"Bagaimana kabarmu, Sayana?" tanya Mayra tersenyum. "Baik, May. Kau sendiri bagaimana?" jawab Sayana menyunggingkan senyum manis yang sama. Dia memperhatikan semua orang yang ada di ruang tamu Nona Lolita. Tidak ada yang memperhatikan mereka. Semua orang sibuk dengan dirinya masing-masing. Tidak terkecuali dengan Nona Lolita yang kini sibuk dengan ponselnya."Aku baik. Senang melihat kalian semua disini," balas Mayra santai lalu menempatkan dirinya di kursi sebelah Sayana yang memang kebetulan kosong."Selamat untuk pernikahanmu," ucap Sayana."Terima kasih. Aku harap kau juga menyusul segera." Mayra mengambil satu minuman soda dan membuka penutupnya. Desisan suara khas soda yang terbuka terdengar dan Mayra menunggu sampai suara itu hilang untuk bisa dia minum."Kau terlihat sangat bahagia," imbuh Sayana lagi."Tentu saja. Mempunyai suami seorang Jaya Mahendra pasti membuat semua orang merasa bahagia. Tidak semua wanita mendapatkan keberuntungan itu. Dan aku sangat menikmatinya," pap
"Apa ini?" tanya Mayra. Matanya terpaku pada dinding yang langsung menghadap pintu keluar rumah lamanya."Ketika kau membuka pintu, maka foto kita akan kau lihat untuk pertama kali. Agar kau selalu ingat bahwa kau adalah istriku dan pelita hidupku." Suara Jaya bergema ke seluruh penjuru ruang tamu dengan ukuran yang tidak seberapa besar itu. Mayra mencari sumber suara dan terlihatlah micropon kecil yang mudah terlihat. Sepertinya benda itu terhubung dengan pintu yang terbuka. Tapi, kapan Jaya membuatnya? Bagaimana kalau benda itu berbunyi bukan kepadanya. Pelipis Mayra rasanya berdenyut memikirkan hal itu. Sebaiknya memang Mayra tidak memikirkan hal yang akan berpotensi membuat dia pusing tujuh keliling. Dia mendekati foto besar dirinya dan Jaya. Sangat jelas terlihat bahwa pandangan Jaya yang hanya tertuju kepadanya. Penuh dengan ekspresi mendamba. Bukan pandangan yang tertuju kepada kamera, tetapi pandangan yang benar-benar hanya tertuju kepada Mayra.Mayra tersentak mendengar pon
"Kenapa kau bermain dengan benda berbahaya ini, Sayang?" Suara familier seseorang langsung menghantam kesadaran Mayra. Suara Jaya Mahendra, suaminya. Mayra langsung menarik pisau yang sudah terhunus ke arah Jaya dan menyalakan lampu kamar tidur."Kau membuatku takut, Sayang. Kenapa kau bisa ada disini?" tanya Mayra melihat Jaya dengan pandangan bertanya."Kau tidak senang melihatku? Aku hampir saja terluka!" Alih-alih menjawab pertanyaan Mayra, Jaya malah merajuk khas anak kecil. Membuat Mayra menepuk keningnya. Pisau tadi sudah dia singkirkan ke tempat yang aman. Mayra dalam hati juga berdoa agar Jaya tidak mengungkit soal pisau itu lagi."Tentu aku senang, Sayang. Hanya sedikit kaget saja. Kau bilang belum bisa pulang dulu.""Kejutan! Aku sungguh merindukanmu. Begitu selesai, aku langsung pulang. Ternyata kau hampir melukaiku!" "Hanya pertahanan diri. Zaman sekarang banyak perampokan di rumah yang terlihat kosong. Sudahlah, apa mau mandi? Biar aku siapkan air hangat.""Bisakah kit
Mayra terbangun ketika pagi masih buta. Belum ada setitikpun cahaya matahari yang terlihat. Hanya terdengar kokok ayam di kejauhan yang menandakan bahwa pagi segera hadir dan menyapa segenap penduduk bumi.Dia menyingkap selimutnya dengan hati-hati. Jangan sampai ada pergerakan yang berarti. Karena Mayra tidak ingin Jaya terbangun karenanya. Dia ingin melakukannya sendiri dan akan memikirkan hasilnya nanti. "Mau kemana, Sayang?" Suara Jaya yang serak terdengar. Membuat Mayra menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah suaminya itu."Mau ke kamar mandi. Tidurlah lagi, hari masih gelap," kata Mayra. Tangannya mengusap rambut Jaya dengan lembut. Membuat kelopak Jaya yang memang masih berat, akhirnya menutup lagi. "Kau tidak akan meninggalkanku?" Meskipun kelopak mata Jaya tertutup sempurna, tetapi dia masih bisa mengajukan pertanyaan kepada Mayra. Membuat Mayra menghela nafas dalam dengan gerakan setenang mungkin. Tentu saja agar Jaya tidak mendengar helaan nafasnya itu."Tentu tidak,
Malam itu mereka kembali ke kediaman orang tua Jaya. Mayra sedikit enggan harus kembali ke sana, karena keinginan Jayalah maka mereka saat ini pulang ke rumah orang tua Jaya."Ibu kapan pulang?" tanya Mayra."Ibu masih ingin jalan-jalan. Kenapa? Kau merindukan ibu?" "Aku sudah terbiasa melihat ibu, rasanya ada yang hilang. Kenapa kita tidak pulang ke rumahmu sendiri?" tanya Mayra lagi."Ini juga rumahku, Sayang. Kenapa? Sepertinya kau keberatan?" Jaya menoleh ke arah Mayra yang sedang menatapnya juga."Jangan lihat aku, lihatlah ke depan!" kata Mayra, dia mendorong lengan Jaya agar tetap fokus kepada mobil. "Aku tidak keberatan. Hanya saja bukankah di rumah ibu juga tidak ada orang? Jadi untuk apa kita ke sana?" Kembali ke kediaman Bastian Mahendra berarti harus menjalani berbagai disiplin ketat mengenai penampilan, cara makan, tata krama dan lain sebagainya. Hanya memikirkannya saja Mayra sudah cukup sesak. Apalagi jika harus menjalaninya?"Di rumah ibu kamarnya lebih luas. Kita bi
Gaun itu berwarna hitam panjang menjuntai ke lantai. Secara kasat mata gaun itu sangat indah dengan tambahan kilauan permata yang dijahit satu persatu dengan tangan perajin. Namun, jika ditelisik lebih dalam lagi, maka gaun itu tampak sangat terbuka dengan celah dimana-mana. Sangat mengekspos bagian tubuh Mayra jika Mayra menggunakannya. Mayra menghela nafas dalam. Dia melihat pantulan bayangannya di cermin. Belahan bawah leher yang terbuka. Jelas menampilkan celah yang indah di sana. Bagian punggungnya sendiri terbuka lebar sampai hampir ke pinggang. Di kedua lengannya, ada kain halus yang membentuk rumbai, sekilas menutupi tetapi akan segera melambai terbuka jika tertiup angin, cukup untuk menampilkan lengannya yang mulus, mungkin ada sedikit luka samar yang belum hilang, tetapi selebihnya lengan Mayra terlihat sangat cantik. Tidak cukup sampai disitu, kedua belahan gaunnya juga memanjang dari bawah hingga ke pertengahan paha. Paha Mayra yang mulus juga terlihat menggoda bagi siap
"Kenapa wajahmu seperti itu, May?" tanya Jaya melihat Mayra menatapnya dengan pandangan yang berbeda."Ah, maaf, hanya saja aku tidak mengerti arti ucapanmu," jawab Mayra segera. Dia menyunggingkan senyum paling manis yang bisa ditampilkannya kepada Jaya."Seharusnya kau bisa menjawabnya," kata Jaya kesal.Mayra semakin mengerutkan kening sekarang. Meskipun di dalam hatinya sendiri berdebar kencang. Dia harus menormalkan pandangannya. Setitik pandangan yang lain akan membuat Jaya curiga."Kau bisa menjawab. Aku adalah istri dari Jaya Mahendra yang paling cantik dan paling menawan!" papar Jaya yang membuat Mayra tersenyum canggung.Bisa-bisanya Jaya menggodanya seperti ini! Ataukah Jaya sebenarnya sudah tahu dan dia hanya ingin menutupinya saja? Pasti seperti itu. Mayra menggelengkan kepalanya perlahan. Lebih baik dia tidak membebani pikirannya dengan pikiran-pikiran yang negatif."May, kenapa kau tidak menjawabku?" seru Jaya. Bahkan nada suara Jaya setengah merajuk seperti anak kecil
"Sayang, ayo bangun," kata Jaya lembut. Dia menepuk bahu Mayra yang polos dan sesekali mencium pipinya pelan."Jam berapa, Sayang? Masih pagi," gumam Mayra, dia hanya membuka matanya sedikit lalu memejamkan matanya kembali ketika mendapati kamar mereka masih remang-remang. Suasana yang menandakan masih pagi buta, bahkan matahari pun belum memunculkan sinarnya."Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Perlu waktu untuk kesana," lanjut Jaya lagi. "Kemana? Tunggu, jangan bilang kau tidak masuk kerja hari ini!" seru Mayra tertahan. Matanya langsung terbuka lebar ketika memikirkan hal itu. Berarti Jaya akan bersama dengannya satu hari ini. Itu berarti Mayra tidak punya kesempatan untuk berfikir tentang kehamilannya."Aku libur sampai akhir minggu. Senin baru beraktifitas lagi."Mayra tersenyum, dia sama sekali tidak menunjukkan aura lain sama sekali. Meskipun di dalam hati, dia berfikir keras apa yang akan dilakukannya nanti. Dia membuka selimut dan berjalan ke kamar mandi. "Kenapa kau dia