"Ehm!" Kala berdehem sebagai tanda agar Vanilla tidak begitu kepo dengan urusan pribadinya. Kala bukanlah orang yang senang kehidupannya diusik orang lain. Hanya segelintir orang yang bisa masuk ke dunianya. "Makanlah..." Kala menyodorkan piring berisi sphagetti yang sudah dibaluri saus dan keju. Vanilla melonggo."Lho, kok cuma satu, Pak. Buat bapak mana?" Kala duduk di depan Vanilla. "Saya tidak terbiasa makan malam," infonya. Namun, Vanilla menggeleng. Dia justru kebalikan dari Kala. Vanilla tidak terbiasa makan sendiri. Jadi sembari menangkupkan tangannya. Dia memohon agar Kala menemaninya makan. "Hah! Tapi yang di panci sudah habis. Semuanya saya taroh di piring ini." "Ya udah, Bapak makan bareng sama saya aja. Gih, Pak ambil garpunya," ucap Vanilla. Kala mencibik pelan. Kenapa jadi dia yang diatur wanita itu. Tapi dia tidak ingin mengacaukan makan malam Vanilla akhirnya Kala menurut saja."Kamu tau, sphagetti adalah makanan kesukaan mama saya." Bahkan Kala belajar membuat s
Bima menatap Melinda yang belum bersedia bicara tepatnya dia belum mampu mengontrol dirinya dari rasa takut."Minumlah!" Bima menyerahkan botol minum yang memang disediakan di sana. Melinda langsung meraupnya dan meminum hingga isinya berkurang setengah. "Aku tidak akan memintamu untuk cerita saat ini. Kamu boleh istrira..." "Aku tidak sengaja. Aku tidak sengaja mendorongnya!" Suara Melinda terdengar berat dan tercekat. Tangannya yang memegang botol gemetar. Bima berinisiatif menghubungi Kala karena dia merasa sang direktur utama itu harus tahu.Sementara di ruang rapat."Pak, pak Bima telepon!" bisik Vanilla. Saat rapat, Vanilla lah yang akan memegang gadget milik Kala. Kala mengisyaratkan supaya Vanilla mengangkatnya. Gadis itu segera beringsut dari duduk lalu menuju ke pojokkan demi mengangkat telepon.Kala sendiri tidak ingin beranjak meski dia merasa sangat penasaran. Bima bukan orang yang tidak profesional sampai berani mengganggunya disaat rapat. Namun, orang-orang yang di
"Aku beri waktu tiga hari untuk kamu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi!" Kala menekan Justin--sumber masalah, dia bukan orang bodoh yang sampai tidak bisa membedakan mana korban dan mana pelaku. Meski saat ini yang berbaring lemah yaitu Justin. Tapi Kala yakin, semua juga karena ulahnya sendiri."Ayok kita tinggalkan dia!" Kala tidak menunjukkan sikap ingin dijawab Justin. Dia malah menarik lengan Vanilla dan keluar dari sini.Kala sebenarnya tidak suka mengadu ke sang ayah sebagai presiden direktur saat ini. Tapi jika tidak ada juga itikad baik dari Justin. Mau tak mau dia memakai wewenangnya sebagai anak pemilik pabrik.*Sayangnya baru saja Kala merencanakan hal itu. Justin tidak lagi berulah. Bahkan kabarnya dia sudah keluar dari rumah sakit. Justin betul-betul memakai waktu tiga hari yang Kala berikan dengan baik. Dia juga mulai menyelesaikan pekerjaan meski dia masih berjalan dengan bantuan kruk ketiak. "Itu pak Justin!""Astaga, dia ke kantor dengan memakai tongkat," sah
Mobil Justin semakin liar mengejar Melinda dan tidak ada pilihan lain untuk Melinda selain mempercepat laju motornya. Sampai juga dia melihat secercah kesempatan, yaitu sebentar lagi Melinda keluar dari parkir dalam gedung itu. Berbarengan dengan hampir sampainya Melinda, Justin memperlambat laju mobilnya."Hah! Hah! Ya ampun, Pak, hampir aja!" keluh pak Satpam sembari mengelus dada. Beliau berusaha mengejar sampai bawah. Justin mencoba keluar dari mobil lengkap dengan alat bantunya. "Maaf, Maaf banget." Justin mendekati Melinda yang kebetulan memberhentikan motor sangking lemasnya. "Kamu gakpapa?!" Tatapannya terlihat sangat cemas. Pak Satpam memandangi percakapan Melinda dan Justin. "Kaki saya sakit. Ini saja saya memaksakan diri membawa mobil sendiri. Tanpa sadar saya malah bisa mencelakai orang lain!" Pak Satpam itu mengangguk-angguk. Mungkin dia gampang untuk ditipu Justin. Tapi Melinda tidak. Satu yang dia sadari... Justin bisa sangat gila, bahkan mampu menghabisi nyawanya.
Tidak tau harus marah bagaimana lagi. Vanilla jadi bertanya. "Emangnya Bapak pesen apa buat makan malam kita?" "Bebek goreng sambel ijo," gumam Kala mencoba memastikan apa Vanilla suka dengan pilihannya. Sayangnya Vanilla menggeleng beberapa kali."Kenapa? Kamu gak suka bebek goreng?!" "Bukan gitu, Pak. Kan yang makan saya. Karena Bapak kan tidak terbiasa makan malam. Terus kenapa Bapak gak tanya saya dulu?" Betulan dikasih hati minta limpah, nih anak. "Terus kamu mau makan apa?" Kala menanggapinya santai saja. Mungkin dia sudah mulai terbiasa mendengar aksi protes Vanilla. "Pizza. Kalo gak pizza, saya gak mau kerja!" Dia melipat tangan di dada. Tapi sebenarnya Vanilla ragu apa Kala mau menuruti keinginan dirinya. Tapi gak tau ahk, namanya juga coba-coba.Kala menarik nafas lalu mengeluarkan perlahan. "Ya, kamu boleh pesan." Kali ini Kala akan memberikan keluluasan untuk Vanilla memilih makanannya. "Sambil pesan. Kamu bisa cariin saya file gak?" Kala, si mister anti sia-sia langs
Tidak ada satu pun suara yang keluar dari bibir Kala juga Vanilla. Setelah aksi Vanilla menomproknya tanpa aba-aba lalu mereka berakhir di lantai dengan posisi Kala yang seolah masih duduk dan Vanilla menindihnya saja seharusnya sudah bisa mengundang suara teriakkan Kala. Bagaimana tidak, punggungnya sakit terhantam batang senderan kursi jangan lupakan kepalanya yang kejedot tanpa penghalang apapun. Semoga saja dia tidak geger otak.Alih-alih marah, Kala malah menatap intens bola mata Vanilla. Terlihat begitu jernih. Bibirnya yang mungil amat menggairahkan. Dia sendiri tidak tau apa yang Vanilla fikirkan tentangnya. Tapi yang pasti, Kala tidak ingin menyesali kejadian ini. Jantungnya berdetak lebih cepat dengan perasaan yang menghangat."Pak! Bapak gak kenapa-napa? Bapak sakit,ya?" "Ahk, kamu bisa gak turun dulu dari atas saya?" Vanilla langsung menyadari posisinya segera bersinggut ke samping dia juga menarik Kala. "Huft! Kamu kuat juga,ya!" Entah itu kalimat pujian atau sindiran.
Keadaan berubah canggung. Vanilla yang di atasnya terlihat begitu cantik di mata Kala, meski kenyataan, pipinya belepotan saus pizza. Vanilla menyadari ada bekas makanan di bibir bawahnya. Dia jadi menjulurkan lidah sedikit lantas berniat menjilat sisa makanan itu. Saat dia lakukan, Kala meruntuki pemandangan di depannya. Dia fikir, berani sekali gadis itu menggodanya. Cepat Kala menahan tengkuk Vanilla dan menaiki kepala, dia melumat bibir Vanilla tergesa. Kala tidak ingin membuang kesempatan yang Vanilla berikan atau sebenarnya dia sudah gagal menahan hasratnya."Em... Em...!" Vanilla melenguh. Tidak mengerti mengapa sang bos begini. Tetapi dia lumayan menyukai lumatan itu karena dia mencintai Kala. Dia sadari perasaannya pada bosnya itu semakin lama semakin dalam dan rasanya sulit untuk disangkal. Dan, dia tidak bisa mengabaikan kebahagiaan yang meletup-letup dalam dada. Vanilla jadi banyak bergerak, dari mencengkram baju Kala sampai menggigit bibir bawah Kala. Kala menarik bibi
Kala tersenyum lebar. Tangannya merangkul pinggul Vanilla supaya lebih dekat dengannya."Kalau gitu, kamu gak akan keberatan kan, kalau aku meluk kamu kayak gini?" Vanilla menggeleng dengan senyum simpul, membalas pelukkan Kala dengan meletakkan tangan di dada si bos. Tentu dia tidak akan protes Kala memperlakuannya lebih intim dari seharusnya. Inilah yang Vanilla harapkan dari Kala."Itu artinya, Bapak juga cinta sama saya?" tanyanya semangat. Kala berdehem, sebenarnya Kala belum mengerti siapa yang ada di hatinya. Nada--cinta pertamanya, atau Vanilla. Tapi keduanya tidak bisa dia lepaskan begitu saja. 'Maafkan aku, Van.' Kala bermonolog. Dia yakin kebingungan ini akan segera berakhir jika dia bertemu keduanya secara langsung. Tapi masalahnya, bagaimana caranya bertemu dengan Nada. Kala sudah beberapa kali menunggunya di tempat yang sama dan saat ini dia lelah untuk menunggu lagi. Mungkin, hadirnya Vanilla bisa menjadi pengganti Nada dalam hatinya. Kala mendekatkan wajahnya di