[Aku tidak pulang malam ini, sebaiknya jangan menghubungiku. Pekerjaan di kantor sangat banyak.]
Seorang wanita tersenyum getir di balkon kamar usai membaca pesan menyakitkan pada layar ponsel. Tangan mulusnya kemudian meraih sebotol minuman beralkohol dari atas meja kecil.Alih-alih belaian lembut nan hangat sang suami yang menemaninya setiap malam, ia justru ditemani air matanya sendiri. Ia menghela napas panjang dan menatap miris pada penampilannya saat ini.Livyata Ervina Fabregas mengenakan gaun tidur tipis minim bahan. Sejak mengunjungi konselor pernikahan, dirinya mencoba berubah demi menyenangkan hati suami tercinta. Sial, dua bulan ini berakhir sia-sia. Segala upaya yang dilakukan belum membuahkan hasil.Saat kesadaran dirinya sudah sepenuhnya hilang karena minuman tersebut, ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Ia meringkuk di atas ranjang dingin sendirian, masih berharap sang suami pulang dan memberinya hadiah ulang tahun pernikahan.Tidak lama, wanita itu sayup-sayup mendengar suara berisik. Pintu kamar Livy terbuka dan seseorang berjalan mendekat. Meskipun minim cahaya, sosok itu tampak tersenyum sembari melepas jas dan kemeja, melempar dengan asal.Belum sempat Livy membalas senyuman, bibirnya dibungkam liar oleh pria yang baru saja masuk. Jujur saja Livy merindukan belaian ini, ia begitu menikmati hingga mengalungkan lengannya di leher pria itu.“Aku pikir kamu tidak ada di rumah. Puaskan aku malam ini!” Lelaki itu berkata dengan suara serak.Dua orang dewasa itu sama-sama tahu, mereka telah dikuasai gairah.“Tentu saja Sayang. Aku juga merindukan sentuhanmu,” bisik Livy sensual.Tanpa banyak kalimat lagi, pria itu kemudian meloloskan sebuah kain tipis yang menutupi tubuh mulus Livy. Berulang kali Livy dibuat melambung tinggi terbang ke angkasa oleh sentuhan yang dirindukan.Kamar yang semula sunyi, senyap dan dingin, sekarang berubah bising oleh lenguhan dua anak manusia. Hawa panas menyerang menyebabkan peluh bercucuran, akibat saling mengejar titik puncak. Entah berapa lama berlangsung karena Livy merasakan hal berbeda dari bulan-bulan sebelumnya.Usai mendapatkan kepuasan, Livy menatap sayup-sayup ke arah pria itu dan berkata, "Aku mencintaimu. Tolong tetap seperti ini."Setelahnya, ia bahkan tertidur nyenyak dalam pelukan hangat ini. Malam ini, pelukan pria itu rasanya begitu menyamankan. Perlakuan lembut pria itu bahkan membuat ia benar-benar merasa dimanjakan sebagai seorang wanita.Bahkan, hingga pagi hari … Livy yang sudah lebih dulu bangun, enggan membuka mata. Dia justru semakin menempelkan kepalanya ke dada bidang di depan mata, bibir ranumnya melengkungkan kebahagiaan.Kalau bisa, ia berharap hari ini tidak berakhir, dan bisa mengulang kegiatan panas semalam. Ia juga berharap bisa sesegera mungkin mengandung janin hasil buah cinta mereka. Namun, saat ia sedang hanyut dalam angannya yang indah … tiba-tiba ia mengerutkan dahi.‘Tunggu dulu. Aroma ini ….'Aroma ini terasa janggal untuk Livy. Seingatnya, Sergio –suami Livy, tidak memiliki aroma parfum seperti ini.Seketika, matanya terbuka lebar. Jantung Livy berdetak lebih cepat, napasnya tidak lagi normal setelah melihat seseorang yang tengah mendekapnya erat.“Astaga, Kak El!”Ia pun segera mendorong lelaki itu dari atas ranjang, membuat tubuh polos lelaki itu membentur lantai.Erangan kesakitan terdengar jelas ke telinga Livy, tak mampu untuk menjelaskan situasi membingungkan.“Kamu mendorong suamimu sendiri?" Lelaki itu berhenti bicara setelah melihat wajah tegang Livy. Muncul kerutan di keningnya kemudian. “Livyata? Apa yang kamu lakukan di kamarku?” “I-ini k-kamarku, Kak. Kenapa Kakak ada di sini?” Livy mendekap selimut yang menutupi tubuhnya.