Malam itu mereka kembali ke kediaman orang tua Jaya. Mayra sedikit enggan harus kembali ke sana, karena keinginan Jayalah maka mereka saat ini pulang ke rumah orang tua Jaya."Ibu kapan pulang?" tanya Mayra."Ibu masih ingin jalan-jalan. Kenapa? Kau merindukan ibu?" "Aku sudah terbiasa melihat ibu, rasanya ada yang hilang. Kenapa kita tidak pulang ke rumahmu sendiri?" tanya Mayra lagi."Ini juga rumahku, Sayang. Kenapa? Sepertinya kau keberatan?" Jaya menoleh ke arah Mayra yang sedang menatapnya juga."Jangan lihat aku, lihatlah ke depan!" kata Mayra, dia mendorong lengan Jaya agar tetap fokus kepada mobil. "Aku tidak keberatan. Hanya saja bukankah di rumah ibu juga tidak ada orang? Jadi untuk apa kita ke sana?" Kembali ke kediaman Bastian Mahendra berarti harus menjalani berbagai disiplin ketat mengenai penampilan, cara makan, tata krama dan lain sebagainya. Hanya memikirkannya saja Mayra sudah cukup sesak. Apalagi jika harus menjalaninya?"Di rumah ibu kamarnya lebih luas. Kita bi
Gaun itu berwarna hitam panjang menjuntai ke lantai. Secara kasat mata gaun itu sangat indah dengan tambahan kilauan permata yang dijahit satu persatu dengan tangan perajin. Namun, jika ditelisik lebih dalam lagi, maka gaun itu tampak sangat terbuka dengan celah dimana-mana. Sangat mengekspos bagian tubuh Mayra jika Mayra menggunakannya. Mayra menghela nafas dalam. Dia melihat pantulan bayangannya di cermin. Belahan bawah leher yang terbuka. Jelas menampilkan celah yang indah di sana. Bagian punggungnya sendiri terbuka lebar sampai hampir ke pinggang. Di kedua lengannya, ada kain halus yang membentuk rumbai, sekilas menutupi tetapi akan segera melambai terbuka jika tertiup angin, cukup untuk menampilkan lengannya yang mulus, mungkin ada sedikit luka samar yang belum hilang, tetapi selebihnya lengan Mayra terlihat sangat cantik. Tidak cukup sampai disitu, kedua belahan gaunnya juga memanjang dari bawah hingga ke pertengahan paha. Paha Mayra yang mulus juga terlihat menggoda bagi siap
"Kenapa wajahmu seperti itu, May?" tanya Jaya melihat Mayra menatapnya dengan pandangan yang berbeda."Ah, maaf, hanya saja aku tidak mengerti arti ucapanmu," jawab Mayra segera. Dia menyunggingkan senyum paling manis yang bisa ditampilkannya kepada Jaya."Seharusnya kau bisa menjawabnya," kata Jaya kesal.Mayra semakin mengerutkan kening sekarang. Meskipun di dalam hatinya sendiri berdebar kencang. Dia harus menormalkan pandangannya. Setitik pandangan yang lain akan membuat Jaya curiga."Kau bisa menjawab. Aku adalah istri dari Jaya Mahendra yang paling cantik dan paling menawan!" papar Jaya yang membuat Mayra tersenyum canggung.Bisa-bisanya Jaya menggodanya seperti ini! Ataukah Jaya sebenarnya sudah tahu dan dia hanya ingin menutupinya saja? Pasti seperti itu. Mayra menggelengkan kepalanya perlahan. Lebih baik dia tidak membebani pikirannya dengan pikiran-pikiran yang negatif."May, kenapa kau tidak menjawabku?" seru Jaya. Bahkan nada suara Jaya setengah merajuk seperti anak kecil
"Sayang, ayo bangun," kata Jaya lembut. Dia menepuk bahu Mayra yang polos dan sesekali mencium pipinya pelan."Jam berapa, Sayang? Masih pagi," gumam Mayra, dia hanya membuka matanya sedikit lalu memejamkan matanya kembali ketika mendapati kamar mereka masih remang-remang. Suasana yang menandakan masih pagi buta, bahkan matahari pun belum memunculkan sinarnya."Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Perlu waktu untuk kesana," lanjut Jaya lagi. "Kemana? Tunggu, jangan bilang kau tidak masuk kerja hari ini!" seru Mayra tertahan. Matanya langsung terbuka lebar ketika memikirkan hal itu. Berarti Jaya akan bersama dengannya satu hari ini. Itu berarti Mayra tidak punya kesempatan untuk berfikir tentang kehamilannya."Aku libur sampai akhir minggu. Senin baru beraktifitas lagi."Mayra tersenyum, dia sama sekali tidak menunjukkan aura lain sama sekali. Meskipun di dalam hati, dia berfikir keras apa yang akan dilakukannya nanti. Dia membuka selimut dan berjalan ke kamar mandi. "Kenapa kau dia
"Sayang, kau masuklah, aku akan menunggumu disini," kata Jaya tersenyum manis. Senyum yang jarang tampak di depan publik tetapi selalu tampak jika bersama dengan Mayra.Mayra hendak bertanya tetapi dia segera mengurungkan niatnya. Sepertinya dia tidak akan mendapatkan jawaban seperti kebiasaan Jaya. Jadi, yang harus dilakukannya adalah menuruti permintaan Jaya. Mayra masuk ke dalam kamar hotel tersebut. Kamar yang memiliki ruang pribadi khusus sebelum menuju kamar tidur. Tidak ada pertanyaan yang terlontar, meskipun begitu banyak tanya yang bertebaran di dalam benaknya. Kalau Jaya ingin, pasti dia sudah menjelaskan apa maksudnya tanpa perlu Mayra bertanya-tanya seperti ini. Sepanjang perjalanan tadi, mereka juga menikmati dalam keadaan lebih banyak berdiam diri. Hanya ada sesekali pembicaraan yang terlontar. Hanya sekedar mengisi suasana sepi yang mendera.Seseorang mengetuk pintu lalu masuk dan menghampiri Mayra yang masih termenung dan berdiam diri. "Silahkan, Nona. Kami yang aka
Mayra mengenali tangan yang memegang tangannya. Dia memegang erat tangan Jaya. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Mayra. Mayra tahu, sebanyak apapun dia bertanya, jika Jaya tidak ingin menjawabnya, maka dia tidak akan memberi jawaban."Kau sungguh cantik. Kenapa kau begitu cantik, Sayang," ucap Jaya. Dia membelai pipi Mayra dengan lembut sekaligus menyentuh sekilas penutup mata Mayra."Daripada kau mengucapkan kalimat yang sudah seribu kali kau ucapkan, lebih baik kalau kau membuka penutup mataku dan menjelaskan apa yang terjadi," ucap Mayra menahan kekesalan yang sudah mendominasi di dalam hatinya. Bahkan dia tidak bisa menahan kekesalannya sekarang. Dia bersumpah pada dirinya sendiri, jika Jaya tidak kunjung memberikan jawaban, maka dia sendiri yang akan mengakhiri semuanya."Aku sangat suka kalau kau marah! Dan satu lagi, kau terlihat lebih cantik.""Kau tahu, aku masih memujimu sebanyak 895 kali. Jadi belum sampai seribu kali, Sayang," papar Jaya yang membuat Mayra s
Mayra sontak terkejut mendapati kegelapan yang menerjangnya ditambah jeritan di sekitarnya."Tenang, tidak apa-apa, suasana masih terkendali," kata Jaya membelai punggung tangan Mayra lembut. Suara musik yang memanjakan telinga terdengar. Cukup untuk menenangkan jerit suara di sekitar mereka. Dari arah sudut ruangan, terlihat cahaya yang berangsur-angsur menerangi mereka."Mohon maaf untuk kejutannya. Kami mohon tamu undangan untuk tenang. Karena kedua mempelai akan mempersembahkan tarian ke hadapan hadirin semua," kata pembawa acara yang muncul dari belakang tamu yang berdiri. Kalimat yang membuat Mayra tercekat. Kejutan macam apalagi ini? Jantungnya sungguh tidak aman malam ini!"Sayang ...."Protes Mayra harus berhenti karena jari telunjuk Jaya membungkam bibirnya."Rileks, tunjukkan kepada semua orang bahwa kau dan aku bahagia," kata Jaya."Memang aku bahagia.""Aku percaya."Jaya mulai merengkuh pinggang Mayra dan membimbing Mayra melakukan dansa sederhana sesuai dengan iringan
Suara tembakan itu berdesing ke atas, tepat ke arah lampu gantung yang menghiasi pelaminan tempat Jaya dan Mayra sedang duduk. Jaya dengan cekatan mendorong Mayra ke samping tepat ketika lampu itu akan jatuh menimpa mereka. Suara teriakan sudah terdengar ditambah dengan kesibukan pihak WO dan pengawal keluarga Adiguna menenangkan para tamu."Sepertinya ada yang membuat kekacauan dan menganggu acara makan istriku," gumam Jaya kesal. Mayra menatap serpihan lampu gantung yang hampir saja mengenai mereka kalau Jaya tidak sigap menghindar. Sepertinya sekarang waktunya untuk beraksi. Mayra mencoba mengambil pisau yang ada di balik bajunya, tetapi tangan Jaya lebih cepat menahannya."Tidak baik bagi mempelai bermain dengan benda tajam!" kata Jaya tegas. Ada riak tanda terkejut di sinar mata Mayra. Bagaimana Jaya bisa tahu apa yang hendak Mayra lakukan? Dia menarik tangannya kembali dan fokus kepada Jaya. Bahkan dia mengabaikan apa yang terjadi di sekelilingnya. "Bawa keluarga istriku ke te