"Ayah menjualku?" tanya seorang wanita cantik sambil melemparkan sebuah undangan ke atas meja.Wajahnya tampak tidak senang. Di atas kertas undangan itu tertera namanya dan nama seorang pria yang selama ini dekat dengannya, pria yang dulu sempat menjadi kekasihnya saat kuliah, tetapi hubungan mereka berakhir karena pria itu mengkhianatinya.Mendengar putrinya berkata seperti itu, pria paruh baya yang merupakan ayah kandungnya menghela napas berat."Kamu ini bicara apa, Alea? Kenapa berkata seperti itu kepada Ayah? Memangnya orang tua mana yang mau menjual anaknya?" tanya pria bernama Martin Adijaya itu.Alea mengernyitkan kening."Orang tua mana, tanya Ayah? Ya Ayahlah!" balasnya dengan suara penuh emosi. "Jelas-jelas aku sudah bilang, Adrian itu playboy, tukang selingkuh! Masih mau Ayah menjodohkanku dengannya? Apa namanya kalau bukan menjual anak demi uang?" "Alea..." sela Mira, ibu kandung Alea.Wajah wanita paruh baya itu tampak sedih. Bagaimana bisa putrinya berkata seperti itu
Prok prok prokSuara gemuruh tepuk tangan terdengar begitu riuh ketika Adrian menyematkan cincin pertunangan di jari manis tangan kanan Alea.Dengan lembut, Adrian mengecup punggung tangan Alea."Akhirnya kamu setuju. Aku sudah bilang, kamu akan jadi milikku, Alea. Hanya milikku!"Tatapan Adrian sungguh membuat Alea muak. Bahkan tadi, saat dia selesai dirias dan keluar dari ruang istirahat yang disiapkan di hotel ini, dia sempat melihat Adrian mencium Larissa, mantan kekasihnya. Atau mungkin masih kekasihnya? Hanya karena wanita itu seorang penyanyi klub malam, orang tua Adrian tidak pernah merestui hubungan mereka.Adrian meraih pinggang Alea. Dia tahu seharusnya apa yang akan terjadi. Mereka sudah bertunangan, pasti Adrian akan menciumnya.Namun, mengingat apa yang dia lihat tadi di dekat ruang istirahat, Alea menjadi sangat kesal.Ketika Adrian mendekatkan wajahnya ke Alea…"Hatchiu!"Adrian segera menjauh karena Alea yang ingin diciumnya malah bersin."Maaf, maaf, Adrian. Aku rasa
"Nona, Anda sudah terlalu mabuk! Sebaiknya saya hubungi seseorang yang bisa membawa Anda pulang," ucap bartender yang sejak tadi melayani Alea dengan ekspresi khawatir.Wanita itu bahkan sudah tidak sanggup menegakkan kepalanya dengan benar, tapi tetap bersikeras meminta minuman lagi dan lagi.Alea, yang masih setengah sadar namun cukup mampu mendengar, melambaikan tangannya dengan malas."Tidak ada yang menginginkan aku pulang. Biarkan aku di sini, ya... ya...""Nona...""Siapa yang tidak menginginkanmu pulang?"Suara baru itu terdengar lebih dalam, lebih berat, dan lebih tegas dibanding suara bartender tadi. Alea mengangkat kepalanya dengan susah payah. Seorang pria tampan dengan kemeja hitam mahal kini duduk di sebelahnya. Matanya yang tajam mengamati Alea dengan ekspresi yang sulit dimengerti."Kamu..." gumam Alea, mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memastikan bahwa penglihatannya tidak menipunya."Aku akan menemani dia. Lanjutkan pekerjaanmu," kata pria itu, tanpa ragu,