“Apa kamu bilang?”Mata biru safir pria itu mengamati seluruh isi kamar. Tak lama, ia terbelalak. El tidak ingat bagaimana ia berakhir di kamar Livy, adik iparnya. Yang ia ingat adalah ia mabuk dengan hasrat yang menggebu karena diduga dijebak oleh rekan kerja yang baru saja ditemuinya semalam.El sadar, seseorang itu baru saja menaruh obat perangsang dalam minumannya. Namun, karena ia bukan pria yang mudah gonta-ganti wanita, ia lantas memilih pulang untuk menyalurkan hasratnya pada sang istri. Namun, siapa sangka … ia malah berakhir bersama Livy—adik angkat sang istri dan sama-sama tidak memakai sehelai pun pakaian pagi ini.“J-jadi, semalam Kakak yang menyentuhku?” Mata Livy merambang, sungguh pagi yang mendung, padahal angannya sudah tinggi karena sentuhan pria yang ia kira suaminya semalam.“Livy, dengarkan aku!” El beranjak dari lantai, ia tidak peduli tubuhnya dilihat kembali oleh sang adik ipar. Kini El duduk di sisi Livy, menggenggam kedua tangan mungil wanita itu di atas kasur. “Sungguh aku tidak berniat melecehkanmu. Ini terjadi di luar kuasaku. Aku mabuk Livy, maafkan aku.”Sedangkan Livy tidak bisa berkata apa pun. Ia memaki diri sendiri karena terlarut dalam buaian alkohol hingga tidak menyadari lebih awal kejanggalan yang terjadi semalam.Sergio bahkan telah mengiriminya pesan bahwa pria itu tidak pulang, tetapi Livy yang mabuk masih saja mengira pria itu mengerjainya dan memilih pulang untuk memberikannya kejutan. Karena itu jugalah ia tidak mengunci kamarnya semalam.“A-aku juga mabuk semalam, Kak.” Livy menundukkan kepalanya. Sedikitnya, ia merasa bersalah. Takut jikalau kesalahan semalam diketahui oleh suaminya, terlebih keluarga angkatnya. Andai ia tidak mabuk, tentu bisa menghindar dari kejadian memalukan ini.Namun, semua telah terjadi. Livy melakukan kesalahan besar, berhubungan dengan kakak iparnya, padahal mereka berdua sama-sama memiliki pasangan. Meski pernikahan Livy dan Sergio tidak didasari cinta, tetapi untuk membalas budi ayah angkatnya, ia berusaha menghormati dan mencintai sang suami.Kepala Livy menggeleng, dan ia tiba-tiba berujar, “Tidak. Kesalahan ini harus dirahasiakan, Kak.” Di hadapannya, El termangu. “Semalam adalah kesalahan yang tidak disengaja. Untuk itu, ayo kita lupakan saja,” ujarnya lagi, kali ini sambil memohon ke arah El.“Melupakannya?” Terlihat, kening lelaki itu mengerut. “Tapi, Livy … semalam itu—”Cepat, Livy menggeleng. “Kita sama-sama punya pasangan, Kak. Lagipula, aku tidak ingin mengecewakan ayah, juga Kak Sonia.”“Apa kamu sadar dengan apa yang kamu minta, Livy?” Lagi, El bertanya dengan wajah tanpa ekspresi. “Bagaimana jika kamu—”Livy yang tahu ke mana arah pembicaraan kakak iparnya cepat-cepat berujar. “Kakak tidak perlu khawatir, aku selalu meminum pil KB.”Ada sedikit ketakutan yang kembali Livy rasakan. Namun, ia kembali meyakinkan diri … hanya sekali berhubungan tidak mungkin akan berakibat fatal dan langsung membuatnya hamil.Livy bisa melihat jelas, jika raut wajah El masih tampak belum menerima. Namun, ia terus menunjukkan wajah memohon juga sikap keras kepalanya. Bagaimana pun, jika rahasia ini terbongkar, bukan hanya pernikahannya dan Sergio saja yang hancur, tetapi juga pernikahan El dan Sonia, ditambah memburuknya hubungan Livy dan keluarga angkatnya.El mengangguk. “Baiklah jika itu maumu.” El kemudian turun dari ranjang masih dengan tubuh polosnya.Livy menundukkan kepala, enggan melihat tubuh kakak iparnya lagi. “T-terima kasih, Kak.”El tidak menjawab kalimat Livy, ia dengan gerakan cepat memungut dan memakai kembali pakaiannya yang telah berserakan di lantai.Namun, sebelum keluar dari kamar adik iparnya itu, El kembali menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Livy yang masih duduk di ranjang dengan selimut yang mengelilingi tubuhnya.