Jaya mengendarai mobilnya dengan perlahan. Meskipun dalam hatinya masih penasaran dengan apa yang dikatakan Mayra. Namun, dia lebih memilih untuk mempercayai itu semua. "Kenapa kau bisa tahu?" Jaya mengulangi pertanyaannya. Mayra mengerutkan kening menatap Jaya dengan seksama."Suamiku, apa kau lupa kalau kau sendiri yang mengatakan tentang itu kepadaku?" "Benarkah?" tanya Jaya memastikan. Kalau itu benar, berarti Jaya yang telah melupakan hal itu.Mayra mengangguk menegaskan."Kalau bukan darimu, lalu aku tahu dari siapa? Tidak mungkin Andrian yang akan mengatakan hal seperti itu!" kata Mayra dengan tegas."Lupakan saja, mari kita pergi!" Jaya tidak ingin membahas hal yang membuatnya bimbang. Lebih baik kalau mereka membahas mengenai kencan malam ini saja. Itu akan lebih mengasyikkan."Ingin makan malam apa?" "Apa saja. Apa yang kau makan, aku juga akan menyantap hidangan yang sama.""Kita makan malam di Restoran Langit saja," kata Jaya. Dia mengemudikan mobilnya ke arah Restoran
"Sudah sampai, May," ujar Jaya. Menatap Mayra lembut ketika gerbang otomatis terbuka."Berapa orang yang ada disini?" tanya Mayra, dia menatap rumah indah itu dengan penuh kekaguman. Jauh lebih indah dari rumah pinggiran kota dimana Mayra pernah bertemu Jaya untuk kedua kalinya. Namun, tetap lebih indah rumah orang tua Jaya. Rasanya semua kemegahan ada di rumah utama Bastian Mahendra dan Kanaya Arinda. "Tidak ada, agar kita bisa bebas berdua tanpa ada orang yang menganggu," bisik Jaya tepat di telinga Mayra yang membuat sekujur tubuh Mayra merinding."Benarkah, Tuan? Saya akan dengan senang hati melayani, Tuan," balas Mayra, dia mengedipkan sebelah matanya untuk menggoda Jaya."Kau sungguh nakal sekarang, Sayang!" seru Jaya merangkul bahu Mayra dan mereka bersama menaiki tangga menuju pintu utama."Apakah di belakang kita ada pengawal?" tanya Mayra. "Menurutmu?""Aku tidak tahu, makanya aku bertanya kepadamu, Sayang!" kata Mayra sedikit cemberut."Mereka ada, tetapi tidak masuk ke d
"Kita mau melakukannya dimana?" tanya Mayra langsung pada intinya. Lagi-lagi membuat Jaya terpana dengan apa yang ditanyakan Mayra. Sampai dia menghentikan pijatannya dan mengambil tisu basah untuk membersihkan tangannya."Tidak panas!" gumam Jaya kepada dirinya sendiri yang langsung ditepis Mayra dengan mengerucutkan bibirnya."Aku tidak sakit, tidak panas ataupun demam!" sergah Mayra sedikit kesal. "Aku tahu pasti hal itu, hanya saja hari ini kau begitu banyak bicara! Pasti ada yang merasukimu!" lanjut Jaya lagi."Apa salahnya kalau aku bersikap agresif? Kau tidak suka?""Tidak, May. Jangan salah paham. Hanya saja ...."Jaya menggantung kalimatnya sebelum memandang Mayra dengan penuh arti."Aku semakin ingin memakanmu!" kata Jaya dengan suara yang semakin serak menahan sesuatu di dalam tubuhnya."Tidak perlu minta ijin, saya adalah milik Anda." Mayra mengalungkan lengannya ke leher Jaya dan mulai mengecup leher suaminya dengan penuh rasa. Hanya Mayra yang tahu perasaan apa yang dis
"Aku mau pergi dua hari," kata Jaya ketika mengantar Mayra di pagi harinya."Kemana? Kenapa mendadak? Jangan antar aku ke rumah ibu," rengek Mayra. Membayangkan tidak ada Jaya yang akan membelanya, membuat Mayra sedikit gugup. "Tidak apa-apa, Ibu tidak akan melukaimu. Bukankah kau harus melanjutkan pelajaranmu dengan Madam Sonia?" jawab Jaya. Dia menoleh ke arah Mayra yang sedang mengerucutkan bibirnya karena kesal."Aku takut dengan ibu kalau kau tidak ada, Sayang!" Mayra memeluk Jaya yang langsung membalas dengan kecupan di kening Mayra."Ibu akan semakin tidak suka kalau kau menghindar. Ingat, kalau kau menghindar maka tidak akan menyelesaikan masalah. Hanya akan menambah masalah. Karena ibu pasti akan semakin tidak suka.""Kau lebih memihak ibumu sekarang daripada di awal pertemuan kita," kata Mayra lagi. "Hei, tidak seperti itu. Baiklah, aku akan bilang ke Andrian dan minta dia agar mewakiliku saja," balas Mahendra. Dia memeluk Mayra semakin erat. Mayra juga melakukan hal yang
"Sayang, kapan pulang?" tanya Mayra menatap langit-langit kamarnya."Belum satu hari aku pergi dan kau sudah kangen sama aku?" tanya Jaya tertawa di ujung sambungan."Aku bosan di sini sendirian.""Madam Sonia bukannya bersamamu?""Madam Sonia ada keperluan penting, jadi beliau ijin pulang lebih awal. Sudah bilang juga sama Ibu," jawab Mayra. Dia mempermainkan kukunya dengan gelisah. Entah kenapa hari ini perasaannya mendadak tidak menentu. Mungkin efek karena kesendiriannya di tempat asing. Membuat Mayra merasa kesepian."Pergilah keluar, kau bisa jalan-jalan di luar atau mengunjungi rumahmu dulu atau bisa juga bertemu Nona Lolita." Jaya memberikan usul yang tidak pernah terlintas dalam benak Mayra untuk mengatasi rasa kesepiannya."Sabar, Sayang. Aku juga merindukanmu. Sangat merindukanmu. Sayang, nanti aku hubungi lagi. Rapatnya mau dimulai," imbuh Jaya lagi, setelah itu sambungan telepon itu putus begitu saja. Mayra menatap ponselnya dengan helaan nafas panjang. Dia harus maklum
"Bagaimana kabarmu, Sayana?" tanya Mayra tersenyum. "Baik, May. Kau sendiri bagaimana?" jawab Sayana menyunggingkan senyum manis yang sama. Dia memperhatikan semua orang yang ada di ruang tamu Nona Lolita. Tidak ada yang memperhatikan mereka. Semua orang sibuk dengan dirinya masing-masing. Tidak terkecuali dengan Nona Lolita yang kini sibuk dengan ponselnya."Aku baik. Senang melihat kalian semua disini," balas Mayra santai lalu menempatkan dirinya di kursi sebelah Sayana yang memang kebetulan kosong."Selamat untuk pernikahanmu," ucap Sayana."Terima kasih. Aku harap kau juga menyusul segera." Mayra mengambil satu minuman soda dan membuka penutupnya. Desisan suara khas soda yang terbuka terdengar dan Mayra menunggu sampai suara itu hilang untuk bisa dia minum."Kau terlihat sangat bahagia," imbuh Sayana lagi."Tentu saja. Mempunyai suami seorang Jaya Mahendra pasti membuat semua orang merasa bahagia. Tidak semua wanita mendapatkan keberuntungan itu. Dan aku sangat menikmatinya," pap
"Apa ini?" tanya Mayra. Matanya terpaku pada dinding yang langsung menghadap pintu keluar rumah lamanya."Ketika kau membuka pintu, maka foto kita akan kau lihat untuk pertama kali. Agar kau selalu ingat bahwa kau adalah istriku dan pelita hidupku." Suara Jaya bergema ke seluruh penjuru ruang tamu dengan ukuran yang tidak seberapa besar itu. Mayra mencari sumber suara dan terlihatlah micropon kecil yang mudah terlihat. Sepertinya benda itu terhubung dengan pintu yang terbuka. Tapi, kapan Jaya membuatnya? Bagaimana kalau benda itu berbunyi bukan kepadanya. Pelipis Mayra rasanya berdenyut memikirkan hal itu. Sebaiknya memang Mayra tidak memikirkan hal yang akan berpotensi membuat dia pusing tujuh keliling. Dia mendekati foto besar dirinya dan Jaya. Sangat jelas terlihat bahwa pandangan Jaya yang hanya tertuju kepadanya. Penuh dengan ekspresi mendamba. Bukan pandangan yang tertuju kepada kamera, tetapi pandangan yang benar-benar hanya tertuju kepada Mayra.Mayra tersentak mendengar pon
"Kenapa kau bermain dengan benda berbahaya ini, Sayang?" Suara familier seseorang langsung menghantam kesadaran Mayra. Suara Jaya Mahendra, suaminya. Mayra langsung menarik pisau yang sudah terhunus ke arah Jaya dan menyalakan lampu kamar tidur."Kau membuatku takut, Sayang. Kenapa kau bisa ada disini?" tanya Mayra melihat Jaya dengan pandangan bertanya."Kau tidak senang melihatku? Aku hampir saja terluka!" Alih-alih menjawab pertanyaan Mayra, Jaya malah merajuk khas anak kecil. Membuat Mayra menepuk keningnya. Pisau tadi sudah dia singkirkan ke tempat yang aman. Mayra dalam hati juga berdoa agar Jaya tidak mengungkit soal pisau itu lagi."Tentu aku senang, Sayang. Hanya sedikit kaget saja. Kau bilang belum bisa pulang dulu.""Kejutan! Aku sungguh merindukanmu. Begitu selesai, aku langsung pulang. Ternyata kau hampir melukaiku!" "Hanya pertahanan diri. Zaman sekarang banyak perampokan di rumah yang terlihat kosong. Sudahlah, apa mau mandi? Biar aku siapkan air hangat.""Bisakah kit