Alea membuka matanya perlahan. Dia merasa seolah telah melakukan aktivitas yang sangat berat dan melelahkan semalam. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Bahkan untuk bangun saja, dia merasa cukup kesulitan. Alea memegang kepalanya yang masih sedikit pusing. Dia mengerjapkan matanya perlahan dan menyadari bahwa dia tidak bisa bangun bukan hanya karena tubuhnya terasa remuk, tetapi juga karena sebuah tangan kekar berada di atas perutnya. Alea menelan salivanya dengan susah payah. Dia menoleh ke samping, dan bola matanya nyaris melompat keluar. "Siapa dia?" batinnya terkejut. Di saat kesadarannya mulai pulih, Alea merasakan sensasi perih di bawah sana. Ingatannya mulai kembali satu per satu, mengingat apa yang terjadi semalam. Alea memejamkan matanya, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Semua kenangan itu muncul kembali, bagaimana dia merayu pria itu, bagaimana dia mengatakan akan membayarnya. Semua itu terjadi karena emosi dan kemarahannya pada Adrian. "Bodoh! Sekarang apa bedanya aku
Alea akhirnya kembali ke rumah orang tuanya. Cukup lama dia diam di taksi online yang dia tumpangi. Dia memastikan kalau bagian atas tubuhnya sama sekali tidak ada tanda pria bernama Kael itu. Alea sungguh di buat geleng-geleng kepala karena ulah pria bernama Kael itu. Bisa-bisanya minta di pesankan taksi juga, dan ongkosnya. "Huh, apa ini artinya aku sedang terjebak dengan seorang pria yang benar-benar miskin? hah, apa yang aku pikirkan, dia akan segera dapat satu milyar, dia akan jadi OKB" gerutunya sambil mengenakan sepatu hak tingginya. Supir taksi itu juga hanya diam saja, dia pikir mungkin penumpang di belakangnya itu masih mabukk. Alea turun dari taksi, dan dia harus menghela nafas sangat berat. "Huh, masih pagi loh!" gumamnya mengeluh seraya menghentikan langkahnya. Dan hal yang membuatnya mengeluh adalah sosok pria yang semalam menjadi tunangannya itu, tapi hanya di tinggal sebentar ke toilet saja sudah bercinta dengan wanita lain. Pria yang memang menunggu kedatanga
Dan sekarang, Alea sungguh merasa dirinya terjebak. Dia bahkan harus melangkahkan kaki ke sebuah klub malam yang dipenuhi dentuman musik, cahaya berwarna-warni, dan aroma parfum bercampur alkohol yang menyengat. Semua itu karena Kael, pria yang entah kenapa masih saja mengusik hidupnya, bertaruh dan kalah dalam permainan yang sama sekali tidak masuk akal. Alea menatap Kael dengan pandangan tajam, tajam seperti pisau yang baru diasah. Tatapan itu seakan ingin melahap pria itu hidup-hidup, tanpa sisa. "200 juta?" tanyanya dengan suara yang bergetar antara percaya dan tidak percaya. Sebagian dirinya merasa ini adalah mimpi buruk, sebagian lagi tahu betul ini nyata, terlalu nyata. Bagaimana mungkin Kael bisa dengan mudah mempertaruhkan uang sebesar itu? Bukankah jumlah tersebut lebih dari gajinya selama satu setengah tahun? Alea mengerutkan kening, mencoba mencerna logika yang tak bisa dicerna. Namun yang lebih membuat darahnya mendidih adalah ekspresi wajah Kael. Pria itu berdiri den
Keduanya terhanyut dalam sentuhan satu sama lain. Sentuhan panas, dan menggelitik yang menuntut untuk merasakan lebih dan lebih lagi.Desahan tertahan, napas memburu, dan ketegangan yang mengalir di antara keduanya menjadi irama malam yang tak terelakkan. Aroma tubuh yang bercampur dengan napas hangat menciptakan ruang penuh gairah, seolah waktu berhenti berdetak hanya untuk mereka berdua.Hingga ketika tangan hangat itu menyentuh bagian sensitif Alea, tubuh Alea menegang. Mata Alea terbuka, dan ia langsung menahan tangan Kael dengan cengkeraman yang gemetar.Tatapan matanya menunjukkan, kalau dia ingin mundur. Dia tidak ingin meneruskannya. Sayangnya, tangannya di tepis begitu saja oleh Kael, dan pria itu berkata. "Sayang, jika kamu ingin mundur. Ini sudah terlambat!" kata Kael dengan napas yang sudah begitu memburu, suaranya berat dan serak, dipenuhi hasrat yang tak lagi bisa dikendalikan.Kedua tangan Alea dikunci di atas kepalanya oleh tangan Kael. Wajah Alea memerah, bukan hanya
Alea terus menerus memegang keningnya. Rasa sakit yang menusuk di pelipisnya seolah menjadi pengingat bahwa tubuhnya sedang memprotes kurangnya istirahat. Dia benar-benar kelelahan. Semalam, dia nyaris tidak tidur karena Kael. Dan pagi ini, dia harus menghadiri meeting yang dijadwalkan sangat pagi.Matanya yang sembab dan wajahnya yang pucat tidak bisa menipu siapa pun. Akan tetapi, dia harus tetap bekerja. Apalagi, ini adalah proyek penting yang sudah ditanganinya selama beberapa minggu terakhir."Ku kira siapa? Ternyata calon nyonya Adrian ya? Sayangnya, hanya nama saja!"Suara tinggi bernada sinis itu menusuk telinga Alea seperti paku berkarat yang ditancapkan paksa. Seorang wanita dengan blouse biru telur asin masuk ke dalam ruangan meeting dengan langkah percaya diri yang menyebalkan. Dia tidak datang sendirian, bibirnya melengkungkan senyum miring penuh provokasi.Alea melirik sekilas. Wajahnya langsung berubah. Rasa sakit kepala yang tadinya hanya berdenyut pelan, kini seperti
Alea merasa kepalanya masih sedikit pusing, tapi gangguan yang lebih mengusik datang dari silaunya cahaya terang yang menembus kelopak matanya. Ya, seperti itulah saat sinar matahari pagi menyusup dari celah-celah tirai dinding kaca kamar hotel itu. Hangatnya menelusup ke kulit, namun menyakitkan di mata yang masih lelah."Kael."Begitu Alea membuka mata, nama itu langsung meluncur dari bibirnya. Suaranya parau dan pelan, seolah hanya ingin memastikan dirinya sendiri bahwa malam tadi bukan sekadar mimpi.Dengan tubuh yang masih berat, Alea mengubah posisinya menjadi duduk, bersandar pada sandaran tempat tidur yang empuk. Tangannya terangkat, mengusap wajah yang masih kusut oleh sisa-sisa tidur dan ingatan semalam yang menghantui pikirannya. Matanya menelusuri seisi kamar, menelisik setiap sudut, namun tak ada tanda-tanda keberadaan Kael di sana. Hanya keheningan dan aroma samar parfum pria yang masih tertinggal di udara.Alea menarik napas panjang dan berat. Ia ingat apa yang terjadi
Adrian yang melihat Alea keluar dari kamarnya, bergegas menuju ke kamarnya, dan membuka pintu yang membatasi balkon dengan kamarnya. Tanpa dia sadari, apa yang dia lakukan secara terburu-buru itu malah membuat suara yang cukup keras. Hingga Larissa terbangun."Sayang, ada apa?" tanya Larissa yang menyingkap selimutnya dan bangun, lalu merubah posisinya menjadi duduk. Rambut panjangnya yang tergerai berantakan menambah kesan lembut dari wajahnya yang masih terlihat lelah. Matanya setengah terbuka, berusaha memahami apa yang sedang terjadi.Adrian mengepalkan tangannya. Dia benar-benar tinggal satu langkah lagi mendapatkan Alea tadi. Nyaris saja, dan semua itu harus gagal sekarang. Napasnya masih memburu, bukan karena kelelahan, tapi karena emosi yang terpendam. Dia hampir memiliki Alea, hampir menguasainya sepenuhnya. Tapi suara pintu itu... suara bodoh itu membangunkan Larissa."Sayang, peluk!" kata Larissa yang merentangkan tangannya minta dipeluk oleh Adrian, seperti biasanya ketik
Adrian terus menatap Alea. Wajah Alea sudah memerah. Pria itu melihat ke arah gelas yang di letakkan Alea di atas meja. Meski minuman yang dia tuang hanya seperempat gelas. Tapi, masalahnya bukanlah di minuman itu. Karena sebenarnya, Adrian mengoleskan obat di bibir gelasnya. Jadi ketika Alea minum, otomatis obat itu masuk ke mulutnya juga. Alea merasa sangat tidak nyaman. Matanya berat, dah tubuhnya terasa ada sensasi yang membuatnya merasa aneh. "Aku mengantuk, terima kasih minumannya. Aku..."Alea menjeda ucapannya ketika dia merasa kepalanya mulai pusing. Awalnya Alea pikir dia mabuk, tapi masa iya, hanya satu gelas saja mabuk. Dia mencoba menepis pikiran itu, mengira tubuhnya hanya lelah. Namun, saat dia mencoba berdiri dari duduknya, kepalanya seperti berputar. Tubuhnya pun terasa aneh, seolah ada sesuatu yang merayap dalam aliran darahnya.Rasa panas menyergap tubuhnya dengan cepat. Tenggorokannya terasa kering seperti padang pasir, haus yang tiba-tiba datang menyerang tanpa
"Darimana kamu?"Deg.Jantung Alea seperti berhenti berdetak sejenak. Suara itu terdengar sangat dekat, dan entah kenapa, menyusup ke dalam tulang-tulangnya seperti hawa dingin dari ruang beku. Tubuhnya menegang, sebelum dia akhirnya memutar tubuhnya dengan cepat. Pintu kamar hotel yang belum sempat tertutup rapat kini terbuka sepenuhnya karena gerakannya.Matanya membulat. Shock. Terkejut bukan main. Tubuhnya sedikit mundur.Adrian.Laki-laki itu berdiri di dalam kamarnya, seperti sudah menunggu sejak lama. Wajahnya tenang. Bahkan nyaris tidak merasa bersalah seperti seseorang yang baru saja menerobos privasi orang lain.Alea menelan ludah. Tangannya refleks memegang gagang pintu seakan dia ingin keluar saja dari kamarnya itu. "Kamu! Bagaimana kamu bisa masuk kamarku?" tanyanya dengan suara yang meninggi, mencampuradukkan rasa takut, terkejut, dan kesal yang tidak bisa ia redam.Sikap tubuhnya berubah, siaga, waspada. Ini bukan situasi yang biasa. Alea tahu betul bahwa dia sudah men
Dan pada akhirnya, Alea membawa Kael ke hotel tempatnya dan Adrian menginap. Hotel berbintang lima yang berdiri megah di pusat kota Paris itu tampak bersinar di bawah pancaran lampu malam. Dingin musim semi yang menusuk tak mampu mengusir kehangatan tensi yang menggantung di antara mereka."Ini kartu kamarmu, besok pagi kita akan beli tiket..." ucap Alea datar, menyerahkan kartu kamar hotel kepada Kael.Kael menatap kartu itu di telapak tangannya. Ia memutar-mutar benda kecil persegi itu dengan jari telunjuk dan ibu jarinya, seolah menyimpan beban perasaan yang jauh lebih besar daripada sekadar benda plastik berlapis magnetik itu."Sudah susah payah bisa berada di tempat ini, tapi malah harus pulang. Menyedihkan sekali!" sela Kael sambil memainkan kartu kamarnya di telapak tangannya, bibirnya menyeringai kecil namun matanya menyimpan nada protes yang nyata.Alea mendengus pelan. Udara di lobi hotel yang sejuk terasa semakin dingin karena ulah Kael yang menyebalkan. Bisa-bisanya pria i
Alea masih menatap pria yang sedang duduk di seberangnya itu. Saat ini pria yang memperkenalkan diri pada Alea dengan nama Kael sejak awal itu sedang memotongkan daging steak untuk Alea. Tapi, dengan sesekali melirik ke arah Alea juga.Alea yang merasa agak janggal dengan pertemuan mereka yang terjadi begitu sangat kebetulan itu pun mulai menatap Kael dan memindai pria itu dengan matanya yang tidak setajam elang itu. 'Pria ini, bukannya dia pria bayaran? Aku juga belum membayarnya lunas. Lantas bagaimana caranya dia bisa ke Prancis? Dan mantelnya itu, mereknya bahkan sama dengan yang diberikan Bibi Wulan padaku. Ini benar-benar mencurigakan!' pikir Alea sambil mencoba menyembunyikan kegelisahan dari raut wajahnya.Tatapannya tak lepas dari mantel berwarna abu gelap dengan potongan elegan yang melekat sempurna di tubuh Kael. Kainnya tampak mahal, tebal namun ringan, dan menjuntai anggun seperti mantel yang sering terlihat di peragaan busana musim dingin Paris. Alea memindai lagi, dari
Dan seperti yang sudah Alea duga, dia akan banyak mendengar suara yang membuat telinganya ternoda.Meski Alea sudah berusaha menutup telinganya dengan bantal, dua orang yang merupakan pasangan menyebalkan di kamar sebelah itu sungguh membuat Alea geram. Suaranya tetap terdengar, entah menjatuhkan barang lah? entah si Adrian kutu kupret itu sengaja membuat suara-suara aneh lah? sungguh menyebalkan."Ya ampun, katanya orang kaya. Konglomerat, kok sewa hotel yang dindingnya gak kedap suara gini sih?" omel Alea.Padahal, Adrian sebenarnya sengaja melakukan semua itu. Pria itu ingin Alea resah, terangsang, dan akhirnya Alea tidak punya pilihan lain selain menerima rayuan Adrian. Sungguh konyol, pikirannya seperti itu.Alea bangkit dari tempat tidur dengan geram. Ia menepis bantal dari wajahnya, lalu duduk di pinggir ranjang sambil menarik napas dalam. Sorot matanya menyiratkan kejengkelan yang amat sangat, bukan hanya karena suara-suara dari kamar sebelah yang membuat malamnya rusak, tapi
"Ini kartu kamarmu? Atau mau bergabung?" tanya Adrian dengan tatapan yang begitu santai namun mengundang, membuat Alea ingin menampar wajah pria itu sekeras-kerasnya. Betapa lancangnya dia bicara seperti itu, seolah tidak ada batasan, tidak ada etika, dan seolah tidak ada satu pun wanita di dunia ini yang bisa menolak pesonanya yang ia anggap luar biasa itu.Mereka baru saja tiba di hotel yang sudah dipersiapkan Adrian sebelum mereka berangkat ke tempat ini. Dan baru masuk saja, Alea sudah dibuat kesal oleh Adrian. Alea menatap Adrian dengan tajam. Matanya menyiratkan amarah yang ia tahan dengan susah payah. Dadanya naik turun perlahan, menahan gejolak emosi yang siap meledak kapan saja. Di saat Larissa pergi ke toilet hanya untuk beberapa menit, pria ini justru memanfaatkan celah untuk melontarkan kata-kata yang tidak hanya menjijikkan tapi juga penuh kesombongan. Seolah dia adalah hadiah terindah dari surga yang layak dimiliki setiap wanita.Padahal, bagi Alea, Adrian justru sepert
Saat di dalam pesawat, Alea mendengus kesal lalu memalingkan pandangannya dari Adrian dan Larissa yang duduk di depannya. Dari sekian banyaknya kursi, kenapa juga dia dibelikan Adrian kursi yang ada di depan, berhadapan dengan pasangan menyebalkan itu.Ia mencoba menahan diri untuk tidak melempar bantal kursi ke arah mereka. Sejak awal perjalanan ini sudah cukup membuat kepalanya pening. Dia masih kesal dengan apa yang terjadi semalam antara dirinya dengan Kael. Dan Adrian sengaja membeli tiket kursi pesawat berada di depan mereka. Bagaimana kepala Alea tidak semakin berdenyut. Bahkan meskipun Alea ingin tidur, dia tetap bisa mendengar suara Adrian dan Larissa di depannya. Melihat Alea kesal, Adrian malah terkekeh pelan. Seolah tingkahnya itu sesuatu yang menghibur."Sayang, kenapa dia harus berada di depan kita? Kita jadi tidak bisa bebas bermesraan!" ujar Larissa, sengaja mengeraskan suara.Nada suaranya dibuat semanja mungkin, dan jelas itu ditujukan pada Alea. Seakan-akan sedang