“Sekali lagi, maafkan aku.” Mata pria itu memancarkan ketulusan. Suaranya dingin, tetapi ada kesan lembut dan rasa bersalah yang amat dalam. “Jika sesuatu terjadi padamu karena kejadian semalam, jangan ragu datang padaku, Livy. Aku pasti akan bertanggung jawab.”Setelahnya, pria itu langsung keluar dan menutup rapat pintu kamar Livy.Setelah kakak iparnya melewati pintu kamar, ia kemudian berlari mengunci pintu karena khawatir Sergio pulang dan melihat kekacauan dalam kamar. Diliputi perasaan gundah, Livy membersihkan dan merapikan jejak percintaan panasnya semalam. Bahkan ia menggunakan pewangi menyengat agar parfum El tidak tercium lagi.Saat tengah mengamati keadaan kamar yang telah kembali rapi, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia telah berbohong pada El tadi. Keinginan untuk hamil membuat Livy tidak lagi mengkonsumsi pil KB seperti awal pernikahannya dulu. Namun sayang, Upaya Livy tersebut tidak didukung oleh sang suami yang justru tidak pernah lagi menyentuhnya.Namun, setelahnya ia kembali menekankan pada dirinya sendiri, ‘Tidak. Aku tidak mungkin hamil hanya karena sekali berhubungan.’Untuk memutus pikiran negatifnya, akhirnya Livy memutuskan untuk keluar kamar guna menyiapkan sarapan.Namun, ketika Livy keluar dari kamar, ia terkejut melihat kakak angkatnya, Sonia, baru saja menaiki anak tangga. Keduanya berpapasan dan tatapan Sonia tertuju kepadanya.“Heh, Livy, tunggu!” panggil wanita cantik itu setengah berteriak.Livy mematung dengan perasaan terkejut dan takut luar biasa. Ia bagai seorang wanita yang berselingkuh, lalu tertangkap basah. Kedua telapak tangannya berkeringat dingin, ia berusaha menyembunyikan ketakutan. Senyuman pada wajahnya pun berubah kaku serta terpaksa.“Ada yang bisa aku bantu, Kak?”“Kamu lihat suamiku tidak? Pagi ini aku tidak menemukan dia di kamar.” Sonia mengerutkan dahinya dan menatap Livy dengan sengit. “Semalam dia bilang mau pulang ke rumah karena membutuhkanku.”Livy menelan air liur, dan terus mengepalkan tangan. Setelah semalam ketiban ‘sial’, pagi ini ia sungguh sial karena bertemu Sonia. Tentu, Livy menggelengkan kepalanya.“A-aku tidak melihat Kak El.”Kini, wajah Sonia semakin gusar. Wanita yang berprofesi sebagai model itu terlihat marah sekarang. “Apa jangan-jangan dia tidur dengan wanita lain?”“Apa jangan-jangan dia tidur dengan wanita lain?”Seketika Livy tersedak oleh air liurnya sendiri mendengar kalimat itu. Ia merasa tersindir. Hatinya gelisah dan takut perbuatan semalam diketahui oleh keluarga besar, terutama suaminya.Sungguh Livy tidak ingin kehilangan suaminya, walau sikap Sergio belakangan terbilang begitu dingin padanya.“Sepertinya tidak mungkin, Kak.” Livy menjawab usai berhasil meredakan rasa terkejutnya. “Kakak ipar sangat setia, rasanya selingkuh bukanlah sifatnya.” Ketegangan tak cukup sampai di sini, karena tatapan Sonia berubah tajam. Model cantik ini mengamati penampilan Livy yang jauh dari kebiasaan. Bahkan kakak angkatnya itu mengikis jarak dengannya, menambah produksi peluhnya semakin banyak, membuat Livy kepanasan.“Heh, ini ‘kan musim panas kenapa pakai baju panjang? Biasanya juga tidak!”Livy kalang kabut. Spanyol memang telah memasuki musim panas, jelas saja pakaian serba panjang yang dikenakan Livy terlihat begitu mencolok.“Aku … umm, kurang en
[Bagaimana kakinya? Perlu ke dokter?]Pesan itu masuk saat Livy tengah berjejal di antara penumpang bus. Rasa sakit pada kakinya membuat wanita itu tidak sanggup menjangkau kursi kosong di posisi belakang, hingga akhirnya ia memilih berdiri dengan menahan nyeri.Livy tersenyum pilu membaca pesan dari kakak iparnya. Hatinya dirundung dilema, antara sedih dan miris. Senang karena masih ada orang yang memperhatikannya, tetapi miris … kenapa harus orang lain yang perhatian, bukan sang suami?Segera, Livy membalas, “Aku baik-baik saja, Kak. Terima kasih banyak.”Setibanya di toko roti, Livy semakin sibuk karena kekurangan tenaga bantuan. Ia tidak lagi memikirkan rasa lapar dan dahaga yang menyerang. Melayani pelanggan sepenuh hati adalah tugasnya, selalu memberikan senyum merupakan kebiasaan rutin.Toko roti ini adalah semangat Livy. Sayang, sang suami tidak pernah mendukung bisnisnya. Berbeda dengan kakak ipar, El yang sangat menyukai roti isi buatan Livy, kerap memuji dan mengatakan bahw
“Apa yang kamu pikirkan?”Melihat semburat merah muda di pipi Livy, El seolah tahu ke mana arah wanita itu berpikir. “Aku … memangnya apa yang Kakak mau?”El menangkap mimik ketegangan memenuhi wajah Livy. Biasanya ia tidak pernah berinteraksi dekat selain dengan keluarganya sendiri. Namun, entah sejak kapan … berinteraksi dan memperhatikan ekspresi Livy membuat pria itu tertarik.Kedua mata coklat Livy mengerjap memandang iris biru safir milik El. Berada sedekat ini, ia baru menyadari bahwa kakak iparnya memiliki rupa yang begitu sempurna. Garis wajah tegas, tatapan tajam, hidung mancung … juga tubuh yang proporsional.Saat Livy tengah mengagumi inchi demi inchi wajah El, pria itu tiba-tiba berujar dengan suara baritonnya, “Temani aku sore ini!” Livy menelan ludahnya buru-buru. Salahkan matanya yang melihat bibir El yang agak tebal, yang kemudian membangkitkan ingatannya akan malam itu.Sadar pikirannya mulai meliar, Livy pun berusaha menjawab meski dengan terbata-bata, “A-apa Kak?
“Ah, sial! Sergio benar, badanku bau keringat!”Meski sedikit tersinggung dengan kalimat Sergio barusan, Livy membenarkan ucapan sang suami usai ia mengendus aroma tubuhnya sendiri.Tidak sebau yang seperti dituduhkan sang suami, tetapi tetap tidak segar. Makanya, alih-alih mengejar terus suaminya untuk berkata jujur, Livy akhirnya memilih mandi.Tidak lupa, ia rapikan baju-baju kotor Sergio yang berserakan. “Padahal sudah ku siapkan keranjang untuk baju kotor!” Livy mendumal sembari memunguti pakaian sang suami. Saat merogoh saku celana, tangannya mendapati sesuatu yang membuat keningnya berkerut, “Apa ini?” Diambilnya kertas itu, dan dibacanya lamat-lamat. “Resep dokter?” Sesaat, ada rasa khawatir yang menyergap. “Dia sakit?”Mengesampingkan rasa khawatirnya lebih dulu, Livy bergegas mandi dengan cepat. Setelahnya, ia keluar dari kamar mandi dan menatap dalam pada sang suami yang tengah berbaring. Disembunyikannya resep tadi di genggaman. Ia akan meminta penjelasan pada salah satu
“Bagaimana ini?” keluh Livy tanpa suara.Debar jantungnya tidak lagi aman, kini bukan hanya Sonia yang memperhatikannya. Tuan Fabregas pun menatap penuh intimidasi, pria paruh baya itu tidak ingin pernikahan putri kesayangan rusak karena Livy. Ditambah Sergio, bukannya membela sang istri malah ikut memojokkan.“El?” Sonia menjulurkan tangan ke depan suaminya. Namun, pandangan tajam bak menguliti tidak teralih dari Livy. “Mana saputanganmu?”“Kamu ini apa-apaan Sonia?! Itu hanya saputangan biasa.” Pria itu menatap tajam ke arah sang istri.Di balik ketenangannya, Presdir Torres Inc ini tengah berpikir keras, berusaha menemukan alasan tepat. El melirik Livy yang tidak mampu menjawab sepatah kata pun. Wanita cantik itu memandang tepat ke arah El, meminta pertolongan, bahasa tubuhnya memperlihatkan bahwa ia sedang ketakutan.Sejurus kemudian, Sonia kembali menatap murka ke arah sang adik, “Kenapa kamu diam? Jangan-jangan kamu memaksa suamiku ke kamarmu, jawab!”“I-itu a-aku –““Sonia jaga
“Sergio, sebenarnya apa yang kamu sembunyikan?”Livy turun dari ranjang lalu mendekati suaminya. Ia menyelami kedua mata sang suami, menuntut jawaban.“Ah sudahlah.” Sergio mengibaskan tangan. “Kamu ‘kan tidak pernah kerja, jadi tidak tahu kalau kertas itu penting.” Pria itu meraih tas dan melenggang pergi.Livy terlonjak, karena Sergio keluar kamar dan membanting pintu dengan kasar. Ia geleng-geleng kepala, betapa berliku kehidupan rumah tangganya. Sembari mengusap dada, Livy bergegas melakukan aktfitasnya.Setelah selesai, ia bergegas ke toko roti. Hari ini ada pegawai baru, setidaknya kesibukan di toko membuat Livy bisa melupakan sejenak masalah di rumah. Livy membuka toko hingga hari berubah gelap, karenanya ia membeli makanan siap saji. Badannya terlalu lemah harus memasak. Rasanya ingin sekali mengambil hari libur, tetapi tidak bisa karena esok adalah hari pertama Livy berkerja sama dengan Torres Inc.Wanita itu menghela napas panjang, lalu menyemangati diri sendiri, ‘Kamu past
“Bu, kalau tidak enak badan biar kami saja yang mengantar roti,” ucap seorang pegawai toko.Bukan tanpa alasan karena sejak memanggang roti, Livy sering melamun dan menyandarkan tubuh pada dinding. Sekarang, hari mulai terlihat terang, wanita ini terlihat pucat dan lemas.“Bu? Bagaimana kalau ke dokter?” saran pegawai.Jujur, isi kepala Livy bercabang, masalah rumah tangga menjadi beban paling berat. Ditambah, hubungannya bersama Sonia, dan paling mencengangkan adalah cek pemberian kakak ipar.“Ah ya? Aku … sehat, ini karena kurang tidur.” Livy tersenyum lalu memeriksa kemasan roti di atas meja.Kemarin, sebelum ia meninggalkan ruang kerja Presdir Torres Inc, pria itu memberikan selembar cek bernominal fantastis. Livy tidak bisa menerima begitu saja, tetapi El memaksa dengan alasan pembayaran roti serta investasi di tokonya. Livy tak bisa beradu pendapat, apa lagi didesak oleh tatapan sinis Sonia. Membuatnya hanya bisa menerima dan menjalani hubungan kerja sama itu.Mulai sekarang ti
“Jadi benar kalian memiliki hubungan?” Sergio menatap nyalang kepada Livy yang masih tampak terpukul. “Istri macam apa kamu?”“Tentu saja aku dan Livy memiliki hubungan.” El merangkul pundak Livy, ia kembali bersuara, “Kamu bilang istri? Seorang suami harus menghargai dan memperlakukan istrinya dengan baik!” hardik El.Seketika kelopak mata Livy melebar, menatap pria di sampingnya. Keterkejutannya belum berakhir, kini ketakutannya bertambah. Ia menggeleng lemah sebagai penolakan, sungguh tidak siap jika El mengatakan kejadian malam itu.Kedua lelaki ini beradu pandang, rahang El mengeras dan kedua tangannya mengepal, siap memberi Sergio pelajaran berarti agar lebih menghargai wanita. “Luar biasa, wanita kampungan sepertimu tega merebut suami kakaknya sendiri. Apa jadinya kalau ayah tahu?” Sergio tersenyum miring, lalu kembali mencemooh sang istri, “Orang asing yang dibawa pulang ke rumah, merusak pernikahan Sonia.”“Cukup!” teriak Livy.Wanita ini menutup kedua telinga, enggan menden
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa