Dan sekarang, Alea sungguh merasa dirinya terjebak. Dia bahkan harus melangkahkan kaki ke sebuah klub malam yang dipenuhi dentuman musik, cahaya berwarna-warni, dan aroma parfum bercampur alkohol yang menyengat. Semua itu karena Kael, pria yang entah kenapa masih saja mengusik hidupnya, bertaruh dan kalah dalam permainan yang sama sekali tidak masuk akal.
Alea menatap Kael dengan pandangan tajam, tajam seperti pisau yang baru diasah. Tatapan itu seakan ingin melahap pria itu hidup-hidup, tanpa sisa. "200 juta?" tanyanya dengan suara yang bergetar antara percaya dan tidak percaya. Sebagian dirinya merasa ini adalah mimpi buruk, sebagian lagi tahu betul ini nyata, terlalu nyata. Bagaimana mungkin Kael bisa dengan mudah mempertaruhkan uang sebesar itu? Bukankah jumlah tersebut lebih dari gajinya selama satu setengah tahun? Alea mengerutkan kening, mencoba mencerna logika yang tak bisa dicerna. Namun yang lebih membuat darahnya mendidih adalah ekspresi wajah Kael. Pria itu berdiri dengan tenang, wajahnya datar, tanpa dosa. Tidak ada penyesalan, tidak ada rasa bersalah, bahkan tidak ada rasa takut. Seolah-olah jumlah dua ratus juta itu tak lebih dari sekadar uang jajan, seperti receh yang bisa dibelanjakan Alea untuk membeli permen di pinggir jalan saja. Kael mengangguk dengan santai, seperti sedang menjawab pertanyaan biasa. "Iya, sayang..." ucapnya santai, dengan suara rendah yang terdengar terlalu manis untuk situasi seburuk ini. "Apa katamu?" seru Alea, membentak setengah berbisik. Rasa tidak terima langsung memenuhi dadanya saat Kael memanggilnya seperti itu, apalagi di depan banyak orang yang tengah mengamati mereka dengan tatapan penuh hiburan. Beberapa pria yang berdiri tidak jauh dari mereka, yang belakangan diketahui adalah teman-teman Kael, tertawa kecil. Mereka terkekeh pelan, menikmati tontonan langsung antara seorang pria penghibur dan seorang wanita yang tampak sangat tidak cocok berada di tempat seperti ini. Kael, tanpa memperdulikan reaksi Alea, meraih tangan wanita itu. Dengan gerakan lembut namun penuh kendali, dia menarik Alea lebih dekat. Begitu dekat, hingga hanya satu sentimeter lagi, dada mereka akan saling bersentuhan. Jarak yang terlalu intim untuk dua orang dengan hubungan yang tak jelas. "Sayang, mereka teman-temanku," katanya pelan, nyaris berbisik di telinga Alea. "Satu profesi denganku. Kamu jangan khawatir, mereka akan tutup mulut." Ia menarik garis dari sudut bibir kanannya ke kiri dengan jari telunjuk dan ibu jari yang disatukan, memberi isyarat seolah bibir teman-temannya sudah terkunci rapat. Seolah semua ini hanyalah candaan yang bisa berlalu dengan mudah. Alea mengernyitkan kening. Kepalanya mulai pusing, pikirannya penuh sesak. 'Oh, ya Tuhan... aku benar-benar terjebak oleh pria ini,' batinnya. 'Bisa-bisanya dia membawaku ke hadapan teman-teman satu profesinya. Apa yang akan mereka pikirkan tentang aku?' Namun, setelah beberapa detik bergelut dalam pikiran, Alea menghela napas panjang. 'Hais, persetan dengan harga diri. Sudah hancur juga, bayar saja lalu pergi!' pikirnya pasrah. "Baiklah," katanya dengan suara datar. "Aku akan bayar 200 juta. Berarti sisa 800 juta ya? Berikan saja rekeningmu. Aku akan lunasi semua!" Alea merasa ini harus diakhiri. Sudah cukup semua kebodohan ini. Semakin lama dia berada di dekat Kael, semakin lemah pertahanannya. Ia tahu, berurusan dengan pria seperti Kael bukanlah keputusan yang baik untuknya, juga untuk keluarganya. Malam itu, malam di mana segalanya bermula, dia memang yang salah. Dia mabuk, dia merayu, dan dia kehilangan kontrol. Sangat memalukan sebenarnya, dan lebih memalukan lagi karena dia masih ingat betul bagaimana liarnya dirinya malam itu. Namun, terus berurusan dengan pria penghibur... itu sama saja dengan bunuh diri sosial. Kael hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum, seolah tidak ada hal besar yang terjadi. Tapi dari sorot matanya, jelas terlihat bahwa ia tidak berniat untuk melepaskan Alea dalam waktu dekat. "Ini nomor rekening Sam!" katanya ringan, menyerahkan sebuah catatan kecil berisi angka. Tanpa pikir panjang, Alea segera mentransfer uang dua ratus juta itu. Jarinya menari cepat di layar ponsel. "Sudah," ucapnya setelah selesai. Tiga pria yang sejak tadi mengawasi mereka pun langsung beranjak pergi, menghilang dari ruangan itu seperti bayangan yang tidak diharapkan. Setelah mereka pergi, Alea kembali menatap Kael dengan tajam. "Mana rekeningmu?" tanyanya, berharap bisa segera menyelesaikan semua ini. Dia ingin melunasi semuanya dan mengakhiri keterikatannya dengan pria ini. Kael mendadak memegang kepalanya dan meringis kecil, pura-pura seperti orang yang sedang sakit kepala. "Aduh! Aku lupa," katanya sok polos. Alea mendengus, tidak percaya dengan tingkah Kael yang begitu menyebalkan. "Lihat di ponselmu!" katanya tak mau kalah. Kael segera menunjukkan ponselnya dengan layar yang benar-benar gelap. "Habis baterai!" ujarnya sangat enteng, seperti itu bukan masalah besar. Alea semakin kesal. "Ya sudahlah! Sudah selesai kan? Aku akan pergi!" katanya cepat, ingin segera angkat kaki dari tempat penuh dosa ini. Namun baru saja dua langkah, tangannya ditarik Kael dengan lembut namun tegas. "Sayang, kamu sudah mengeluarkan 200 juta untukku. Apa kamu mau pergi begitu saja?" ucap Kael dengan suara yang dibuat-buat manja, seolah mereka pasangan kekasih yang sedang bercanda. Dan tangannya... tangan pria itu terlalu nakal. Ia menggenggam tangan Alea, lalu menariknya ke arah dadanya yang bidang dan keras. Mata Alea melebar, detik itu juga rasa tergoda merambat pelan di tubuhnya. Masalahnya, pria yang ada di hadapannya ini memang terlalu tampan. Bahkan untuk ukuran pria penghibur. Wajahnya, tubuhnya, dan auranya... seakan memiliki magnet yang tak bisa dihindari oleh wanita manapun. Kael tak berhenti di situ. Tangan kanannya membawa jari-jari Alea menjelajahi dadanya, merasakan otot-otot keras di balik kemejanya. Tangan kirinya dengan nakal mulai membuka kancing satu per satu dari bajunya sendiri. Udara di antara mereka semakin panas, menyengat, menggoda. Tubuh Alea mulai bereaksi. Tapi dalam waktu yang nyaris bersamaan, ia menarik tangannya cepat-cepat. Otaknya mulai bekerja kembali, mengingat tanggungannya, mengingat jumlah uang yang belum ia lunasi. "Tidak... tidak! Aku rasa sudah cukup. Mungkin kamu lihat aku seperti orang kaya. Tapi sebenarnya tidak. Sudahlah, aku akan pergi..." katanya terbata, mencoba mengakhiri semua ini. Namun ucapannya terjeda. Kael tidak melepaskan tangannya. Pria itu masih menggenggam erat, seperti tidak mau kehilangan kesempatan. "Sayang," katanya lirih, "aku tidak akan minta bayaran lagi. Anggap saja bonus dariku." Grepp. Tanpa peringatan, Kael menarik pinggang Alea dengan cepat. Tubuh mereka bertabrakan. Begitu rapat, begitu panas. Alea panik, mendorong dada Kael. Tapi pria itu seolah tidak memiliki niat sedikitpun untuk melepaskannya. Dan sebelum Alea bisa memprotes lebih jauh, bibir Kael sudah menempel pada bibirnya. Menekan dengan lembut namun penuh gairah. Menyesap bibir atas dan bawahnya, mencuri napas dan kata-kata Alea sebelum sempat terlontar. Alea sempat ingin menolak, tapi seiring waktu detik demi detik berlalu, tubuhnya menyerah. Ia kembali tenggelam dalam permainan ciuman yang panas dan mendebarkan itu. Seakan semua logika dan kesadaran luruh, digantikan oleh satu hal, pesona Kael yang tak tertahankan. To be continued...Keduanya terhanyut dalam sentuhan satu sama lain. Sentuhan panas, dan menggelitik yang menuntut untuk merasakan lebih dan lebih lagi.Desahan tertahan, napas memburu, dan ketegangan yang mengalir di antara keduanya menjadi irama malam yang tak terelakkan. Aroma tubuh yang bercampur dengan napas hangat menciptakan ruang penuh gairah, seolah waktu berhenti berdetak hanya untuk mereka berdua.Hingga ketika tangan hangat itu menyentuh bagian sensitif Alea, tubuh Alea menegang. Mata Alea terbuka, dan ia langsung menahan tangan Kael dengan cengkeraman yang gemetar.Tatapan matanya menunjukkan, kalau dia ingin mundur. Dia tidak ingin meneruskannya. Sayangnya, tangannya di tepis begitu saja oleh Kael, dan pria itu berkata. "Sayang, jika kamu ingin mundur. Ini sudah terlambat!" kata Kael dengan napas yang sudah begitu memburu, suaranya berat dan serak, dipenuhi hasrat yang tak lagi bisa dikendalikan.Kedua tangan Alea dikunci di atas kepalanya oleh tangan Kael. Wajah Alea memerah, bukan hanya
Alea terus menerus memegang keningnya. Rasa sakit yang menusuk di pelipisnya seolah menjadi pengingat bahwa tubuhnya sedang memprotes kurangnya istirahat. Dia benar-benar kelelahan. Semalam, dia nyaris tidak tidur karena Kael. Dan pagi ini, dia harus menghadiri meeting yang dijadwalkan sangat pagi.Matanya yang sembab dan wajahnya yang pucat tidak bisa menipu siapa pun. Akan tetapi, dia harus tetap bekerja. Apalagi, ini adalah proyek penting yang sudah ditanganinya selama beberapa minggu terakhir."Ku kira siapa? Ternyata calon nyonya Adrian ya? Sayangnya, hanya nama saja!"Suara tinggi bernada sinis itu menusuk telinga Alea seperti paku berkarat yang ditancapkan paksa. Seorang wanita dengan blouse biru telur asin masuk ke dalam ruangan meeting dengan langkah percaya diri yang menyebalkan. Dia tidak datang sendirian, bibirnya melengkungkan senyum miring penuh provokasi.Alea melirik sekilas. Wajahnya langsung berubah. Rasa sakit kepala yang tadinya hanya berdenyut pelan, kini seperti
Belum juga Alea beranjak dari kursi di ruangan meeting itu. Aroma kopi sisa rapat masih mengambang samar di udara, dan suara detik jam di dinding seolah memaku suasana dalam keheningan yang menyesakkan. Pikirannya masih terbagi antara mencaritahu siapa pemilik Sunrise Resort dan juga permintaan Kael yang menginginkan sebuah apartemen. "Aku jadi berasa sugar mommy beneran kalau seperti ini" gumamnya. Layar ponsel menyala, menampilkan sebuah pesan masuk dari Kael. Sebuah foto terpampang jelas. Brosur apartemen mewah dengan desain minimalis modern yang elegan 'Gloria Garden', tertulis jelas di bagian atas dengan font emas mengilap.Mata Alea membulat sempurna. Mulutnya ikut ternganga tanpa sadar. Pandangannya terpaku pada gambar unit apartemen yang tampak lebih seperti istana kecil daripada hunian biasa. Kepala Alea yang sejak pagi berdenyut akibat tekanan pekerjaan kini terasa makin berat, seakan tak sanggup lagi dia tegakkan. Rasa pusing menjalar dari pelipis ke tengkuk, membuat tub
"Sayang…" panggil Kael begitu melihat sosok Alea melangkah masuk ke area lobi gedung agen properti yang mewah itu.Alea segera mengangkat satu tangannya, telunjuknya teracung ke depan bibirnya seperti seorang guru yang sedang memperingatkan muridnya. "Ssttt!" desisnya pelan tapi tegas, tatapannya tajam dan waspada. "Jangan panggil aku seperti itu! Panggil saja Alea," lanjutnya tanpa basa-basi.Nada suaranya datar, namun sorot matanya menyiratkan kekhawatiran yang lebih dalam. Ia tak ingin ada yang tahu hubungan mereka. Hubungan yang, bahkan untuk mereka sendiri, sulit untuk didefinisikan. Ya, hubungan yang seperti itu. Hubungan yang penuh kerumitan, diam-diam, dan tak seharusnya ada. Karena, Alea memang sudah bertunangan dengan Adrian.Pesta pertunangan mereka yang bukan sekadar selebrasi kecil-kecilan. Acara itu besar, meriah, dan dihadiri oleh ratusan tamu undangan. Bahkan masuk ke halaman depan media sosial dan surat kabar kota, menjadi buah bibir selama berhari-hari. Siapa yang ti
Di dalam ruangan Pak Martin, pria yang merupakan penanggung jawab penjualan dan pembayaran apartemen, yang kini hanya tersisa satu unit saja. Alea masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Pandangannya menyapu ruangan, berusaha menemukan jawaban atas apa yang sedang dia pikirkan. Saat ini, pak Martin sedang keluar dari ruangan itu, sedang mengurus surat-suratnya. Apartemen atas nama Alea dengan harga yang tidak masuk akal. Tadi, dia hanya mentransfer 170 juta rupiah. Ya, hanya sebanyak itu. Jumlah yang, kalau digunakan untuk menyewa unit apartemen, bahkan hanya untuk satu bulan saja. Tapi kenyataannya, kini dia menjadi pemilik sah unit tersebut dengan harga itu, harga yang bisa disamakan dengan harga sebuah unit mobil second? Rasanya seperti sesuatu yang mustahil. Tapi itu terjadi saat ini. Alea menggigit bibir bawahnya. Matanya melirik ke arah pria di sampingnya yang tampak santai. Dia juga heran, kenapa Kael terlihat santai sekali sejak tadi. Merasa ada yang jangg
Sementara itu, di tempat yang sama. Tapi, di ruangan berbeda. Sebuah keributan terjadi antara manajer marketing developer apartemen Gloria Garden dengan Adrian dan juga Larissa.Masalahnya bukan sepele. Kedua orang itu sudah menunggu selama satu jam penuh. Wajar saja jika emosi mereka memuncak. Mungkin jika mereka hanya menunggu sepuluh atau lima belas menit, kemarahan sebesar ini tak akan muncul. Namun satu jam adalah waktu yang terlalu lama, terutama bagi seseorang seperti Adrian, yang terbiasa dilayani, bukan menunggu."Aku punya uang! Aku akan bayar apartemen itu berapa pun harganya!" seru Adrian dengan nada tinggi, penuh kesombongan.Nada suaranya saja sudah cukup menusuk, namun tidak hanya itu. Sikap tubuh Adrian juga menunjukkan arogansi. Ia menunjuk-nunjuk wajah manajer marketing itu dengan jari telunjuknya yang terangkat setinggi kepala. Setiap gerakan tubuhnya mengandung tekanan. Nada bicara dan gerakannya jelas menggambarkan bahwa ia tidak terbiasa ditolak.Pria paruh baya
Larissa mendengus pelan, memandang Kael dari ujung kepala hingga kaki, seolah setiap helaian kain di tubuh pria itu adalah aib bagi estetika. Jaket polos berwarna abu-abu yang mulai tampak pudar, kaus hitam sederhana tanpa merek mencolok, dan sepatu kets yang sudah tampak usang, bukan hanya membuatnya kehilangan selera, tapi juga membuatnya merasa terhina karena harus berada dalam satu ruangan dengan pria semacam itu."Sayang," bisik Larissa sambil mencondongkan tubuh ke arah Adrian, "lihat dia. Jaketnya mungkin hanya ratusan ribu, dan sepatu itu? Mungkin beli di pinggir jalan. Bagaimana bisa orang seperti itu membeli apartemen? Aku yakin dia penipu."Suara bisikannya mungkin hanya bisa didengar Adrian, tapi tatapannya yang sinis dan senyum menyeringai itu cukup untuk menelanjangi Kael tanpa menyentuhnya. Ia merasa menjadi hakim yang baru saja menjatuhkan vonis.Dari balik salah satu pilar besar di dalam lobi gedung itu, Alea mengamati mereka. Matanya menyipit, penuh kekesalan yang di
Beberapa saat setelah mereka sampai di apartemen yang sebenarnya cukup mengejutkan Alea juga. Bagaimana tidak? Dia pikir, dia hanya akan membeli sebuah apartemen yang hanya siap huni dengan rak televisi, sofa ruang tamu, dan tempat tidur. Biasanya memang itu saja, bukan? Juga dengan fasilitas kamar mandi, seperti shower dan bathtub. Di dapur, paling hanya ada kompor dan kabinet yang biasanya memang tersedia di apartemen mahal. Tapi, bukan hanya semua itu yang dia temukan saat Alea masuk untuk pertama kalinya. Di ruang tamu, bahkan semua perintilannya sudah lengkap dan tertata sedemikian rupa. Lampu hias kristal menggantung elegan di langit-langit, guci-guci antik berjajar di atas rak kayu jati yang mengilap. Sebuah rak buku berdiri megah di sudut ruangan, dipenuhi dengan deretan buku-buku bersampul keras. Ada lukisan besar bergaya impresionis tergantung di dinding, jam dinding antik berdenting pelan, dan segala pernak-pernik kecil seperti bantal dekorasi, lilin aromaterapi, bahkan ma
Alea menghela napas panjang dan berat saat ia menginjakkan kakinya keluar dari pintu lift. Suara desingan mekanis pintu lift yang perlahan tertutup di belakangnya terdengar seperti gerbang yang menelan kebebasan terakhir yang ia miliki. Di lantai perusahaan ini, tempat kantor Adrian berada, atmosfer terasa lebih pekat daripada biasanya. Ini bukan kantor pusat dari Hartanto Company. Bangunan ini hanyalah salah satu cabang penting yang ditangani langsung oleh Adrian. Tapi entah kenapa, tempat ini selalu membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena interiornya yang terlalu mewah, atau suhu ruangan yang terlalu dingin. Namun lebih kepada perasaan yang sulit dijelaskan, seolah-olah dinding-dindingnya menyimpan tatapan tajam dari Adrian, bahkan saat pria itu tidak ada di sana.Makanya, setiap kali Alea berada di kantor ini, napasnya seolah tercekat. Oksigen terasa semakin menipis, seakan-akan udara pun enggan menyapa keberadaannya. Ini adalah wilayah kekuasaan Adrian sepenuhnya, dan keberad
Saat ponselnya berdering, Alea tengah sibuk mencengkeram seprei yang ada di bawahnya. Jemarinya menggumpal erat, mencengkram kuat seolah itu satu-satunya pegangan yang bisa menyelamatkannya dari badai kenikmatan yang tengah melanda tubuhnya. Setelah makan siang, Kael langsung mengangkat tubuh Alea seperti tak ingin membuang waktu, lalu membaringkannya di ranjang dengan gerakan yang penuh nafsu namun tetap lembut. Tatapan matanya tajam, namun penuh dengan kelaparan. Bukan kelaparan akan makanan, tetapi akan sesuatu yang hanya bisa dipenuhi oleh tubuh Alea. "Aku juga lapar," katanya dengan suara rendah dan serak, nyaris seperti bisikan iblis yang memabukkan. Alea, yang saat itu belum mengerti maksud Kael, langsung menawarkan makanan yang ada di atas meja. "Makanan itu masih banyak..." Belum sempat kalimatnya selesai, Kael sudah menunduk dan menggigit lembut daun telinga Alea. Sebuah gigitan kecil yang memicu ledakan sensasi aneh di sekujur tubuhnya. Seolah saraf-sarafnya langsung b
Sementara itu di tempat berbeda, Larissa masih terlihat merengek pada Adrian. Wajahnya memelas, kedua matanya sedikit berkaca-kaca seolah baru saja menahan tangis. Semua itu karena dia tidak mendapatkan apartemen yang sudah dia pamerkan pada semua orang itu. Harga dirinya tercabik. Gengsi yang sudah terbangun rapi di depan teman-temannya kini seolah runtuh dalam sekejap. Sebenarnya dalam hati wanita itu, dia kesal sekali, kenapa Adrian tidak mampu membuat apartemen itu jadi miliknya. Bukankah Adrian selalu membanggakan kekayaannya? Tapi untuk satu permintaan ini saja dia tidak mampu? Namun, Larissa bukan wanita yang gegabah. Ia tahu betul bagaimana menghadapi Adrian. Ia memang pandai memanipulasi perasaan kekasihnya itu. Adrian bukan tipe pria yang suka diprotes atau dilawan. Adrian adalah tipe pria yang suka diagungkan, dipuja, dan dijadikan pusat perhatian. Ia menyukai wanita yang bergantung padanya, wanita yang tampak tak berdaya, seolah-olah dia adalah satu-satunya penyelamat. L
Beberapa saat setelah mereka sampai di apartemen yang sebenarnya cukup mengejutkan Alea juga. Bagaimana tidak? Dia pikir, dia hanya akan membeli sebuah apartemen yang hanya siap huni dengan rak televisi, sofa ruang tamu, dan tempat tidur. Biasanya memang itu saja, bukan? Juga dengan fasilitas kamar mandi, seperti shower dan bathtub. Di dapur, paling hanya ada kompor dan kabinet yang biasanya memang tersedia di apartemen mahal. Tapi, bukan hanya semua itu yang dia temukan saat Alea masuk untuk pertama kalinya. Di ruang tamu, bahkan semua perintilannya sudah lengkap dan tertata sedemikian rupa. Lampu hias kristal menggantung elegan di langit-langit, guci-guci antik berjajar di atas rak kayu jati yang mengilap. Sebuah rak buku berdiri megah di sudut ruangan, dipenuhi dengan deretan buku-buku bersampul keras. Ada lukisan besar bergaya impresionis tergantung di dinding, jam dinding antik berdenting pelan, dan segala pernak-pernik kecil seperti bantal dekorasi, lilin aromaterapi, bahkan ma
Larissa mendengus pelan, memandang Kael dari ujung kepala hingga kaki, seolah setiap helaian kain di tubuh pria itu adalah aib bagi estetika. Jaket polos berwarna abu-abu yang mulai tampak pudar, kaus hitam sederhana tanpa merek mencolok, dan sepatu kets yang sudah tampak usang, bukan hanya membuatnya kehilangan selera, tapi juga membuatnya merasa terhina karena harus berada dalam satu ruangan dengan pria semacam itu."Sayang," bisik Larissa sambil mencondongkan tubuh ke arah Adrian, "lihat dia. Jaketnya mungkin hanya ratusan ribu, dan sepatu itu? Mungkin beli di pinggir jalan. Bagaimana bisa orang seperti itu membeli apartemen? Aku yakin dia penipu."Suara bisikannya mungkin hanya bisa didengar Adrian, tapi tatapannya yang sinis dan senyum menyeringai itu cukup untuk menelanjangi Kael tanpa menyentuhnya. Ia merasa menjadi hakim yang baru saja menjatuhkan vonis.Dari balik salah satu pilar besar di dalam lobi gedung itu, Alea mengamati mereka. Matanya menyipit, penuh kekesalan yang di
Sementara itu, di tempat yang sama. Tapi, di ruangan berbeda. Sebuah keributan terjadi antara manajer marketing developer apartemen Gloria Garden dengan Adrian dan juga Larissa.Masalahnya bukan sepele. Kedua orang itu sudah menunggu selama satu jam penuh. Wajar saja jika emosi mereka memuncak. Mungkin jika mereka hanya menunggu sepuluh atau lima belas menit, kemarahan sebesar ini tak akan muncul. Namun satu jam adalah waktu yang terlalu lama, terutama bagi seseorang seperti Adrian, yang terbiasa dilayani, bukan menunggu."Aku punya uang! Aku akan bayar apartemen itu berapa pun harganya!" seru Adrian dengan nada tinggi, penuh kesombongan.Nada suaranya saja sudah cukup menusuk, namun tidak hanya itu. Sikap tubuh Adrian juga menunjukkan arogansi. Ia menunjuk-nunjuk wajah manajer marketing itu dengan jari telunjuknya yang terangkat setinggi kepala. Setiap gerakan tubuhnya mengandung tekanan. Nada bicara dan gerakannya jelas menggambarkan bahwa ia tidak terbiasa ditolak.Pria paruh baya
