Alea membuka matanya perlahan. Dia merasa seolah telah melakukan aktivitas yang sangat berat dan melelahkan semalam. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Bahkan untuk bangun saja, dia merasa cukup kesulitan.
Alea memegang kepalanya yang masih sedikit pusing. Dia mengerjapkan matanya perlahan dan menyadari bahwa dia tidak bisa bangun bukan hanya karena tubuhnya terasa remuk, tetapi juga karena sebuah tangan kekar berada di atas perutnya. Alea menelan salivanya dengan susah payah. Dia menoleh ke samping, dan bola matanya nyaris melompat keluar. "Siapa dia?" batinnya terkejut. Di saat kesadarannya mulai pulih, Alea merasakan sensasi perih di bawah sana. Ingatannya mulai kembali satu per satu, mengingat apa yang terjadi semalam. Alea memejamkan matanya, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Semua kenangan itu muncul kembali, bagaimana dia merayu pria itu, bagaimana dia mengatakan akan membayarnya. Semua itu terjadi karena emosi dan kemarahannya pada Adrian. "Bodoh! Sekarang apa bedanya aku dengan Adrian kalau begini?" batinnya menyalahkan dirinya sendiri. Perlahan, Alea mengangkat tangan pria tampan itu dengan hati-hati. "Mau kabur lagi?" Suara berat dan serak khas orang baru bangun tidur itu membuat Alea mematung. Tubuhnya langsung membeku di tempat. Alea segera menoleh. "Siapa yang mau kabur? Aku mau ke toilet!" katanya cepat. "Benarkah? Bukankah kamu pembohong? Aku mana bisa percaya begitu saja padamu? Bagaimanapun juga, kamu sudah membuatku bekerja keras semalam." Wajah pria itu tampak seperti seseorang yang telah diperlakukan dengan sangat tidak adil oleh Alea. Ekspresinya benar-benar menunjukkan hal itu. "Kamu jangan lupa janjimu!" lanjutnya dengan nada yang lebih serius. Alea membelalakkan matanya. Dia memang mengingat semua yang terjadi, tetapi dia sama sekali tidak ingat telah mengatakan janji apa pun pada pria itu. "Me... memangnya apa yang aku janjikan? Aku tidak ingat mengatakan janji padamu." Pria itu menghela napas. Ekspresinya semakin tampak seperti seseorang yang teraniaya. "Kamu sungguh kejam, Nona! Habis manis, sepah dibuang. Malangnya nasibku ini. Ini malam pertamaku. Sudah kena tipu!" Pria itu mengeluh, seolah Alea telah berlaku sangat kejam padanya. Alea semakin panik. "Hei, kenapa cara bicaramu seperti itu? Mana mungkin ini malam pertamamu..." "Aku tidak suka berbohong seperti kamu! Ini sungguh malam pertamaku. Bagaimana kalau kita visum saja biar kamu percaya?" Mata Alea melotot. Apa-apaan pria ini? Kenapa juga harus visum segala? "Heh, kenapa kamu serius sekali? Ya sudah, katakan berapa yang harus aku bayar?" tanya Alea. Alea menatap pria itu dengan curiga. Namun, dia tidak terlalu memandangnya tinggi, karena menurutnya tidak mungkin pria itu akan meminta banyak. Bagaimanapun, pria yang sampai bekerja di klub malam pasti bukan orang yang punya kedudukan penting. Alea berpikir, pria ini pasti hanya sangat membutuhkan uang. Namun, pemikiran Alea ternyata salah. Pria itu tersenyum licik, tampak akan mengatakan sesuatu yang mengejutkan. "Karena kamu sudah mengambil keperjakaanku, satu miliar cukup lah!" "Apa?!" Alea memekik, bahkan bola matanya nyaris keluar dari kelopak matanya. Bukan karena dia tidak punya uang sebanyak itu, tentu saja dia punya. Alea bekerja di perusahaan ayahnya dan memiliki gaji besar. Namun, bagaimana bisa dia membayar satu miliar hanya untuk tidur satu malam dengan seorang pria penghibur? "Kamu tidak waras, ya? Satu miliar hanya untuk satu malam?" tanya Alea tidak percaya. Wajah pria itu yang tadinya tampak berseri-seri, mendadak berubah muram. "Kamu terlihat seperti wanita baik-baik dan terhormat. Apa menurutmu sebuah kehormatan tidak pantas dinilai setara satu miliar? Aku sungguh masih perjaka sebelum kamu merenggutnya..." "Aku?" Alea menunjuk hidungnya sendiri. "Kamu tidak salah? Aku yang merenggut kehormatanmu? Aku semalam mabuk! Bukannya kamu yang merenggut..." Alea menghentikan ucapannya. Bagaimanapun, semalam dia memang sangat sombong dengan mengatakan kalau itu bukan pertama kalinya baginya. "Merenggut apa?" Pria itu sengaja memancing Alea. Alea mendengus kesal. "Baiklah, berikan nomor rekeningmu!" katanya sambil meraih tas di lantai. Alea mengeluarkan ponselnya dan menyodorkannya pada pria itu. "Aku lupa nomor rekeningku. Aku juga tidak membawa ponsel. Jadi, aku akan beri nomor pribadiku. Chat saja kalau uangnya sudah siap. Ingat, jangan kabur!" Alea merampas ponselnya sendiri dari pria itu dengan kasar, lalu dengan bersungut-sungut pergi ke kamar mandi hotel. Pria itu tersenyum, bukan seperti seseorang yang berhasil menjebak orang lain demi keuntungan, melainkan seperti seseorang yang benar-benar menikmati momen itu. Di dalam kamar mandi, Alea menatap cermin di depannya. "Hal bodoh apa yang sudah kamu lakukan, Alea? Bisa-bisanya aku mengeluarkan satu miliar untuk seorang pria. Cih! Apa aku terlihat sangat butuh sentuhan?" gumamnya sendiri. Namun, saat mengguyur kepalanya dengan air dingin, bayangan pengkhianatan Adrian kembali melintas di kepalanya, membuatnya kesal. Karena terlalu larut dalam pikirannya, tanpa sadar Alea sudah berada cukup lama di dalam kamar mandi. Pria itu khawatir. Dia mengetuk pintu dengan kasar. Tok! Tok! Tok! "Hei, Nona! Apa kamu pingsan?" tanyanya lantang. Namun, setelah mengetuk dan bertanya, tetap tidak ada suara dari dalam. Pria itu berpikir mungkin Alea kenapa-napa, atau jangan-jangan benar-benar pingsan. Tanpa berpikir panjang, dia membuka paksa pintu kamar mandi. Alea yang tengah berdiri di bawah shower deras dengan mata terpejam tentu saja tidak mendengar teriakannya. "Nona!" Pria itu menyentuh lengannya. Mata Alea terbuka lebar. "Aaghhh!" Alea berteriak. Matanya melotot, dan tangannya sigap menutupi bagian tubuhnya yang terbuka. "Apa yang kamu lakukan? Mesum sekali!" "Untuk apa ditutup? Memangnya bagian mana yang belum aku lihat dan sentuh?" "Kamu...!" Alea geram, menunjuk pria itu dengan kesal, tetapi tidak bisa melanjutkan kata-katanya. "Aku pikir kamu pingsan. Lama sekali!" "Memangnya kamu tidak pernah dengar kalau perempuan butuh waktu lama untuk mandi? Keluar!" Alea mendorong pria itu agar keluar, tetapi pria itu justru menahan tangannya. "Masih sakit tidak?" tanyanya sambil menatap Alea. Alea merasa sangat risih karena mereka berada di bawah guyuran shower bersama. Ketika mata pria itu perlahan melirik ke bawah, Alea langsung membentaknya. "Eh, kemana arah matamu?!" Pria itu tersenyum penuh arti. "Nona, aku akan memberikan bonus untukmu. Aku sangat baik hati, jadi aku akan memuaskanmu lagi!" "Siapa yang minta dipuaskan olehmu?! Aghhh!" Alea hanya bisa bicara, tapi pria itu lebih kuat darinya. Dengan cepat pria itu bahkan sudah berhasil mendorong tubuh Alea ke arah tembok. Pria itu mengunci pergerakan kedua tangan Alea di atas kepala wanita itu. Dan membuka jubah tidurnya sendiri dengan sangat cepat. Dengan setiap gerakannya, Alea yang awalnya protes bahkan tidak bisa berkata-kata lagi selain hanya bisa mendesah dan sesekali mengerang nikmat. "Tubuhmu lebih jujur dari mulutmu, Alea" ucap pria itu. Alea seharusnya