"Apa yang sedang kamu lakukan Intan?" teriak Mas Dika yang telah pulang dari mengantar Ammar. Dia masuk ke dalam kamar kami. Ia tampak terkejut dengan apa yang sedang aku lakukan saat ini. Namun aku tak peduli. Lagi-lagi aku tak menjawab pertanyaannya. Aku hanya diam dan fokus melakukan apa yang sedang aku kerjakan. Mas Dika melangkah dengan cepat ke arahku. Setelah semuanya selesai aku menutup koper dan ingin mengancingkannya. Tangan Mas Dika menahan pergelangan tanganku. Membuat aku menoleh dan menepis tangannya kasar. Tatapan mata kami bertemu. Aku menatapnya tajam menantang. "Apa maksud dari semua ini?! Kenapa semua pakaianmu kamu bereskan?" tanyanya heran padaku. Aku tersenyum tipis seakan mengejek dirinya. "Kamu masih punya mata untuk melihatnya dengan jelas kan, Mas! Aku akan pergi dari rumah ini, aku tak mau lagi tinggal satu rumah denganmu!" Mata Mas Dika melebar sempurna. "Maksudmu, kamu akan meminta pisah dariku? Apa kamu yakin Intan? Ayolah ... tak bisakah kita hidup
Aku tahu dengan harta semua bisa didapatkan. Tak munafik, bahkan yang salah bisa jadi benar, benar pun menjadi salah. Tapi aku juga tak mau terus seperti ini. Jika tak mampu untuk mempertahankan maka lepaskan. Aku merasa diriku tak sanggup lagi bersamanya. Lalu untuk apa aku bertahan?Jika kamu tak mampu kehilangan, kenapa menyia-nyiakan aku, Mas? Karena khilaf adalah awal dari penyesalan yang membawa kehampaan dan berakhir pada jalan kehancuran. Sedangkan kekecewaan adalah puncak dari perpisahan.Hidup adalah pilihan, saat kamu di hadapkan pada dua pilihan. Kamu justru memilih untuk tidak setia. Jangan salahkan takdir, tapi salahkan kenapa kamu tidak pernah puas dan bersyukur atas diriku.Tidak semua wanita memiliki hati yang luas. Kata maaf dan ikhlas adalah dua kata yang mudah dalam pengucapannya saja. Sedangkan mempratekkannya butuh jiwa yang kuat. Dan aku tak mampu dalam hal itu. Aku masuk ke dalam mobil, dan memandang dari jendela, rumah yang selama 10 tahun ini aku tempati.
Ceklek! Pintu kamarku terbuka, Mama datang menghampiriku, tatapan matanya sulit aku artikan. Ia duduk di sebelahku. Tangannya terbentang memelukku dan membawaku ke dalam pelukannya, yang untuk pertama kalinya terasa hangat untukku."Jika ingin menangis, menangislah Nak. Jangan ditahan. Lepaskan sesak di dadamu, habiskan air matamu saat ini, agar nanti kamu menghadapinya, tak ada lagi air mata yang tersisa!" ucapnya. Cukup membuat air mataku kembali mengalir sangat deras. "Mas Dika, Ma. Mas Dika dia ...," ucapanku tergantung di tenggorokan. Rasanya sulit sekali mengucapkannya kembali. Rasa sakit ini kian menyiksa setiap aku mengucap dan mengingatnya. "Sssttt ... jika tak sanggup mengatakannya, tak usah dikatakan Intan. Mama mengerti, bahkan sangat mengerti. Tak ada yang lebih mengerti akan rasa itu selain Mama. Tenangkan dirimu. Menangislah jika itu memang perlu. Setidaknya sesak di hatiku bisa sedikit berkurang," Tangis yang sedari kemarin aku tahan-tahan akhirnya pecah juga. Kup
Drettt! Drett! Drett!Getar ponsel dalam saku celana membuyarkan lamunanku. Aku merogoh benda itu dan melihat layar siapa nama yang tertera di sana. Sebuah nomor baru yang aku tahu pasti nomor siapa ini. Aku tak pernah menyimpan nomor Sukma di ponsel, melainkan di dalam otakku. Aku juga selalu menghapus setiap panggilan masuk dan panggilan keluar dari nomor ini. Tapi entah kenapa Intan masih saja bisa tahu tentang perselingkuhanku itu. Padahal semua sudah aku tutupi secara rapi. Kecuali kecerobohanku waktu itu. Bisa-bisanya kado yang aku berikan untuk Intan ketukar dengan kado milik Sukma. Panggilan dari Sukma terus masuk ke dalam ponselku. Hingga panggilan ke-tiga, barulah aku mengangkatnya. "Hallo ... ada apa?" sahutku tanpa basa-basi dan tanpa nada manis seperti biasanya. "Mas cepat ke rumah sakit, Mas. Maura demam dan kejang, ia juga sesak napas. Kini sedang dirawat di rumah sakit Santa Maria," ucapnya panik dari seberang sana. Membuatku cemas. "Rumah sakit?! Kok bisa, kamu s
Pagi menjelang.Aku terbangun dengan tubuh yang sedikit pegal. Kurang tidur dan kurang istirahat membuatku tak enak badan. Tapi mau apa dikata. Pekerjaan telah menanti untuk di kerjakan. Aku juga bukan lelaki malas yang hanya suka berleha-leha di rumah saja. Setelah selesai berpakaian rapi, aku turun ke bawah untuk pergi ke kantor. Saat melewati meja makan aku melihat meja makan yang sudah terisi menu sarapan. "Sarapan dulu, Tuan!" tawar Bi Susi padaku. Aku hanya menghela napas pendek. Sarapan yang dibuat Bi Susi tak ada yang menggugah selera tidak seperti masakan Intan. Aku akui istriku itu pandai memasak. Masakan apa pun yang ia olah pasti rasanya begitu enak."Nggak lah Bi. Aku sudah terlambat, Bibi habiskan saja sendiri," dalihku sambil berlalu pergi ke kantor. Waktu yang aku miliki sebenarnya masih panjang. Namun aku lagi tak ingin makan saja. Sesampainya di kantor, waktu aku habiskan untuk berkutat pada pekerjaan, hingga aku pun melewatkan makan siang. Sukma juga berulang kal
Tiga hari aku terpuruk dan tiga hari pula aku berdiam diri di rumah. Menangis dan meratapi diri ini. Itu manusiawi menurutku, mengembalikan hati yang rapuh tak semudah membalikkan telapak tangan.Aku harus mengumpulkan puing-puing hatiku yang berserakan seperti mengumpulkan kepingan puzzle. Semakin dikumpulkan semakin sakit pula yang aku rasa. Namun aku harus menikmatinya, bukan? Agar saat aku bertindak, aku tak lagi goyah. Aku berjalan santai menuju meja makan, perutku lapar sejak kemarin belum makan. Malam harinya aku hanya minum segelas susu saja. Tubuhku terasa lemas. Berat badanku pun mulai menyusut, hampir 5 kilo dalam satu minggu terakhir ini. Benar kata orang, jika ingin kurus cepat selain diet, kuncinya hanya satu, makan hati!"Intan, kamu mau kemana pagi-pagi begini sudah rapi?" tanya Mama Astrid padaku. Ia tampak sedang menyantap oatmeal miliknya setelah mengantarkan putraku ke sekolah. Semenjak di sini, Ammar pulang pergi diantar oleh Mama. Mama bilang karena ia tak mem
"Iya Mas. Aku ingin bersantai dan sekalian mau ngucapin terima kasih atas bantuan kamu," jawabku sambil tersenyum. "Tante kenal Papa?" ucap gadi kecil yang ada di gendonganku ini. Aku sampai lupa kalau aku sedang menggendong anak kecil. Tubuhnya yang mungil membuat aku tak merasa sedang gendong sesuatu. Entah kenapa akhir-akhir ini aku berurusan dengan manusia-manusi bertubuh kecil. Apa karena tubuhku yang tinggi besar, ya? Jadi nggak ideal lagi untuk seorang wanita. Tubuh kecil cantik lebih menggemaskan."Laras turun! Nanti Tante Intannya kecapekan gendongin kamu," Mas Yoga mendekat padaku, ia mengambil alih anaknya yang ada di gendonganku. Sebenarnya aku tak keberatan. Mungkin ia tak enak hati padaku. Aku suka dengan anaknya, memang sejak dulu aku pengen banget punya anak perempuan. Tapi karena Ammar lahir dan aku masih repot, aku menunda dulu kehadiran adiknya. Hingga sampai sekarang rencana menambah momongan hanya tinggal wacana belaka. "Ayo masuk! Nggak enak ngobrol di jalan,"
"Besok-besok Tante datang lagi, ya!" pintanya yang membuat aku iba. "Maafkan putriku Intan. Dia tak mendapatkan kasih sayang ibunya sejak kecil. Jadi saat melihat kami ia menjadi manja begini," ucap Mas Yoga tampak tak enak hati."Tak apa Mas, aku mengerti. Aku pamit dulu ya, Mas. Sampai jumpa," aku masuk ke dalam mobilku. Menghidupkannya dan mengendarainya pergi menjauh dari tempat itu. Aku sebenarnya kasihan dengan gadis manis itu. Andai Mas Yoga mengizinkan aku mau merawat anaknya beberapa hari di rumahku. Aku yakin, Ammar juga pasti senang dengan kehadiran Laras di rumah. Anggap saja sebagai ucapan terima kasihku karena dia sudah menolongku. Tapi tak lebih. Aku tak mau ada hubungan apa pun diantara wanita dan lelaki. Rasa sakit yang di berikan Mas Dika cukup membuatku tak percaya diri pada sosok laki-laki. Jika hanya berteman silahkan, tapi jika untuk hubungan yang lebih intens. Maaf aku belum bisa, masih banyak puing-puing hatiku yang berserakan di lantai. ************