Sepanjang perjalanan, di dalam mobil aku terus menangis. Kenangan kebersamaan serta kebahagian yang terjalin diantara aku dan suamiku berputar-putar di benakku seperti sebuah Vidio dukumenter dengan durasi yang panjang. Lima tahun, lima tahun ia menikah dengan perempuan lain dan aku tak tahu akan hal itu.Apa aku sebodoh itu?Atau Mas Dika yang terlalu pintar membodohiku? Pertanyaan itu kembali berputar di otakku.Irene menepikan mobilnya. Menatap ke arahku. Ia menarik tubuhku untuk menangis di pelukannya. Pelukannya yang hangat dan menenangkan membuatku rindu pada pelukan seseorang yang tak akan pernah lagi bisa aku temui. Bagaikan anak kecil yang menangis dan mengadu pada pelukan seorang ibu. Aku terisak kecil melampiaskan segala sesak di dadaku.Tak apa Intan, menangislah ... semua akan baik-baik saja!" ucapnya sambil menepuk-nepuk pelan punggungku. Satu bait kalimat itu bagaikan mantra yang mujarab. Menenangkan hatiku yang rapuh. Aku menghapus air mataku. Mengangkat kepala menat
Pov. Sukma"Lepaskan aku Sukma. Aku harus pulang dan bicarakan masalah ini baik-baik dengan, Intan," Mas Dika melepas tanganku. Namun aku tak hingga akal. Aku langsung berlari ke arah pintu. Mengunci pintu itu dengan rapat dan langsung mencabut kuncinya dan menyimpannya. Mata Mas Dika terbuka lebar. Ia menatapku tak suka dengan apa yang aku lakukan. Tapi aku tak peduli. Pokoknya hari ini Mas Dika harus bersamaku. Toh ... Intan juga sudah mengetahui semuanya. Justru jika Mas Dika tidak datang malam ini menjelaskan semuanya dan membujuk wanita sialan itu. Mungkin saja dia akan semakin marah dan memaksa bercerai. Bukankah itu semakin menguntungkan buatku.Dengan begitu aku bisa menjadi satu-satunya Nyonya Dika Mahendra yang sah. Baik di mata hukum dan agama. "Apa-apaan kamu Sukma! Cepat berikan kunci itu. Aku harus segera pulang ke rumah menemui Intan!" ucapnya lantang. Membuat dadaku semakin sesak saja. "Tidak! Aku tidak akan memberikannya padamu. Disini aku yang dipermalukan oleh is
Tok! Tok! Tok!"Intan ... buka pintunya! Cepat buka pintunya atau nanti aku dobrak!" Aku yang telah tertidur akhirnya terbangun saat mendengarkan suara seseorang yang menggedor pintu kamarku dengan keras. Mataku terbuka, namun masih dalam posisi semula, tak bergeming. Aku tahu suara siapa itu, aku juga tahu apa yang mau dibahas olehnya."Intan ... buka pintu. Mas mohon, buka pintunya!" teriaknya lagi. Menggema dari luar."Pergi Mas! Pergilah! Aku tak mau mendengar penjelasan apa pun lagi dari kamu. Pergi!" Buk! Pyarrrr!Aku melempar gelas yang berada di atas nakas ke arah pintu kamar. Membuat gelas itu pecah berderai. Aku benci mendengar suaranya. Aku benci melihat ia di hadapanku. Hati manusia adalah laut dalam yang paling sulit untuk diselami. Dapat berubah seiring berjalannya waktu. Kadang bisa sangat saling mencintai, tertiup hembusan angin berubah menjadi sangat membenci. Kepercayaan diri seorang istri timbul saat suaminya begitu mencintai dan menyayanginya. Seakan hanya ial
"Apa yang sedang kamu lakukan Intan?" teriak Mas Dika yang telah pulang dari mengantar Ammar. Dia masuk ke dalam kamar kami. Ia tampak terkejut dengan apa yang sedang aku lakukan saat ini. Namun aku tak peduli. Lagi-lagi aku tak menjawab pertanyaannya. Aku hanya diam dan fokus melakukan apa yang sedang aku kerjakan. Mas Dika melangkah dengan cepat ke arahku. Setelah semuanya selesai aku menutup koper dan ingin mengancingkannya. Tangan Mas Dika menahan pergelangan tanganku. Membuat aku menoleh dan menepis tangannya kasar. Tatapan mata kami bertemu. Aku menatapnya tajam menantang. "Apa maksud dari semua ini?! Kenapa semua pakaianmu kamu bereskan?" tanyanya heran padaku. Aku tersenyum tipis seakan mengejek dirinya. "Kamu masih punya mata untuk melihatnya dengan jelas kan, Mas! Aku akan pergi dari rumah ini, aku tak mau lagi tinggal satu rumah denganmu!" Mata Mas Dika melebar sempurna. "Maksudmu, kamu akan meminta pisah dariku? Apa kamu yakin Intan? Ayolah ... tak bisakah kita hidup
Aku tahu dengan harta semua bisa didapatkan. Tak munafik, bahkan yang salah bisa jadi benar, benar pun menjadi salah. Tapi aku juga tak mau terus seperti ini. Jika tak mampu untuk mempertahankan maka lepaskan. Aku merasa diriku tak sanggup lagi bersamanya. Lalu untuk apa aku bertahan?Jika kamu tak mampu kehilangan, kenapa menyia-nyiakan aku, Mas? Karena khilaf adalah awal dari penyesalan yang membawa kehampaan dan berakhir pada jalan kehancuran. Sedangkan kekecewaan adalah puncak dari perpisahan.Hidup adalah pilihan, saat kamu di hadapkan pada dua pilihan. Kamu justru memilih untuk tidak setia. Jangan salahkan takdir, tapi salahkan kenapa kamu tidak pernah puas dan bersyukur atas diriku.Tidak semua wanita memiliki hati yang luas. Kata maaf dan ikhlas adalah dua kata yang mudah dalam pengucapannya saja. Sedangkan mempratekkannya butuh jiwa yang kuat. Dan aku tak mampu dalam hal itu. Aku masuk ke dalam mobil, dan memandang dari jendela, rumah yang selama 10 tahun ini aku tempati.
Ceklek! Pintu kamarku terbuka, Mama datang menghampiriku, tatapan matanya sulit aku artikan. Ia duduk di sebelahku. Tangannya terbentang memelukku dan membawaku ke dalam pelukannya, yang untuk pertama kalinya terasa hangat untukku."Jika ingin menangis, menangislah Nak. Jangan ditahan. Lepaskan sesak di dadamu, habiskan air matamu saat ini, agar nanti kamu menghadapinya, tak ada lagi air mata yang tersisa!" ucapnya. Cukup membuat air mataku kembali mengalir sangat deras. "Mas Dika, Ma. Mas Dika dia ...," ucapanku tergantung di tenggorokan. Rasanya sulit sekali mengucapkannya kembali. Rasa sakit ini kian menyiksa setiap aku mengucap dan mengingatnya. "Sssttt ... jika tak sanggup mengatakannya, tak usah dikatakan Intan. Mama mengerti, bahkan sangat mengerti. Tak ada yang lebih mengerti akan rasa itu selain Mama. Tenangkan dirimu. Menangislah jika itu memang perlu. Setidaknya sesak di hatiku bisa sedikit berkurang," Tangis yang sedari kemarin aku tahan-tahan akhirnya pecah juga. Kup
Drettt! Drett! Drett!Getar ponsel dalam saku celana membuyarkan lamunanku. Aku merogoh benda itu dan melihat layar siapa nama yang tertera di sana. Sebuah nomor baru yang aku tahu pasti nomor siapa ini. Aku tak pernah menyimpan nomor Sukma di ponsel, melainkan di dalam otakku. Aku juga selalu menghapus setiap panggilan masuk dan panggilan keluar dari nomor ini. Tapi entah kenapa Intan masih saja bisa tahu tentang perselingkuhanku itu. Padahal semua sudah aku tutupi secara rapi. Kecuali kecerobohanku waktu itu. Bisa-bisanya kado yang aku berikan untuk Intan ketukar dengan kado milik Sukma. Panggilan dari Sukma terus masuk ke dalam ponselku. Hingga panggilan ke-tiga, barulah aku mengangkatnya. "Hallo ... ada apa?" sahutku tanpa basa-basi dan tanpa nada manis seperti biasanya. "Mas cepat ke rumah sakit, Mas. Maura demam dan kejang, ia juga sesak napas. Kini sedang dirawat di rumah sakit Santa Maria," ucapnya panik dari seberang sana. Membuatku cemas. "Rumah sakit?! Kok bisa, kamu s
Pagi menjelang.Aku terbangun dengan tubuh yang sedikit pegal. Kurang tidur dan kurang istirahat membuatku tak enak badan. Tapi mau apa dikata. Pekerjaan telah menanti untuk di kerjakan. Aku juga bukan lelaki malas yang hanya suka berleha-leha di rumah saja. Setelah selesai berpakaian rapi, aku turun ke bawah untuk pergi ke kantor. Saat melewati meja makan aku melihat meja makan yang sudah terisi menu sarapan. "Sarapan dulu, Tuan!" tawar Bi Susi padaku. Aku hanya menghela napas pendek. Sarapan yang dibuat Bi Susi tak ada yang menggugah selera tidak seperti masakan Intan. Aku akui istriku itu pandai memasak. Masakan apa pun yang ia olah pasti rasanya begitu enak."Nggak lah Bi. Aku sudah terlambat, Bibi habiskan saja sendiri," dalihku sambil berlalu pergi ke kantor. Waktu yang aku miliki sebenarnya masih panjang. Namun aku lagi tak ingin makan saja. Sesampainya di kantor, waktu aku habiskan untuk berkutat pada pekerjaan, hingga aku pun melewatkan makan siang. Sukma juga berulang kal
Lagi-lagi aku dibuat tercengang dengan ide gila pria ini. Setelah aku menyetujui untuk menikah dengannya. Pernikahan kami di gelar dalam waktu tiga hari. Terdengar sangat tiba-tiba memang. Namun semuanya tampak siap, seolah sudah di persiapkan sebelumnya. Hanya tinggal mulutku berkata ia. Maka semuanya terlaksana bagai sulap.Bahkan sempat beredar rumor tak sedap yang mengatakan aku hamil duluan. Hanya karena pernikahanku yang di gelar begitu mendadak. Aku juga tak tahu dari mana rumor itu berasal. Namanya juga hidup bertetangga. Ada saja komentar yang terdengar. Aku menatap pantulan diriku di dalam cermin. Kebaya putih yang indah dengan hijab berwarna senada. Make up yang bagus membuat wajahku cantik sempurna. "Kamu cantik sekali, Nak!" puji Mama padaku. Aku menatap dan tersenyum padanya dari balik pantulan cermin. Aku gengam erat tangannya yang memegang pundakku. Ini memang pernikahan keduaku. Tapi gugupnya hampir sama dengan pernikahanku dulu. Bahkan lebih kentara lagi. Pintu
Aku tersentak kaget saat tangan Nini menggoyang tubuhku. Membuyarkan pikiran yang sejak tadi melayang entah kemana. "Mbak ... Mbak Intan! Mbak mikirin apa sih, Mbak?!" serunya padaku. Aku menoleh, menarik napasku yang terasa berat. "Nggak ada," jawabku singkat. Aku yang duduk di meja makan ini hanya menatapi makanan yang sudah Nini siapkan untukku. Tak ada yang aku sentuh. Selera makanku hilang entah kemana. "Mbak pasti mikirin Mas Langit, ya? Udah Mbak, kalau rindu bilang saja. Dari pada bengong gitu. Ayam tetanggaku di kampung, gara-gara bengong gitu selama tiga hari. Besoknya mati loh, Mbak. Kalau cinta bilang aja ok. Gitu aja kok susah Mbak," komentarnya padaku. Mataku melebar. "Kamu ngomong apa sih, Ni? Mbak nggak ngerti," elakku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku lagi malas beradu argumen dengan asisten rumah tanggaku ini. "Udah Mbak jangan malu sama Nini. Nini tu sebenarnya tahu. Sebenarnya Mbak tu cinta kan sama Mas Langit. Cuma Mbak Intan tu takut aja kalau Mas La
Hingga pagi menjelang, aku memaksa untuk pulang ke rumah. Demamku sudah turun. Sesampainya di rumah Mama menemaniku hingga ke kamar."Terima kasih, Ma," ucapku tulus. Aku duduk di pinggir ranjang menatapnya sayang. Tak ada amarah ataupun sakit hati. Semuanya sirna dengan kasih sayangnya. Mama menghela napas. Ia duduk di sampingku dan mengusap wajahku lembut. "Tak ada kata terima kasih untuk cinta seorang Ibu untuk anaknya. Sekarang istirahatlah ... jangan lagi menangis seperti itu Intan. Apalagi di makam Papamu sendirian seperti itu. Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?" "Bagaimana Mama bisa tahu aku ada di makam Papa?" tanyaku mulai mengingat kejadian itu. "Penjaga makam menelpon Mama dan memberitahukan keberadaanmu yang tergeletak pingsan di makam," jelas Mama. Ya, penjaga makam memang selalu aku bayar setiap bulan untuk menjaga Makam Papa. Itu sebabnya makam Papa bersih dan terawat. "Intan ... Mama dengar dari Nini, kamu akan pindah dalam minggu ini?" "Iya," jawabku singka
Pukul dua siang, langkah kakiku terhenti di sebuah gapura tinggi. Berdiri kokoh dan bersanding dengan sebatang pohon beringin yang berdiri menantang memamerkan tubuhnya yang tinggi serta rimbun. Daun kering tertiup angin jatuh berguguran. Beberapa lembar jatuh di hadapanku. Lembarannya yang rapuh terinjak di kakiku meninggalkan bunyi patah.Bisikan nyanyian rindu menuntun langkah kakiku untuk terus melangkah maju. Menyusuri setiap jengkal tanah pemakaman melati. Rintik hujan yang mulai turun membasahi pipi bagai iring-iringan yang menyambut kedatanganku. Langit mendung seakan ikut merasakan kehampaan hati ini.Sebuah batu nisan yang di kelilingi keramik berwarna biru menjadi ujung tujuan langkah kakiku. Aku terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Kutekukkan kakiku, duduk di sudut pusara yang terawat ini. Setelah sekian lama, aku datang menemui cinta pertama yang selalu ada untukku di masa hidupnya. Dulu aku rutin datang kesini, minimal tiga bulan atau enam bulan sekali. Namun sejak d
Dari rumah sakit aku mampir sejenak ke perusahaan. Menyelesaikan sebagian pekerjaanku. Sebagai pemilik sebuah perusahaan, aku masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa aku tinggalkan. Pukul tujuh malam, mobilku terparkir cantik di halaman rumah. Aku turun dari mobil dan masuk ke rumah besar dengan bangunan arsitektur klasik. Rumah yang aku tempati selama puluhan tahun. Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya sama, dari dinding cat yang mendominasi warna-warna pastel dan putih. Kecuali bunga-bunga yang ditanam Mama yang berganti sesuai trend yang sedang hits saat ini.Aku memasuki rumah dan berjalan cepat ke ruang makan. Aku yakin semua sudah berkumpul di meja makan. "Selamat malam?" sapaku. "Kamu terlambat lagi, Kak?" ujar Elia padaku. Semuanya sedang makan dan menatap ke arahku yang baru saja tiba. Di samping Elia ada Emil–suaminya. Lelaki itu kerja sebagai pegawai bank swasta. Lalu di hadapan mereka, duduk seorang gadis kecil cantik yang tampak merenggut padaku. Aku mem
Pov. Langit"Langit lepaskan!" ujarnya saat tautan bibir kami terlepas. Dekapan tangan ini masih sangat erat dan tak ingin terlepas. Deru nafas yang naik turun begitu memburu. Seakan berlomba-lomba meraup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku tahu ini salah, aku tahu tak sepantasnya kau melakukan ini padanya. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah cantiknya. Tak bertemu dengannya beberapa hari belakangan ini membuatku kehilangan nalarku saat ini. Apa pun yang berhubungan dengannya membuatku gila. Hanya ada namanya dan wajahnya yang memenuhi kepalaku saat ini. Detak jantungku dan dirinya kian berpacu berirama saling sahut-sahutan, membangkitkan gejolak rasa yang selama ini aku pendam dan kujaga dengan sangat hati-hati. Getaran itu masih sama, iramanya juga masih sama. Kubiarkan kupu-kupu menggelitikku. Membuatku terbuai dalam romansa indah, terbuai dengan irama asmara.Aku dekatkan keningnya dan keningku. Membiarkan punggungnya bersandar dengan pintu mobil. Bulu mat
Sudah berkali-kali dan berhari-hari Mama mencoba meminta Maaf padaku. Berkali-kali aku juga diam. Kini keputusanku untuk pindah semakin kuat. Taka ada lagi yang perlu aku pertahankan lagi tinggal disini. Hidupku juga sudah selesai, resmi dengan status janda yang tersemat.Ammar juga kondisinya sudah semakin pulih. Ia juga sudah mulai bisa beraktivitas seperti biasanya. Hari ini aku bersiap-siap di depan cermin. Memoles sedikit make-up di wajahku yang pucat. Hari ini adalah jadwal control rutin Ammar. Kali ini aku tidak datang ke rumah sakit dimana Ammar operasi kemarin. Tapi pindah ke rumah sakit yang lain. Tentunya rumah sakit yang sama besarnya dan fasilitas yang lengkap tentunya. Setelah dirasa pantas, aku keluar kamar. Membantu Ammar untuk berjalan menuju mobil. Walaupun ia sudah agak mendingan, namun sesekali putraku kerap merasa nyeri di bagian dadanya. Untuk Langit, aku memang tidak dapat menjenguknya. Bukan berarti aku tidak terima kasih atas apa yang ia lakukan pada putrak
"Kalau tidak kenapa, Ma?" Aku keluar dari persembunyianku menatap tajam Mama yang terkejut dan langsung mematikan sambungan telponnya. Kedua tanganku terkepal di kedua sisi tubuhku. "Intan ... sejak kapan kamu berada di situ, sayang?" tanya Mama gugup. Seperti penciri yang tertangkap basah dengan hasil curiannya. "Cukup lama untuk mendengar semua kebohongan Mama. Jadi benar apa yang dikatakan Bu Dahlia itu. Kenapa Mama lakukan ini padaku, Ma. Kenapa?!" teriakku penuh amarah. "Bukan begitu Intan, Maafkan Mama. Mama khilaf melakukan semua itu. Maafkan Mama, Nak. Kamu tahu sendiri saat itu Papa kamu mengalami krisis keuangan. Uang hasil panen sawit yang biasanya melimpah, tiba-tiba berkurang hampir setengahnya karena harga sawit turun. Sedangkan Mama saat itu tidak tahu kalau Papamu punya kebun lain yang dialihkan atas namamu. Uang yang di berikan Papamu tidak cukup,""Tidak cukup memenuhi keinginan Mama untuk foya-foya!" selaku sinis. "Bukan begitu, Intan. Dika menyukaimu sejak pe
Kuusap kepala Ammar dengan lembut. Menemaninya hingga ia terbuai mimpi. Bocahku ini sangat suka diusap-usap kepalanya. Bahkan ia akan cepat tertidur jika aku perlakukan demikian.Setelah Ammar tidur, aku kembali keluar. Merenggangkan tangan serta badanku yang terasa remuk. Perutku juga lapar tapi aku tak mungkin pergi meninggalkan anakku seorang diri di kamar. Aku yang baru saja keluar dari kamar langsung beradu hidung dengan Mas Yoga."Apa aku mengganggumu. Kamu mau kemana? Mau membeli makanan?" tebaknya tepat. Setidaknya aku bisa meminta bantuannya untuk menjaga Ammar. "Iya Mas, aku lapar. Bisa minta tolong nggak, Mas? Tolong jagain Ammar sebentar," pintaku. "Untuk apa keluar ... ini aku bawakan makanan untukmu," Mas Yoga mengangkat plastik putih yang ia bawa ke dapan wajahku. Bau wangi dari bungkusan itu menggoda indra penciumanku. Membuat cacing di perutku semakin berdendang. Kata orang, jika rezeki tak akan lari walau hujan menerpa. Seperti itu juga lah rezekiku hari ini. P