Kanaya Arinda meletakkan ponselnya dengan gusar ke atas ranjang. Bastian Mahendra hanya menatap sang istri sambil tetap tersenyum."Ini semua karena idemu, Sayang. Seharusnya kita tetap berpegang teguh kepada rencana kita sejak awal untuk tidak merestui Jaya dan gadis itu, sekarang lihatlah apa yang terjadi! Sekarang Jaya menjadi pemberitaan!""Gadis itu adalah menantumu, Sayang. Mayra pasti sedih kalau mendengarmu mengatakan hal ini!" Bastian mengulurkan segelas air minum kepada Kanaya yang diterima Kanaya dengan wajah tetap ditekuk."Kita sebaiknya pergi ke luar negeri saja. Nama baik kita, Sayang. Dipertaruhkan di sini!" seru Kanaya lagi. Jemarinya yang lentik mempermainkan kukunya yang rapi dan cantik. Itu cara Kanaya untuk menutupi kegelisahannya."Hanya inisial nama saja dan siluet dari kejauhan. Kau tidak perlu terlalu merisaukan hal ini," ujar Bastian untuk kesekian kali. Untuk menenangkan sang istri, kalimat yang sama harus diulang berkali-kali."Hanya orang bodoh yang tidak
"Kenapa kau terlihat gelisah, May?" tanya Jaya. Mereka sedang bersiap untuk pulang ke kota. Tepatnya ke Apartemen Jaya barulah menuju ke rumah orang tua Jaya."Entahlah, pasti ada yang salah. Aku belum kedatangan tamu. Seharusnya sudah waktunya.""Kau minum pil selama ini?""I—iya, tapi beberapa waktu ini tidak. Astaga! Aku lupa membeli lagi. Pil ku hilang entah kemana dan aku tidak membeli lagi!""Apakah itu berbahaya?" tanya Jaya dengan nada polos. Tentu saja dia tahu apa yang terjadi, tetapi tidak mungkin mengaku kalau dia yang membuang pil-pil itu. Jadi, lebih baik berpura-pura bodoh saja!"Tidak, hanya saja aku bisa hamil. Astaga, aku sudah tidak minum sejak lama ternyata!" Sekali lagi Mayra berteriak menyatakan kebodohannya. Dan setelah berfikir selama beberapa waktu, Mayra ingat bahwa dia sejak bersama Jaya memang sama sekali tidak menggunakan pengaman."Tidak masalah, Sayang. Ada aku, suamimu. Kenapa kau gelisah?""Tapi, kalau memang benar aku hamil, usia kehamilannya yang aka
Sayang tersenyum puas melihat berita mengenai Jaya Mahendra. Tentu saja, dia adalah dalang di balik berita tentang pernikahan Jaya dan Mayra. Meskipun nama pasangan Jaya belum ada yang bisa menebaknya selain keluarga dan juga Nona Lolita. Keluarga Jaya tentunya."Aku mau kau memberikan berita ini kepada wartawan gosip!" Sayana melemparkan satu berkas dokumen ke atas meja. Leonard menautkan keningnya tanda dia masih belum mengerti, tetapi dengan patuh, dia mengambil dokumen tersebut dan membukanya."Aku bisa melakukannya, tapi pasti bisa dengan mudah dilacak. Apalagi ini menyangkut Tuan Jaya Mahendra," terang Leonard sedikit ragu.Sayana tersenyum licik sambil memandang partnernya itu dengan tatapan tajam."Lakukan dengan baik dan jangan pernah sangkutkan namaku. Terserah bagaimana caranya!" ucap Sayana. Sekarang dia mengambil sebuah amplop tebal dan diberikan kepada Leonard."Tenang, aku tidak akan memakai bantuanmu secara gratis. Uang di dalam sana cukup untuk memberi makan wartawan
Kanaya Arinda masuk ke dalam ruang santai bergandengan tangan dengan Bastian Mahendra. "Akhirnya kalian datang juga!" ucap Bastian Mahendra dengan ekspresi gembira yang tidak dapat disembunyikan. Kediamannya terlalu besar hanya untuk ditinggali dia dan istrinya sebagai keluarga inti. Belum ditambah dengan rumah dan jenis properti lain yang dikoleksi oleh Kanaya Arinda. Selain sebagai investasi, Kanaya Arinda juga menjadikannya ladang bisnis. Keluarga Mahendra memang memerlukan seorang pewaris. Keberadaan istri Jaya Mahendra merupakan angin segar untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh Bastian."Selamat Siang, Ibu, Ayah," ucap Mayra dengan santun. Meskipun sedikit gelisah dan rasa kalut yang terpancar di dalam hatinya, Mayra harus tetap menjaga adab dan sopan santun. Jaya sendiri langsung memeluk ibu dan ayahnya. Mayra masih belum berani melakukan sentuhan fisik kepada ibu mertuanya tersebut. Alasan terbesarnya tentu saja dia takut ditolak. Pasti akan sangat memalukan jika terjadi
Mayra mengikuti pelayan yang membawanya ke arah ruang baca, tempat dimana Kanaya sedang menunggunya. Atau dia yang harus menunggu?"Bagus, kurang tiga menit lagi, maka kau tidak tepat waktu!" Suara teguran yang terdengar tetap anggun menyapa pendengaran Mayra. "Maaf, Ibu. Kalau Ibu menungguku," balas Mayra mendekati ibu mertuanya dan mencium punggung tangan Kanaya. "Duduklah!" Dengan patuh, Mayra duduk di depan Kanaya. Dia tidak bisa menatap sekeliling ruang baca yang dia masuki. Hanya melihat yang ada di belakang Kanaya saja. Dari aroma ruangan, Mayra bisa menilai bahwa buku-buku di ruang ini selalu dipelihara dan dijaga dengan maksimal. "Ini untuk kau pelajari," kata Kanaya menyodorkan satu tumpukan buku tebal ke arah Mayra. Tidak hanya satu atau dua buku. Kira-kira ada enam buah buku di hadapan Mayra."Baik, Bu." Tetaplah patuh dan tanpa membantah. Demi kebaikan bersama. Kebaikannya dan juga Jaya. "Kau tidak bertanya apapun juga?""Saya akan mempelajarinya nanti, saya takut pe
"Lapor, Nona. Tuan Jaya sudah membawa istrinya pulang ke kediaman Mahendra."Informasi yang didapatnya dari seorang informan yang bisa dipercaya membuat Sayana murka. Semakin jauh saja rencananya dan Mayra sudah semakin masuk ke dalam keluarga besar Jaya.Teriakan Sayana kembali menggema ke seluruh penjuru kamarnya. Tidak ada yang mencegah ataupun menenangkannya. Hari ini dia tidak ingin ditenangkan oleh siapapun. Dia akan menenangkan dirinya sendiri dengan caranya sendiri. Cara yang akan membuat puas Sayana.Sayana membuka gaun yang membungkus tubuh rampingnya. Dia menatap tubuh itu dengan penuh kekaguman. "Tubuhku memang sangat indah! Tetapi kenapa Tuan Jaya tidak tergoda? Bahkan menoleh pun tidak! Apakah aku melepaskan saja rasa ini?" tanya Sayana sambil memeluk tubuh polosnya. Sedikit menggigil karena rasa dingin yang keluar dari pendingin udara di sudut ruangan. Sayana kembali menatap setiap inchi tubuhnya untuk melihat apakah ada sesuatu permanen di sana yang merusak kesempurn
"Bagus, memang seperti itu, Nona. Cara memegang cangkir teh pun harus dengan penuh perhitungan. Jarak bibir harus sejajar dengan cangkir. Cara meletakkannya juga harus penuh kehati-hatian." Madam Sonia mempraktekkan dulu ajarannya baru meminta Mayra untuk melakukannya secara langsung.Mayra bosan, pelajaran tata krama dan sebagainya ini sungguh membuatnya kesal. Namun, apa yang bisa diperbuatnya untuk protes? Tidak ada. Dia tahu, ibu mertuanya mengawasi mereka entah darimana. Kamera pengawas pasti mengintai melalui sudut tersembunyi."Hari ini kita akan pergi memilih perhiasan bersama Nyonya Kanaya. Nanti di sana, latihan akan kita mulai kembali. Nona bisa makan cake dulu!" kata Madam Sonia tersenyum."Untuk menikmati kue-kue seperti ini juga perlu pertimbangan dan juga tindakan seperti yang saya ajarkan, bisakah Nona mengulanginya lagi?"Pandangan mata Mayra mendadak berubah menjadi setajam pedang dan tertuju kepada Madam Sonia."Bersabarlah, Nona. Ingatlah, dinding pun mempunyai tel
"Bagaimana kegiatanmu hari ini, Sayang?" tanya Jaya memeluk Mayra dari belakang. Setelah menyibak rambut Mayra dan mencium tengkuk Mayra yang mulus dan harum, Jaya kembali melanjutkan pertanyaannya."Bagaimana harimu, Mayra Sayang?""Tidak ada yang berbeda. Selalu diisi dengan latihan, latihan dan penuh dengan latihan," balas Mayra."Apakah kau lelah?" tanya Jaya, menangkup wajah Mayra dan mencari gurat kelelahan di sinar mata istrinya itu."Tidak, Ibu memberiku beberapa perhiasan. Tidak boleh dijual apalagi hilang. Kalau itu terjadi, nyawaku yang akan menjadi taruhannya!" kata Mayra sambil menggerakkan tangannya ke leher, memberi isyarat yang membuat Jaya tergelak."Kenapa kau jadi seperti ini?" "Kenapa apanya?" Mayra kembali menatap wajah Jay dengan penuh pertanyaan."Tidak aku sangka, kau selucu ini!""Tidak lucu, Sayang. Apa yang aku katakan adalah kebenaran!" Mayra memalingkan wajahnya sedikit kesal. Suasana hatinya sedang tidak baik hari ini, jadi sebaiknya Jaya tidak menggodan