“Apa yang kamu pikirkan?”
Melihat semburat merah muda di pipi Livy, El seolah tahu ke mana arah wanita itu berpikir.“Aku … memangnya apa yang Kakak mau?”El menangkap mimik ketegangan memenuhi wajah Livy. Biasanya ia tidak pernah berinteraksi dekat selain dengan keluarganya sendiri. Namun, entah sejak kapan … berinteraksi dan memperhatikan ekspresi Livy membuat pria itu tertarik.Kedua mata coklat Livy mengerjap memandang iris biru safir milik El. Berada sedekat ini, ia baru menyadari bahwa kakak iparnya memiliki rupa yang begitu sempurna. Garis wajah tegas, tatapan tajam, hidung mancung … juga tubuh yang proporsional.Saat Livy tengah mengagumi inchi demi inchi wajah El, pria itu tiba-tiba berujar dengan suara baritonnya, “Temani aku sore ini!”Livy menelan ludahnya buru-buru. Salahkan matanya yang melihat bibir El yang agak tebal, yang kemudian membangkitkan ingatannya akan malam itu.Sadar pikirannya mulai meliar, Livy pun berusaha menjawab meski dengan terbata-bata, “A-apa Kak?”Seketika El terbahak karena wajah adiknya berubah merah. Pria itu tidak pernah bersikap jahil, bahkan dengan sang istri sekalipun, tetapi menjahili Livy terasa menyenangkan. Rasanya, El mulai kecanduan.“Perutmu berisik, ayo kita makan sebelum pulang.”**Setelah satu minggu berlalu, kaki Livy jauh lebih baik. Kini ia sudah bisa berjalan normal, tidak perlu lagi pura-pura di depan semua orang, terutama di hadapan Tuan Fabregas –ayah angkatnya. Ya, ia bahkan harus berpura-pura baik dan sehat, karena jika ayahnya itu mengetahui ia sakit atau terluka … maka ialah yang disalahkan atas segala kecerobohan. Tanpa peduli alasan yang sebenarnya membuat Livy terluka itu apa.Hari ini, Livy tersenyum begitu bahagia melihat tokonya terbilang ramai. Tidak ada stok roti tersisa seperti hari-hari sebelumnya, membuat ia semakin antusias untuk membesarkan usahanya ini.“Bu, ada pesanan dalam jumlah besar. Mau diterima atau ….”Livy menoleh, menerima uluran ponsel yang diberikan sang karyawan. Perlahan, ia membaca surel yang masuk, matanya terbelalak karena mendapat sebuah penawaran tak terduga.“Torres Inc?” Livy bergumam, sedikit tidak percaya.“Iya Bu, suratnya juga tertanda tangan Presdir Torres Inc.”Dalam surel itu, toko roti Livy diminta secara langsung menyediakan menu sarapan bagi seluruh pegawai gedung utama Torres Inc.Melihat nama presdir yang juga menyetujui kerja sama ini, sebuah senyum tiba-tiba terbit di bibir Livy. Donatello Xavier Torres, alias El, alias kakak iparnya.Perasaan wanita itu kini bercampur. Senang karena mendapatkan pesanan untuk meningkatkan modal, tetapi juga takut di saat yang bersamaan. Ia takut roti-roti buatannya tidak bisa diterima oleh semua pegawai perusahaan tersohor nomor satu di Spanyol itu.Namun, tidak ada alasan untuk ia menolak. Pesanan ini mungkin juga sebagai jawaban dari doanya untuk membesarkan toko rotinya. Livy tersenyum lalu menatap karyawannya dan berkata, “Terima saja. Setelah itu, kita harus cari karyawan paruh waktu.”Setelah toko tutup, Livy bergegas pulang untuk menyiapkan makan malam. Bahkan, rasa bahagianya masih terbawa hingga ia memasak berbagai macam hidangan dengan senyuman.Usai hidangan tersaji di meja, ia memutuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum makan malam bersama. Namun, baru menginjakkan kaki di lantai dua, langkahnya mendadak berhenti.Tidak sengaja mendengar pertengkaran dua manusia dari dalam kamar dengan pintu yang sedikit terbuka.“Aku itu pria sehat, Sonia!” Pria itu berujar lantang.“Iya aku tahu,El, tapi aku belum siap.” Sang istri, Sonia, tak mau kalah. Ia juga menaikkan suaranya beberapa oktaf. “Karirku sedang menanjak, aku ingin menikmati masa-masa ini. Lagipula, kita juga baru menikah. Tidak perlu terburu-buru.”Diam-diam Livy mencuri dengar dari balik dinding. Ia berharap sang ayah tidak mengetahui percakapan anak kesayangannya itu bersama dengan sang suami. Kalau sampai Tuan Fabregas mendengar, jantung pria tua itu bisa berhenti bekerja seketika!Rasa penasaran yang begitu tinggi membuat Livy mendekat dan mengintip dari celah pintu kamar yang terbuka.“Lalu, apa ini? Kamu meminumnya tanpa berdiskusi dulu padaku?!”Terlihat, kakak iparnya menunjukkan benda kecil, mirip kemasan pil kontrasepsi. Livy tahu, karena ia pun sempat mengkonsumsi benda itu beberapa bulan lalu.“Sudahlah El, kamu bisa memiliki anak tanpa harus aku yang melahirkan.”“Apa kamu gila, Sonia?” Wajah pria itu mengeras. Amarahnya sudah memuncak. “Sudah bagus aku menikahimu. Sekarang dunia mengenalmu sebagai istriku, paham?!”Sesama menikah karena perjodohan, sedikit banyak Livy mengerti persoalan menunda kehamilan ini. Namun, seharusnya Sonia tidak menunda karena El benar-benar memperlakukannya dengan baik. Tidak seperti Sergio yang memperlakukannya bagai barang pajangan saja.“Iya, iya aku mengerti. Tapi kalau aku hamil sekarang, tubuhku akan gemuk! Aku nggak suka tubuhku gemuk!” Lagi, terdengar jawaban lugas dari Sonia. “Lagi pula keluargamu sudah memiliki banyak cucu dari adik-adikmu, untuk apa kita memberikan cucu lagi?”Refleks, Livy menggeleng mendengar alasan penundaan kehamilan yang diucapkan kakaknya. Jika Livy yang berada di posisi Sonia, ia jelas tidak akan menunda. Bahkan, bersama Sergio saat ini saja ia tidak lagi menunda memiliki anak. Hanya saja, malang … ia tidak disentuh-sentuh oleh sang suami.“Kamu pikir aku pria bodoh?” El bertolak pinggang, kemudian menunjuk kening Sonia dengan jari telunjuknya. “Jangan kira tidak mengetahui kehidupan di dunia hiburan, Sonia.” Pria itu menurunkan jari, tetapi masih menatap tajam ke arah sang istri. “Lahirkan saja anak untukku, setelah itu kamu bebas menjalani hidupmu!”Setelahnya, El memutar tubuh menuju pintu.Livy yang begitu fokus mencerna pertikaian itu tiba-tiba terkejut. Terlebih, ketika ia terlambat menjauh dari tempat ia menguping.“P-permisi, Kak.” Livy berujar gugup. Kakak iparnya telah berdiri tepat di sampingnya, memergoki ia menguping pertengkaran mereka.Tidak ada jawaban dari El, tetapi, Sonia yang terus mengikuti El sejak dari kamar langsung berteriak kepada Livy, “Heh? Kamu menguping ya?”“Tidak Kak! Aku—"Sonia lepas kendali. Wanita itu lalu menyambar vas bunga dari atas meja dan melemparkannya ke arah Livy.Beruntung, El dengan cepat menarik Livy untuk menghindari hantaman benda itu. Suara pecahan vas terdengar karena menghantam dinding“Kamu tidak apa-apa?”“Iya Kak, aku baik-baik saja.”Keduanya tidak menyadari posisi mereka sudah seperti sepasang kekasih yang berpelukan.Berbeda dengan Sonia yang langsung mencibir saat melihat Livy tidak berkutik di dalam dekapan suaminya. “Jauhkan tubuh lusuhmu itu dari suamiku, dasar perempuan tidak tahu diri!”Setelah gagal mengenai vas bunga ke kepala sang adik, Sonia kembali melancarkan aksinya. Ia bersiap melayangkan pukulan. Livy telah memejamkan mata, dan melindungi kepala dengan kedua tangan. Akan tetapi refleks El patut diacungi jempol, karena berhasil menghentikan tangan Sonia.“Jangan lampiaskan kemarahanmu pada orang yang tidak bersalah, Sonia!” El menegur sang istri dengan tatapan tajamnya. Setelah itu, ia menatap ke arah Livy yang terlihat terintimidasi oleh perbuatan sang istri. “Livy maafkan istriku. Sekarang, masuklah ke kamar dan tolong rahasiakan ini dari ayah mertua.”Wanita bertubuh mungil mengangguk cepat, sungguh menegangkan berada di waktu dan tempat yang salah. Livy berlari kecil memasuki kamar, menutup pintu dengan cepat dan menguncinya.Di saat Livy tengah mengatur napasnya yang masih memburu … telinganya tiba-tiba mendengar percakapan Sergio yang sedang berada di kamar mandi.Penasaran, wanita itu pelan-pelan melangkah ke kamar mandi untuk mengetahui lebih lanjut dengan siapa suaminya berkomunikasi.“Hem, tentu aku menyayangimu, Sayang.”Kejadian minggu lalu saja masih membekas, Sergio pura-pura tidak mengenalinya. Wanita itu menuntut jawaban, nahas, alasan utama pria itu karena malu Livy hanyalah pemilik toko roti kecil.Lagi, hati Livy kembali terluka mendengar sapaan manis diucapkan suaminya entah kepada siapa. Selama enam bulan ini, bukan hanya tidak menyentuhnya, Sergio bahkan tidak pernah lagi memanggilnya dengan kata-kata lembut seperti yang barusan pria itu ucap.“Siapa yang kamu telepon?” tegur Livy dengan suara bergetar.Sergio membalik badan dan dengan cepat mematikan ponselnya. Pria itu bahkan enggan menjawab dan memilih berlalu menyalakan shower, mengabaikan pertanyaan Livy yang begitu penasaran pada seseorang di balik ponsel.“Sergio, jawab aku, siapa yang kamu hubungi?!”Sayang, sang suami kukuh memilih menikmati guyuran air ketimbang menenangkan perasaan gundah sang istri.Pria itu bahkan dengan santai mengulurkan tangannya usai membersihkan tubuh dan berkata, “Mana handukku?” Tidak ada raut bersalah di wajahnya.Tidak terbawa Sergio yang memilih melupakan pertanyaannya, Livy kembali bertanya dengan raut garang, “Apa dia seorang wanita?” “Kamu cemburu dengan ibu dan adikku?” Tidak terduga, jawaban itulah yang keluar dari bibir Sergio.Livy tidak bodoh, ia jelas tidak lantas mempercayai alasan sang suami. Namun, belum sempat menyahuti, suaminya kembali mengucapkan kata-kata tajam sebelum berlalu meninggalkannya sendiri.“Daripada berpikiran negatif padaku, sebaiknya kamu mandi! Badanmu itu bau!”“Ah, sial! Sergio benar, badanku bau keringat!”Meski sedikit tersinggung dengan kalimat Sergio barusan, Livy membenarkan ucapan sang suami usai ia mengendus aroma tubuhnya sendiri.Tidak sebau yang seperti dituduhkan sang suami, tetapi tetap tidak segar. Makanya, alih-alih mengejar terus suaminya untuk berkata jujur, Livy akhirnya memilih mandi.Tidak lupa, ia rapikan baju-baju kotor Sergio yang berserakan. “Padahal sudah ku siapkan keranjang untuk baju kotor!” Livy mendumal sembari memunguti pakaian sang suami. Saat merogoh saku celana, tangannya mendapati sesuatu yang membuat keningnya berkerut, “Apa ini?” Diambilnya kertas itu, dan dibacanya lamat-lamat. “Resep dokter?” Sesaat, ada rasa khawatir yang menyergap. “Dia sakit?”Mengesampingkan rasa khawatirnya lebih dulu, Livy bergegas mandi dengan cepat. Setelahnya, ia keluar dari kamar mandi dan menatap dalam pada sang suami yang tengah berbaring. Disembunyikannya resep tadi di genggaman. Ia akan meminta penjelasan pada salah satu
“Bagaimana ini?” keluh Livy tanpa suara.Debar jantungnya tidak lagi aman, kini bukan hanya Sonia yang memperhatikannya. Tuan Fabregas pun menatap penuh intimidasi, pria paruh baya itu tidak ingin pernikahan putri kesayangan rusak karena Livy. Ditambah Sergio, bukannya membela sang istri malah ikut memojokkan.“El?” Sonia menjulurkan tangan ke depan suaminya. Namun, pandangan tajam bak menguliti tidak teralih dari Livy. “Mana saputanganmu?”“Kamu ini apa-apaan Sonia?! Itu hanya saputangan biasa.” Pria itu menatap tajam ke arah sang istri.Di balik ketenangannya, Presdir Torres Inc ini tengah berpikir keras, berusaha menemukan alasan tepat. El melirik Livy yang tidak mampu menjawab sepatah kata pun. Wanita cantik itu memandang tepat ke arah El, meminta pertolongan, bahasa tubuhnya memperlihatkan bahwa ia sedang ketakutan.Sejurus kemudian, Sonia kembali menatap murka ke arah sang adik, “Kenapa kamu diam? Jangan-jangan kamu memaksa suamiku ke kamarmu, jawab!”“I-itu a-aku –““Sonia jaga
“Sergio, sebenarnya apa yang kamu sembunyikan?”Livy turun dari ranjang lalu mendekati suaminya. Ia menyelami kedua mata sang suami, menuntut jawaban.“Ah sudahlah.” Sergio mengibaskan tangan. “Kamu ‘kan tidak pernah kerja, jadi tidak tahu kalau kertas itu penting.” Pria itu meraih tas dan melenggang pergi.Livy terlonjak, karena Sergio keluar kamar dan membanting pintu dengan kasar. Ia geleng-geleng kepala, betapa berliku kehidupan rumah tangganya. Sembari mengusap dada, Livy bergegas melakukan aktfitasnya.Setelah selesai, ia bergegas ke toko roti. Hari ini ada pegawai baru, setidaknya kesibukan di toko membuat Livy bisa melupakan sejenak masalah di rumah. Livy membuka toko hingga hari berubah gelap, karenanya ia membeli makanan siap saji. Badannya terlalu lemah harus memasak. Rasanya ingin sekali mengambil hari libur, tetapi tidak bisa karena esok adalah hari pertama Livy berkerja sama dengan Torres Inc.Wanita itu menghela napas panjang, lalu menyemangati diri sendiri, ‘Kamu past
“Bu, kalau tidak enak badan biar kami saja yang mengantar roti,” ucap seorang pegawai toko.Bukan tanpa alasan karena sejak memanggang roti, Livy sering melamun dan menyandarkan tubuh pada dinding. Sekarang, hari mulai terlihat terang, wanita ini terlihat pucat dan lemas.“Bu? Bagaimana kalau ke dokter?” saran pegawai.Jujur, isi kepala Livy bercabang, masalah rumah tangga menjadi beban paling berat. Ditambah, hubungannya bersama Sonia, dan paling mencengangkan adalah cek pemberian kakak ipar.“Ah ya? Aku … sehat, ini karena kurang tidur.” Livy tersenyum lalu memeriksa kemasan roti di atas meja.Kemarin, sebelum ia meninggalkan ruang kerja Presdir Torres Inc, pria itu memberikan selembar cek bernominal fantastis. Livy tidak bisa menerima begitu saja, tetapi El memaksa dengan alasan pembayaran roti serta investasi di tokonya. Livy tak bisa beradu pendapat, apa lagi didesak oleh tatapan sinis Sonia. Membuatnya hanya bisa menerima dan menjalani hubungan kerja sama itu.Mulai sekarang ti
“Jadi benar kalian memiliki hubungan?” Sergio menatap nyalang kepada Livy yang masih tampak terpukul. “Istri macam apa kamu?”“Tentu saja aku dan Livy memiliki hubungan.” El merangkul pundak Livy, ia kembali bersuara, “Kamu bilang istri? Seorang suami harus menghargai dan memperlakukan istrinya dengan baik!” hardik El.Seketika kelopak mata Livy melebar, menatap pria di sampingnya. Keterkejutannya belum berakhir, kini ketakutannya bertambah. Ia menggeleng lemah sebagai penolakan, sungguh tidak siap jika El mengatakan kejadian malam itu.Kedua lelaki ini beradu pandang, rahang El mengeras dan kedua tangannya mengepal, siap memberi Sergio pelajaran berarti agar lebih menghargai wanita. “Luar biasa, wanita kampungan sepertimu tega merebut suami kakaknya sendiri. Apa jadinya kalau ayah tahu?” Sergio tersenyum miring, lalu kembali mencemooh sang istri, “Orang asing yang dibawa pulang ke rumah, merusak pernikahan Sonia.”“Cukup!” teriak Livy.Wanita ini menutup kedua telinga, enggan menden
“Hah, t-tapi … bagaimana kalau Kak Sonia tahu? Aku …”Livy segera menggelengkan kepala, langsung mengingat wajah Sonia. Kakak angkatnya itu bisa berbuat nekat, ia tidak mau menyakiti siapa pun. Terlebih, ia tahu bagaimana rasanya dikhianati, apalagi hubungan El dan Sonia jauh lebih baik dibanding dirinya.“Kenapa memangnya?” El mengerutkan kening, lalu kembali mengeluarkan suara, “Kamu bilang tidak mau pulang. Jangan pergi ke sembarang tempat!”Pertanyaan El tidak bisa dijawab, Livy meremas kesepuluh jarinya. Tidak mungkin ‘kan kalau ia mengatakan bahwa Sonia mengancamnya? Jika itu terjadi, bisa dibayangkan reaksi kakak serta ayah angkatnya.Akhirnya Livy hanya diam saja sembari menggelengkan kepala. Tiba-tiba ia tersentak karena El membelai kepala, membuatnya kembali fokus menatap wajah sempurna milik kakak ipar.“Sonia tidak akan tahu. Kamu ingat kemarin dia datang ke kantor?” tanya El yang diangguki oleh Livy. Pria ini menarik sebelah sudut bibir, lantas berkata, “Dia meminta izin
“Aku … pergi ke …” Livy tidak bisa menjawab, hatinya ketar-ketir. Ditambah ayahnya terus memperhatikan gerak-gerik mencurigakan. Livy benar-benar terpojok, haruskah ia jujur dan mengatakan El membawanya ke griya tawang atau lebih baik berbohong? Di saat Livy kebingungan, El masuk dan menyapa Tuan Fabregas. Pria itu benar-benar memberi efek tak terhingga, lihat saja ayah angkatnya langusung bersikap manis. Bukan hanya itu saja, El menyembunyikan tangan di balik punggung lalu menggerakkanya, memberi perintah agar Livy menjauh. Segera ia mengayunkan kaki menuju dapur, membersihkan dan merapikan kekacauan yang terjadi. Tidak lupa membuat minum, Livy juga teringat perbincangan bersama asisten rumah tangga. Ia membuka beberapa kabinet mencari sesuatu, hingga secangkir pelepas dahaga siap diantar ke ruang tamu. Perlahan Livy melangkah dan meletakkannya di atas meja, kemudian ia pamit undur diri. Tidak ingin mengganggu dialog antara kakak ipar dan ayah angkatnya. Dari balik dinding, sayu
“Di mana Livyata?” tanya El kepada seorang petugas.Tepat pukul delapan pagi, El terkejut karena bukan Livy yang mengantar roti, melainkan salah satu pegawai. Pria ini, setia menanti jawaban keluar dari bibir petugas dapur, namun hanya kalimat berbelit yang diterima. “T-tidak tahu Tuan, katanya Livy sibuk banyak pesanan lalu sakit dan tidak ada kabar lagi, jadi anak muda itu yang mengantar kemari,” tutur petugas dapur merasa aura tak mengenakan keluar dari Bos tampan rupawan.Sebenarnya El ingin berangkat sekarang juga, untuk mencari kebenaran terkait informasi itu. Namun, kesibukan menuntutnya untuk tetap menjalankan tanggung jawab. Akhirnya, ia hanya bisa memajukan jadwal rapat dan mempercepat durasi. Dibantu asisten pribadi yang telah puluhan tahun mengabdi pada Torres Inc, El dapat menyelesaikan semua pekerjaan. Perasaannya gelisah, entah mengapa ia selalu berpikiran buruk. Berulang kali menepis, tetapi otak dan hatinya tidak bisa tenang.Tepat jam istirahat kantor, El keluar da
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa