"Hah! Hah! Hah!" Vanilla terjaga. Mimpi apa tadi? Padahal waktu sampai di rumah dia berniat langsung tidur demi memimpikan bosnya. Vanilla masih ingin mengulang kejadian di restoran meski hanya dalam mimpi. Tapi ketika matanya terpejam. Dia malah memimpikan sosok lain. "Dika. Siapa Dika?" Vanilla merasa tidak punya kawan bernama Dika. Dan mengapa pemuda itu mengacaukan ingatan dia. Serta gadis itu..., siapa dia?! Sungguh dua orang dalam mimpinya sama sekali tidak ada hubungan dengan dirinya. Di mimpinya juga gelap. Vanilla hampir tidak bisa mengenali wajah keduanya. "Yyaah, namanya juga mimpi!"Vanilla mendesah kecewa sambil menghapus peluh di dahi. Kini jam sudah menunjukkan pagi hari. Saatnya dia bersiap berangkat ke kantor.Tapi hari ini, dia pergi dengan semangat 45. Karena Vanilla mau bertemu bosnya lagi. Melihat, mengoda. Yah..., sukur-sukur menaklukkan hati Kala.Dia mencoba berdandan secantik mungkin blouse satin tanpa lengan warna tosca jadi pilihan. Rambutnya dia biarkan
Kala memutarnya. Vanilla sempat curi pandang lewat ekor matanya."Yah, karena itu pertama kalinya saya dansa, Pak. Boleh dong kalau saya mau simpan," beber Vanilla agar Kala paham. Kala mengulum bibir dan mengangguk maksum. "Kalau saya. Itu yang kedua kalinya... ." Dia memberitahu Vanilla. Vanilla jadi penasaran. Kalau begitu yang pertama dengan siapa dong."Saya fikir Bapak sering dansa. Kan, bapak orang kaya!" Kala tertawa. Kenapa ucapan Vanilla dan Nada sama persis. "Waktu kecil. Saya gak belajar dansa. Tapi saya belajar ilmu bela diri." Kala membeberkan aktivitasnya. Bahkan Alinea saja tidak belajar dansa. Gantian Vanilla mengangguk. "Terus Bapak pernah dansa sama siapa lagi dong selain sama saya?!" Matanya menunjukkan dia mau tahu sekali. Dengan tersenyum tipis Kala mulai cerita sedikit tentang Nada."Waktu itu saya dansa sama teman kecil saya. Dia mengajak saya dansa pas hujan!" Mata Kala menerawang. Dia selalu seperti itu ketika mengingat Nada. Vanilla berusaha terkekeh
Akhirnya Kala memilih keluar ruangan. Dia melirik meja Vanilla dan gadis itu masih ada di sana."Tunggu, tapi tadi aku belum selesai bicara," ujar Kala. Vanilla melongo. Dia menunduk santun menyadari ketidak sopannya itu."Maaf, Pak!" Vanilla jadi berdiri di depan Kala."Tidak perlu. Jadi nanti malam kamu bisa ikut denganku, kan?" "Apa?!" Tanpa sadar, Vanilla memekik kencang.Kala mendekati Vanilla dia berbisik tepat di telinga. "Kamu tau kan ini misi rahasia. Dan kita membahasnya di kantor." Kala melirik sekitar. Diikuti Vanilla, dia jadi mengangguk maksum. Kali ini Vanilla sangat ingin menyelamatkan Adikara dari ambang kebangkutan.Terlalu banyak orang yang bergantung pada pabrik ini. Dan rasanya tidak elok jika pabrik sebesar ini harus tutup karena tangan-tangan nakal."Kalau gitu, persiapkan diri kamu. Sekalian saja bawa pekerjaanmu!" Kala kembali masuk ke ruangannya, sedang Vanilla mengangga tidak percaya. Itu artinya, dia diminta tetap bekerja, bukan. Meski jam pulang sekalip
Disaat sang atasan sudah bicara seperti itu, maka tidak Bima ataupun Vanilla bisa membantahnya. Justru mereka kagum dengan aura ketenangan tetapi mematikan yang dipancarkan Kala. Disaat kecurangan dapat membangunkan ledakkan amarah, seperti api yang tertimpa hembusan angin. Dia malah menjelaskannya dengan mimik santai."Lalu Bima, apa kamu berhasil menemukan alasan mengapa Justin masih bertahan disaat pabrik mengalami perombakkan total lima tahun yang lalu?" Dengan menyesal, Bima mengatakan jika Justin dipercaya oleh sebagian pemegang saham. Bahkan tanpa diduga, ayahnya, Kale Mata Tjandra menyukai Justin. Kala berdehem. Dia sangat mengenal ayahnya itu. Beliau bukan orang yang gampang ditaklukkan. Apalagi cuma dengan janji manis. Pastinya, Justin sudah melakukan banyak hal sampai pria itu percaya. "Ya sudah. Terima kasih atas kerja kerasmu hari ini!" "Baik, Pak. Kalau begitu saya mau ijin pulang." Bima membereskan berkas-berkas miliknya. Melihat itu, Vanilla juga ingin bersiap. Di
"Ehm!" Kala berdehem sebagai tanda agar Vanilla tidak begitu kepo dengan urusan pribadinya. Kala bukanlah orang yang senang kehidupannya diusik orang lain. Hanya segelintir orang yang bisa masuk ke dunianya. "Makanlah..." Kala menyodorkan piring berisi sphagetti yang sudah dibaluri saus dan keju. Vanilla melonggo."Lho, kok cuma satu, Pak. Buat bapak mana?" Kala duduk di depan Vanilla. "Saya tidak terbiasa makan malam," infonya. Namun, Vanilla menggeleng. Dia justru kebalikan dari Kala. Vanilla tidak terbiasa makan sendiri. Jadi sembari menangkupkan tangannya. Dia memohon agar Kala menemaninya makan. "Hah! Tapi yang di panci sudah habis. Semuanya saya taroh di piring ini." "Ya udah, Bapak makan bareng sama saya aja. Gih, Pak ambil garpunya," ucap Vanilla. Kala mencibik pelan. Kenapa jadi dia yang diatur wanita itu. Tapi dia tidak ingin mengacaukan makan malam Vanilla akhirnya Kala menurut saja."Kamu tau, sphagetti adalah makanan kesukaan mama saya." Bahkan Kala belajar membuat s
Bima menatap Melinda yang belum bersedia bicara tepatnya dia belum mampu mengontrol dirinya dari rasa takut."Minumlah!" Bima menyerahkan botol minum yang memang disediakan di sana. Melinda langsung meraupnya dan meminum hingga isinya berkurang setengah. "Aku tidak akan memintamu untuk cerita saat ini. Kamu boleh istrira..." "Aku tidak sengaja. Aku tidak sengaja mendorongnya!" Suara Melinda terdengar berat dan tercekat. Tangannya yang memegang botol gemetar. Bima berinisiatif menghubungi Kala karena dia merasa sang direktur utama itu harus tahu.Sementara di ruang rapat."Pak, pak Bima telepon!" bisik Vanilla. Saat rapat, Vanilla lah yang akan memegang gadget milik Kala. Kala mengisyaratkan supaya Vanilla mengangkatnya. Gadis itu segera beringsut dari duduk lalu menuju ke pojokkan demi mengangkat telepon.Kala sendiri tidak ingin beranjak meski dia merasa sangat penasaran. Bima bukan orang yang tidak profesional sampai berani mengganggunya disaat rapat. Namun, orang-orang yang di
"Aku beri waktu tiga hari untuk kamu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi!" Kala menekan Justin--sumber masalah, dia bukan orang bodoh yang sampai tidak bisa membedakan mana korban dan mana pelaku. Meski saat ini yang berbaring lemah yaitu Justin. Tapi Kala yakin, semua juga karena ulahnya sendiri."Ayok kita tinggalkan dia!" Kala tidak menunjukkan sikap ingin dijawab Justin. Dia malah menarik lengan Vanilla dan keluar dari sini.Kala sebenarnya tidak suka mengadu ke sang ayah sebagai presiden direktur saat ini. Tapi jika tidak ada juga itikad baik dari Justin. Mau tak mau dia memakai wewenangnya sebagai anak pemilik pabrik.*Sayangnya baru saja Kala merencanakan hal itu. Justin tidak lagi berulah. Bahkan kabarnya dia sudah keluar dari rumah sakit. Justin betul-betul memakai waktu tiga hari yang Kala berikan dengan baik. Dia juga mulai menyelesaikan pekerjaan meski dia masih berjalan dengan bantuan kruk ketiak. "Itu pak Justin!""Astaga, dia ke kantor dengan memakai tongkat," sah
Mobil Justin semakin liar mengejar Melinda dan tidak ada pilihan lain untuk Melinda selain mempercepat laju motornya. Sampai juga dia melihat secercah kesempatan, yaitu sebentar lagi Melinda keluar dari parkir dalam gedung itu. Berbarengan dengan hampir sampainya Melinda, Justin memperlambat laju mobilnya."Hah! Hah! Ya ampun, Pak, hampir aja!" keluh pak Satpam sembari mengelus dada. Beliau berusaha mengejar sampai bawah. Justin mencoba keluar dari mobil lengkap dengan alat bantunya. "Maaf, Maaf banget." Justin mendekati Melinda yang kebetulan memberhentikan motor sangking lemasnya. "Kamu gakpapa?!" Tatapannya terlihat sangat cemas. Pak Satpam memandangi percakapan Melinda dan Justin. "Kaki saya sakit. Ini saja saya memaksakan diri membawa mobil sendiri. Tanpa sadar saya malah bisa mencelakai orang lain!" Pak Satpam itu mengangguk-angguk. Mungkin dia gampang untuk ditipu Justin. Tapi Melinda tidak. Satu yang dia sadari... Justin bisa sangat gila, bahkan mampu menghabisi nyawanya.