curiga, kenapa tanpa memberitahu siapa namanya pada pria itu. Pria itu biasa tahu namanya. Tapi, itu hanya akan terjadi kalau dia dalam keadaan sadar. Sementara dirinya saat ini masih dalam kondisi yang tidak bisa menentukan benar atau salah. Alea terbuai, terhanyut dalam permainan lembut tapi membuat Alea tak berdaya dari pria itu. "Kamu... Kamu hentikan! sudah, agkhhh!" Alea merasa sudah tidak sanggup lagi, sangat sudah berapa kali dia mengeluarkan hasil produksi percintaan itu. "Panggil namaku sayang, panggil aku Kael!" "Kael, hentikan. Aku tidak sanggup lagi!" Dan pada akhirnya, tubuh Alea terhuyung di pelukan pria bernama Kael itu. "Alea, aku tidak akan pernah lagi melepaskan mu!" To be continued...Alea akhirnya kembali ke rumah orang tuanya. Cukup lama dia diam di taksi online yang dia tumpangi. Dia memastikan kalau bagian atas tubuhnya sama sekali tidak ada tanda pria bernama Kael itu. Alea sungguh di buat geleng-geleng kepala karena ulah pria bernama Kael itu. Bisa-bisanya minta di pesankan taksi juga, dan ongkosnya. "Huh, apa ini artinya aku sedang terjebak dengan seorang pria yang benar-benar miskin? hah, apa yang aku pikirkan, dia akan segera dapat satu milyar, dia akan jadi OKB" gerutunya sambil mengenakan sepatu hak tingginya. Supir taksi itu juga hanya diam saja, dia pikir mungkin penumpang di belakangnya itu masih mabukk. Alea turun dari taksi, dan dia harus menghela nafas sangat berat. "Huh, masih pagi loh!" gumamnya mengeluh seraya menghentikan langkahnya. Dan hal yang membuatnya mengeluh adalah sosok pria yang semalam menjadi tunangannya itu, tapi hanya di tinggal sebentar ke toilet saja sudah bercinta dengan wanita lain. Pria yang memang menunggu kedatanga
Dan sekarang, Alea sungguh merasa dirinya terjebak. Dia bahkan harus melangkahkan kaki ke sebuah klub malam yang dipenuhi dentuman musik, cahaya berwarna-warni, dan aroma parfum bercampur alkohol yang menyengat. Semua itu karena Kael, pria yang entah kenapa masih saja mengusik hidupnya, bertaruh dan kalah dalam permainan yang sama sekali tidak masuk akal. Alea menatap Kael dengan pandangan tajam, tajam seperti pisau yang baru diasah. Tatapan itu seakan ingin melahap pria itu hidup-hidup, tanpa sisa. "200 juta?" tanyanya dengan suara yang bergetar antara percaya dan tidak percaya. Sebagian dirinya merasa ini adalah mimpi buruk, sebagian lagi tahu betul ini nyata, terlalu nyata. Bagaimana mungkin Kael bisa dengan mudah mempertaruhkan uang sebesar itu? Bukankah jumlah tersebut lebih dari gajinya selama satu setengah tahun? Alea mengerutkan kening, mencoba mencerna logika yang tak bisa dicerna. Namun yang lebih membuat darahnya mendidih adalah ekspresi wajah Kael. Pria itu berdiri den
Keduanya terhanyut dalam sentuhan satu sama lain. Sentuhan panas, dan menggelitik yang menuntut untuk merasakan lebih dan lebih lagi.Desahan tertahan, napas memburu, dan ketegangan yang mengalir di antara keduanya menjadi irama malam yang tak terelakkan. Aroma tubuh yang bercampur dengan napas hangat menciptakan ruang penuh gairah, seolah waktu berhenti berdetak hanya untuk mereka berdua.Hingga ketika tangan hangat itu menyentuh bagian sensitif Alea, tubuh Alea menegang. Mata Alea terbuka, dan ia langsung menahan tangan Kael dengan cengkeraman yang gemetar.Tatapan matanya menunjukkan, kalau dia ingin mundur. Dia tidak ingin meneruskannya. Sayangnya, tangannya di tepis begitu saja oleh Kael, dan pria itu berkata. "Sayang, jika kamu ingin mundur. Ini sudah terlambat!" kata Kael dengan napas yang sudah begitu memburu, suaranya berat dan serak, dipenuhi hasrat yang tak lagi bisa dikendalikan.Kedua tangan Alea dikunci di atas kepalanya oleh tangan Kael. Wajah Alea memerah, bukan hanya
Alea terus menerus memegang keningnya. Rasa sakit yang menusuk di pelipisnya seolah menjadi pengingat bahwa tubuhnya sedang memprotes kurangnya istirahat. Dia benar-benar kelelahan. Semalam, dia nyaris tidak tidur karena Kael. Dan pagi ini, dia harus menghadiri meeting yang dijadwalkan sangat pagi.Matanya yang sembab dan wajahnya yang pucat tidak bisa menipu siapa pun. Akan tetapi, dia harus tetap bekerja. Apalagi, ini adalah proyek penting yang sudah ditanganinya selama beberapa minggu terakhir."Ku kira siapa? Ternyata calon nyonya Adrian ya? Sayangnya, hanya nama saja!"Suara tinggi bernada sinis itu menusuk telinga Alea seperti paku berkarat yang ditancapkan paksa. Seorang wanita dengan blouse biru telur asin masuk ke dalam ruangan meeting dengan langkah percaya diri yang menyebalkan. Dia tidak datang sendirian, bibirnya melengkungkan senyum miring penuh provokasi.Alea melirik sekilas. Wajahnya langsung berubah. Rasa sakit kepala yang tadinya hanya berdenyut pelan, kini seperti
Belum juga Alea beranjak dari kursi di ruangan meeting itu. Aroma kopi sisa rapat masih mengambang samar di udara, dan suara detik jam di dinding seolah memaku suasana dalam keheningan yang menyesakkan. Pikirannya masih terbagi antara mencaritahu siapa pemilik Sunrise Resort dan juga permintaan Kael yang menginginkan sebuah apartemen. "Aku jadi berasa sugar mommy beneran kalau seperti ini" gumamnya. Layar ponsel menyala, menampilkan sebuah pesan masuk dari Kael. Sebuah foto terpampang jelas. Brosur apartemen mewah dengan desain minimalis modern yang elegan 'Gloria Garden', tertulis jelas di bagian atas dengan font emas mengilap.Mata Alea membulat sempurna. Mulutnya ikut ternganga tanpa sadar. Pandangannya terpaku pada gambar unit apartemen yang tampak lebih seperti istana kecil daripada hunian biasa. Kepala Alea yang sejak pagi berdenyut akibat tekanan pekerjaan kini terasa makin berat, seakan tak sanggup lagi dia tegakkan. Rasa pusing menjalar dari pelipis ke tengkuk, membuat tub
"Sayang…" panggil Kael begitu melihat sosok Alea melangkah masuk ke area lobi gedung agen properti yang mewah itu.Alea segera mengangkat satu tangannya, telunjuknya teracung ke depan bibirnya seperti seorang guru yang sedang memperingatkan muridnya. "Ssttt!" desisnya pelan tapi tegas, tatapannya tajam dan waspada. "Jangan panggil aku seperti itu! Panggil saja Alea," lanjutnya tanpa basa-basi.Nada suaranya datar, namun sorot matanya menyiratkan kekhawatiran yang lebih dalam. Ia tak ingin ada yang tahu hubungan mereka. Hubungan yang, bahkan untuk mereka sendiri, sulit untuk didefinisikan. Ya, hubungan yang seperti itu. Hubungan yang penuh kerumitan, diam-diam, dan tak seharusnya ada. Karena, Alea memang sudah bertunangan dengan Adrian.Pesta pertunangan mereka yang bukan sekadar selebrasi kecil-kecilan. Acara itu besar, meriah, dan dihadiri oleh ratusan tamu undangan. Bahkan masuk ke halaman depan media sosial dan surat kabar kota, menjadi buah bibir selama berhari-hari. Siapa yang ti
