Sementara itu di tempat berbeda, Larissa masih terlihat merengek pada Adrian. Wajahnya memelas, kedua matanya sedikit berkaca-kaca seolah baru saja menahan tangis. Semua itu karena dia tidak mendapatkan apartemen yang sudah dia pamerkan pada semua orang itu. Harga dirinya tercabik. Gengsi yang sudah terbangun rapi di depan teman-temannya kini seolah runtuh dalam sekejap. Sebenarnya dalam hati wanita itu, dia kesal sekali, kenapa Adrian tidak mampu membuat apartemen itu jadi miliknya. Bukankah Adrian selalu membanggakan kekayaannya? Tapi untuk satu permintaan ini saja dia tidak mampu? Namun, Larissa bukan wanita yang gegabah. Ia tahu betul bagaimana menghadapi Adrian. Ia memang pandai memanipulasi perasaan kekasihnya itu. Adrian bukan tipe pria yang suka diprotes atau dilawan. Adrian adalah tipe pria yang suka diagungkan, dipuja, dan dijadikan pusat perhatian. Ia menyukai wanita yang bergantung padanya, wanita yang tampak tak berdaya, seolah-olah dia adalah satu-satunya penyelamat. L
Saat ponselnya berdering, Alea tengah sibuk mencengkeram seprei yang ada di bawahnya. Jemarinya menggumpal erat, mencengkram kuat seolah itu satu-satunya pegangan yang bisa menyelamatkannya dari badai kenikmatan yang tengah melanda tubuhnya. Setelah makan siang, Kael langsung mengangkat tubuh Alea seperti tak ingin membuang waktu, lalu membaringkannya di ranjang dengan gerakan yang penuh nafsu namun tetap lembut. Tatapan matanya tajam, namun penuh dengan kelaparan. Bukan kelaparan akan makanan, tetapi akan sesuatu yang hanya bisa dipenuhi oleh tubuh Alea. "Aku juga lapar," katanya dengan suara rendah dan serak, nyaris seperti bisikan iblis yang memabukkan. Alea, yang saat itu belum mengerti maksud Kael, langsung menawarkan makanan yang ada di atas meja. "Makanan itu masih banyak..." Belum sempat kalimatnya selesai, Kael sudah menunduk dan menggigit lembut daun telinga Alea. Sebuah gigitan kecil yang memicu ledakan sensasi aneh di sekujur tubuhnya. Seolah saraf-sarafnya langsung b
Alea menghela napas panjang dan berat saat ia menginjakkan kakinya keluar dari pintu lift. Suara desingan mekanis pintu lift yang perlahan tertutup di belakangnya terdengar seperti gerbang yang menelan kebebasan terakhir yang ia miliki. Di lantai perusahaan ini, tempat kantor Adrian berada, atmosfer terasa lebih pekat daripada biasanya. Ini bukan kantor pusat dari Hartanto Company. Bangunan ini hanyalah salah satu cabang penting yang ditangani langsung oleh Adrian. Tapi entah kenapa, tempat ini selalu membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena interiornya yang terlalu mewah, atau suhu ruangan yang terlalu dingin. Namun lebih kepada perasaan yang sulit dijelaskan, seolah-olah dinding-dindingnya menyimpan tatapan tajam dari Adrian, bahkan saat pria itu tidak ada di sana.Makanya, setiap kali Alea berada di kantor ini, napasnya seolah tercekat. Oksigen terasa semakin menipis, seakan-akan udara pun enggan menyapa keberadaannya. Ini adalah wilayah kekuasaan Adrian sepenuhnya, dan keberad
"Ayah menjualku?" tanya seorang wanita cantik sambil melemparkan sebuah undangan ke atas meja.Wajahnya tampak tidak senang. Di atas kertas undangan itu tertera namanya dan nama seorang pria yang selama ini dekat dengannya, pria yang dulu sempat menjadi kekasihnya saat kuliah, tetapi hubungan mereka berakhir karena pria itu mengkhianatinya.Mendengar putrinya berkata seperti itu, pria paruh baya yang merupakan ayah kandungnya menghela napas berat."Kamu ini bicara apa, Alea? Kenapa berkata seperti itu kepada Ayah? Memangnya orang tua mana yang mau menjual anaknya?" tanya pria bernama Martin Adijaya itu.Alea mengernyitkan kening."Orang tua mana, tanya Ayah? Ya Ayahlah!" balasnya dengan suara penuh emosi. "Jelas-jelas aku sudah bilang, Adrian itu playboy, tukang selingkuh! Masih mau Ayah menjodohkanku dengannya? Apa namanya kalau bukan menjual anak demi uang?" "Alea..." sela Mira, ibu kandung Alea.Wajah wanita paruh baya itu tampak sedih. Bagaimana bisa putrinya berkata seperti itu
Prok prok prokSuara gemuruh tepuk tangan terdengar begitu riuh ketika Adrian menyematkan cincin pertunangan di jari manis tangan kanan Alea.Dengan lembut, Adrian mengecup punggung tangan Alea."Akhirnya kamu setuju. Aku sudah bilang, kamu akan jadi milikku, Alea. Hanya milikku!"Tatapan Adrian sungguh membuat Alea muak. Bahkan tadi, saat dia selesai dirias dan keluar dari ruang istirahat yang disiapkan di hotel ini, dia sempat melihat Adrian mencium Larissa, mantan kekasihnya. Atau mungkin masih kekasihnya? Hanya karena wanita itu seorang penyanyi klub malam, orang tua Adrian tidak pernah merestui hubungan mereka.Adrian meraih pinggang Alea. Dia tahu seharusnya apa yang akan terjadi. Mereka sudah bertunangan, pasti Adrian akan menciumnya.Namun, mengingat apa yang dia lihat tadi di dekat ruang istirahat, Alea menjadi sangat kesal.Ketika Adrian mendekatkan wajahnya ke Alea…"Hatchiu!"Adrian segera menjauh karena Alea yang ingin diciumnya malah bersin."Maaf, maaf, Adrian. Aku rasa
"Nona, Anda sudah terlalu mabuk! Sebaiknya saya hubungi seseorang yang bisa membawa Anda pulang," ucap bartender yang sejak tadi melayani Alea dengan ekspresi khawatir.Wanita itu bahkan sudah tidak sanggup menegakkan kepalanya dengan benar, tapi tetap bersikeras meminta minuman lagi dan lagi.Alea, yang masih setengah sadar namun cukup mampu mendengar, melambaikan tangannya dengan malas."Tidak ada yang menginginkan aku pulang. Biarkan aku di sini, ya... ya...""Nona...""Siapa yang tidak menginginkanmu pulang?"Suara baru itu terdengar lebih dalam, lebih berat, dan lebih tegas dibanding suara bartender tadi. Alea mengangkat kepalanya dengan susah payah. Seorang pria tampan dengan kemeja hitam mahal kini duduk di sebelahnya. Matanya yang tajam mengamati Alea dengan ekspresi yang sulit dimengerti."Kamu..." gumam Alea, mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memastikan bahwa penglihatannya tidak menipunya."Aku akan menemani dia. Lanjutkan pekerjaanmu," kata pria itu, tanpa ragu,
Alea membuka matanya perlahan. Dia merasa seolah telah melakukan aktivitas yang sangat berat dan melelahkan semalam. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Bahkan untuk bangun saja, dia merasa cukup kesulitan. Alea memegang kepalanya yang masih sedikit pusing. Dia mengerjapkan matanya perlahan dan menyadari bahwa dia tidak bisa bangun bukan hanya karena tubuhnya terasa remuk, tetapi juga karena sebuah tangan kekar berada di atas perutnya. Alea menelan salivanya dengan susah payah. Dia menoleh ke samping, dan bola matanya nyaris melompat keluar. "Siapa dia?" batinnya terkejut. Di saat kesadarannya mulai pulih, Alea merasakan sensasi perih di bawah sana. Ingatannya mulai kembali satu per satu, mengingat apa yang terjadi semalam. Alea memejamkan matanya, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Semua kenangan itu muncul kembali, bagaimana dia merayu pria itu, bagaimana dia mengatakan akan membayarnya. Semua itu terjadi karena emosi dan kemarahannya pada Adrian. "Bodoh! Sekarang apa bedanya aku
Alea akhirnya kembali ke rumah orang tuanya. Cukup lama dia diam di taksi online yang dia tumpangi. Dia memastikan kalau bagian atas tubuhnya sama sekali tidak ada tanda pria bernama Kael itu. Alea sungguh di buat geleng-geleng kepala karena ulah pria bernama Kael itu. Bisa-bisanya minta di pesankan taksi juga, dan ongkosnya. "Huh, apa ini artinya aku sedang terjebak dengan seorang pria yang benar-benar miskin? hah, apa yang aku pikirkan, dia akan segera dapat satu milyar, dia akan jadi OKB" gerutunya sambil mengenakan sepatu hak tingginya. Supir taksi itu juga hanya diam saja, dia pikir mungkin penumpang di belakangnya itu masih mabukk. Alea turun dari taksi, dan dia harus menghela nafas sangat berat. "Huh, masih pagi loh!" gumamnya mengeluh seraya menghentikan langkahnya. Dan hal yang membuatnya mengeluh adalah sosok pria yang semalam menjadi tunangannya itu, tapi hanya di tinggal sebentar ke toilet saja sudah bercinta dengan wanita lain. Pria yang memang menunggu kedatanga
Alea menghela napas panjang dan berat saat ia menginjakkan kakinya keluar dari pintu lift. Suara desingan mekanis pintu lift yang perlahan tertutup di belakangnya terdengar seperti gerbang yang menelan kebebasan terakhir yang ia miliki. Di lantai perusahaan ini, tempat kantor Adrian berada, atmosfer terasa lebih pekat daripada biasanya. Ini bukan kantor pusat dari Hartanto Company. Bangunan ini hanyalah salah satu cabang penting yang ditangani langsung oleh Adrian. Tapi entah kenapa, tempat ini selalu membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena interiornya yang terlalu mewah, atau suhu ruangan yang terlalu dingin. Namun lebih kepada perasaan yang sulit dijelaskan, seolah-olah dinding-dindingnya menyimpan tatapan tajam dari Adrian, bahkan saat pria itu tidak ada di sana.Makanya, setiap kali Alea berada di kantor ini, napasnya seolah tercekat. Oksigen terasa semakin menipis, seakan-akan udara pun enggan menyapa keberadaannya. Ini adalah wilayah kekuasaan Adrian sepenuhnya, dan keberad
Saat ponselnya berdering, Alea tengah sibuk mencengkeram seprei yang ada di bawahnya. Jemarinya menggumpal erat, mencengkram kuat seolah itu satu-satunya pegangan yang bisa menyelamatkannya dari badai kenikmatan yang tengah melanda tubuhnya. Setelah makan siang, Kael langsung mengangkat tubuh Alea seperti tak ingin membuang waktu, lalu membaringkannya di ranjang dengan gerakan yang penuh nafsu namun tetap lembut. Tatapan matanya tajam, namun penuh dengan kelaparan. Bukan kelaparan akan makanan, tetapi akan sesuatu yang hanya bisa dipenuhi oleh tubuh Alea. "Aku juga lapar," katanya dengan suara rendah dan serak, nyaris seperti bisikan iblis yang memabukkan. Alea, yang saat itu belum mengerti maksud Kael, langsung menawarkan makanan yang ada di atas meja. "Makanan itu masih banyak..." Belum sempat kalimatnya selesai, Kael sudah menunduk dan menggigit lembut daun telinga Alea. Sebuah gigitan kecil yang memicu ledakan sensasi aneh di sekujur tubuhnya. Seolah saraf-sarafnya langsung b
