Tidak tau harus marah bagaimana lagi. Vanilla jadi bertanya. "Emangnya Bapak pesen apa buat makan malam kita?" "Bebek goreng sambel ijo," gumam Kala mencoba memastikan apa Vanilla suka dengan pilihannya. Sayangnya Vanilla menggeleng beberapa kali."Kenapa? Kamu gak suka bebek goreng?!" "Bukan gitu, Pak. Kan yang makan saya. Karena Bapak kan tidak terbiasa makan malam. Terus kenapa Bapak gak tanya saya dulu?" Betulan dikasih hati minta limpah, nih anak. "Terus kamu mau makan apa?" Kala menanggapinya santai saja. Mungkin dia sudah mulai terbiasa mendengar aksi protes Vanilla. "Pizza. Kalo gak pizza, saya gak mau kerja!" Dia melipat tangan di dada. Tapi sebenarnya Vanilla ragu apa Kala mau menuruti keinginan dirinya. Tapi gak tau ahk, namanya juga coba-coba.Kala menarik nafas lalu mengeluarkan perlahan. "Ya, kamu boleh pesan." Kali ini Kala akan memberikan keluluasan untuk Vanilla memilih makanannya. "Sambil pesan. Kamu bisa cariin saya file gak?" Kala, si mister anti sia-sia langs
Tidak ada satu pun suara yang keluar dari bibir Kala juga Vanilla. Setelah aksi Vanilla menomproknya tanpa aba-aba lalu mereka berakhir di lantai dengan posisi Kala yang seolah masih duduk dan Vanilla menindihnya saja seharusnya sudah bisa mengundang suara teriakkan Kala. Bagaimana tidak, punggungnya sakit terhantam batang senderan kursi jangan lupakan kepalanya yang kejedot tanpa penghalang apapun. Semoga saja dia tidak geger otak.Alih-alih marah, Kala malah menatap intens bola mata Vanilla. Terlihat begitu jernih. Bibirnya yang mungil amat menggairahkan. Dia sendiri tidak tau apa yang Vanilla fikirkan tentangnya. Tapi yang pasti, Kala tidak ingin menyesali kejadian ini. Jantungnya berdetak lebih cepat dengan perasaan yang menghangat."Pak! Bapak gak kenapa-napa? Bapak sakit,ya?" "Ahk, kamu bisa gak turun dulu dari atas saya?" Vanilla langsung menyadari posisinya segera bersinggut ke samping dia juga menarik Kala. "Huft! Kamu kuat juga,ya!" Entah itu kalimat pujian atau sindiran.
Keadaan berubah canggung. Vanilla yang di atasnya terlihat begitu cantik di mata Kala, meski kenyataan, pipinya belepotan saus pizza. Vanilla menyadari ada bekas makanan di bibir bawahnya. Dia jadi menjulurkan lidah sedikit lantas berniat menjilat sisa makanan itu. Saat dia lakukan, Kala meruntuki pemandangan di depannya. Dia fikir, berani sekali gadis itu menggodanya. Cepat Kala menahan tengkuk Vanilla dan menaiki kepala, dia melumat bibir Vanilla tergesa. Kala tidak ingin membuang kesempatan yang Vanilla berikan atau sebenarnya dia sudah gagal menahan hasratnya."Em... Em...!" Vanilla melenguh. Tidak mengerti mengapa sang bos begini. Tetapi dia lumayan menyukai lumatan itu karena dia mencintai Kala. Dia sadari perasaannya pada bosnya itu semakin lama semakin dalam dan rasanya sulit untuk disangkal. Dan, dia tidak bisa mengabaikan kebahagiaan yang meletup-letup dalam dada. Vanilla jadi banyak bergerak, dari mencengkram baju Kala sampai menggigit bibir bawah Kala. Kala menarik bibi
Kala tersenyum lebar. Tangannya merangkul pinggul Vanilla supaya lebih dekat dengannya."Kalau gitu, kamu gak akan keberatan kan, kalau aku meluk kamu kayak gini?" Vanilla menggeleng dengan senyum simpul, membalas pelukkan Kala dengan meletakkan tangan di dada si bos. Tentu dia tidak akan protes Kala memperlakuannya lebih intim dari seharusnya. Inilah yang Vanilla harapkan dari Kala."Itu artinya, Bapak juga cinta sama saya?" tanyanya semangat. Kala berdehem, sebenarnya Kala belum mengerti siapa yang ada di hatinya. Nada--cinta pertamanya, atau Vanilla. Tapi keduanya tidak bisa dia lepaskan begitu saja. 'Maafkan aku, Van.' Kala bermonolog. Dia yakin kebingungan ini akan segera berakhir jika dia bertemu keduanya secara langsung. Tapi masalahnya, bagaimana caranya bertemu dengan Nada. Kala sudah beberapa kali menunggunya di tempat yang sama dan saat ini dia lelah untuk menunggu lagi. Mungkin, hadirnya Vanilla bisa menjadi pengganti Nada dalam hatinya. Kala mendekatkan wajahnya di
Alinea mampir ke rumah Kala. Baru tumben melihat dia masih tidur di jam segini. Sembari menggulung tangan di dada. Alinea jadi tersenyum tipis. Saat Kala terlihat tidak sempurna, dia baru seperti manusia. Sedang, selama ini adik kesayangannya itu persis robot humanoid yang berjalan sesuai dengan isi perintah. Satu sisi, Alinea juga iba. Mengapa Kala diwajibkan meneruskan pabrik keluarga meski Kala tidak ingin. Ada rasa bersalah bergelayut di dada Alinea. Andai dia bisa menanggung itu semua. Biar dia saja yang dipekerjakan bagai sapi perah.Walaupun orang lain menilai Kala sebagai pria dewasa yang pekerja keras juga tidak bisa mentolerir kesalahan. Tapi, di mata Alinea dia tetap adik bungsunya yang menggemaskan. Terkadang Alinea bisa mendengar jeritan hati Kala, sayangnya dia sendiri terikat dalam silsilah keluarga milliader yang untuk mempertahankan itu mereka mesti pontang-panting.Yah, mau jadi miskin atau kaya. Tetap dibutuhkan usaha untuk bertahan hidup. Hanya caranya saja yang b
"Itu kakak saya yang buat. Hari ini dia ke rumah saya, dan memasakkan saya nasi goreng." Kala menjelaskan dengan tenang. Matanya terus melihat ke arah Vanilla seolah menunggu tanggapan kekasihnya itu.Vanilla berubah tegang. Dia sudah marah tanpa mau mendengar penjelasan lebih dulu. Mana salah sangka lagi. Segera dia menelan ludah kasar. Gleekk!"Maaf," cicit Vanilla menggigit lidah. Daripada dia yang menggigit lebih baik Kala. Kala menaiki dagu Vanilla dengan jempolnya. Lalu mencium bibir Vanilla kilat. Itu membuat Vanilla melepaskan gigitan. Senyum tidak bersalah tersunggil, kemudian pria itu meminta Vanilla untuk tersenyum. "Ayok mana senyumnya!" Kala menarik sudut bibir Vanilla pakai jari. Kontan Vanilla menggeleng. "Kamu tuh seneng,ya kalo aku jadi badut kamu!" Kala tidak bereaksi. Tapi dia heran darimana prasangka itu. Yang membingungkan ucapan Vanilla selanjutnya. "Tapi aku bersedia kok dianggap badut buat kamu." Vanilla tersenyum ceria.Jika dengan semua tingkahnya dia bi
"Memangnya mana yang membuatmu kerepotan?" Kala berusaha biasa saja, padahal dia mengerti Vanilla sedang marah. Tapi Kala mau mengajarkan Vanilla bentuk tanggung jawab. Bisa dibilang, Kala berselera pada wanita tangguh serta pantang menyerah."Semuanya," jawab Vanilla enteng. Kala menggeleng, "Ya sudah. Sini saya bantu." Kala mendorong Vanilla agar menjauh, lalu dia ke arah ruang Vanilla. Vanilla terangga, nampaknya mimpi jadi sepasang kekasih yang harmonis mesti berakhir."Kenapa sih aku mesti sayang sama cowok nyebelin kayak gitu!" Vanilla sudah duduk di bangkunya. Sementara Kala ada di belakang, sedang menyilangkan tangan di dada."Kamu sudah mengerjakan setengahnya kan?" "Hah!" Vanilla menoleh sedikit. Habis sudah. Dia belum sampai detail tugas hanya mengerjakan tugas minggu kemarin.Lagian, siapa suruh Kala mengacaukan perasaan sampai Vanilla malas bekerja.'Ya ampun ... ada tali aja gak sih, tali. Rasanya mau gantung diri aja di pohon toge.' Satu sisi, Vanilla gak mau terl
"Kalau begitu. Kapan kamu bisa mulai bekerja?" Alinea terlihat antusias. Baginya, tidak perlu meragukan kehebatan Malik sebab dari dulu anak itu sudah rajin."Saya bisa mulai kapan pun," jawab Malik, diplomatis.Alinea semakin puas dengan jawaban Malik. Dia memerintah, Riski-- selaku petugas tata usaha untuk memproses administrasi penerimaan guru baru. "... Kalau begitu, mari saya antar kamu melihat sekeliling!"Karena Alinea punya waktu, dia sendiri yang akan mengantarkan Malik melihat-lihat area sekolah, dan yang pertama mereka sambangi yaitu lapangan basket indoor. Tempat yang akan sering Malik kunjungi.Berhubung anak murid sedang berada di kelas, jadi lapangan basket itu sepi.Hanya ada hembusan angin dari ventilasi udara juga hentakkan kaki mereka berdua."Ini lapangan basketnya ... ."Tangan Alinea terjulur ke depan, mempersilahkan Malik melihatnya sendiri."Oh. Mungkin kamu sudah sering lihat. Tapi, ya ... 4 tahun ini ada beberapa yang berubah karena sekolah sudah merenovasi