Livy menggeleng dan berkata, “Bukan Kak, aku memang gegabah menjatuhkan saputangan kakak ipar, maaf.“Bagai keberuntungan, Dewi Fortuna memihak Livy. Kakak iparnya datang dari arah ruang makan, berdiri tepat pada ambang pintu, pria itu berdeham hingga membuat Sonia melepaskan cengkeraman dari helaan rambut coklat Livy.“Sepertinya keluargaku salah memilih menantu. Apa yang akan mereka katakan, bila mengetahui Sonia Fabregas bertingkah seperti preman?” sindir El menyebabkan Sonia ketakutan.“El … sayang m-maksudku—““Cepat bersiap, sekarang juga kita pulang ke Mansion Torres!” El menarik pergelangan tangan Sonia.Dari dapur, Livy memandangi sepasang suami istri itu. Bahkan El sempat menoleh, mengangguk pelan sembari mengedipkan mata.'A-apa itu barusan?'
Masih dengan keterkejutannya, Livy berdiam diri di dapur. Ia bisa mendengar suara mesin mobil, mengintip dari celah tirai.Usai mobil tersebut tidak lagi terlihat olehnya, Livy segera masuk ke kamar dan mengganti pakaian. Sepintas ia melirik Sergio yang sibuk dengan laptop. Tak ingin mengganggu, ia memilih tidur, memunggungi suaminya, tetapi ia terganggu dari getaran benda pipih miliknya. Ia pun meraih dan membuka pesan singkat tersebut segera.[Apa badanmu ada yang sakit?]Lagi, isi pesan El menyebabkan dadanya terasa sesak. Livy meneteskan air mata karena perhatian datang bukan dari suaminya.“Tidak Kak, aku baik-baik saja,” balas Livy segera meletakkan ponsel dan kembali tidur.**Pagi ini Livy membuka toko roti lebih awal, biasanya akhir pekan pengunjung lebih ramai mencari sarapan. Dibantu seorang pegawai, Livy sibuk melayani setiap pembeli. Sebelum lembayung senja menghiasi langit, semua roti buatannya habis tak bersisa. Ia pun segera menutup tokonya dan berjalan menuju halte bus.Namun, bukan rumah yang dituju olehnya, melainkan rumah sakit. Livy mengunjungi tempat itu sesuai dengan alamat pada resep obat. Hatinya harap-harap cemas, tidak sabar menemukan kebenaran.Livy bertanya pada bagian informasi, berniat ingin menjenguk sepupu suaminya. Sayang, tidak ada nama pasien yang disebutkan olehnya. Terpaksa Livy pulang dengan tangan kosong.Di dalam bus, ia mencoba menghubungi ibu mertua untuk memastikan sesuatu. Telepon tersambung dan terjawab, tanpa banyak kata Livy menanyakan sepupu Sergio pada mertuanya.[Sepupu Sergio belum melahirkan. Dia pindah, ikut suaminya ke Kota Burgos.]Jawaban yang didengar dari ibu mertua menambah kecurigaannya. Sebelah tangan memegang erat dan menatap lekat-lekat resep obat itu, lantas Livy sedikit bercengkerama bersama ibu mertua sebelum mengakhiri sambungan telepon.Ketika menginjakkan kaki di rumah, Livy kembali memasang senyum palsu. Ia langsung berkutat di dapur, menyiapkan makan malam dan keperluan ayah angkatnya.Di meja makan, Livy tengah mengamati raut wajah suaminya yang tampak biasa saja. Bahkan, pria itu begitu santai, seolah tidak merasa kehilangan sesuatu yang penting. Padahal Livy sudah menunggu suaminya bertanya resep itu, yang ia sembunyikan di dalam saku celana dan ia bawa ke mana-mana.“Kenapa?” protes Sergio tidak nyaman dipandangi terus menerus.
“Tidak, aku … apa makanannya enak?”
