“Apa jangan-jangan dia tidur dengan wanita lain?”
Seketika Livy tersedak oleh air liurnya sendiri mendengar kalimat itu. Ia merasa tersindir. Hatinya gelisah dan takut perbuatan semalam diketahui oleh keluarga besar, terutama suaminya.Sungguh Livy tidak ingin kehilangan suaminya, walau sikap Sergio belakangan terbilang begitu dingin padanya.“Sepertinya tidak mungkin, Kak.” Livy menjawab usai berhasil meredakan rasa terkejutnya. “Kakak ipar sangat setia, rasanya selingkuh bukanlah sifatnya.”Ketegangan tak cukup sampai di sini, karena tatapan Sonia berubah tajam. Model cantik ini mengamati penampilan Livy yang jauh dari kebiasaan. Bahkan kakak angkatnya itu mengikis jarak dengannya, menambah produksi peluhnya semakin banyak, membuat Livy kepanasan.“Heh, ini ‘kan musim panas kenapa pakai baju panjang? Biasanya juga tidak!”Livy kalang kabut. Spanyol memang telah memasuki musim panas, jelas saja pakaian serba panjang yang dikenakan Livy terlihat begitu mencolok.“Aku … umm, kurang enak badan, Kak. Ke-kemarin menggigil, mungkin mau flu,” jawab Livy asal, ia tidak bisa lagi berpikir jernih.Pakaian serba panjang ini Livy kenakan untuk menutupi jejak kemerahan yang ditinggalkan kakak iparnya semalam. Kakak iparnya itu meninggalkan begitu banyak jejak, tak hanya di tempat tersembunyi, tetapi juga di leher, bahu, bahkan lengan.Lelaki itu benar-benar melepaskan keliarannya semalam.“Aneh.” Lagi, Sonia mengerutkan dahi mendengar jawaban Livy. “Jangan-jangan kamu—"Belum sempat Sonia menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara seorang pria dan pintu kamar terbuka lebar.“Sonia? Di mana kemejaku? Kamu bilang meletakkannya di lemari, tapi kosong.”Di sana, sosok kakak iparnya, El, yang sedari tadi jadi topik perbincangan mereka muncul dengan hanya mengenakan handuk putih yang melilit di perut hingga lututnya.Sesaat, Livy merasa beruntung karena kemunculan pria itu menyelamatkannya dari kecurigaan Sonia. Namun, di saat yang sama ia juga merasa kurang beruntung karena tiba-tiba saja kegugupannya bertambah karena melihat tubuh kekar dan basah milik sang kakak ipar.“Sebentar sayang, aku segera ke kamar.”Sonia bergegas menghampiri suaminya, tetapi tatapannya tidak langsung terputus dari adik angkatnya itu.Livy masih mematung di tempat saat melihat Sonia yang entah sengaja atau tidak, tidak menutup pintu kamar mereka dan membiarkan ia melihat suami istri itu saling bermesraan.Kalau boleh jujur, sebenarnya Livy sangat iri dengan keduanya. Mereka sama-sama menikah atas dasar perjodohan, tetapi kakak ipar sangat memanjakan Sonia. Sementara Livy, semenjak menikah sikap sang suami berbeda.Sebagai wanita tentu ia ingin disayang dan dimanja oleh lelaki yang dicintai. Tetapi, tiap kali ia berharap, hatinya selalu kecewa berulang kali.Akhirnya Livy menundukkan kepala dan berjalan perlahan ke dapur, hendak menyiapkan sarapan. Akan tetapi dirinya terkejut karena menabrak tubuh seseorang.“Sergio? Kamu pulang?” Wajah mendung Livy berubah sumringah.“Hem, aku lelah mau istirahat.” Pria itu berkata dengan datar. “Bantu aku ke kamar, kepalaku pusing.”Livy mengangguk dan memapah suaminya yang pulang dalam keadaan berantakan. Bau alkohol menyengat menyiksa indera penciumannya. Tanpa banyak bicara, wanita berperawakan mungil ini membawa suaminya ke kamar.Perasaan was-was rupanya masih menghinggapi Livy. Kedua mata Livy berusaha mencari jejak yang mungkin tertinggal dari kejadian panas semalam. Setelah tidak menemukan apa pun lagi, ia pun bernapas lega.Setelah membantu Sergio merebahkan diri ke ranjang, tak lupa Livy juga menggantikan baju pria itu dengan telaten. Di saat itulah, ia juga menyadari ada aroma lain selain parfum dan alkohol dari sang suami. Namun, karena tidak ingin menciptakan keributan di saat sang suami lelah, Livy pun memilih bungkam.“Sekarang keluarlah! Aku mau tidur.”Livy menurut, tetapi ia kembali lagi ke kamar 10 menit kemudian dengan semangkuk bubur gandum dan segelas susu hangat.“Sayang, makan dulu.” Tidak mengindahkan peringatan sang suami yang ingin tidur, Livy mencoba membangunkan Sergio. “Kamu belum sarapan, aku tidak ingin kamu sakit. Ayo, makan dulu.”Tanpa diduga, Sergio bangkit dari atas kasur, sorot mata berkilat menatap Livy. Lalu pria itu membanting mangkuk bubur dan melempar gelas yang dibawa Livy hingga menyebabkan isinya berhamburan.“Aw!” Livy berteriak kesakitan saat kakinya tergores pecahan keramik dari mangkuk dan gelas yang dilempar sang suami ke lantai. “Kamu ini kenapa, Sergio? Aku salah apa?”“Apa kamu tuli? Aku bilang mau tidur bukan makan!” Sergio membentak sang istri, tatapannya masih mengintimidasi Livy. “Makanya jadi wanita karir agar otakmu bisa berpikir, bukannya menyibukkan diri di dapur.”Setelahnya, Sergio kembali merebahkan tubuh dan menutup matanya, bersiap tidur kembali. Pria itu tidak peduli pada kaki Livy berdarah serta melepuh karena tumpahan bubur yang masih panas itu.Menahan perih luka di kaki dan hati, Livy tertatih keluar kamar, hendak mencari kotak obat.Di saat yang sama, El baru saja menutup pintu kamarnya dengan penampilan yang sudah rapi. Pria itu melangkah lebar, mengikuti Livy yang berjalan pincang. Mata biru safirnya langsung memperhatikan kaki Livy yang berjalan pincang.Lalu, dengan gerakan cepat, El mendahului dan mengambil kotak obat. Tidak ada basa-basi, lengan Livy ditarik, lelaki itu memaksanya untuk duduk di atas kursi kecil.“Duduklah. Biar ku obati.”Livy menurut sembari sibuk menyeka air mata. Rasanya malu sekali menangis di hadapan orang lain.Dengan telaten, El mengangkat kaki Livy ke atas pahanya yang tengah berlutut itu. Karena takut ia mengotori pakaian kakak iparnya, Livy berujar, “Biar aku yang membersihkannya, Kak. Celana Kakak nanti kotor.”Sayang, El tidak ingin dibantah. Pria itu tanpa terusik terus membersihkan luka Livy dengan lembut dan hati-hati. “Ceroboh, kenapa sampai terluka seperti ini?”Livy menggigit bibir bawahnya, ia hanya mengamati tangan kakak ipar yang sangat lihai membersihkan, mengobati dan membalut lukanya.Dalam hati Livy berharap, seandainya saja sikap Sergio semanis ini, pasti ia menjadi wanita paling bahagia di muka bumi. Sayang, kenyataan yang terjadi tidak seindah khayalannya.“Terima kasih, Kak.” Livy hendak menurunkan kaki, tetapi dicegah.Mata keduanya kemudian saling tatap.“Lain waktu hati-hati.” Pria itu berujar dengan lembut, meski pandangannya tajam, seolah mengancam Livy untuk tidak ceroboh lagi. “Di sini tidak ada obat pereda nyeri, biar aku mintakan dulu pada—"“T-tidak perlu repot Kak, aku bisa beli sendiri.” Livy menolak dengan lugas. Ia tidak ingin lagi merepotkan El. “Lagi pula toko roti dekat dengan apotek, aku bisa mampir nanti.”Berbeda dengan Sonia yang memiliki karier cemerlang sebagai model, Livy sang anak angkat agak sedikit tersisihkan. Livy tidak banyak diberi kesempatan untuk mengembangkan kariernya di luar, di kantor sebab ia harus merawat Tuan Fabregas—ayah Angkatnya yang sakit.Namun, keadaan Livy tak semenyedihkan itu, sebab ia juga memiliki usaha kecil-kecilan. Toko roti yang baru saja dibuka kurang dari setahun, ternyata bisa memberi hiburan tersendiri dari prahara rumah tangganya.“Kalau begitu hubungi aku jika kamu demam atau merasa tidak enak badan.” Pria itu kembali menatap Livy dengan sorot mengintimidasi kemudian melanjutkan, “Sekarang mau ke toko roti?”“Hu’um iya, pegawaiku tidak masuk. Jadi aku harus ke sana.”“Aku dan Sonia juga mau berangkat. Kita bisa pergi bersama, bagaimana?”Livy meragukan ajakan kakak iparnya itu. Ia yakin Sonia tidak akan menyukai kehadirannya. Tetapi Livy juga tidak bisa berjalan ke halte bus karena luka di kakinya.Baru saja Livy akan menjawab, panggilan mesra terdengar dari lantai satu.“Sayang?” Sonia berteriak dengan nada mendayu. “El, kenapa lama?”Livy menurunkan kakinya segera, ia tidak ingin kakaknya salah paham. Tragedi semalam cukup menjadi pembelajaran berarti baginya.Benar saja, tak lama, Sonia muncul dan terlihat tidak menyukai interaksi antara Livy dan El. Lagi-lagi Livy disuguhi adegan dari sepasang suami istri di depannya.“El, kita langsung berangkat ya? Tidak sempat sarapan, nanti pemotretanku terlambat, Sayang.”“Baiklah. Sekalian Livy juga ikut.”“Apa?” Sonia memelotot. Matanya menatap tak suka ke arah adiknya. “Kenapa? Biasanya dia pergi sendirian, kenapa sekarang harus bareng? Merusak suasana!”Tidak ingin menjadi sumber pertengkaran dari rumah tangga Sonia, Livy pun bangkit. Ia menunjukkan senyum tipis, sedikit menunduk sebagai ungkapan terima kasih atas kebaikan kakak iparnya. “Terima kasih, Kakak Ipar. Aku bisa pergi sendiri.”“Tapi kakimu sakit.” Seolah tak terima, El menunjuk ke bawah, ke arah kaki Livy. “Kamu lihat itu, Sonia!”“Ehm, ini sudah jauh lebih baik Kak, tenang saja.”Sonia memutar bola matanya jengah. “Sudahlah, Sayang, dia juga punya suami. Untuk apa memperhatikan istri orang? Aku tidak mau kamu direpotkan adik angkatku!” Lanjut, Sonia menatap sinis seraya mengarahkan telunjuknya ke wajah sang adik. “Jangan sampai kamu menjadi perebut suami orang, Livy!”[Bagaimana kakinya? Perlu ke dokter?]Pesan itu masuk saat Livy tengah berjejal di antara penumpang bus. Rasa sakit pada kakinya membuat wanita itu tidak sanggup menjangkau kursi kosong di posisi belakang, hingga akhirnya ia memilih berdiri dengan menahan nyeri.Livy tersenyum pilu membaca pesan dari kakak iparnya. Hatinya dirundung dilema, antara sedih dan miris. Senang karena masih ada orang yang memperhatikannya, tetapi miris … kenapa harus orang lain yang perhatian, bukan sang suami?Segera, Livy membalas, “Aku baik-baik saja, Kak. Terima kasih banyak.”Setibanya di toko roti, Livy semakin sibuk karena kekurangan tenaga bantuan. Ia tidak lagi memikirkan rasa lapar dan dahaga yang menyerang. Melayani pelanggan sepenuh hati adalah tugasnya, selalu memberikan senyum merupakan kebiasaan rutin.Toko roti ini adalah semangat Livy. Sayang, sang suami tidak pernah mendukung bisnisnya. Berbeda dengan kakak ipar, El yang sangat menyukai roti isi buatan Livy, kerap memuji dan mengatakan bahw
“Apa yang kamu pikirkan?”Melihat semburat merah muda di pipi Livy, El seolah tahu ke mana arah wanita itu berpikir. “Aku … memangnya apa yang Kakak mau?”El menangkap mimik ketegangan memenuhi wajah Livy. Biasanya ia tidak pernah berinteraksi dekat selain dengan keluarganya sendiri. Namun, entah sejak kapan … berinteraksi dan memperhatikan ekspresi Livy membuat pria itu tertarik.Kedua mata coklat Livy mengerjap memandang iris biru safir milik El. Berada sedekat ini, ia baru menyadari bahwa kakak iparnya memiliki rupa yang begitu sempurna. Garis wajah tegas, tatapan tajam, hidung mancung … juga tubuh yang proporsional.Saat Livy tengah mengagumi inchi demi inchi wajah El, pria itu tiba-tiba berujar dengan suara baritonnya, “Temani aku sore ini!” Livy menelan ludahnya buru-buru. Salahkan matanya yang melihat bibir El yang agak tebal, yang kemudian membangkitkan ingatannya akan malam itu.Sadar pikirannya mulai meliar, Livy pun berusaha menjawab meski dengan terbata-bata, “A-apa Kak?
“Ah, sial! Sergio benar, badanku bau keringat!”Meski sedikit tersinggung dengan kalimat Sergio barusan, Livy membenarkan ucapan sang suami usai ia mengendus aroma tubuhnya sendiri.Tidak sebau yang seperti dituduhkan sang suami, tetapi tetap tidak segar. Makanya, alih-alih mengejar terus suaminya untuk berkata jujur, Livy akhirnya memilih mandi.Tidak lupa, ia rapikan baju-baju kotor Sergio yang berserakan. “Padahal sudah ku siapkan keranjang untuk baju kotor!” Livy mendumal sembari memunguti pakaian sang suami. Saat merogoh saku celana, tangannya mendapati sesuatu yang membuat keningnya berkerut, “Apa ini?” Diambilnya kertas itu, dan dibacanya lamat-lamat. “Resep dokter?” Sesaat, ada rasa khawatir yang menyergap. “Dia sakit?”Mengesampingkan rasa khawatirnya lebih dulu, Livy bergegas mandi dengan cepat. Setelahnya, ia keluar dari kamar mandi dan menatap dalam pada sang suami yang tengah berbaring. Disembunyikannya resep tadi di genggaman. Ia akan meminta penjelasan pada salah satu
“Bagaimana ini?” keluh Livy tanpa suara.Debar jantungnya tidak lagi aman, kini bukan hanya Sonia yang memperhatikannya. Tuan Fabregas pun menatap penuh intimidasi, pria paruh baya itu tidak ingin pernikahan putri kesayangan rusak karena Livy. Ditambah Sergio, bukannya membela sang istri malah ikut memojokkan.“El?” Sonia menjulurkan tangan ke depan suaminya. Namun, pandangan tajam bak menguliti tidak teralih dari Livy. “Mana saputanganmu?”“Kamu ini apa-apaan Sonia?! Itu hanya saputangan biasa.” Pria itu menatap tajam ke arah sang istri.Di balik ketenangannya, Presdir Torres Inc ini tengah berpikir keras, berusaha menemukan alasan tepat. El melirik Livy yang tidak mampu menjawab sepatah kata pun. Wanita cantik itu memandang tepat ke arah El, meminta pertolongan, bahasa tubuhnya memperlihatkan bahwa ia sedang ketakutan.Sejurus kemudian, Sonia kembali menatap murka ke arah sang adik, “Kenapa kamu diam? Jangan-jangan kamu memaksa suamiku ke kamarmu, jawab!”“I-itu a-aku –““Sonia jaga
“Sergio, sebenarnya apa yang kamu sembunyikan?”Livy turun dari ranjang lalu mendekati suaminya. Ia menyelami kedua mata sang suami, menuntut jawaban.“Ah sudahlah.” Sergio mengibaskan tangan. “Kamu ‘kan tidak pernah kerja, jadi tidak tahu kalau kertas itu penting.” Pria itu meraih tas dan melenggang pergi.Livy terlonjak, karena Sergio keluar kamar dan membanting pintu dengan kasar. Ia geleng-geleng kepala, betapa berliku kehidupan rumah tangganya. Sembari mengusap dada, Livy bergegas melakukan aktfitasnya.Setelah selesai, ia bergegas ke toko roti. Hari ini ada pegawai baru, setidaknya kesibukan di toko membuat Livy bisa melupakan sejenak masalah di rumah. Livy membuka toko hingga hari berubah gelap, karenanya ia membeli makanan siap saji. Badannya terlalu lemah harus memasak. Rasanya ingin sekali mengambil hari libur, tetapi tidak bisa karena esok adalah hari pertama Livy berkerja sama dengan Torres Inc.Wanita itu menghela napas panjang, lalu menyemangati diri sendiri, ‘Kamu past
“Bu, kalau tidak enak badan biar kami saja yang mengantar roti,” ucap seorang pegawai toko.Bukan tanpa alasan karena sejak memanggang roti, Livy sering melamun dan menyandarkan tubuh pada dinding. Sekarang, hari mulai terlihat terang, wanita ini terlihat pucat dan lemas.“Bu? Bagaimana kalau ke dokter?” saran pegawai.Jujur, isi kepala Livy bercabang, masalah rumah tangga menjadi beban paling berat. Ditambah, hubungannya bersama Sonia, dan paling mencengangkan adalah cek pemberian kakak ipar.“Ah ya? Aku … sehat, ini karena kurang tidur.” Livy tersenyum lalu memeriksa kemasan roti di atas meja.Kemarin, sebelum ia meninggalkan ruang kerja Presdir Torres Inc, pria itu memberikan selembar cek bernominal fantastis. Livy tidak bisa menerima begitu saja, tetapi El memaksa dengan alasan pembayaran roti serta investasi di tokonya. Livy tak bisa beradu pendapat, apa lagi didesak oleh tatapan sinis Sonia. Membuatnya hanya bisa menerima dan menjalani hubungan kerja sama itu.Mulai sekarang ti
“Jadi benar kalian memiliki hubungan?” Sergio menatap nyalang kepada Livy yang masih tampak terpukul. “Istri macam apa kamu?”“Tentu saja aku dan Livy memiliki hubungan.” El merangkul pundak Livy, ia kembali bersuara, “Kamu bilang istri? Seorang suami harus menghargai dan memperlakukan istrinya dengan baik!” hardik El.Seketika kelopak mata Livy melebar, menatap pria di sampingnya. Keterkejutannya belum berakhir, kini ketakutannya bertambah. Ia menggeleng lemah sebagai penolakan, sungguh tidak siap jika El mengatakan kejadian malam itu.Kedua lelaki ini beradu pandang, rahang El mengeras dan kedua tangannya mengepal, siap memberi Sergio pelajaran berarti agar lebih menghargai wanita. “Luar biasa, wanita kampungan sepertimu tega merebut suami kakaknya sendiri. Apa jadinya kalau ayah tahu?” Sergio tersenyum miring, lalu kembali mencemooh sang istri, “Orang asing yang dibawa pulang ke rumah, merusak pernikahan Sonia.”“Cukup!” teriak Livy.Wanita ini menutup kedua telinga, enggan menden
“Hah, t-tapi … bagaimana kalau Kak Sonia tahu? Aku …”Livy segera menggelengkan kepala, langsung mengingat wajah Sonia. Kakak angkatnya itu bisa berbuat nekat, ia tidak mau menyakiti siapa pun. Terlebih, ia tahu bagaimana rasanya dikhianati, apalagi hubungan El dan Sonia jauh lebih baik dibanding dirinya.“Kenapa memangnya?” El mengerutkan kening, lalu kembali mengeluarkan suara, “Kamu bilang tidak mau pulang. Jangan pergi ke sembarang tempat!”Pertanyaan El tidak bisa dijawab, Livy meremas kesepuluh jarinya. Tidak mungkin ‘kan kalau ia mengatakan bahwa Sonia mengancamnya? Jika itu terjadi, bisa dibayangkan reaksi kakak serta ayah angkatnya.Akhirnya Livy hanya diam saja sembari menggelengkan kepala. Tiba-tiba ia tersentak karena El membelai kepala, membuatnya kembali fokus menatap wajah sempurna milik kakak ipar.“Sonia tidak akan tahu. Kamu ingat kemarin dia datang ke kantor?” tanya El yang diangguki oleh Livy. Pria ini menarik sebelah sudut bibir, lantas berkata, “Dia meminta izin
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa