[Bagaimana kakinya? Perlu ke dokter?]
Pesan itu masuk saat Livy tengah berjejal di antara penumpang bus. Rasa sakit pada kakinya membuat wanita itu tidak sanggup menjangkau kursi kosong di posisi belakang, hingga akhirnya ia memilih berdiri dengan menahan nyeri.Livy tersenyum pilu membaca pesan dari kakak iparnya. Hatinya dirundung dilema, antara sedih dan miris. Senang karena masih ada orang yang memperhatikannya, tetapi miris … kenapa harus orang lain yang perhatian, bukan sang suami?Segera, Livy membalas, “Aku baik-baik saja, Kak. Terima kasih banyak.”Setibanya di toko roti, Livy semakin sibuk karena kekurangan tenaga bantuan. Ia tidak lagi memikirkan rasa lapar dan dahaga yang menyerang. Melayani pelanggan sepenuh hati adalah tugasnya, selalu memberikan senyum merupakan kebiasaan rutin.Toko roti ini adalah semangat Livy. Sayang, sang suami tidak pernah mendukung bisnisnya. Berbeda dengan kakak ipar, El yang sangat menyukai roti isi buatan Livy, kerap memuji dan mengatakan bahwa Livy akan sukses menjalani bisnisnya.‘Hah, lagi-lagi aku mengingat kakak ipar.’Segera, Livy mengalihkan pikirannya lagi. Ia kemudian teringat pada pesanan roti yang harus diantar ke rumah sakit. Gegas, ia mengisi boks dengan puluhan roti, Livy juga memesan taksi online untuk mengantar roti pesanan. Karena hari ini ia sendiri, maka ia kembali menutup toko rotinya.Sampai di rumah sakit besar pusat kota, dengan langkah pelan dan tertatih Livy menuju kantin. Sudah sebulan ini ia menjadi supplier roti di kantin rumah sakit ini. Karena banyak pegawai dan pasien yang suka, kantin tersebut menjadi pelanggan tetap Livy yang terus memesan dengan jumlah besar hampir setiap hari.Tiba-tiba, langkah Livy terhenti. Ia tanpa sengaja melihat pria yang dikenalinya berjalan dengan beberapa orang.“Sergio?” gumamnya pelan. Lalu, ketika ia telah meyakini sosok itu adalah suaminya, Livy berjalan mendekat sembari membawa beberapa bungkus roti. “Sergio? Sergio, tunggu!” panggil Livy berusaha bergerak cepat.Sergio sempat menolehkan kepala, tetapi pria itu justru memberikan tatapan tidak suka kepada Livy. Dia pun kembali berjalan, dan berbincang dengan rekan kerjanya, guna mengabaikan sang istri.Parahnya lagi Sergio bahkan menabrakkan diri ke tubuh sang istri, hingga roti dalam genggam wanita itu terjatuh dan terinjak.Livy tersentak, dadanya seolah dihujam karena sikap suaminya ini. Seakan semua perlakuan itu tak cukup, Sergio kembali menambah lukanya dengan memberikan dua lembar uang kertas ke arah Livy.“Lain waktu hati-hati, ini uang untukmu!”Alih-alih menolong sang istri, pria itu justru memperlakukan Livy bagai seorang pengemis. Ia berlagak seolah tidak mengenal Livy.“Ta—"“Aku tidak punya waktu untukmu. Terima saja uang ini sebagai ganti rugi!” Sergio melotot dan mengintimidasi Livy, lalu melenggang pergi.Sementara itu, dengan perasaan sedih luar biasa, juga malu karena dijadikan tontonan oleh orang yang berlalu lalang, Livy memunguti roti-roti buatannya yang telah hancur terinjak Sergio dan rekan kerjanya.Ia begitu serius, hingga tak sadar seorang pria sudah berdiri di hadapannya dan memandang heran ke arahnya.“Livy? Apa yang kamu lakukan?”Seketika Livy berhenti memunguti roti, kepalanya mendongak dan menatap wajah tidak asing. “Kak El?” bibir Livy bergetar.“Cepat berdiri!”El meraih lengan adik ipar, memapah Livy duduk di sofa. Ia bahkan memperhatikan kaki Livy yang terbalut perban yang kembali mengeluarkan darah.Kemudian, ia memerintah seorang anak buahnya yang sedari tadi berada di sekitar, untuk menghubungi dokter. Setelahnya, dengan cepat ia menggendong Livy dan membawanya ke salah satu ruang pemeriksaan.“Kak? Turunkan aku, tidak baik seperti ini!”“Diamlah, kakimu itu terluka. Bagaimana kalau infeksi?” Pria itu menyahut sembari membawa tubuh Livy dalam gendongannya. “Lagi pula, kenapa rotimu bisa berjatuhan ke lantai?”Livy menunduk lesu, mulutnya bungkam, lalu menggeleng lemah sebagai jawaban.Sesampainya di ruang pemeriksaan, El menurunkan dirinya dengan lembut. Pria itu bahkan membuka perban kaki Livy yang sudah kotor terkena darah dan lantai tadi.Melihat tindakan yang dilakukan kakak ipar di tempat ramai seperti tadi, membuat Livy sedikit takut jika rumor buruk menghampiri El.“Apa Kakak tidak takut dituduh selingkuh oleh orang-orang yang melihat kita? Nama baik Kakak bisa rusak karena aku.”El menatap tajam ke arah Livy. “Dengar ya Livy, aku ini Kakakmu juga, sudah tugasku membantu anggota keluarga.” Pria itu berkata lugas, bahkan ada sorot marah di wajahnya karena mendengar Livy justru mempersoalkan hal kecil. “Kalau yang butuh pertolonganku adalah seorang nenek, apa mereka akan menuduhku mendua juga dengan wanita tua?”Entah mengapa kata-kata kakak ipar menghibur Livy, setitik senyum terukir pada bibir ranum. Livy tidak menyangka seorang bos besar seperti El memiliki sisi humoris.‘Kak Sonia beruntung mendapatkan suami seperti Kak El.’ Dalam hati, ia memuji kebaikan hati kakak iparnya. “Terima kasih Kak, aku berhutang lagi.” Livy berkata dengan lemah. “Semoga aku bisa membalasnya.”Mendengar perkataan itu, El menatap dalam ke arah Livy dan berkata, “Kamu ingin membalasnya?” tanyanya yang diangguki oleh Livy. “Kalau begitu, balaslah dengan hal lain.”“Hah? Ma-maksudnya?”“Apa yang kamu pikirkan?”Melihat semburat merah muda di pipi Livy, El seolah tahu ke mana arah wanita itu berpikir. “Aku … memangnya apa yang Kakak mau?”El menangkap mimik ketegangan memenuhi wajah Livy. Biasanya ia tidak pernah berinteraksi dekat selain dengan keluarganya sendiri. Namun, entah sejak kapan … berinteraksi dan memperhatikan ekspresi Livy membuat pria itu tertarik.Kedua mata coklat Livy mengerjap memandang iris biru safir milik El. Berada sedekat ini, ia baru menyadari bahwa kakak iparnya memiliki rupa yang begitu sempurna. Garis wajah tegas, tatapan tajam, hidung mancung … juga tubuh yang proporsional.Saat Livy tengah mengagumi inchi demi inchi wajah El, pria itu tiba-tiba berujar dengan suara baritonnya, “Temani aku sore ini!” Livy menelan ludahnya buru-buru. Salahkan matanya yang melihat bibir El yang agak tebal, yang kemudian membangkitkan ingatannya akan malam itu.Sadar pikirannya mulai meliar, Livy pun berusaha menjawab meski dengan terbata-bata, “A-apa Kak?
“Ah, sial! Sergio benar, badanku bau keringat!”Meski sedikit tersinggung dengan kalimat Sergio barusan, Livy membenarkan ucapan sang suami usai ia mengendus aroma tubuhnya sendiri.Tidak sebau yang seperti dituduhkan sang suami, tetapi tetap tidak segar. Makanya, alih-alih mengejar terus suaminya untuk berkata jujur, Livy akhirnya memilih mandi.Tidak lupa, ia rapikan baju-baju kotor Sergio yang berserakan. “Padahal sudah ku siapkan keranjang untuk baju kotor!” Livy mendumal sembari memunguti pakaian sang suami. Saat merogoh saku celana, tangannya mendapati sesuatu yang membuat keningnya berkerut, “Apa ini?” Diambilnya kertas itu, dan dibacanya lamat-lamat. “Resep dokter?” Sesaat, ada rasa khawatir yang menyergap. “Dia sakit?”Mengesampingkan rasa khawatirnya lebih dulu, Livy bergegas mandi dengan cepat. Setelahnya, ia keluar dari kamar mandi dan menatap dalam pada sang suami yang tengah berbaring. Disembunyikannya resep tadi di genggaman. Ia akan meminta penjelasan pada salah satu
“Bagaimana ini?” keluh Livy tanpa suara.Debar jantungnya tidak lagi aman, kini bukan hanya Sonia yang memperhatikannya. Tuan Fabregas pun menatap penuh intimidasi, pria paruh baya itu tidak ingin pernikahan putri kesayangan rusak karena Livy. Ditambah Sergio, bukannya membela sang istri malah ikut memojokkan.“El?” Sonia menjulurkan tangan ke depan suaminya. Namun, pandangan tajam bak menguliti tidak teralih dari Livy. “Mana saputanganmu?”“Kamu ini apa-apaan Sonia?! Itu hanya saputangan biasa.” Pria itu menatap tajam ke arah sang istri.Di balik ketenangannya, Presdir Torres Inc ini tengah berpikir keras, berusaha menemukan alasan tepat. El melirik Livy yang tidak mampu menjawab sepatah kata pun. Wanita cantik itu memandang tepat ke arah El, meminta pertolongan, bahasa tubuhnya memperlihatkan bahwa ia sedang ketakutan.Sejurus kemudian, Sonia kembali menatap murka ke arah sang adik, “Kenapa kamu diam? Jangan-jangan kamu memaksa suamiku ke kamarmu, jawab!”“I-itu a-aku –““Sonia jaga
“Sergio, sebenarnya apa yang kamu sembunyikan?”Livy turun dari ranjang lalu mendekati suaminya. Ia menyelami kedua mata sang suami, menuntut jawaban.“Ah sudahlah.” Sergio mengibaskan tangan. “Kamu ‘kan tidak pernah kerja, jadi tidak tahu kalau kertas itu penting.” Pria itu meraih tas dan melenggang pergi.Livy terlonjak, karena Sergio keluar kamar dan membanting pintu dengan kasar. Ia geleng-geleng kepala, betapa berliku kehidupan rumah tangganya. Sembari mengusap dada, Livy bergegas melakukan aktfitasnya.Setelah selesai, ia bergegas ke toko roti. Hari ini ada pegawai baru, setidaknya kesibukan di toko membuat Livy bisa melupakan sejenak masalah di rumah. Livy membuka toko hingga hari berubah gelap, karenanya ia membeli makanan siap saji. Badannya terlalu lemah harus memasak. Rasanya ingin sekali mengambil hari libur, tetapi tidak bisa karena esok adalah hari pertama Livy berkerja sama dengan Torres Inc.Wanita itu menghela napas panjang, lalu menyemangati diri sendiri, ‘Kamu past
“Bu, kalau tidak enak badan biar kami saja yang mengantar roti,” ucap seorang pegawai toko.Bukan tanpa alasan karena sejak memanggang roti, Livy sering melamun dan menyandarkan tubuh pada dinding. Sekarang, hari mulai terlihat terang, wanita ini terlihat pucat dan lemas.“Bu? Bagaimana kalau ke dokter?” saran pegawai.Jujur, isi kepala Livy bercabang, masalah rumah tangga menjadi beban paling berat. Ditambah, hubungannya bersama Sonia, dan paling mencengangkan adalah cek pemberian kakak ipar.“Ah ya? Aku … sehat, ini karena kurang tidur.” Livy tersenyum lalu memeriksa kemasan roti di atas meja.Kemarin, sebelum ia meninggalkan ruang kerja Presdir Torres Inc, pria itu memberikan selembar cek bernominal fantastis. Livy tidak bisa menerima begitu saja, tetapi El memaksa dengan alasan pembayaran roti serta investasi di tokonya. Livy tak bisa beradu pendapat, apa lagi didesak oleh tatapan sinis Sonia. Membuatnya hanya bisa menerima dan menjalani hubungan kerja sama itu.Mulai sekarang ti
“Jadi benar kalian memiliki hubungan?” Sergio menatap nyalang kepada Livy yang masih tampak terpukul. “Istri macam apa kamu?”“Tentu saja aku dan Livy memiliki hubungan.” El merangkul pundak Livy, ia kembali bersuara, “Kamu bilang istri? Seorang suami harus menghargai dan memperlakukan istrinya dengan baik!” hardik El.Seketika kelopak mata Livy melebar, menatap pria di sampingnya. Keterkejutannya belum berakhir, kini ketakutannya bertambah. Ia menggeleng lemah sebagai penolakan, sungguh tidak siap jika El mengatakan kejadian malam itu.Kedua lelaki ini beradu pandang, rahang El mengeras dan kedua tangannya mengepal, siap memberi Sergio pelajaran berarti agar lebih menghargai wanita. “Luar biasa, wanita kampungan sepertimu tega merebut suami kakaknya sendiri. Apa jadinya kalau ayah tahu?” Sergio tersenyum miring, lalu kembali mencemooh sang istri, “Orang asing yang dibawa pulang ke rumah, merusak pernikahan Sonia.”“Cukup!” teriak Livy.Wanita ini menutup kedua telinga, enggan menden
“Hah, t-tapi … bagaimana kalau Kak Sonia tahu? Aku …”Livy segera menggelengkan kepala, langsung mengingat wajah Sonia. Kakak angkatnya itu bisa berbuat nekat, ia tidak mau menyakiti siapa pun. Terlebih, ia tahu bagaimana rasanya dikhianati, apalagi hubungan El dan Sonia jauh lebih baik dibanding dirinya.“Kenapa memangnya?” El mengerutkan kening, lalu kembali mengeluarkan suara, “Kamu bilang tidak mau pulang. Jangan pergi ke sembarang tempat!”Pertanyaan El tidak bisa dijawab, Livy meremas kesepuluh jarinya. Tidak mungkin ‘kan kalau ia mengatakan bahwa Sonia mengancamnya? Jika itu terjadi, bisa dibayangkan reaksi kakak serta ayah angkatnya.Akhirnya Livy hanya diam saja sembari menggelengkan kepala. Tiba-tiba ia tersentak karena El membelai kepala, membuatnya kembali fokus menatap wajah sempurna milik kakak ipar.“Sonia tidak akan tahu. Kamu ingat kemarin dia datang ke kantor?” tanya El yang diangguki oleh Livy. Pria ini menarik sebelah sudut bibir, lantas berkata, “Dia meminta izin
“Aku … pergi ke …” Livy tidak bisa menjawab, hatinya ketar-ketir. Ditambah ayahnya terus memperhatikan gerak-gerik mencurigakan. Livy benar-benar terpojok, haruskah ia jujur dan mengatakan El membawanya ke griya tawang atau lebih baik berbohong? Di saat Livy kebingungan, El masuk dan menyapa Tuan Fabregas. Pria itu benar-benar memberi efek tak terhingga, lihat saja ayah angkatnya langusung bersikap manis. Bukan hanya itu saja, El menyembunyikan tangan di balik punggung lalu menggerakkanya, memberi perintah agar Livy menjauh. Segera ia mengayunkan kaki menuju dapur, membersihkan dan merapikan kekacauan yang terjadi. Tidak lupa membuat minum, Livy juga teringat perbincangan bersama asisten rumah tangga. Ia membuka beberapa kabinet mencari sesuatu, hingga secangkir pelepas dahaga siap diantar ke ruang tamu. Perlahan Livy melangkah dan meletakkannya di atas meja, kemudian ia pamit undur diri. Tidak ingin mengganggu dialog antara kakak ipar dan ayah angkatnya. Dari balik dinding, sayu
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa