"Aku mau pergi dua hari," kata Jaya ketika mengantar Mayra di pagi harinya."Kemana? Kenapa mendadak? Jangan antar aku ke rumah ibu," rengek Mayra. Membayangkan tidak ada Jaya yang akan membelanya, membuat Mayra sedikit gugup. "Tidak apa-apa, Ibu tidak akan melukaimu. Bukankah kau harus melanjutkan pelajaranmu dengan Madam Sonia?" jawab Jaya. Dia menoleh ke arah Mayra yang sedang mengerucutkan bibirnya karena kesal."Aku takut dengan ibu kalau kau tidak ada, Sayang!" Mayra memeluk Jaya yang langsung membalas dengan kecupan di kening Mayra."Ibu akan semakin tidak suka kalau kau menghindar. Ingat, kalau kau menghindar maka tidak akan menyelesaikan masalah. Hanya akan menambah masalah. Karena ibu pasti akan semakin tidak suka.""Kau lebih memihak ibumu sekarang daripada di awal pertemuan kita," kata Mayra lagi. "Hei, tidak seperti itu. Baiklah, aku akan bilang ke Andrian dan minta dia agar mewakiliku saja," balas Mahendra. Dia memeluk Mayra semakin erat. Mayra juga melakukan hal yang
"Sayang, kapan pulang?" tanya Mayra menatap langit-langit kamarnya."Belum satu hari aku pergi dan kau sudah kangen sama aku?" tanya Jaya tertawa di ujung sambungan."Aku bosan di sini sendirian.""Madam Sonia bukannya bersamamu?""Madam Sonia ada keperluan penting, jadi beliau ijin pulang lebih awal. Sudah bilang juga sama Ibu," jawab Mayra. Dia mempermainkan kukunya dengan gelisah. Entah kenapa hari ini perasaannya mendadak tidak menentu. Mungkin efek karena kesendiriannya di tempat asing. Membuat Mayra merasa kesepian."Pergilah keluar, kau bisa jalan-jalan di luar atau mengunjungi rumahmu dulu atau bisa juga bertemu Nona Lolita." Jaya memberikan usul yang tidak pernah terlintas dalam benak Mayra untuk mengatasi rasa kesepiannya."Sabar, Sayang. Aku juga merindukanmu. Sangat merindukanmu. Sayang, nanti aku hubungi lagi. Rapatnya mau dimulai," imbuh Jaya lagi, setelah itu sambungan telepon itu putus begitu saja. Mayra menatap ponselnya dengan helaan nafas panjang. Dia harus maklum
"Bagaimana kabarmu, Sayana?" tanya Mayra tersenyum. "Baik, May. Kau sendiri bagaimana?" jawab Sayana menyunggingkan senyum manis yang sama. Dia memperhatikan semua orang yang ada di ruang tamu Nona Lolita. Tidak ada yang memperhatikan mereka. Semua orang sibuk dengan dirinya masing-masing. Tidak terkecuali dengan Nona Lolita yang kini sibuk dengan ponselnya."Aku baik. Senang melihat kalian semua disini," balas Mayra santai lalu menempatkan dirinya di kursi sebelah Sayana yang memang kebetulan kosong."Selamat untuk pernikahanmu," ucap Sayana."Terima kasih. Aku harap kau juga menyusul segera." Mayra mengambil satu minuman soda dan membuka penutupnya. Desisan suara khas soda yang terbuka terdengar dan Mayra menunggu sampai suara itu hilang untuk bisa dia minum."Kau terlihat sangat bahagia," imbuh Sayana lagi."Tentu saja. Mempunyai suami seorang Jaya Mahendra pasti membuat semua orang merasa bahagia. Tidak semua wanita mendapatkan keberuntungan itu. Dan aku sangat menikmatinya," pap
"Apa ini?" tanya Mayra. Matanya terpaku pada dinding yang langsung menghadap pintu keluar rumah lamanya."Ketika kau membuka pintu, maka foto kita akan kau lihat untuk pertama kali. Agar kau selalu ingat bahwa kau adalah istriku dan pelita hidupku." Suara Jaya bergema ke seluruh penjuru ruang tamu dengan ukuran yang tidak seberapa besar itu. Mayra mencari sumber suara dan terlihatlah micropon kecil yang mudah terlihat. Sepertinya benda itu terhubung dengan pintu yang terbuka. Tapi, kapan Jaya membuatnya? Bagaimana kalau benda itu berbunyi bukan kepadanya. Pelipis Mayra rasanya berdenyut memikirkan hal itu. Sebaiknya memang Mayra tidak memikirkan hal yang akan berpotensi membuat dia pusing tujuh keliling. Dia mendekati foto besar dirinya dan Jaya. Sangat jelas terlihat bahwa pandangan Jaya yang hanya tertuju kepadanya. Penuh dengan ekspresi mendamba. Bukan pandangan yang tertuju kepada kamera, tetapi pandangan yang benar-benar hanya tertuju kepada Mayra.Mayra tersentak mendengar pon
"Kenapa kau bermain dengan benda berbahaya ini, Sayang?" Suara familier seseorang langsung menghantam kesadaran Mayra. Suara Jaya Mahendra, suaminya. Mayra langsung menarik pisau yang sudah terhunus ke arah Jaya dan menyalakan lampu kamar tidur."Kau membuatku takut, Sayang. Kenapa kau bisa ada disini?" tanya Mayra melihat Jaya dengan pandangan bertanya."Kau tidak senang melihatku? Aku hampir saja terluka!" Alih-alih menjawab pertanyaan Mayra, Jaya malah merajuk khas anak kecil. Membuat Mayra menepuk keningnya. Pisau tadi sudah dia singkirkan ke tempat yang aman. Mayra dalam hati juga berdoa agar Jaya tidak mengungkit soal pisau itu lagi."Tentu aku senang, Sayang. Hanya sedikit kaget saja. Kau bilang belum bisa pulang dulu.""Kejutan! Aku sungguh merindukanmu. Begitu selesai, aku langsung pulang. Ternyata kau hampir melukaiku!" "Hanya pertahanan diri. Zaman sekarang banyak perampokan di rumah yang terlihat kosong. Sudahlah, apa mau mandi? Biar aku siapkan air hangat.""Bisakah kit
Mayra terbangun ketika pagi masih buta. Belum ada setitikpun cahaya matahari yang terlihat. Hanya terdengar kokok ayam di kejauhan yang menandakan bahwa pagi segera hadir dan menyapa segenap penduduk bumi.Dia menyingkap selimutnya dengan hati-hati. Jangan sampai ada pergerakan yang berarti. Karena Mayra tidak ingin Jaya terbangun karenanya. Dia ingin melakukannya sendiri dan akan memikirkan hasilnya nanti. "Mau kemana, Sayang?" Suara Jaya yang serak terdengar. Membuat Mayra menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah suaminya itu."Mau ke kamar mandi. Tidurlah lagi, hari masih gelap," kata Mayra. Tangannya mengusap rambut Jaya dengan lembut. Membuat kelopak Jaya yang memang masih berat, akhirnya menutup lagi. "Kau tidak akan meninggalkanku?" Meskipun kelopak mata Jaya tertutup sempurna, tetapi dia masih bisa mengajukan pertanyaan kepada Mayra. Membuat Mayra menghela nafas dalam dengan gerakan setenang mungkin. Tentu saja agar Jaya tidak mendengar helaan nafasnya itu."Tentu tidak,
Malam itu mereka kembali ke kediaman orang tua Jaya. Mayra sedikit enggan harus kembali ke sana, karena keinginan Jayalah maka mereka saat ini pulang ke rumah orang tua Jaya."Ibu kapan pulang?" tanya Mayra."Ibu masih ingin jalan-jalan. Kenapa? Kau merindukan ibu?" "Aku sudah terbiasa melihat ibu, rasanya ada yang hilang. Kenapa kita tidak pulang ke rumahmu sendiri?" tanya Mayra lagi."Ini juga rumahku, Sayang. Kenapa? Sepertinya kau keberatan?" Jaya menoleh ke arah Mayra yang sedang menatapnya juga."Jangan lihat aku, lihatlah ke depan!" kata Mayra, dia mendorong lengan Jaya agar tetap fokus kepada mobil. "Aku tidak keberatan. Hanya saja bukankah di rumah ibu juga tidak ada orang? Jadi untuk apa kita ke sana?" Kembali ke kediaman Bastian Mahendra berarti harus menjalani berbagai disiplin ketat mengenai penampilan, cara makan, tata krama dan lain sebagainya. Hanya memikirkannya saja Mayra sudah cukup sesak. Apalagi jika harus menjalaninya?"Di rumah ibu kamarnya lebih luas. Kita bi
Gaun itu berwarna hitam panjang menjuntai ke lantai. Secara kasat mata gaun itu sangat indah dengan tambahan kilauan permata yang dijahit satu persatu dengan tangan perajin. Namun, jika ditelisik lebih dalam lagi, maka gaun itu tampak sangat terbuka dengan celah dimana-mana. Sangat mengekspos bagian tubuh Mayra jika Mayra menggunakannya. Mayra menghela nafas dalam. Dia melihat pantulan bayangannya di cermin. Belahan bawah leher yang terbuka. Jelas menampilkan celah yang indah di sana. Bagian punggungnya sendiri terbuka lebar sampai hampir ke pinggang. Di kedua lengannya, ada kain halus yang membentuk rumbai, sekilas menutupi tetapi akan segera melambai terbuka jika tertiup angin, cukup untuk menampilkan lengannya yang mulus, mungkin ada sedikit luka samar yang belum hilang, tetapi selebihnya lengan Mayra terlihat sangat cantik. Tidak cukup sampai disitu, kedua belahan gaunnya juga memanjang dari bawah hingga ke pertengahan paha. Paha Mayra yang mulus juga terlihat menggoda bagi siap