“Biasa saja, rasanya monoton.”Bola mata coklat Livy dipenuhi kristal bening. Namun, karena enggan membiarkan dirinya dikuasai perasaan sakit hati karena komentar pedas yang setiap saat ia terima, Livy lebih memilih untuk tidak mengacuhkannya.Kali ini, karena menunggu sang suami bertanya soal resep itu agaknya sulit, maka Livy memutuskan untuk mengonfrontasi langsung. Ia ingin tahu, apakah suaminya itu akan berkata jujur, atau lagi-lagi berbohong untuk menutupi kebohongannya yang lain?
Namun, belum juga ia membuka mulut, mendadak Livy tersentak, karena Sergio meletakkan sendok dengan kasar. Dentingnya menyakiti telinga, sehingga Tuan Fabregas menatap kepada sepasang suami istri ini.“Aku sudah kenyang. Permisi Ayah.”Sergio melenggang pergi. Sedangkan Livy menatap nanar punggung sang suami sebelum kemudian menghabiskan makanan, dan diam membisu.
Setelah memastikan ayah angkatnya makan dan minum obat, ia ke kamar mengistirahatkan tubuh. Di balik selimut, Livy meletakkan telapak tangan di atas saku, memastikan resep itu masih ada di sana.Hingga pagi hari, tangan Livy tetap berada pada posisi yang sama. Ia membuka kelopak mata, menghirup udara segar, lalu meregangkan otot.“Heh, Livy di mana celana hitamku?” Sergio tampak kebingungan mencari sesuatu.“Celana hitam? Aku selalu meletakkannya di lemari, cari saja!” ujar Livy mengetahui maksud sang suami.“Tidak ada … maksudku, ada sesuatu penting tertinggal di dalamnya. Jangan-jangan kamu membuangnya?”Livy mengusap saku celana piyama, manik coklatnya terus memperhatikan kegusaran sang suami. Pria itu sedang mengacak-acak lemari pakaian, sesekali berdecak sebal.“Memang apa yang tertinggal?” tanya Livy dengan wajah polos.“Sergio, sebenarnya apa yang kamu sembunyikan?”Livy turun dari ranjang lalu mendekati suaminya. Ia menyelami kedua mata sang suami, menuntut jawaban.“Ah sudahlah.” Sergio mengibaskan tangan. “Kamu ‘kan tidak pernah kerja, jadi tidak tahu kalau kertas itu penting.” Pria itu meraih tas dan melenggang pergi.Livy terlonjak, karena Sergio keluar kamar dan membanting pintu dengan kasar. Ia geleng-geleng kepala, betapa berliku kehidupan rumah tangganya. Sembari mengusap dada, Livy bergegas melakukan aktfitasnya.Setelah selesai, ia bergegas ke toko roti. Hari ini ada pegawai baru, setidaknya kesibukan di toko membuat Livy bisa melupakan sejenak masalah di rumah. Livy membuka toko hingga hari berubah gelap, karenanya ia membeli makanan siap saji. Badannya terlalu lemah harus memasak. Rasanya ingin sekali mengambil hari libur, tetapi tidak bisa karena esok adalah hari pertama Livy berkerja sama dengan Torres Inc.Wanita itu menghela napas panjang, lalu menyemangati diri sendiri, ‘Kamu past
“Bu, kalau tidak enak badan biar kami saja yang mengantar roti,” ucap seorang pegawai toko.Bukan tanpa alasan karena sejak memanggang roti, Livy sering melamun dan menyandarkan tubuh pada dinding. Sekarang, hari mulai terlihat terang, wanita ini terlihat pucat dan lemas.“Bu? Bagaimana kalau ke dokter?” saran pegawai.Jujur, isi kepala Livy bercabang, masalah rumah tangga menjadi beban paling berat. Ditambah, hubungannya bersama Sonia, dan paling mencengangkan adalah cek pemberian kakak ipar.“Ah ya? Aku … sehat, ini karena kurang tidur.” Livy tersenyum lalu memeriksa kemasan roti di atas meja.Kemarin, sebelum ia meninggalkan ruang kerja Presdir Torres Inc, pria itu memberikan selembar cek bernominal fantastis. Livy tidak bisa menerima begitu saja, tetapi El memaksa dengan alasan pembayaran roti serta investasi di tokonya. Livy tak bisa beradu pendapat, apa lagi didesak oleh tatapan sinis Sonia. Membuatnya hanya bisa menerima dan menjalani hubungan kerja sama itu.Mulai sekarang ti
“Jadi benar kalian memiliki hubungan?” Sergio menatap nyalang kepada Livy yang masih tampak terpukul. “Istri macam apa kamu?”“Tentu saja aku dan Livy memiliki hubungan.” El merangkul pundak Livy, ia kembali bersuara, “Kamu bilang istri? Seorang suami harus menghargai dan memperlakukan istrinya dengan baik!” hardik El.Seketika kelopak mata Livy melebar, menatap pria di sampingnya. Keterkejutannya belum berakhir, kini ketakutannya bertambah. Ia menggeleng lemah sebagai penolakan, sungguh tidak siap jika El mengatakan kejadian malam itu.Kedua lelaki ini beradu pandang, rahang El mengeras dan kedua tangannya mengepal, siap memberi Sergio pelajaran berarti agar lebih menghargai wanita. “Luar biasa, wanita kampungan sepertimu tega merebut suami kakaknya sendiri. Apa jadinya kalau ayah tahu?” Sergio tersenyum miring, lalu kembali mencemooh sang istri, “Orang asing yang dibawa pulang ke rumah, merusak pernikahan Sonia.”“Cukup!” teriak Livy.Wanita ini menutup kedua telinga, enggan menden
“Hah, t-tapi … bagaimana kalau Kak Sonia tahu? Aku …”Livy segera menggelengkan kepala, langsung mengingat wajah Sonia. Kakak angkatnya itu bisa berbuat nekat, ia tidak mau menyakiti siapa pun. Terlebih, ia tahu bagaimana rasanya dikhianati, apalagi hubungan El dan Sonia jauh lebih baik dibanding dirinya.“Kenapa memangnya?” El mengerutkan kening, lalu kembali mengeluarkan suara, “Kamu bilang tidak mau pulang. Jangan pergi ke sembarang tempat!”Pertanyaan El tidak bisa dijawab, Livy meremas kesepuluh jarinya. Tidak mungkin ‘kan kalau ia mengatakan bahwa Sonia mengancamnya? Jika itu terjadi, bisa dibayangkan reaksi kakak serta ayah angkatnya.Akhirnya Livy hanya diam saja sembari menggelengkan kepala. Tiba-tiba ia tersentak karena El membelai kepala, membuatnya kembali fokus menatap wajah sempurna milik kakak ipar.“Sonia tidak akan tahu. Kamu ingat kemarin dia datang ke kantor?” tanya El yang diangguki oleh Livy. Pria ini menarik sebelah sudut bibir, lantas berkata, “Dia meminta izin
“Aku … pergi ke …” Livy tidak bisa menjawab, hatinya ketar-ketir. Ditambah ayahnya terus memperhatikan gerak-gerik mencurigakan. Livy benar-benar terpojok, haruskah ia jujur dan mengatakan El membawanya ke griya tawang atau lebih baik berbohong? Di saat Livy kebingungan, El masuk dan menyapa Tuan Fabregas. Pria itu benar-benar memberi efek tak terhingga, lihat saja ayah angkatnya langusung bersikap manis. Bukan hanya itu saja, El menyembunyikan tangan di balik punggung lalu menggerakkanya, memberi perintah agar Livy menjauh. Segera ia mengayunkan kaki menuju dapur, membersihkan dan merapikan kekacauan yang terjadi. Tidak lupa membuat minum, Livy juga teringat perbincangan bersama asisten rumah tangga. Ia membuka beberapa kabinet mencari sesuatu, hingga secangkir pelepas dahaga siap diantar ke ruang tamu. Perlahan Livy melangkah dan meletakkannya di atas meja, kemudian ia pamit undur diri. Tidak ingin mengganggu dialog antara kakak ipar dan ayah angkatnya. Dari balik dinding, sayu
“Di mana Livyata?” tanya El kepada seorang petugas.Tepat pukul delapan pagi, El terkejut karena bukan Livy yang mengantar roti, melainkan salah satu pegawai. Pria ini, setia menanti jawaban keluar dari bibir petugas dapur, namun hanya kalimat berbelit yang diterima. “T-tidak tahu Tuan, katanya Livy sibuk banyak pesanan lalu sakit dan tidak ada kabar lagi, jadi anak muda itu yang mengantar kemari,” tutur petugas dapur merasa aura tak mengenakan keluar dari Bos tampan rupawan.Sebenarnya El ingin berangkat sekarang juga, untuk mencari kebenaran terkait informasi itu. Namun, kesibukan menuntutnya untuk tetap menjalankan tanggung jawab. Akhirnya, ia hanya bisa memajukan jadwal rapat dan mempercepat durasi. Dibantu asisten pribadi yang telah puluhan tahun mengabdi pada Torres Inc, El dapat menyelesaikan semua pekerjaan. Perasaannya gelisah, entah mengapa ia selalu berpikiran buruk. Berulang kali menepis, tetapi otak dan hatinya tidak bisa tenang.Tepat jam istirahat kantor, El keluar da
“Livy … lupakan Sergio! Kamu pantas mendapat yang lebih baik,” ucap El.Bibir keduanya semakin dekat, tersisa jarak kurang dari lima senti. Bahkan Livy bisa merasakan, bagaimana jemari milik kakak iparnya menyentuh daging kenyal itu. Namun, Livy segera diberi kesadaran, sehingga mendorong dada bidang kakak iparnya. Ia langsung menjauhkan kepala, dan mengalihkan wajah ke arah lain. “Kak, t-terima kasih bu-buahnya.” Livy berusaha mencari topik pembicaraan lain, detak jantungnya tidak normal. Napasnya tersenggal seakan baru saja berhenti setelah berlari.El berdeham lalu duduk di kursi tepi ranjang. “Hu’um ya.”Aura canggung memenuhi kamar rawat ini, Livy selalu membuang muka. Ia merasa perlu menetralkan suasana apa lagi pipinya begitu panas. Ia yakin, sekarang kulit wajahnya berubah merah.Namun, berbeda dengan El, kakak iparnya ini duduk dengan tenang. Bahkan, Livy terkesiap, karena pria itu meraih kedua tangannya, menatap pilu pada lebam di sekitar pergelangan. Sentuhan antar kulit
“Kamu?! Dasar tidak tahu diri!” Suara lantang itu ditujukan kepada Livy.Seketika El dan Livy berjauhan, keduanya tertangkap basah oleh Sonia. Wanita cantik itu baru saja tiba di rumah, seharusnya kembali esok pagi, tetapi Tuan Fabregas mengirimkan pesan bahwa kakak dan adik ipar ini semakin dekat.Semula Sonia sangat malas harus pulang ke rumah, sebab pesawatnya baru saja tiba di Madrid. Kakak angkat Livy ini ingin menginap dulu di hotel, menikmati kebebasan sebelum kembali ke sisi sang suami.“Menjauh dari suamiku!” Sonia mendekat, mendorong Livy dengan kasar. Kemudian menatap nyalang pada adik angkatnya. “Di mana suamimu? Apa kamu jal*ng yang mencari belaian dari pria lain?” Tidak terima terus direndahkan seperti ini, Livy membalas tatapan kakak angkatnya. Tubuhnya gemetar, bukan karena takut, tetapi menahan amarah. Bibir merah mudanya hendak menjawab, sayang, El lebih dulu mengeluarkan suara.“Sonia ini bukan salah Livy! Perutku lapar, sengaja melihat apa yang dia masak.” El sege
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa