Ting...!Pintu lift terbuka. Kala segera mengambil jasnya. Ia letakkan di bahu Vanilla. Sayangnya Vanilla menampik. Merasa tak sabaran. Kala menggendong Vanilla ala bridal. Ia yakin, pasti gadis itu juga akan menolak diantar pulang."Pak saya bisa jalan sendiri!" Vanilla berteriak sembari melihat sekelilingnya. Orang-orang terlihat memperhatikan mereka berdua."Kalau kamu gak mau jadi bahan pembicaraan. Lebih baik diamlah." Pinta Kala tegas. Kala memasukkan Vanilla di bangku belakang dan dia juga duduk di sampingnya."Kita perlu bicara. Saya tahu kamu sedang marah sama saya. Dan sebaiknya kamu meredam amarahmu dulu." Vanilla membuang pandangan. Kala tahu gadis itu marah tapi Kala tidak bisa merubah sikap. Ia masih tetap bertahan dengan raut datar dan gasture kaku. Kala lebih suka memberikan waktu supaya Vanilla tenang."Sebaiknya kamu bilang. Apa yang membuat kamu marah sama saya. Apa karena saya meminta kamu membuang baju ini?" Kala menebak sembari menyentuh sedikit ujung gaun Vanil
"Waktu itu, Pak. Pas baju Bapak basah dan Bapak menolong Pak Bima yang mau jatuh." Vanilla menreka ulang menurut sudut pandangnya. Sepanjang berceloteh. Ia menunjukkan sisi polos dan cerobohnya, sedang Kala tercenang. Cuman karena dia duduk setengah membuka kemeja menghadap Bima. Dia sudah dikira yang enggak-enggak sama Vanilla. Ya Tuhan, tobat.Kala menaiki tangan. Vanilla tak perlu lagi melanjutkan kisah yang pasti gak ada betulnya sama sekali. Sedikit senyum smirk tersinggul di wajah tampannya. Kala mendekatkan wajahnya ke Vanilla."Eeh, Bapak mau ngapain?!" "Saya mau membuktikan kalau saya gak seperti yang kamu duga," ujar Kala menatap jail pada Vanilla. Vanilla manyun, gimana caranya. Dengan kurang ajar Kala menuntun tangan Vanilla ke pangkal pahanya. "Kamu bisa rasakan. Ini(?) sudah tegak. Bahkan saat kita masih di restoran." Kala terang-terang menggoda. Dan sekarang Vanilla tahu apa arti kata, 'Kamu sudah menguji kesabaran saya.' Seharusnya itu sudah jadi sinyal yang cukup.
Vanilla berdecih. "Kalau punya kenapa. Kalau gak kenapa?!" tantangnya. Apa sekalian saja bilang PUNYA biar Kala gak sembarangan lagi cium-cium. Iih..., dikira Vanilla mau nolak apa. Enggak juga tuh!!Kala menoleh ke Vanilla sebentar. "Saya bos kamu lho. Kamu harus jawab dengan tegas. Ada atau tidak! Gak boleh ada informasi yang ditutupi dari perusahaan." Kala kembali mode kaku. Namun Vanilla tak terima. Itu, kan masalah pribadi karyawan. Masa kudu disetor ke bos juga. Ngadi-ngadi ini bos!"Enggak ada!" Vanilla jawab sambil membentak. Membuat alis gunung Kala terangkat. "Jangan berteriak. Saya tidak tuli." ucapnya seraya mengelus dadanya. Ya Tuhan, cantik-cantik galak. Jadi mau menaklukkan. Tadi.., katanya gak punya, kan. Bisa kalik!***Ke esokkan harinya. Setiap Vanilla masuk ruangannya, Kala selalu menyempatkan melirik kearah Vanilla. Entah apa yang dia cari. Apa mungkin bibir Vanilla yang sempat ia sesap beberapa menit itu. Vanilla menyadari gerak-gerik Kala yang diluar kebiasaan.
"Yah, pak Majid itu dulunya mantan supir rumah aku. Dan aku di sini atas ijin beliau. Kamu sendiri?!" Gilirian Nada menggaruk tengkuk tak enak. Ooh.., rumah ini sedang disewakan ke orang lain. Kalau dilihat lagi, kayaknya cowok ini kaya. Yah, paling dia sedang homestay di tengah kebun. Semacam mencari ketenangan batin gitu. Nada tidak begitu memperhatikan jika Kala memakai tongkat untuk menumpuh tubuhnya."Gue kesini karena gue biasa bantuin bapak buat naroh karung-karung itu di sini. Sorry,ya. Gue gak tahu kalau ada lo!" Kala mengangguk. Dia melihat karung yang dibawa perempuan tadi. Itukan cukup berat, pikirnya sesaat mengamati. Ada perasaan kagum yang terbit di hati Kala saat itu juga. "Eeh. Kenapa! Lo mau bantuin gue bawa?!" Kala terdiam. Apa dia sedang menghina keadaan Kala. Jangankan membantu. Untuk jalan saja Kala kesulitan. Ketika Kala menunjukkan keadaannya secara jelas. Nada tetap tidak bergeming. Tidak ada raut-raut kasihan sama keadaan Kala. Tatapan iba yang sering Kal
Vanilla merasa heran. Mengapa waktu begitu cepat berputar ketika dia sedang bercengkrama dengan Senja. Rasanya seperti baru tadi mengobrol santai, full diisi dengan topik menggibahkan Kala sepanjang curhatan--tapi tentunya Vanilla tidak cerita bagian dia dicium bosnya itu. Karena takut dibully Senja.Namun saat ini sudah pagi lagi. Dan terpaksa raganya berlabuh di belakang meja kerja. Meski benaknya mengelak.Vanilla menggebrak meja. Semakin dipikirkan semakin kesal. Enak saja, main cium-cium. Dua hari dia menahan, tapi rasanya ada yang mengganjal dalam dadanya. Itu, kan ciuman pertamanya. Vanilla rasa harus bersikap tegas mengatakan ketidak sukaannya.Vanilla masuk ke ruang Kala tanpa diminta. Dia bertekad tak akan kalah dari Kala. Bibirnya bergerutu lengkap dengan tatapan sinis. Tapi sialnya Kala biasa saja. Dia gak ada kaget-kagetnya sama sekali. Kala masih tetap menunduk dengan kaca mata tipis bertengger di wajahnya yang membuat dia terlihat semakin menggairahkan.Vanilla menelan
Tanpa disadarai Kala lewat. Dia menuju pantry, bermaksud membuat teh hijau. Hari ini mood-nya sedang baik. Sampai langkahnya terasa ringan untuk membuat tehnya sendiri. Atau, karena Kala gak mau teh keasinan versi sekretarisnya.Vanilla menyeritkan mata. Setelah yakin itu sosok bosnya. Segera Vanilla menghampiri Kala di pantry, dan menggebrak pintu pembatas. "Bapak!" Suara lantang Vanilla membuat Kala kaget. Tidak bisakah dia menikmati tehnya dengan tenang. Kala menyilangkan kedua tangan."Ada apa?!" tanyanya ketus. Tanpa diminta Vanilla duduk di sebelahnya. Dia melihat teh hijau yang Kala buat. Huh! Kok mirip sama cewek lagi diet sih minumannya. Agar terlihat pembangkang, Vanilla ikut menyeruput teh Kala."Puufftt!" Sungguh sial ternyata tehnya masih panas. Jadilah Vanilla semakin kesal pada Kala. Matanya melotot refleks."Hei! Itu teh saya. Dan masih panas!" infonya. Karena panas, Kala tidak meminumnya langsung dan berniat meniup sebentar. Lho, ini kok main tenggak saja. Jadi kena
Kala jadi menyeritkan kening dengan fakta yang dia dengar. Tunggu, apa lagi ini. Kenapa Vanilla gak cek dulu, sih?"Iyah Pak. Saya lihat di media sosial. Tempat itu awalnya jadi pernyataan cinta sepasang kekasih karena atmosfernya yang mendukung. Gak begitu ramai juga ada live pianonya," lanjutnya lagi jadi mengobrol. Kala cuma bisa mengangguk dan tertawa. Tapi bu Anya kembali bertanya pada Kala."Atau.., Bapak sengaja. Karena mau berduaan sama Vanilla?" Dia pernah melihat Kala dan Vanilla. Mereka cukup serasi. Kala makin tertawa saja. Benaknya jadi berfikir hal yang sama. 'Jangan-jangan Vanilla sengaja lagi?!' sembari kakinya berjalan ke restoran. Setelah menyetujui keterlambatan bu Anya. Kala menutup telepon. Dia tercenang saat pertama masuk. Benar yang dikatakan rekannya itu. Tempat ini terlihat romantis. Dengan mengusung tema makan malam berdua sehingga hanya terdapat dua bangku juga meja kecilnya. Segala ornamen yang terpasang pun menambah hasrat mengatakan cinta pada orang ter
Dia tertunduk sambil mengigit bibir bawah. tetapi satu hal yang pasti, Vanilla ingin Kala melihatnya sebagai seorang wanita. Wanita yang layak berdampingan dengannya. Bukan sekedar salah satu karyawan pabrik.Dan andai dansa ini bermula bukan karena Kala berusaha menjaga nama baik sekretarisnya. Pasti Vanilla lebih bahagia.Vanilla memejamkan mata, lantas dia meletakkan pelipisnya di bahu Kala. Tangannya tak lagi berlabuh di tengkuk tapi sudah menjalar ke rambut belakang Kala. Sesekali meremas seakan takut kehilangan. Aneh, masa-masa ini belum berlalu. Tapi Vanilla merasa sangat ingin mengulangnya. Mungkin dia berharap waktu bisa terhenti saat ini. Merasa kedamaian berada di pelukkan Kala. Dia menyukai aroma alami tubuh Kala dipadukan harum parfum mahal. Semua itu sudah seperti barang mewah untuknya. Sementara Kala, dia ikut memejamkan mata. Kala terus merinci alasannya berdansa dengan Vanilla. Yup, demi nama baik dia dan Vanilla, tidak lebih!Tapi mengapa dia hanyut disetiap gerak
"Kalau begitu. Kapan kamu bisa mulai bekerja?" Alinea terlihat antusias. Baginya, tidak perlu meragukan kehebatan Malik sebab dari dulu anak itu sudah rajin."Saya bisa mulai kapan pun," jawab Malik, diplomatis.Alinea semakin puas dengan jawaban Malik. Dia memerintah, Riski-- selaku petugas tata usaha untuk memproses administrasi penerimaan guru baru. "... Kalau begitu, mari saya antar kamu melihat sekeliling!"Karena Alinea punya waktu, dia sendiri yang akan mengantarkan Malik melihat-lihat area sekolah, dan yang pertama mereka sambangi yaitu lapangan basket indoor. Tempat yang akan sering Malik kunjungi.Berhubung anak murid sedang berada di kelas, jadi lapangan basket itu sepi.Hanya ada hembusan angin dari ventilasi udara juga hentakkan kaki mereka berdua."Ini lapangan basketnya ... ."Tangan Alinea terjulur ke depan, mempersilahkan Malik melihatnya sendiri."Oh. Mungkin kamu sudah sering lihat. Tapi, ya ... 4 tahun ini ada beberapa yang berubah karena sekolah sudah merenovasi
"Memangnya mana yang membuatmu kerepotan?" Kala berusaha biasa saja, padahal dia mengerti Vanilla sedang marah. Tapi Kala mau mengajarkan Vanilla bentuk tanggung jawab. Bisa dibilang, Kala berselera pada wanita tangguh serta pantang menyerah."Semuanya," jawab Vanilla enteng. Kala menggeleng, "Ya sudah. Sini saya bantu." Kala mendorong Vanilla agar menjauh, lalu dia ke arah ruang Vanilla. Vanilla terangga, nampaknya mimpi jadi sepasang kekasih yang harmonis mesti berakhir."Kenapa sih aku mesti sayang sama cowok nyebelin kayak gitu!" Vanilla sudah duduk di bangkunya. Sementara Kala ada di belakang, sedang menyilangkan tangan di dada."Kamu sudah mengerjakan setengahnya kan?" "Hah!" Vanilla menoleh sedikit. Habis sudah. Dia belum sampai detail tugas hanya mengerjakan tugas minggu kemarin.Lagian, siapa suruh Kala mengacaukan perasaan sampai Vanilla malas bekerja.'Ya ampun ... ada tali aja gak sih, tali. Rasanya mau gantung diri aja di pohon toge.' Satu sisi, Vanilla gak mau terl
