"Bagaimana kegiatanmu hari ini, Sayang?" tanya Jaya memeluk Mayra dari belakang. Setelah menyibak rambut Mayra dan mencium tengkuk Mayra yang mulus dan harum, Jaya kembali melanjutkan pertanyaannya."Bagaimana harimu, Mayra Sayang?""Tidak ada yang berbeda. Selalu diisi dengan latihan, latihan dan penuh dengan latihan," balas Mayra."Apakah kau lelah?" tanya Jaya, menangkup wajah Mayra dan mencari gurat kelelahan di sinar mata istrinya itu."Tidak, Ibu memberiku beberapa perhiasan. Tidak boleh dijual apalagi hilang. Kalau itu terjadi, nyawaku yang akan menjadi taruhannya!" kata Mayra sambil menggerakkan tangannya ke leher, memberi isyarat yang membuat Jaya tergelak."Kenapa kau jadi seperti ini?" "Kenapa apanya?" Mayra kembali menatap wajah Jay dengan penuh pertanyaan."Tidak aku sangka, kau selucu ini!""Tidak lucu, Sayang. Apa yang aku katakan adalah kebenaran!" Mayra memalingkan wajahnya sedikit kesal. Suasana hatinya sedang tidak baik hari ini, jadi sebaiknya Jaya tidak menggodan
Jaya mengendarai mobilnya dengan perlahan. Meskipun dalam hatinya masih penasaran dengan apa yang dikatakan Mayra. Namun, dia lebih memilih untuk mempercayai itu semua. "Kenapa kau bisa tahu?" Jaya mengulangi pertanyaannya. Mayra mengerutkan kening menatap Jaya dengan seksama."Suamiku, apa kau lupa kalau kau sendiri yang mengatakan tentang itu kepadaku?" "Benarkah?" tanya Jaya memastikan. Kalau itu benar, berarti Jaya yang telah melupakan hal itu.Mayra mengangguk menegaskan."Kalau bukan darimu, lalu aku tahu dari siapa? Tidak mungkin Andrian yang akan mengatakan hal seperti itu!" kata Mayra dengan tegas."Lupakan saja, mari kita pergi!" Jaya tidak ingin membahas hal yang membuatnya bimbang. Lebih baik kalau mereka membahas mengenai kencan malam ini saja. Itu akan lebih mengasyikkan."Ingin makan malam apa?" "Apa saja. Apa yang kau makan, aku juga akan menyantap hidangan yang sama.""Kita makan malam di Restoran Langit saja," kata Jaya. Dia mengemudikan mobilnya ke arah Restoran
"Sudah sampai, May," ujar Jaya. Menatap Mayra lembut ketika gerbang otomatis terbuka."Berapa orang yang ada disini?" tanya Mayra, dia menatap rumah indah itu dengan penuh kekaguman. Jauh lebih indah dari rumah pinggiran kota dimana Mayra pernah bertemu Jaya untuk kedua kalinya. Namun, tetap lebih indah rumah orang tua Jaya. Rasanya semua kemegahan ada di rumah utama Bastian Mahendra dan Kanaya Arinda. "Tidak ada, agar kita bisa bebas berdua tanpa ada orang yang menganggu," bisik Jaya tepat di telinga Mayra yang membuat sekujur tubuh Mayra merinding."Benarkah, Tuan? Saya akan dengan senang hati melayani, Tuan," balas Mayra, dia mengedipkan sebelah matanya untuk menggoda Jaya."Kau sungguh nakal sekarang, Sayang!" seru Jaya merangkul bahu Mayra dan mereka bersama menaiki tangga menuju pintu utama."Apakah di belakang kita ada pengawal?" tanya Mayra. "Menurutmu?""Aku tidak tahu, makanya aku bertanya kepadamu, Sayang!" kata Mayra sedikit cemberut."Mereka ada, tetapi tidak masuk ke d
"Kita mau melakukannya dimana?" tanya Mayra langsung pada intinya. Lagi-lagi membuat Jaya terpana dengan apa yang ditanyakan Mayra. Sampai dia menghentikan pijatannya dan mengambil tisu basah untuk membersihkan tangannya."Tidak panas!" gumam Jaya kepada dirinya sendiri yang langsung ditepis Mayra dengan mengerucutkan bibirnya."Aku tidak sakit, tidak panas ataupun demam!" sergah Mayra sedikit kesal. "Aku tahu pasti hal itu, hanya saja hari ini kau begitu banyak bicara! Pasti ada yang merasukimu!" lanjut Jaya lagi."Apa salahnya kalau aku bersikap agresif? Kau tidak suka?""Tidak, May. Jangan salah paham. Hanya saja ...."Jaya menggantung kalimatnya sebelum memandang Mayra dengan penuh arti."Aku semakin ingin memakanmu!" kata Jaya dengan suara yang semakin serak menahan sesuatu di dalam tubuhnya."Tidak perlu minta ijin, saya adalah milik Anda." Mayra mengalungkan lengannya ke leher Jaya dan mulai mengecup leher suaminya dengan penuh rasa. Hanya Mayra yang tahu perasaan apa yang dis
"Aku mau pergi dua hari," kata Jaya ketika mengantar Mayra di pagi harinya."Kemana? Kenapa mendadak? Jangan antar aku ke rumah ibu," rengek Mayra. Membayangkan tidak ada Jaya yang akan membelanya, membuat Mayra sedikit gugup. "Tidak apa-apa, Ibu tidak akan melukaimu. Bukankah kau harus melanjutkan pelajaranmu dengan Madam Sonia?" jawab Jaya. Dia menoleh ke arah Mayra yang sedang mengerucutkan bibirnya karena kesal."Aku takut dengan ibu kalau kau tidak ada, Sayang!" Mayra memeluk Jaya yang langsung membalas dengan kecupan di kening Mayra."Ibu akan semakin tidak suka kalau kau menghindar. Ingat, kalau kau menghindar maka tidak akan menyelesaikan masalah. Hanya akan menambah masalah. Karena ibu pasti akan semakin tidak suka.""Kau lebih memihak ibumu sekarang daripada di awal pertemuan kita," kata Mayra lagi. "Hei, tidak seperti itu. Baiklah, aku akan bilang ke Andrian dan minta dia agar mewakiliku saja," balas Mahendra. Dia memeluk Mayra semakin erat. Mayra juga melakukan hal yang
"Sayang, kapan pulang?" tanya Mayra menatap langit-langit kamarnya."Belum satu hari aku pergi dan kau sudah kangen sama aku?" tanya Jaya tertawa di ujung sambungan."Aku bosan di sini sendirian.""Madam Sonia bukannya bersamamu?""Madam Sonia ada keperluan penting, jadi beliau ijin pulang lebih awal. Sudah bilang juga sama Ibu," jawab Mayra. Dia mempermainkan kukunya dengan gelisah. Entah kenapa hari ini perasaannya mendadak tidak menentu. Mungkin efek karena kesendiriannya di tempat asing. Membuat Mayra merasa kesepian."Pergilah keluar, kau bisa jalan-jalan di luar atau mengunjungi rumahmu dulu atau bisa juga bertemu Nona Lolita." Jaya memberikan usul yang tidak pernah terlintas dalam benak Mayra untuk mengatasi rasa kesepiannya."Sabar, Sayang. Aku juga merindukanmu. Sangat merindukanmu. Sayang, nanti aku hubungi lagi. Rapatnya mau dimulai," imbuh Jaya lagi, setelah itu sambungan telepon itu putus begitu saja. Mayra menatap ponselnya dengan helaan nafas panjang. Dia harus maklum
"Bagaimana kabarmu, Sayana?" tanya Mayra tersenyum. "Baik, May. Kau sendiri bagaimana?" jawab Sayana menyunggingkan senyum manis yang sama. Dia memperhatikan semua orang yang ada di ruang tamu Nona Lolita. Tidak ada yang memperhatikan mereka. Semua orang sibuk dengan dirinya masing-masing. Tidak terkecuali dengan Nona Lolita yang kini sibuk dengan ponselnya."Aku baik. Senang melihat kalian semua disini," balas Mayra santai lalu menempatkan dirinya di kursi sebelah Sayana yang memang kebetulan kosong."Selamat untuk pernikahanmu," ucap Sayana."Terima kasih. Aku harap kau juga menyusul segera." Mayra mengambil satu minuman soda dan membuka penutupnya. Desisan suara khas soda yang terbuka terdengar dan Mayra menunggu sampai suara itu hilang untuk bisa dia minum."Kau terlihat sangat bahagia," imbuh Sayana lagi."Tentu saja. Mempunyai suami seorang Jaya Mahendra pasti membuat semua orang merasa bahagia. Tidak semua wanita mendapatkan keberuntungan itu. Dan aku sangat menikmatinya," pap
"Apa ini?" tanya Mayra. Matanya terpaku pada dinding yang langsung menghadap pintu keluar rumah lamanya."Ketika kau membuka pintu, maka foto kita akan kau lihat untuk pertama kali. Agar kau selalu ingat bahwa kau adalah istriku dan pelita hidupku." Suara Jaya bergema ke seluruh penjuru ruang tamu dengan ukuran yang tidak seberapa besar itu. Mayra mencari sumber suara dan terlihatlah micropon kecil yang mudah terlihat. Sepertinya benda itu terhubung dengan pintu yang terbuka. Tapi, kapan Jaya membuatnya? Bagaimana kalau benda itu berbunyi bukan kepadanya. Pelipis Mayra rasanya berdenyut memikirkan hal itu. Sebaiknya memang Mayra tidak memikirkan hal yang akan berpotensi membuat dia pusing tujuh keliling. Dia mendekati foto besar dirinya dan Jaya. Sangat jelas terlihat bahwa pandangan Jaya yang hanya tertuju kepadanya. Penuh dengan ekspresi mendamba. Bukan pandangan yang tertuju kepada kamera, tetapi pandangan yang benar-benar hanya tertuju kepada Mayra.Mayra tersentak mendengar pon
Jaya tersenyum dan memeluk Mayra dari belakang dengan mesra. Dia sama sekali tidak peduli dengan adanya Madam Sonia yang masih berada di hadapan mereka."Apa maksudnya, Sayang?" tanya Mayra kepada Jaya."Apa tadi yang aku dengar? Kamu mengatakan bahwa ada yang tidak boleh aku tahu. Ah! Kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku, Sayang." Jaya dengan lembut bertanya kepada Mayra. Madam Sonia yang mendengar pertanyaan Jaya hanya bisa tersenyum kaku. Mayra tersenyum lembut dan menangkap tangan Jaya lalu menariknya kehadapannya dengan penuh kelembutan."Sayang, kau pasti mendengarnya hanya sepotong saja. Tapi ... memang benar ada yang aku rahasiakan darimu," kata Mayra menatap Jaya dengan jenaka. Jaya kembali memandang Mayra dengan gemas. Kalau tidak ada Madam Sonia disana, pasti dia akan menggendong Mayra ke kamar mereka dan melucuti pakaiannya langsung. Apalagi ekspresi Mayra sungguh membuatnya menahan sesuatu yang bergelora di dalamnya."Sayang!" tegur Mayra keras, melihat Jaya yang te
"Bagaimana kandunganmu, May?" tanya Kanaya kepada Mayra ketika putra dan menantunya itu berkunjung ke rumah. "Cukup baik, Ibu. Kami, terutama calon cucu ibu tumbuh dengan baik di dalam sana," jawab Maira tersenyum. Setidaknya dia sudah bisa menerima fakta bahwa dia memang benar hamil anak Jaya, buah hati mereka berdua. Dia harus melupakan misinya itu dan harus menerima keadaan dengan sepenuh hati. Bukan! Bukan sepenuh sebenarnya karena Mayra sendiri masih belum menemukan waktu yang tepat untuk melakukannya. Maira teringat lagi dengan pertanyaannya yang dijawab Jaya dengan senyuman penuh misterius."Aku rasa kita sudah pernah membicarakan tentang hal ini. Apa kau lupa. Apa yang kau tunggu? Kau bisa melakukannya sekarang juga," kata Jaya sambil membuka bajunya. Pada saat itu yang tampak di mata Mayra adalah tubuh Jaya yang kokoh dan dada bidangnya sungguh membuat Mayra tergoda. Ternyata dia sebagai wanita juga tidak bisa membiarkan pesona menggoda di hadapannya itu. "Aku hanya berc
"Siapa yang coba kau lindungi?" Suara teriakan Jaya ditambah dengan cambuk yang terkena kulit, menimbulkan kengerian luar biasa bagi yang mendengarnya.Pria itu hanya menyeringai sinis mendengar pertanyaan Jaya. Namun, tidak ada sedikitpun gelagat dia akan menjawab pertanyaan Jaya. "Dengarkan aku! Kau akan mati perlahan kalau tetap membisu! Tidak! Kematian terlalu bagus untukmu! Aku akan menyiksamu perlahan sampai kau juga ingin kematian. Begitu lebih baik!" kata Jaya dingin. Dia memberi isyarat kepada penjaga kamar hukuman agar melanjutkan siksaan bagi pria itu. Pria yang telah menembak Mayra. Sedangkan orang yang mulai membuat kekacauan masih belum ditemukan. "Bagaimana kamera pengawas?" "Semua berjalan normal, Tuan. Tidak ada yang bertingkah mencurigakan bahkan semua orang sudah kami awasi satu persatu." Andrian yang maju menjawab."Berarti ada pengkhianat dari dalam. Siapa yang berani mengkhianatiku?" gumam Jaya."Tuan, kami menyampaikan informasi baru," kata pengawal lain yan
Mayra menatap Jaya dengan penuh tanda tanya di wajahnya. Apa yang dimaksud Jaya?"Tahu tentang apa, Sayang?" tanya Mayra. Dia mencoba menutupi perubahan wajahnya. Dia tahu pasti, Jaya tidak akan tinggal diam jika tahu tentang semua yang dia sembunyikan."Orang tuamu dan semua tetangga akan pulang besok. Aku belum memberitahukan tentang keadaanmu," jawab Jaya mengalihkan pembicaraan. Dia masih mengusap lembut tangan Mayra yang bebas."Ah, tolong jangan beritahu mereka. Kejadian di pesta tadi pasti sudah membuat mereka khawatir.""Tentu, sesuai permintaanmu. Dan kau harus lebih menjaga diri lagi. Ada nyawa lain di dalam tubuh ini," kata Jaya mengusap selimut Mayra yang menutupi perutnya. "Ka—u, apa maksudmu, Sayang?" Mayra menelan ludah mendengar pertanyaan itu. Sesuatu yang ingin ditutupinya ternyata harus terbongkar juga."Jangan ditutupi lagi. Kau tidak ingin menjalani kehamilan dengan nyaman? Dengan perhatian dari suamimu ini?" Jaya menatap wajah Mayra dengan penuh kelembutan."Da
Jaya tidak bisa mencegah ketika badan Mayra dengan gagah berani menghadang peluru yang hendak ditembakkan kepadanya. Bahkan pengawal yang seharusnya menjadi pasukan berani mati dan siap menjalani resiko apapun hanya bisa terpaku di tempatnya. Mereka sama-sama terdiam ketika melihat kejadian yang begitu cepat. Untungnya di detik terakhir, Ava sempat mendorong badan Mayra sehingga peluru yang hendak menembus jantung Mayra meleset dan hanya mengenai bahu bagian atas. Meskipun begitu, pasti rasanya sakit sekali. Darah yang mengucur ditambah dengan Mayra yang pingsan sudah cukup menjadi jawaban. Jaya menghampiri Mayra yang pingsan dan terkulai lemah di dalam pelukan Ava. Gaunnya yang berwarna putih tulang sudah berubah warna sekarang. Darah itu cukup pekat, membuat Jaya ketakutan."Minggir, Ava, biar aku yang menggendong istriku," kata Jaya menahan amarah. Dia akan pastikan orang yang melakukan ini akan menerima akibatnya. Beraninya dia melukai Mayra di depan matanya sendiri! Pengawal ya
Suara tembakan itu berdesing ke atas, tepat ke arah lampu gantung yang menghiasi pelaminan tempat Jaya dan Mayra sedang duduk. Jaya dengan cekatan mendorong Mayra ke samping tepat ketika lampu itu akan jatuh menimpa mereka. Suara teriakan sudah terdengar ditambah dengan kesibukan pihak WO dan pengawal keluarga Adiguna menenangkan para tamu."Sepertinya ada yang membuat kekacauan dan menganggu acara makan istriku," gumam Jaya kesal. Mayra menatap serpihan lampu gantung yang hampir saja mengenai mereka kalau Jaya tidak sigap menghindar. Sepertinya sekarang waktunya untuk beraksi. Mayra mencoba mengambil pisau yang ada di balik bajunya, tetapi tangan Jaya lebih cepat menahannya."Tidak baik bagi mempelai bermain dengan benda tajam!" kata Jaya tegas. Ada riak tanda terkejut di sinar mata Mayra. Bagaimana Jaya bisa tahu apa yang hendak Mayra lakukan? Dia menarik tangannya kembali dan fokus kepada Jaya. Bahkan dia mengabaikan apa yang terjadi di sekelilingnya. "Bawa keluarga istriku ke te
Mayra sontak terkejut mendapati kegelapan yang menerjangnya ditambah jeritan di sekitarnya."Tenang, tidak apa-apa, suasana masih terkendali," kata Jaya membelai punggung tangan Mayra lembut. Suara musik yang memanjakan telinga terdengar. Cukup untuk menenangkan jerit suara di sekitar mereka. Dari arah sudut ruangan, terlihat cahaya yang berangsur-angsur menerangi mereka."Mohon maaf untuk kejutannya. Kami mohon tamu undangan untuk tenang. Karena kedua mempelai akan mempersembahkan tarian ke hadapan hadirin semua," kata pembawa acara yang muncul dari belakang tamu yang berdiri. Kalimat yang membuat Mayra tercekat. Kejutan macam apalagi ini? Jantungnya sungguh tidak aman malam ini!"Sayang ...."Protes Mayra harus berhenti karena jari telunjuk Jaya membungkam bibirnya."Rileks, tunjukkan kepada semua orang bahwa kau dan aku bahagia," kata Jaya."Memang aku bahagia.""Aku percaya."Jaya mulai merengkuh pinggang Mayra dan membimbing Mayra melakukan dansa sederhana sesuai dengan iringan
Mayra mengenali tangan yang memegang tangannya. Dia memegang erat tangan Jaya. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Mayra. Mayra tahu, sebanyak apapun dia bertanya, jika Jaya tidak ingin menjawabnya, maka dia tidak akan memberi jawaban."Kau sungguh cantik. Kenapa kau begitu cantik, Sayang," ucap Jaya. Dia membelai pipi Mayra dengan lembut sekaligus menyentuh sekilas penutup mata Mayra."Daripada kau mengucapkan kalimat yang sudah seribu kali kau ucapkan, lebih baik kalau kau membuka penutup mataku dan menjelaskan apa yang terjadi," ucap Mayra menahan kekesalan yang sudah mendominasi di dalam hatinya. Bahkan dia tidak bisa menahan kekesalannya sekarang. Dia bersumpah pada dirinya sendiri, jika Jaya tidak kunjung memberikan jawaban, maka dia sendiri yang akan mengakhiri semuanya."Aku sangat suka kalau kau marah! Dan satu lagi, kau terlihat lebih cantik.""Kau tahu, aku masih memujimu sebanyak 895 kali. Jadi belum sampai seribu kali, Sayang," papar Jaya yang membuat Mayra s
"Sayang, kau masuklah, aku akan menunggumu disini," kata Jaya tersenyum manis. Senyum yang jarang tampak di depan publik tetapi selalu tampak jika bersama dengan Mayra.Mayra hendak bertanya tetapi dia segera mengurungkan niatnya. Sepertinya dia tidak akan mendapatkan jawaban seperti kebiasaan Jaya. Jadi, yang harus dilakukannya adalah menuruti permintaan Jaya. Mayra masuk ke dalam kamar hotel tersebut. Kamar yang memiliki ruang pribadi khusus sebelum menuju kamar tidur. Tidak ada pertanyaan yang terlontar, meskipun begitu banyak tanya yang bertebaran di dalam benaknya. Kalau Jaya ingin, pasti dia sudah menjelaskan apa maksudnya tanpa perlu Mayra bertanya-tanya seperti ini. Sepanjang perjalanan tadi, mereka juga menikmati dalam keadaan lebih banyak berdiam diri. Hanya ada sesekali pembicaraan yang terlontar. Hanya sekedar mengisi suasana sepi yang mendera.Seseorang mengetuk pintu lalu masuk dan menghampiri Mayra yang masih termenung dan berdiam diri. "Silahkan, Nona. Kami yang aka