Di dalam ruangan Pak Martin, pria yang merupakan penanggung jawab penjualan dan pembayaran apartemen, yang kini hanya tersisa satu unit saja. Alea masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Pandangannya menyapu ruangan, berusaha menemukan jawaban atas apa yang sedang dia pikirkan. Saat ini, pak Martin sedang keluar dari ruangan itu, sedang mengurus surat-suratnya. Apartemen atas nama Alea dengan harga yang tidak masuk akal. Tadi, dia hanya mentransfer 170 juta rupiah. Ya, hanya sebanyak itu. Jumlah yang, kalau digunakan untuk menyewa unit apartemen, bahkan hanya untuk satu bulan saja. Tapi kenyataannya, kini dia menjadi pemilik sah unit tersebut dengan harga itu, harga yang bisa disamakan dengan harga sebuah unit mobil second? Rasanya seperti sesuatu yang mustahil. Tapi itu terjadi saat ini. Alea menggigit bibir bawahnya. Matanya melirik ke arah pria di sampingnya yang tampak santai. Dia juga heran, kenapa Kael terlihat santai sekali sejak tadi. Merasa ada yang jangg
"Sayang…" panggil Kael begitu melihat sosok Alea melangkah masuk ke area lobi gedung agen properti yang mewah itu.Alea segera mengangkat satu tangannya, telunjuknya teracung ke depan bibirnya seperti seorang guru yang sedang memperingatkan muridnya. "Ssttt!" desisnya pelan tapi tegas, tatapannya tajam dan waspada. "Jangan panggil aku seperti itu! Panggil saja Alea," lanjutnya tanpa basa-basi.Nada suaranya datar, namun sorot matanya menyiratkan kekhawatiran yang lebih dalam. Ia tak ingin ada yang tahu hubungan mereka. Hubungan yang, bahkan untuk mereka sendiri, sulit untuk didefinisikan. Ya, hubungan yang seperti itu. Hubungan yang penuh kerumitan, diam-diam, dan tak seharusnya ada. Karena, Alea memang sudah bertunangan dengan Adrian.Pesta pertunangan mereka yang bukan sekadar selebrasi kecil-kecilan. Acara itu besar, meriah, dan dihadiri oleh ratusan tamu undangan. Bahkan masuk ke halaman depan media sosial dan surat kabar kota, menjadi buah bibir selama berhari-hari. Siapa yang ti
Belum juga Alea beranjak dari kursi di ruangan meeting itu. Aroma kopi sisa rapat masih mengambang samar di udara, dan suara detik jam di dinding seolah memaku suasana dalam keheningan yang menyesakkan. Pikirannya masih terbagi antara mencaritahu siapa pemilik Sunrise Resort dan juga permintaan Kael yang menginginkan sebuah apartemen. "Aku jadi berasa sugar mommy beneran kalau seperti ini" gumamnya. Layar ponsel menyala, menampilkan sebuah pesan masuk dari Kael. Sebuah foto terpampang jelas. Brosur apartemen mewah dengan desain minimalis modern yang elegan 'Gloria Garden', tertulis jelas di bagian atas dengan font emas mengilap.Mata Alea membulat sempurna. Mulutnya ikut ternganga tanpa sadar. Pandangannya terpaku pada gambar unit apartemen yang tampak lebih seperti istana kecil daripada hunian biasa. Kepala Alea yang sejak pagi berdenyut akibat tekanan pekerjaan kini terasa makin berat, seakan tak sanggup lagi dia tegakkan. Rasa pusing menjalar dari pelipis ke tengkuk, membuat tub