"Itu kakak saya yang buat. Hari ini dia ke rumah saya, dan memasakkan saya nasi goreng." Kala menjelaskan dengan tenang. Matanya terus melihat ke arah Vanilla seolah menunggu tanggapan kekasihnya itu.Vanilla berubah tegang. Dia sudah marah tanpa mau mendengar penjelasan lebih dulu. Mana salah sangka lagi. Segera dia menelan ludah kasar. Gleekk!"Maaf," cicit Vanilla menggigit lidah. Daripada dia yang menggigit lebih baik Kala. Kala menaiki dagu Vanilla dengan jempolnya. Lalu mencium bibir Vanilla kilat. Itu membuat Vanilla melepaskan gigitan. Senyum tidak bersalah tersunggil, kemudian pria itu meminta Vanilla untuk tersenyum. "Ayok mana senyumnya!" Kala menarik sudut bibir Vanilla pakai jari. Kontan Vanilla menggeleng. "Kamu tuh seneng,ya kalo aku jadi badut kamu!" Kala tidak bereaksi. Tapi dia heran darimana prasangka itu. Yang membingungkan ucapan Vanilla selanjutnya. "Tapi aku bersedia kok dianggap badut buat kamu." Vanilla tersenyum ceria.Jika dengan semua tingkahnya dia bi
Alinea mampir ke rumah Kala. Baru tumben melihat dia masih tidur di jam segini. Sembari menggulung tangan di dada. Alinea jadi tersenyum tipis. Saat Kala terlihat tidak sempurna, dia baru seperti manusia. Sedang, selama ini adik kesayangannya itu persis robot humanoid yang berjalan sesuai dengan isi perintah. Satu sisi, Alinea juga iba. Mengapa Kala diwajibkan meneruskan pabrik keluarga meski Kala tidak ingin. Ada rasa bersalah bergelayut di dada Alinea. Andai dia bisa menanggung itu semua. Biar dia saja yang dipekerjakan bagai sapi perah.Walaupun orang lain menilai Kala sebagai pria dewasa yang pekerja keras juga tidak bisa mentolerir kesalahan. Tapi, di mata Alinea dia tetap adik bungsunya yang menggemaskan. Terkadang Alinea bisa mendengar jeritan hati Kala, sayangnya dia sendiri terikat dalam silsilah keluarga milliader yang untuk mempertahankan itu mereka mesti pontang-panting.Yah, mau jadi miskin atau kaya. Tetap dibutuhkan usaha untuk bertahan hidup. Hanya caranya saja yang b
Kala tersenyum lebar. Tangannya merangkul pinggul Vanilla supaya lebih dekat dengannya."Kalau gitu, kamu gak akan keberatan kan, kalau aku meluk kamu kayak gini?" Vanilla menggeleng dengan senyum simpul, membalas pelukkan Kala dengan meletakkan tangan di dada si bos. Tentu dia tidak akan protes Kala memperlakuannya lebih intim dari seharusnya. Inilah yang Vanilla harapkan dari Kala."Itu artinya, Bapak juga cinta sama saya?" tanyanya semangat. Kala berdehem, sebenarnya Kala belum mengerti siapa yang ada di hatinya. Nada--cinta pertamanya, atau Vanilla. Tapi keduanya tidak bisa dia lepaskan begitu saja. 'Maafkan aku, Van.' Kala bermonolog. Dia yakin kebingungan ini akan segera berakhir jika dia bertemu keduanya secara langsung. Tapi masalahnya, bagaimana caranya bertemu dengan Nada. Kala sudah beberapa kali menunggunya di tempat yang sama dan saat ini dia lelah untuk menunggu lagi. Mungkin, hadirnya Vanilla bisa menjadi pengganti Nada dalam hatinya. Kala mendekatkan wajahnya di
Keadaan berubah canggung. Vanilla yang di atasnya terlihat begitu cantik di mata Kala, meski kenyataan, pipinya belepotan saus pizza. Vanilla menyadari ada bekas makanan di bibir bawahnya. Dia jadi menjulurkan lidah sedikit lantas berniat menjilat sisa makanan itu. Saat dia lakukan, Kala meruntuki pemandangan di depannya. Dia fikir, berani sekali gadis itu menggodanya. Cepat Kala menahan tengkuk Vanilla dan menaiki kepala, dia melumat bibir Vanilla tergesa. Kala tidak ingin membuang kesempatan yang Vanilla berikan atau sebenarnya dia sudah gagal menahan hasratnya."Em... Em...!" Vanilla melenguh. Tidak mengerti mengapa sang bos begini. Tetapi dia lumayan menyukai lumatan itu karena dia mencintai Kala. Dia sadari perasaannya pada bosnya itu semakin lama semakin dalam dan rasanya sulit untuk disangkal. Dan, dia tidak bisa mengabaikan kebahagiaan yang meletup-letup dalam dada. Vanilla jadi banyak bergerak, dari mencengkram baju Kala sampai menggigit bibir bawah Kala. Kala menarik bibi
Tidak ada satu pun suara yang keluar dari bibir Kala juga Vanilla. Setelah aksi Vanilla menomproknya tanpa aba-aba lalu mereka berakhir di lantai dengan posisi Kala yang seolah masih duduk dan Vanilla menindihnya saja seharusnya sudah bisa mengundang suara teriakkan Kala. Bagaimana tidak, punggungnya sakit terhantam batang senderan kursi jangan lupakan kepalanya yang kejedot tanpa penghalang apapun. Semoga saja dia tidak geger otak.Alih-alih marah, Kala malah menatap intens bola mata Vanilla. Terlihat begitu jernih. Bibirnya yang mungil amat menggairahkan. Dia sendiri tidak tau apa yang Vanilla fikirkan tentangnya. Tapi yang pasti, Kala tidak ingin menyesali kejadian ini. Jantungnya berdetak lebih cepat dengan perasaan yang menghangat."Pak! Bapak gak kenapa-napa? Bapak sakit,ya?" "Ahk, kamu bisa gak turun dulu dari atas saya?" Vanilla langsung menyadari posisinya segera bersinggut ke samping dia juga menarik Kala. "Huft! Kamu kuat juga,ya!" Entah itu kalimat pujian atau sindiran.
Tidak tau harus marah bagaimana lagi. Vanilla jadi bertanya. "Emangnya Bapak pesen apa buat makan malam kita?" "Bebek goreng sambel ijo," gumam Kala mencoba memastikan apa Vanilla suka dengan pilihannya. Sayangnya Vanilla menggeleng beberapa kali."Kenapa? Kamu gak suka bebek goreng?!" "Bukan gitu, Pak. Kan yang makan saya. Karena Bapak kan tidak terbiasa makan malam. Terus kenapa Bapak gak tanya saya dulu?" Betulan dikasih hati minta limpah, nih anak. "Terus kamu mau makan apa?" Kala menanggapinya santai saja. Mungkin dia sudah mulai terbiasa mendengar aksi protes Vanilla. "Pizza. Kalo gak pizza, saya gak mau kerja!" Dia melipat tangan di dada. Tapi sebenarnya Vanilla ragu apa Kala mau menuruti keinginan dirinya. Tapi gak tau ahk, namanya juga coba-coba.Kala menarik nafas lalu mengeluarkan perlahan. "Ya, kamu boleh pesan." Kali ini Kala akan memberikan keluluasan untuk Vanilla memilih makanannya. "Sambil pesan. Kamu bisa cariin saya file gak?" Kala, si mister anti sia-sia langs
Mobil Justin semakin liar mengejar Melinda dan tidak ada pilihan lain untuk Melinda selain mempercepat laju motornya. Sampai juga dia melihat secercah kesempatan, yaitu sebentar lagi Melinda keluar dari parkir dalam gedung itu. Berbarengan dengan hampir sampainya Melinda, Justin memperlambat laju mobilnya."Hah! Hah! Ya ampun, Pak, hampir aja!" keluh pak Satpam sembari mengelus dada. Beliau berusaha mengejar sampai bawah. Justin mencoba keluar dari mobil lengkap dengan alat bantunya. "Maaf, Maaf banget." Justin mendekati Melinda yang kebetulan memberhentikan motor sangking lemasnya. "Kamu gakpapa?!" Tatapannya terlihat sangat cemas. Pak Satpam memandangi percakapan Melinda dan Justin. "Kaki saya sakit. Ini saja saya memaksakan diri membawa mobil sendiri. Tanpa sadar saya malah bisa mencelakai orang lain!" Pak Satpam itu mengangguk-angguk. Mungkin dia gampang untuk ditipu Justin. Tapi Melinda tidak. Satu yang dia sadari... Justin bisa sangat gila, bahkan mampu menghabisi nyawanya.