Tanpa disadarai Kala lewat. Dia menuju pantry, bermaksud membuat teh hijau. Hari ini mood-nya sedang baik. Sampai langkahnya terasa ringan untuk membuat tehnya sendiri. Atau, karena Kala gak mau teh keasinan versi sekretarisnya.Vanilla menyeritkan mata. Setelah yakin itu sosok bosnya. Segera Vanilla menghampiri Kala di pantry, dan menggebrak pintu pembatas. "Bapak!" Suara lantang Vanilla membuat Kala kaget. Tidak bisakah dia menikmati tehnya dengan tenang. Kala menyilangkan kedua tangan."Ada apa?!" tanyanya ketus. Tanpa diminta Vanilla duduk di sebelahnya. Dia melihat teh hijau yang Kala buat. Huh! Kok mirip sama cewek lagi diet sih minumannya. Agar terlihat pembangkang, Vanilla ikut menyeruput teh Kala."Puufftt!" Sungguh sial ternyata tehnya masih panas. Jadilah Vanilla semakin kesal pada Kala. Matanya melotot refleks."Hei! Itu teh saya. Dan masih panas!" infonya. Karena panas, Kala tidak meminumnya langsung dan berniat meniup sebentar. Lho, ini kok main tenggak saja. Jadi kena
Kala jadi menyeritkan kening dengan fakta yang dia dengar. Tunggu, apa lagi ini. Kenapa Vanilla gak cek dulu, sih?"Iyah Pak. Saya lihat di media sosial. Tempat itu awalnya jadi pernyataan cinta sepasang kekasih karena atmosfernya yang mendukung. Gak begitu ramai juga ada live pianonya," lanjutnya lagi jadi mengobrol. Kala cuma bisa mengangguk dan tertawa. Tapi bu Anya kembali bertanya pada Kala."Atau.., Bapak sengaja. Karena mau berduaan sama Vanilla?" Dia pernah melihat Kala dan Vanilla. Mereka cukup serasi. Kala makin tertawa saja. Benaknya jadi berfikir hal yang sama. 'Jangan-jangan Vanilla sengaja lagi?!' sembari kakinya berjalan ke restoran. Setelah menyetujui keterlambatan bu Anya. Kala menutup telepon. Dia tercenang saat pertama masuk. Benar yang dikatakan rekannya itu. Tempat ini terlihat romantis. Dengan mengusung tema makan malam berdua sehingga hanya terdapat dua bangku juga meja kecilnya. Segala ornamen yang terpasang pun menambah hasrat mengatakan cinta pada orang ter
Dia tertunduk sambil mengigit bibir bawah. tetapi satu hal yang pasti, Vanilla ingin Kala melihatnya sebagai seorang wanita. Wanita yang layak berdampingan dengannya. Bukan sekedar salah satu karyawan pabrik.Dan andai dansa ini bermula bukan karena Kala berusaha menjaga nama baik sekretarisnya. Pasti Vanilla lebih bahagia.Vanilla memejamkan mata, lantas dia meletakkan pelipisnya di bahu Kala. Tangannya tak lagi berlabuh di tengkuk tapi sudah menjalar ke rambut belakang Kala. Sesekali meremas seakan takut kehilangan. Aneh, masa-masa ini belum berlalu. Tapi Vanilla merasa sangat ingin mengulangnya. Mungkin dia berharap waktu bisa terhenti saat ini. Merasa kedamaian berada di pelukkan Kala. Dia menyukai aroma alami tubuh Kala dipadukan harum parfum mahal. Semua itu sudah seperti barang mewah untuknya. Sementara Kala, dia ikut memejamkan mata. Kala terus merinci alasannya berdansa dengan Vanilla. Yup, demi nama baik dia dan Vanilla, tidak lebih!Tapi mengapa dia hanyut disetiap gerak
"Hah! Hah! Hah!" Vanilla terjaga. Mimpi apa tadi? Padahal waktu sampai di rumah dia berniat langsung tidur demi memimpikan bosnya. Vanilla masih ingin mengulang kejadian di restoran meski hanya dalam mimpi. Tapi ketika matanya terpejam. Dia malah memimpikan sosok lain. "Dika. Siapa Dika?" Vanilla merasa tidak punya kawan bernama Dika. Dan mengapa pemuda itu mengacaukan ingatan dia. Serta gadis itu..., siapa dia?! Sungguh dua orang dalam mimpinya sama sekali tidak ada hubungan dengan dirinya. Di mimpinya juga gelap. Vanilla hampir tidak bisa mengenali wajah keduanya. "Yyaah, namanya juga mimpi!"Vanilla mendesah kecewa sambil menghapus peluh di dahi. Kini jam sudah menunjukkan pagi hari. Saatnya dia bersiap berangkat ke kantor.Tapi hari ini, dia pergi dengan semangat 45. Karena Vanilla mau bertemu bosnya lagi. Melihat, mengoda. Yah..., sukur-sukur menaklukkan hati Kala.Dia mencoba berdandan secantik mungkin blouse satin tanpa lengan warna tosca jadi pilihan. Rambutnya dia biarkan
Kala memutarnya. Vanilla sempat curi pandang lewat ekor matanya."Yah, karena itu pertama kalinya saya dansa, Pak. Boleh dong kalau saya mau simpan," beber Vanilla agar Kala paham. Kala mengulum bibir dan mengangguk maksum. "Kalau saya. Itu yang kedua kalinya... ." Dia memberitahu Vanilla. Vanilla jadi penasaran. Kalau begitu yang pertama dengan siapa dong."Saya fikir Bapak sering dansa. Kan, bapak orang kaya!" Kala tertawa. Kenapa ucapan Vanilla dan Nada sama persis. "Waktu kecil. Saya gak belajar dansa. Tapi saya belajar ilmu bela diri." Kala membeberkan aktivitasnya. Bahkan Alinea saja tidak belajar dansa. Gantian Vanilla mengangguk. "Terus Bapak pernah dansa sama siapa lagi dong selain sama saya?!" Matanya menunjukkan dia mau tahu sekali. Dengan tersenyum tipis Kala mulai cerita sedikit tentang Nada."Waktu itu saya dansa sama teman kecil saya. Dia mengajak saya dansa pas hujan!" Mata Kala menerawang. Dia selalu seperti itu ketika mengingat Nada. Vanilla berusaha terkekeh
Akhirnya Kala memilih keluar ruangan. Dia melirik meja Vanilla dan gadis itu masih ada di sana."Tunggu, tapi tadi aku belum selesai bicara," ujar Kala. Vanilla melongo. Dia menunduk santun menyadari ketidak sopannya itu."Maaf, Pak!" Vanilla jadi berdiri di depan Kala."Tidak perlu. Jadi nanti malam kamu bisa ikut denganku, kan?" "Apa?!" Tanpa sadar, Vanilla memekik kencang.Kala mendekati Vanilla dia berbisik tepat di telinga. "Kamu tau kan ini misi rahasia. Dan kita membahasnya di kantor." Kala melirik sekitar. Diikuti Vanilla, dia jadi mengangguk maksum. Kali ini Vanilla sangat ingin menyelamatkan Adikara dari ambang kebangkutan.Terlalu banyak orang yang bergantung pada pabrik ini. Dan rasanya tidak elok jika pabrik sebesar ini harus tutup karena tangan-tangan nakal."Kalau gitu, persiapkan diri kamu. Sekalian saja bawa pekerjaanmu!" Kala kembali masuk ke ruangannya, sedang Vanilla mengangga tidak percaya. Itu artinya, dia diminta tetap bekerja, bukan. Meski jam pulang sekalip
Disaat sang atasan sudah bicara seperti itu, maka tidak Bima ataupun Vanilla bisa membantahnya. Justru mereka kagum dengan aura ketenangan tetapi mematikan yang dipancarkan Kala. Disaat kecurangan dapat membangunkan ledakkan amarah, seperti api yang tertimpa hembusan angin. Dia malah menjelaskannya dengan mimik santai."Lalu Bima, apa kamu berhasil menemukan alasan mengapa Justin masih bertahan disaat pabrik mengalami perombakkan total lima tahun yang lalu?" Dengan menyesal, Bima mengatakan jika Justin dipercaya oleh sebagian pemegang saham. Bahkan tanpa diduga, ayahnya, Kale Mata Tjandra menyukai Justin. Kala berdehem. Dia sangat mengenal ayahnya itu. Beliau bukan orang yang gampang ditaklukkan. Apalagi cuma dengan janji manis. Pastinya, Justin sudah melakukan banyak hal sampai pria itu percaya. "Ya sudah. Terima kasih atas kerja kerasmu hari ini!" "Baik, Pak. Kalau begitu saya mau ijin pulang." Bima membereskan berkas-berkas miliknya. Melihat itu, Vanilla juga ingin bersiap. Di
"Ehm!" Kala berdehem sebagai tanda agar Vanilla tidak begitu kepo dengan urusan pribadinya. Kala bukanlah orang yang senang kehidupannya diusik orang lain. Hanya segelintir orang yang bisa masuk ke dunianya. "Makanlah..." Kala menyodorkan piring berisi sphagetti yang sudah dibaluri saus dan keju. Vanilla melonggo."Lho, kok cuma satu, Pak. Buat bapak mana?" Kala duduk di depan Vanilla. "Saya tidak terbiasa makan malam," infonya. Namun, Vanilla menggeleng. Dia justru kebalikan dari Kala. Vanilla tidak terbiasa makan sendiri. Jadi sembari menangkupkan tangannya. Dia memohon agar Kala menemaninya makan. "Hah! Tapi yang di panci sudah habis. Semuanya saya taroh di piring ini." "Ya udah, Bapak makan bareng sama saya aja. Gih, Pak ambil garpunya," ucap Vanilla. Kala mencibik pelan. Kenapa jadi dia yang diatur wanita itu. Tapi dia tidak ingin mengacaukan makan malam Vanilla akhirnya Kala menurut saja."Kamu tau, sphagetti adalah makanan kesukaan mama saya." Bahkan Kala belajar membuat s
"Kalau begitu. Kapan kamu bisa mulai bekerja?" Alinea terlihat antusias. Baginya, tidak perlu meragukan kehebatan Malik sebab dari dulu anak itu sudah rajin."Saya bisa mulai kapan pun," jawab Malik, diplomatis.Alinea semakin puas dengan jawaban Malik. Dia memerintah, Riski-- selaku petugas tata usaha untuk memproses administrasi penerimaan guru baru. "... Kalau begitu, mari saya antar kamu melihat sekeliling!"Karena Alinea punya waktu, dia sendiri yang akan mengantarkan Malik melihat-lihat area sekolah, dan yang pertama mereka sambangi yaitu lapangan basket indoor. Tempat yang akan sering Malik kunjungi.Berhubung anak murid sedang berada di kelas, jadi lapangan basket itu sepi.Hanya ada hembusan angin dari ventilasi udara juga hentakkan kaki mereka berdua."Ini lapangan basketnya ... ."Tangan Alinea terjulur ke depan, mempersilahkan Malik melihatnya sendiri."Oh. Mungkin kamu sudah sering lihat. Tapi, ya ... 4 tahun ini ada beberapa yang berubah karena sekolah sudah merenovasi
"Memangnya mana yang membuatmu kerepotan?" Kala berusaha biasa saja, padahal dia mengerti Vanilla sedang marah. Tapi Kala mau mengajarkan Vanilla bentuk tanggung jawab. Bisa dibilang, Kala berselera pada wanita tangguh serta pantang menyerah."Semuanya," jawab Vanilla enteng. Kala menggeleng, "Ya sudah. Sini saya bantu." Kala mendorong Vanilla agar menjauh, lalu dia ke arah ruang Vanilla. Vanilla terangga, nampaknya mimpi jadi sepasang kekasih yang harmonis mesti berakhir."Kenapa sih aku mesti sayang sama cowok nyebelin kayak gitu!" Vanilla sudah duduk di bangkunya. Sementara Kala ada di belakang, sedang menyilangkan tangan di dada."Kamu sudah mengerjakan setengahnya kan?" "Hah!" Vanilla menoleh sedikit. Habis sudah. Dia belum sampai detail tugas hanya mengerjakan tugas minggu kemarin.Lagian, siapa suruh Kala mengacaukan perasaan sampai Vanilla malas bekerja.'Ya ampun ... ada tali aja gak sih, tali. Rasanya mau gantung diri aja di pohon toge.' Satu sisi, Vanilla gak mau terl
"Itu kakak saya yang buat. Hari ini dia ke rumah saya, dan memasakkan saya nasi goreng." Kala menjelaskan dengan tenang. Matanya terus melihat ke arah Vanilla seolah menunggu tanggapan kekasihnya itu.Vanilla berubah tegang. Dia sudah marah tanpa mau mendengar penjelasan lebih dulu. Mana salah sangka lagi. Segera dia menelan ludah kasar. Gleekk!"Maaf," cicit Vanilla menggigit lidah. Daripada dia yang menggigit lebih baik Kala. Kala menaiki dagu Vanilla dengan jempolnya. Lalu mencium bibir Vanilla kilat. Itu membuat Vanilla melepaskan gigitan. Senyum tidak bersalah tersunggil, kemudian pria itu meminta Vanilla untuk tersenyum. "Ayok mana senyumnya!" Kala menarik sudut bibir Vanilla pakai jari. Kontan Vanilla menggeleng. "Kamu tuh seneng,ya kalo aku jadi badut kamu!" Kala tidak bereaksi. Tapi dia heran darimana prasangka itu. Yang membingungkan ucapan Vanilla selanjutnya. "Tapi aku bersedia kok dianggap badut buat kamu." Vanilla tersenyum ceria.Jika dengan semua tingkahnya dia bi
Alinea mampir ke rumah Kala. Baru tumben melihat dia masih tidur di jam segini. Sembari menggulung tangan di dada. Alinea jadi tersenyum tipis. Saat Kala terlihat tidak sempurna, dia baru seperti manusia. Sedang, selama ini adik kesayangannya itu persis robot humanoid yang berjalan sesuai dengan isi perintah. Satu sisi, Alinea juga iba. Mengapa Kala diwajibkan meneruskan pabrik keluarga meski Kala tidak ingin. Ada rasa bersalah bergelayut di dada Alinea. Andai dia bisa menanggung itu semua. Biar dia saja yang dipekerjakan bagai sapi perah.Walaupun orang lain menilai Kala sebagai pria dewasa yang pekerja keras juga tidak bisa mentolerir kesalahan. Tapi, di mata Alinea dia tetap adik bungsunya yang menggemaskan. Terkadang Alinea bisa mendengar jeritan hati Kala, sayangnya dia sendiri terikat dalam silsilah keluarga milliader yang untuk mempertahankan itu mereka mesti pontang-panting.Yah, mau jadi miskin atau kaya. Tetap dibutuhkan usaha untuk bertahan hidup. Hanya caranya saja yang b
Kala tersenyum lebar. Tangannya merangkul pinggul Vanilla supaya lebih dekat dengannya."Kalau gitu, kamu gak akan keberatan kan, kalau aku meluk kamu kayak gini?" Vanilla menggeleng dengan senyum simpul, membalas pelukkan Kala dengan meletakkan tangan di dada si bos. Tentu dia tidak akan protes Kala memperlakuannya lebih intim dari seharusnya. Inilah yang Vanilla harapkan dari Kala."Itu artinya, Bapak juga cinta sama saya?" tanyanya semangat. Kala berdehem, sebenarnya Kala belum mengerti siapa yang ada di hatinya. Nada--cinta pertamanya, atau Vanilla. Tapi keduanya tidak bisa dia lepaskan begitu saja. 'Maafkan aku, Van.' Kala bermonolog. Dia yakin kebingungan ini akan segera berakhir jika dia bertemu keduanya secara langsung. Tapi masalahnya, bagaimana caranya bertemu dengan Nada. Kala sudah beberapa kali menunggunya di tempat yang sama dan saat ini dia lelah untuk menunggu lagi. Mungkin, hadirnya Vanilla bisa menjadi pengganti Nada dalam hatinya. Kala mendekatkan wajahnya di
Keadaan berubah canggung. Vanilla yang di atasnya terlihat begitu cantik di mata Kala, meski kenyataan, pipinya belepotan saus pizza. Vanilla menyadari ada bekas makanan di bibir bawahnya. Dia jadi menjulurkan lidah sedikit lantas berniat menjilat sisa makanan itu. Saat dia lakukan, Kala meruntuki pemandangan di depannya. Dia fikir, berani sekali gadis itu menggodanya. Cepat Kala menahan tengkuk Vanilla dan menaiki kepala, dia melumat bibir Vanilla tergesa. Kala tidak ingin membuang kesempatan yang Vanilla berikan atau sebenarnya dia sudah gagal menahan hasratnya."Em... Em...!" Vanilla melenguh. Tidak mengerti mengapa sang bos begini. Tetapi dia lumayan menyukai lumatan itu karena dia mencintai Kala. Dia sadari perasaannya pada bosnya itu semakin lama semakin dalam dan rasanya sulit untuk disangkal. Dan, dia tidak bisa mengabaikan kebahagiaan yang meletup-letup dalam dada. Vanilla jadi banyak bergerak, dari mencengkram baju Kala sampai menggigit bibir bawah Kala. Kala menarik bibi
Tidak ada satu pun suara yang keluar dari bibir Kala juga Vanilla. Setelah aksi Vanilla menomproknya tanpa aba-aba lalu mereka berakhir di lantai dengan posisi Kala yang seolah masih duduk dan Vanilla menindihnya saja seharusnya sudah bisa mengundang suara teriakkan Kala. Bagaimana tidak, punggungnya sakit terhantam batang senderan kursi jangan lupakan kepalanya yang kejedot tanpa penghalang apapun. Semoga saja dia tidak geger otak.Alih-alih marah, Kala malah menatap intens bola mata Vanilla. Terlihat begitu jernih. Bibirnya yang mungil amat menggairahkan. Dia sendiri tidak tau apa yang Vanilla fikirkan tentangnya. Tapi yang pasti, Kala tidak ingin menyesali kejadian ini. Jantungnya berdetak lebih cepat dengan perasaan yang menghangat."Pak! Bapak gak kenapa-napa? Bapak sakit,ya?" "Ahk, kamu bisa gak turun dulu dari atas saya?" Vanilla langsung menyadari posisinya segera bersinggut ke samping dia juga menarik Kala. "Huft! Kamu kuat juga,ya!" Entah itu kalimat pujian atau sindiran.
Tidak tau harus marah bagaimana lagi. Vanilla jadi bertanya. "Emangnya Bapak pesen apa buat makan malam kita?" "Bebek goreng sambel ijo," gumam Kala mencoba memastikan apa Vanilla suka dengan pilihannya. Sayangnya Vanilla menggeleng beberapa kali."Kenapa? Kamu gak suka bebek goreng?!" "Bukan gitu, Pak. Kan yang makan saya. Karena Bapak kan tidak terbiasa makan malam. Terus kenapa Bapak gak tanya saya dulu?" Betulan dikasih hati minta limpah, nih anak. "Terus kamu mau makan apa?" Kala menanggapinya santai saja. Mungkin dia sudah mulai terbiasa mendengar aksi protes Vanilla. "Pizza. Kalo gak pizza, saya gak mau kerja!" Dia melipat tangan di dada. Tapi sebenarnya Vanilla ragu apa Kala mau menuruti keinginan dirinya. Tapi gak tau ahk, namanya juga coba-coba.Kala menarik nafas lalu mengeluarkan perlahan. "Ya, kamu boleh pesan." Kali ini Kala akan memberikan keluluasan untuk Vanilla memilih makanannya. "Sambil pesan. Kamu bisa cariin saya file gak?" Kala, si mister anti sia-sia langs
Mobil Justin semakin liar mengejar Melinda dan tidak ada pilihan lain untuk Melinda selain mempercepat laju motornya. Sampai juga dia melihat secercah kesempatan, yaitu sebentar lagi Melinda keluar dari parkir dalam gedung itu. Berbarengan dengan hampir sampainya Melinda, Justin memperlambat laju mobilnya."Hah! Hah! Ya ampun, Pak, hampir aja!" keluh pak Satpam sembari mengelus dada. Beliau berusaha mengejar sampai bawah. Justin mencoba keluar dari mobil lengkap dengan alat bantunya. "Maaf, Maaf banget." Justin mendekati Melinda yang kebetulan memberhentikan motor sangking lemasnya. "Kamu gakpapa?!" Tatapannya terlihat sangat cemas. Pak Satpam memandangi percakapan Melinda dan Justin. "Kaki saya sakit. Ini saja saya memaksakan diri membawa mobil sendiri. Tanpa sadar saya malah bisa mencelakai orang lain!" Pak Satpam itu mengangguk-angguk. Mungkin dia gampang untuk ditipu Justin. Tapi Melinda tidak. Satu yang dia sadari... Justin bisa sangat gila, bahkan mampu menghabisi nyawanya.