Kanaya Arinda masuk ke dalam ruang santai bergandengan tangan dengan Bastian Mahendra. "Akhirnya kalian datang juga!" ucap Bastian Mahendra dengan ekspresi gembira yang tidak dapat disembunyikan. Kediamannya terlalu besar hanya untuk ditinggali dia dan istrinya sebagai keluarga inti. Belum ditambah dengan rumah dan jenis properti lain yang dikoleksi oleh Kanaya Arinda. Selain sebagai investasi, Kanaya Arinda juga menjadikannya ladang bisnis. Keluarga Mahendra memang memerlukan seorang pewaris. Keberadaan istri Jaya Mahendra merupakan angin segar untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh Bastian."Selamat Siang, Ibu, Ayah," ucap Mayra dengan santun. Meskipun sedikit gelisah dan rasa kalut yang terpancar di dalam hatinya, Mayra harus tetap menjaga adab dan sopan santun. Jaya sendiri langsung memeluk ibu dan ayahnya. Mayra masih belum berani melakukan sentuhan fisik kepada ibu mertuanya tersebut. Alasan terbesarnya tentu saja dia takut ditolak. Pasti akan sangat memalukan jika terjadi
Mayra mengikuti pelayan yang membawanya ke arah ruang baca, tempat dimana Kanaya sedang menunggunya. Atau dia yang harus menunggu?"Bagus, kurang tiga menit lagi, maka kau tidak tepat waktu!" Suara teguran yang terdengar tetap anggun menyapa pendengaran Mayra. "Maaf, Ibu. Kalau Ibu menungguku," balas Mayra mendekati ibu mertuanya dan mencium punggung tangan Kanaya. "Duduklah!" Dengan patuh, Mayra duduk di depan Kanaya. Dia tidak bisa menatap sekeliling ruang baca yang dia masuki. Hanya melihat yang ada di belakang Kanaya saja. Dari aroma ruangan, Mayra bisa menilai bahwa buku-buku di ruang ini selalu dipelihara dan dijaga dengan maksimal. "Ini untuk kau pelajari," kata Kanaya menyodorkan satu tumpukan buku tebal ke arah Mayra. Tidak hanya satu atau dua buku. Kira-kira ada enam buah buku di hadapan Mayra."Baik, Bu." Tetaplah patuh dan tanpa membantah. Demi kebaikan bersama. Kebaikannya dan juga Jaya. "Kau tidak bertanya apapun juga?""Saya akan mempelajarinya nanti, saya takut pe
"Lapor, Nona. Tuan Jaya sudah membawa istrinya pulang ke kediaman Mahendra."Informasi yang didapatnya dari seorang informan yang bisa dipercaya membuat Sayana murka. Semakin jauh saja rencananya dan Mayra sudah semakin masuk ke dalam keluarga besar Jaya.Teriakan Sayana kembali menggema ke seluruh penjuru kamarnya. Tidak ada yang mencegah ataupun menenangkannya. Hari ini dia tidak ingin ditenangkan oleh siapapun. Dia akan menenangkan dirinya sendiri dengan caranya sendiri. Cara yang akan membuat puas Sayana.Sayana membuka gaun yang membungkus tubuh rampingnya. Dia menatap tubuh itu dengan penuh kekaguman. "Tubuhku memang sangat indah! Tetapi kenapa Tuan Jaya tidak tergoda? Bahkan menoleh pun tidak! Apakah aku melepaskan saja rasa ini?" tanya Sayana sambil memeluk tubuh polosnya. Sedikit menggigil karena rasa dingin yang keluar dari pendingin udara di sudut ruangan. Sayana kembali menatap setiap inchi tubuhnya untuk melihat apakah ada sesuatu permanen di sana yang merusak kesempurn
"Bagus, memang seperti itu, Nona. Cara memegang cangkir teh pun harus dengan penuh perhitungan. Jarak bibir harus sejajar dengan cangkir. Cara meletakkannya juga harus penuh kehati-hatian." Madam Sonia mempraktekkan dulu ajarannya baru meminta Mayra untuk melakukannya secara langsung.Mayra bosan, pelajaran tata krama dan sebagainya ini sungguh membuatnya kesal. Namun, apa yang bisa diperbuatnya untuk protes? Tidak ada. Dia tahu, ibu mertuanya mengawasi mereka entah darimana. Kamera pengawas pasti mengintai melalui sudut tersembunyi."Hari ini kita akan pergi memilih perhiasan bersama Nyonya Kanaya. Nanti di sana, latihan akan kita mulai kembali. Nona bisa makan cake dulu!" kata Madam Sonia tersenyum."Untuk menikmati kue-kue seperti ini juga perlu pertimbangan dan juga tindakan seperti yang saya ajarkan, bisakah Nona mengulanginya lagi?"Pandangan mata Mayra mendadak berubah menjadi setajam pedang dan tertuju kepada Madam Sonia."Bersabarlah, Nona. Ingatlah, dinding pun mempunyai tel
"Bagaimana kegiatanmu hari ini, Sayang?" tanya Jaya memeluk Mayra dari belakang. Setelah menyibak rambut Mayra dan mencium tengkuk Mayra yang mulus dan harum, Jaya kembali melanjutkan pertanyaannya."Bagaimana harimu, Mayra Sayang?""Tidak ada yang berbeda. Selalu diisi dengan latihan, latihan dan penuh dengan latihan," balas Mayra."Apakah kau lelah?" tanya Jaya, menangkup wajah Mayra dan mencari gurat kelelahan di sinar mata istrinya itu."Tidak, Ibu memberiku beberapa perhiasan. Tidak boleh dijual apalagi hilang. Kalau itu terjadi, nyawaku yang akan menjadi taruhannya!" kata Mayra sambil menggerakkan tangannya ke leher, memberi isyarat yang membuat Jaya tergelak."Kenapa kau jadi seperti ini?" "Kenapa apanya?" Mayra kembali menatap wajah Jay dengan penuh pertanyaan."Tidak aku sangka, kau selucu ini!""Tidak lucu, Sayang. Apa yang aku katakan adalah kebenaran!" Mayra memalingkan wajahnya sedikit kesal. Suasana hatinya sedang tidak baik hari ini, jadi sebaiknya Jaya tidak menggodan
Jaya mengendarai mobilnya dengan perlahan. Meskipun dalam hatinya masih penasaran dengan apa yang dikatakan Mayra. Namun, dia lebih memilih untuk mempercayai itu semua. "Kenapa kau bisa tahu?" Jaya mengulangi pertanyaannya. Mayra mengerutkan kening menatap Jaya dengan seksama."Suamiku, apa kau lupa kalau kau sendiri yang mengatakan tentang itu kepadaku?" "Benarkah?" tanya Jaya memastikan. Kalau itu benar, berarti Jaya yang telah melupakan hal itu.Mayra mengangguk menegaskan."Kalau bukan darimu, lalu aku tahu dari siapa? Tidak mungkin Andrian yang akan mengatakan hal seperti itu!" kata Mayra dengan tegas."Lupakan saja, mari kita pergi!" Jaya tidak ingin membahas hal yang membuatnya bimbang. Lebih baik kalau mereka membahas mengenai kencan malam ini saja. Itu akan lebih mengasyikkan."Ingin makan malam apa?" "Apa saja. Apa yang kau makan, aku juga akan menyantap hidangan yang sama.""Kita makan malam di Restoran Langit saja," kata Jaya. Dia mengemudikan mobilnya ke arah Restoran
"Sudah sampai, May," ujar Jaya. Menatap Mayra lembut ketika gerbang otomatis terbuka."Berapa orang yang ada disini?" tanya Mayra, dia menatap rumah indah itu dengan penuh kekaguman. Jauh lebih indah dari rumah pinggiran kota dimana Mayra pernah bertemu Jaya untuk kedua kalinya. Namun, tetap lebih indah rumah orang tua Jaya. Rasanya semua kemegahan ada di rumah utama Bastian Mahendra dan Kanaya Arinda. "Tidak ada, agar kita bisa bebas berdua tanpa ada orang yang menganggu," bisik Jaya tepat di telinga Mayra yang membuat sekujur tubuh Mayra merinding."Benarkah, Tuan? Saya akan dengan senang hati melayani, Tuan," balas Mayra, dia mengedipkan sebelah matanya untuk menggoda Jaya."Kau sungguh nakal sekarang, Sayang!" seru Jaya merangkul bahu Mayra dan mereka bersama menaiki tangga menuju pintu utama."Apakah di belakang kita ada pengawal?" tanya Mayra. "Menurutmu?""Aku tidak tahu, makanya aku bertanya kepadamu, Sayang!" kata Mayra sedikit cemberut."Mereka ada, tetapi tidak masuk ke d
"Kita mau melakukannya dimana?" tanya Mayra langsung pada intinya. Lagi-lagi membuat Jaya terpana dengan apa yang ditanyakan Mayra. Sampai dia menghentikan pijatannya dan mengambil tisu basah untuk membersihkan tangannya."Tidak panas!" gumam Jaya kepada dirinya sendiri yang langsung ditepis Mayra dengan mengerucutkan bibirnya."Aku tidak sakit, tidak panas ataupun demam!" sergah Mayra sedikit kesal. "Aku tahu pasti hal itu, hanya saja hari ini kau begitu banyak bicara! Pasti ada yang merasukimu!" lanjut Jaya lagi."Apa salahnya kalau aku bersikap agresif? Kau tidak suka?""Tidak, May. Jangan salah paham. Hanya saja ...."Jaya menggantung kalimatnya sebelum memandang Mayra dengan penuh arti."Aku semakin ingin memakanmu!" kata Jaya dengan suara yang semakin serak menahan sesuatu di dalam tubuhnya."Tidak perlu minta ijin, saya adalah milik Anda." Mayra mengalungkan lengannya ke leher Jaya dan mulai mengecup leher suaminya dengan penuh rasa. Hanya Mayra yang tahu perasaan apa yang dis