Di dalam ruangan Pak Martin, pria yang merupakan penanggung jawab penjualan dan pembayaran apartemen, yang kini hanya tersisa satu unit saja. Alea masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Pandangannya menyapu ruangan, berusaha menemukan jawaban atas apa yang sedang dia pikirkan. Saat ini, pak Martin sedang keluar dari ruangan itu, sedang mengurus surat-suratnya. Apartemen atas nama Alea dengan harga yang tidak masuk akal. Tadi, dia hanya mentransfer 170 juta rupiah. Ya, hanya sebanyak itu. Jumlah yang, kalau digunakan untuk menyewa unit apartemen, bahkan hanya untuk satu bulan saja. Tapi kenyataannya, kini dia menjadi pemilik sah unit tersebut dengan harga itu, harga yang bisa disamakan dengan harga sebuah unit mobil second? Rasanya seperti sesuatu yang mustahil. Tapi itu terjadi saat ini. Alea menggigit bibir bawahnya. Matanya melirik ke arah pria di sampingnya yang tampak santai. Dia juga heran, kenapa Kael terlihat santai sekali sejak tadi. Merasa ada yang jangg
Sementara itu, di tempat yang sama. Tapi, di ruangan berbeda. Sebuah keributan terjadi antara manajer marketing developer apartemen Gloria Garden dengan Adrian dan juga Larissa.Masalahnya bukan sepele. Kedua orang itu sudah menunggu selama satu jam penuh. Wajar saja jika emosi mereka memuncak. Mungkin jika mereka hanya menunggu sepuluh atau lima belas menit, kemarahan sebesar ini tak akan muncul. Namun satu jam adalah waktu yang terlalu lama, terutama bagi seseorang seperti Adrian, yang terbiasa dilayani, bukan menunggu."Aku punya uang! Aku akan bayar apartemen itu berapa pun harganya!" seru Adrian dengan nada tinggi, penuh kesombongan.Nada suaranya saja sudah cukup menusuk, namun tidak hanya itu. Sikap tubuh Adrian juga menunjukkan arogansi. Ia menunjuk-nunjuk wajah manajer marketing itu dengan jari telunjuknya yang terangkat setinggi kepala. Setiap gerakan tubuhnya mengandung tekanan. Nada bicara dan gerakannya jelas menggambarkan bahwa ia tidak terbiasa ditolak.Pria paruh baya
Alea menghela napas panjang dan berat saat ia menginjakkan kakinya keluar dari pintu lift. Suara desingan mekanis pintu lift yang perlahan tertutup di belakangnya terdengar seperti gerbang yang menelan kebebasan terakhir yang ia miliki. Di lantai perusahaan ini, tempat kantor Adrian berada, atmosfer terasa lebih pekat daripada biasanya. Ini bukan kantor pusat dari Hartanto Company. Bangunan ini hanyalah salah satu cabang penting yang ditangani langsung oleh Adrian. Tapi entah kenapa, tempat ini selalu membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena interiornya yang terlalu mewah, atau suhu ruangan yang terlalu dingin. Namun lebih kepada perasaan yang sulit dijelaskan, seolah-olah dinding-dindingnya menyimpan tatapan tajam dari Adrian, bahkan saat pria itu tidak ada di sana.Makanya, setiap kali Alea berada di kantor ini, napasnya seolah tercekat. Oksigen terasa semakin menipis, seakan-akan udara pun enggan menyapa keberadaannya. Ini adalah wilayah kekuasaan Adrian sepenuhnya, dan keberad
Saat ponselnya berdering, Alea tengah sibuk mencengkeram seprei yang ada di bawahnya. Jemarinya menggumpal erat, mencengkram kuat seolah itu satu-satunya pegangan yang bisa menyelamatkannya dari badai kenikmatan yang tengah melanda tubuhnya. Setelah makan siang, Kael langsung mengangkat tubuh Alea seperti tak ingin membuang waktu, lalu membaringkannya di ranjang dengan gerakan yang penuh nafsu namun tetap lembut. Tatapan matanya tajam, namun penuh dengan kelaparan. Bukan kelaparan akan makanan, tetapi akan sesuatu yang hanya bisa dipenuhi oleh tubuh Alea. "Aku juga lapar," katanya dengan suara rendah dan serak, nyaris seperti bisikan iblis yang memabukkan. Alea, yang saat itu belum mengerti maksud Kael, langsung menawarkan makanan yang ada di atas meja. "Makanan itu masih banyak..." Belum sempat kalimatnya selesai, Kael sudah menunduk dan menggigit lembut daun telinga Alea. Sebuah gigitan kecil yang memicu ledakan sensasi aneh di sekujur tubuhnya. Seolah saraf-sarafnya langsung b
Sementara itu di tempat berbeda, Larissa masih terlihat merengek pada Adrian. Wajahnya memelas, kedua matanya sedikit berkaca-kaca seolah baru saja menahan tangis. Semua itu karena dia tidak mendapatkan apartemen yang sudah dia pamerkan pada semua orang itu. Harga dirinya tercabik. Gengsi yang sudah terbangun rapi di depan teman-temannya kini seolah runtuh dalam sekejap. Sebenarnya dalam hati wanita itu, dia kesal sekali, kenapa Adrian tidak mampu membuat apartemen itu jadi miliknya. Bukankah Adrian selalu membanggakan kekayaannya? Tapi untuk satu permintaan ini saja dia tidak mampu? Namun, Larissa bukan wanita yang gegabah. Ia tahu betul bagaimana menghadapi Adrian. Ia memang pandai memanipulasi perasaan kekasihnya itu. Adrian bukan tipe pria yang suka diprotes atau dilawan. Adrian adalah tipe pria yang suka diagungkan, dipuja, dan dijadikan pusat perhatian. Ia menyukai wanita yang bergantung padanya, wanita yang tampak tak berdaya, seolah-olah dia adalah satu-satunya penyelamat. L
Beberapa saat setelah mereka sampai di apartemen yang sebenarnya cukup mengejutkan Alea juga. Bagaimana tidak? Dia pikir, dia hanya akan membeli sebuah apartemen yang hanya siap huni dengan rak televisi, sofa ruang tamu, dan tempat tidur. Biasanya memang itu saja, bukan? Juga dengan fasilitas kamar mandi, seperti shower dan bathtub. Di dapur, paling hanya ada kompor dan kabinet yang biasanya memang tersedia di apartemen mahal. Tapi, bukan hanya semua itu yang dia temukan saat Alea masuk untuk pertama kalinya. Di ruang tamu, bahkan semua perintilannya sudah lengkap dan tertata sedemikian rupa. Lampu hias kristal menggantung elegan di langit-langit, guci-guci antik berjajar di atas rak kayu jati yang mengilap. Sebuah rak buku berdiri megah di sudut ruangan, dipenuhi dengan deretan buku-buku bersampul keras. Ada lukisan besar bergaya impresionis tergantung di dinding, jam dinding antik berdenting pelan, dan segala pernak-pernik kecil seperti bantal dekorasi, lilin aromaterapi, bahkan ma
Larissa mendengus pelan, memandang Kael dari ujung kepala hingga kaki, seolah setiap helaian kain di tubuh pria itu adalah aib bagi estetika. Jaket polos berwarna abu-abu yang mulai tampak pudar, kaus hitam sederhana tanpa merek mencolok, dan sepatu kets yang sudah tampak usang, bukan hanya membuatnya kehilangan selera, tapi juga membuatnya merasa terhina karena harus berada dalam satu ruangan dengan pria semacam itu."Sayang," bisik Larissa sambil mencondongkan tubuh ke arah Adrian, "lihat dia. Jaketnya mungkin hanya ratusan ribu, dan sepatu itu? Mungkin beli di pinggir jalan. Bagaimana bisa orang seperti itu membeli apartemen? Aku yakin dia penipu."Suara bisikannya mungkin hanya bisa didengar Adrian, tapi tatapannya yang sinis dan senyum menyeringai itu cukup untuk menelanjangi Kael tanpa menyentuhnya. Ia merasa menjadi hakim yang baru saja menjatuhkan vonis.Dari balik salah satu pilar besar di dalam lobi gedung itu, Alea mengamati mereka. Matanya menyipit, penuh kekesalan yang di