Sementara itu di tempat berbeda, Larissa masih terlihat merengek pada Adrian. Wajahnya memelas, kedua matanya sedikit berkaca-kaca seolah baru saja menahan tangis. Semua itu karena dia tidak mendapatkan apartemen yang sudah dia pamerkan pada semua orang itu. Harga dirinya tercabik. Gengsi yang sudah terbangun rapi di depan teman-temannya kini seolah runtuh dalam sekejap. Sebenarnya dalam hati wanita itu, dia kesal sekali, kenapa Adrian tidak mampu membuat apartemen itu jadi miliknya. Bukankah Adrian selalu membanggakan kekayaannya? Tapi untuk satu permintaan ini saja dia tidak mampu? Namun, Larissa bukan wanita yang gegabah. Ia tahu betul bagaimana menghadapi Adrian. Ia memang pandai memanipulasi perasaan kekasihnya itu. Adrian bukan tipe pria yang suka diprotes atau dilawan. Adrian adalah tipe pria yang suka diagungkan, dipuja, dan dijadikan pusat perhatian. Ia menyukai wanita yang bergantung padanya, wanita yang tampak tak berdaya, seolah-olah dia adalah satu-satunya penyelamat. L
Beberapa saat setelah mereka sampai di apartemen yang sebenarnya cukup mengejutkan Alea juga. Bagaimana tidak? Dia pikir, dia hanya akan membeli sebuah apartemen yang hanya siap huni dengan rak televisi, sofa ruang tamu, dan tempat tidur. Biasanya memang itu saja, bukan? Juga dengan fasilitas kamar mandi, seperti shower dan bathtub. Di dapur, paling hanya ada kompor dan kabinet yang biasanya memang tersedia di apartemen mahal. Tapi, bukan hanya semua itu yang dia temukan saat Alea masuk untuk pertama kalinya. Di ruang tamu, bahkan semua perintilannya sudah lengkap dan tertata sedemikian rupa. Lampu hias kristal menggantung elegan di langit-langit, guci-guci antik berjajar di atas rak kayu jati yang mengilap. Sebuah rak buku berdiri megah di sudut ruangan, dipenuhi dengan deretan buku-buku bersampul keras. Ada lukisan besar bergaya impresionis tergantung di dinding, jam dinding antik berdenting pelan, dan segala pernak-pernik kecil seperti bantal dekorasi, lilin aromaterapi, bahkan ma
Larissa mendengus pelan, memandang Kael dari ujung kepala hingga kaki, seolah setiap helaian kain di tubuh pria itu adalah aib bagi estetika. Jaket polos berwarna abu-abu yang mulai tampak pudar, kaus hitam sederhana tanpa merek mencolok, dan sepatu kets yang sudah tampak usang, bukan hanya membuatnya kehilangan selera, tapi juga membuatnya merasa terhina karena harus berada dalam satu ruangan dengan pria semacam itu."Sayang," bisik Larissa sambil mencondongkan tubuh ke arah Adrian, "lihat dia. Jaketnya mungkin hanya ratusan ribu, dan sepatu itu? Mungkin beli di pinggir jalan. Bagaimana bisa orang seperti itu membeli apartemen? Aku yakin dia penipu."Suara bisikannya mungkin hanya bisa didengar Adrian, tapi tatapannya yang sinis dan senyum menyeringai itu cukup untuk menelanjangi Kael tanpa menyentuhnya. Ia merasa menjadi hakim yang baru saja menjatuhkan vonis.Dari balik salah satu pilar besar di dalam lobi gedung itu, Alea mengamati mereka. Matanya menyipit, penuh kekesalan yang di
Sementara itu, di tempat yang sama. Tapi, di ruangan berbeda. Sebuah keributan terjadi antara manajer marketing developer apartemen Gloria Garden dengan Adrian dan juga Larissa.Masalahnya bukan sepele. Kedua orang itu sudah menunggu selama satu jam penuh. Wajar saja jika emosi mereka memuncak. Mungkin jika mereka hanya menunggu sepuluh atau lima belas menit, kemarahan sebesar ini tak akan muncul. Namun satu jam adalah waktu yang terlalu lama, terutama bagi seseorang seperti Adrian, yang terbiasa dilayani, bukan menunggu."Aku punya uang! Aku akan bayar apartemen itu berapa pun harganya!" seru Adrian dengan nada tinggi, penuh kesombongan.Nada suaranya saja sudah cukup menusuk, namun tidak hanya itu. Sikap tubuh Adrian juga menunjukkan arogansi. Ia menunjuk-nunjuk wajah manajer marketing itu dengan jari telunjuknya yang terangkat setinggi kepala. Setiap gerakan tubuhnya mengandung tekanan. Nada bicara dan gerakannya jelas menggambarkan bahwa ia tidak terbiasa ditolak.Pria paruh baya
Di dalam ruangan Pak Martin, pria yang merupakan penanggung jawab penjualan dan pembayaran apartemen, yang kini hanya tersisa satu unit saja. Alea masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Pandangannya menyapu ruangan, berusaha menemukan jawaban atas apa yang sedang dia pikirkan. Saat ini, pak Martin sedang keluar dari ruangan itu, sedang mengurus surat-suratnya. Apartemen atas nama Alea dengan harga yang tidak masuk akal. Tadi, dia hanya mentransfer 170 juta rupiah. Ya, hanya sebanyak itu. Jumlah yang, kalau digunakan untuk menyewa unit apartemen, bahkan hanya untuk satu bulan saja. Tapi kenyataannya, kini dia menjadi pemilik sah unit tersebut dengan harga itu, harga yang bisa disamakan dengan harga sebuah unit mobil second? Rasanya seperti sesuatu yang mustahil. Tapi itu terjadi saat ini. Alea menggigit bibir bawahnya. Matanya melirik ke arah pria di sampingnya yang tampak santai. Dia juga heran, kenapa Kael terlihat santai sekali sejak tadi. Merasa ada yang jangg
"Sayang…" panggil Kael begitu melihat sosok Alea melangkah masuk ke area lobi gedung agen properti yang mewah itu.Alea segera mengangkat satu tangannya, telunjuknya teracung ke depan bibirnya seperti seorang guru yang sedang memperingatkan muridnya. "Ssttt!" desisnya pelan tapi tegas, tatapannya tajam dan waspada. "Jangan panggil aku seperti itu! Panggil saja Alea," lanjutnya tanpa basa-basi.Nada suaranya datar, namun sorot matanya menyiratkan kekhawatiran yang lebih dalam. Ia tak ingin ada yang tahu hubungan mereka. Hubungan yang, bahkan untuk mereka sendiri, sulit untuk didefinisikan. Ya, hubungan yang seperti itu. Hubungan yang penuh kerumitan, diam-diam, dan tak seharusnya ada. Karena, Alea memang sudah bertunangan dengan Adrian.Pesta pertunangan mereka yang bukan sekadar selebrasi kecil-kecilan. Acara itu besar, meriah, dan dihadiri oleh ratusan tamu undangan. Bahkan masuk ke halaman depan media sosial dan surat kabar kota, menjadi buah bibir selama berhari-hari. Siapa yang ti
Belum juga Alea beranjak dari kursi di ruangan meeting itu. Aroma kopi sisa rapat masih mengambang samar di udara, dan suara detik jam di dinding seolah memaku suasana dalam keheningan yang menyesakkan. Pikirannya masih terbagi antara mencaritahu siapa pemilik Sunrise Resort dan juga permintaan Kael yang menginginkan sebuah apartemen. "Aku jadi berasa sugar mommy beneran kalau seperti ini" gumamnya. Layar ponsel menyala, menampilkan sebuah pesan masuk dari Kael. Sebuah foto terpampang jelas. Brosur apartemen mewah dengan desain minimalis modern yang elegan 'Gloria Garden', tertulis jelas di bagian atas dengan font emas mengilap.Mata Alea membulat sempurna. Mulutnya ikut ternganga tanpa sadar. Pandangannya terpaku pada gambar unit apartemen yang tampak lebih seperti istana kecil daripada hunian biasa. Kepala Alea yang sejak pagi berdenyut akibat tekanan pekerjaan kini terasa makin berat, seakan tak sanggup lagi dia tegakkan. Rasa pusing menjalar dari pelipis ke tengkuk, membuat tub