Sementara itu, di tempat yang sama. Tapi, di ruangan berbeda. Sebuah keributan terjadi antara manajer marketing developer apartemen Gloria Garden dengan Adrian dan juga Larissa.Masalahnya bukan sepele. Kedua orang itu sudah menunggu selama satu jam penuh. Wajar saja jika emosi mereka memuncak. Mungkin jika mereka hanya menunggu sepuluh atau lima belas menit, kemarahan sebesar ini tak akan muncul. Namun satu jam adalah waktu yang terlalu lama, terutama bagi seseorang seperti Adrian, yang terbiasa dilayani, bukan menunggu."Aku punya uang! Aku akan bayar apartemen itu berapa pun harganya!" seru Adrian dengan nada tinggi, penuh kesombongan.Nada suaranya saja sudah cukup menusuk, namun tidak hanya itu. Sikap tubuh Adrian juga menunjukkan arogansi. Ia menunjuk-nunjuk wajah manajer marketing itu dengan jari telunjuknya yang terangkat setinggi kepala. Setiap gerakan tubuhnya mengandung tekanan. Nada bicara dan gerakannya jelas menggambarkan bahwa ia tidak terbiasa ditolak.Pria paruh baya
Di dalam ruangan Pak Martin, pria yang merupakan penanggung jawab penjualan dan pembayaran apartemen, yang kini hanya tersisa satu unit saja. Alea masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Pandangannya menyapu ruangan, berusaha menemukan jawaban atas apa yang sedang dia pikirkan. Saat ini, pak Martin sedang keluar dari ruangan itu, sedang mengurus surat-suratnya. Apartemen atas nama Alea dengan harga yang tidak masuk akal. Tadi, dia hanya mentransfer 170 juta rupiah. Ya, hanya sebanyak itu. Jumlah yang, kalau digunakan untuk menyewa unit apartemen, bahkan hanya untuk satu bulan saja. Tapi kenyataannya, kini dia menjadi pemilik sah unit tersebut dengan harga itu, harga yang bisa disamakan dengan harga sebuah unit mobil second? Rasanya seperti sesuatu yang mustahil. Tapi itu terjadi saat ini. Alea menggigit bibir bawahnya. Matanya melirik ke arah pria di sampingnya yang tampak santai. Dia juga heran, kenapa Kael terlihat santai sekali sejak tadi. Merasa ada yang jangg
"Sayang…" panggil Kael begitu melihat sosok Alea melangkah masuk ke area lobi gedung agen properti yang mewah itu.Alea segera mengangkat satu tangannya, telunjuknya teracung ke depan bibirnya seperti seorang guru yang sedang memperingatkan muridnya. "Ssttt!" desisnya pelan tapi tegas, tatapannya tajam dan waspada. "Jangan panggil aku seperti itu! Panggil saja Alea," lanjutnya tanpa basa-basi.Nada suaranya datar, namun sorot matanya menyiratkan kekhawatiran yang lebih dalam. Ia tak ingin ada yang tahu hubungan mereka. Hubungan yang, bahkan untuk mereka sendiri, sulit untuk didefinisikan. Ya, hubungan yang seperti itu. Hubungan yang penuh kerumitan, diam-diam, dan tak seharusnya ada. Karena, Alea memang sudah bertunangan dengan Adrian.Pesta pertunangan mereka yang bukan sekadar selebrasi kecil-kecilan. Acara itu besar, meriah, dan dihadiri oleh ratusan tamu undangan. Bahkan masuk ke halaman depan media sosial dan surat kabar kota, menjadi buah bibir selama berhari-hari. Siapa yang ti
Belum juga Alea beranjak dari kursi di ruangan meeting itu. Aroma kopi sisa rapat masih mengambang samar di udara, dan suara detik jam di dinding seolah memaku suasana dalam keheningan yang menyesakkan. Pikirannya masih terbagi antara mencaritahu siapa pemilik Sunrise Resort dan juga permintaan Kael yang menginginkan sebuah apartemen. "Aku jadi berasa sugar mommy beneran kalau seperti ini" gumamnya. Layar ponsel menyala, menampilkan sebuah pesan masuk dari Kael. Sebuah foto terpampang jelas. Brosur apartemen mewah dengan desain minimalis modern yang elegan 'Gloria Garden', tertulis jelas di bagian atas dengan font emas mengilap.Mata Alea membulat sempurna. Mulutnya ikut ternganga tanpa sadar. Pandangannya terpaku pada gambar unit apartemen yang tampak lebih seperti istana kecil daripada hunian biasa. Kepala Alea yang sejak pagi berdenyut akibat tekanan pekerjaan kini terasa makin berat, seakan tak sanggup lagi dia tegakkan. Rasa pusing menjalar dari pelipis ke tengkuk, membuat tub