Semalaman aku tak dapat tidur dengan tenang. Kata-kata Mas Dika terus terngiang di pikiranku. Bagaimana jika benar ia memperebutkan hak asuh Ammar. Apa yang harus aku lakukan. "Intan! Heyy ... kamu kenapa bengong? Ada apa?" Irene menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajahku. Membuyarkan lamunanku. Gara-gara memikirkan hal tersebut, makanan yang ada di hadapanku ini pun hanya aku aduk-aduk tak berselera."Kamu ada apa sih, Tan? Aku tuh ngajak kamu makan siang bareng pengen ngobrol. Bukannya lihatin kamu jadi patung selamat datang begini," decak Irene membuatku membuang napas. "Maaf ... aku nggak bermaksud mengabaikan kamu. Tapi aku lagi cemas. Mas Dika mengancam akan merebut hak asuh Ammar dariku. Jika dia tak mau memberikan harta gono-gini padaku aku tak masalah. Tapi kalau Ammar ... kamu tahu sendiri kan Irene. Aku tak bisa jauh-jauh dari anak," aduku mengutarakan semua isi hatiku. Rasa gelisah ini terus menyiksa batinku. "Kamu jangan khawatir Intan. Semua masalah ada jalan kel
"Siang kini telah berganti menjadi malam. Surat gugatan ceraiku itu, aku yakin sudah sampai pada Mas Dika. Karena aku sendiri yang menyuruh kurir untuk mengantarkannya ke rumah itu. Aku masuk ke rumah dengan langkah malas. Lagi-lagi aku mendapati Mama sedang menelpon seseorang dengan nada yang diubah seperti anak kecil. Pintu kamarnya yang terbuka sedikit membuatku sedikit leluasa menguping pembicaraannya."Iya, iya. Gadis kecil Oma sudah rindu sama Oma ya. Sabar ya sayang ... nanti kalau Oma udah nggak sibuk lagi. Oma akan langsung datang ke rumah gadis Oma yang imut ini. Ya ampun, makin lama kamu makin imut saja sih. Bikin Oma gemes.""Ba ba ci ci da da," balas dari telpon itu suara balita yang baru saja bisa berbicara mulai menggema dari speaker ponsel yang dinyalakan sedikit besar. Mama tertawa mendengar suara itu. Wajahnya tampak riang sekali. Membuat hatiku semakin penasaran. Siapa anak kecil yang sering ia hubungi itu. "Mbak Intan ngapain?" tepuk Nini di bahuku. Aku yang te
Papa ...," ujar Ammar dari lantai atas. Sudah dua hari ini putraku itu memang merindukan Papanya. Ammar bahkan sempat bertanya, kenapa Papanya tak datang dan tak menginap di rumah ini bersama kami. Aku cukup bingung menjawabnya. Mas Dika menatap putranya dengan sebuah seringai terbit di sudut bibirnya. Sebuah sinyal terkirim di kepalaku akan arti senyum itu. Mas di berjalan cepat menuju lantai atas bersamaan denganku yang mengejarnya dari belakang."Stop Mas! Kamu mau ngapain, Mas?! Berhenti!" teriakku. Namun Mas Dika tak peduli. Ia terus melangkah masuk. Ia menggandeng anaknya untuk pergi. Aku yang mulai panik. Menghentikan tindakannya itu dengan menahan tangan Mas Dika. Melepaskan tangannya dari tangan putraku. Aku tahu maksudnya, ia ingin mengambil anakku dan membawanya pergi. Tentu saja aku tak tinggal diam. "Jangan main-main kamu Mas. Jangan seenaknya saja membawa Ammar dariku! Aku Ibunya. Jadi kamu tak berhak membawa dia dariku!" sungutku. Nafasku naik turun, dengan mataku
POV. Dika Sejak permasalah rumah tanggaku mencuat ke permukaan, semuanya menjadi heboh. Aku tak tahu siapa yang menyebarkan isu tentang perceraianku itu. Karena sampai kapan pun perceraian itu tak akan pernah terjadi. Semenjak menghadapi masalah ini, pekerjaanku tak ada satu pun yang beres. Belum lagi tatapan sinis yang di berikan teman kantorku. Mereka terlalu munafik. Padahal mereka di luaran juga sering jajan. Lalu apa bedanya dengan diriku. Lebih baik menikahkan, nggak nanggung dosa. Sedang repot dengan banyaknya file yang harus aku kerjakan di ruanganku. Telpon di hadapanku berbunyi. Aku mengangkat telpon itu cepat. Suara bos bergema di seberang sana. Memintaku untuk keruangan kerjanya segera. Aku langsung saja membereskan dengan cepat file-file penting ini dan berlaku pergi ke ruangan Pak Rajendra. CEO perusahaan ini. Walau aku tahu, ada urusan apa pria tua pemarah itu memanggilku ke ruangannya. Aku melintasi dinding kaca yang membatasi ruanganku dan ruangan Langit. Pintuny
Jalanan yang begitu macet membuat pukul tujuh malam, aku baru sampai di rumah dengan tubuh yang lelah. Aku memilih pulang ke rumah yang aku dan Intan tempati dari pada harus pulang ke rumah Sukma. Wanita itu hanya tahu dandan saja. Masalah anak nol besar. Aku lagi malas mendengar rengekan dan tangis Maura saat ini. Baru saja duduk membanting pantatku ke atas sofa. Serta melepaskan dasi yang melekat di kerah bajuku yang terasa mencekik leher ini. Bi Susi mendekat padaku. "Ini kopinya Tuan," ucapnya. "Terima kasih Bi," balasku. Aku beranjak dari dudukku lalu menghirup sedikit kopi panas yang terhidang. Bisanya Intan yang menyuguhkan kopi ini untukku setiap aku habis pulang kerja. Aku jadi rindu kopi buatannya yang pas di lidahku."Tuan ... ini ada surat dari pos untuk Tuan. Bibi tak tahu itu surat apa, katanya surat penting. Jadi Bibi tak berani buka,"Aku meletakkan gelas kopi kembali ke atas meja. Lalu aku menerima amplop coklat yang di berikan oleh Bi Susi. Setelah menyerahkan am
"Papa ...," panggil putraku dari lantai atas.Akhirnya yang aku cari-cari muncul juga. Hanya Ammar satu-satunya yang dapat membuat Intan merubah pikiran konyolnya itu. Hanya dengan menahan Ammar dan mendapatkan hak asuhnya. Maka istriku itu tak dapat berbuat banyak. Ia pasti akan menerima semua keputusan yang aku buat. Aku berjalan dengan cepat menghampiri Ammar. Intan Yaang begitu waspada mengejar aku dari belakang. Keributan diantara kami kini kembali terjadi. Bahkan di depan Ammar. Aku merayu, melakukan segala cara untuk membujuk Ammar ikut denganku.Baru saja aku berhasil mengajak Ammar pergi denganku, Intan sudah menahannya dan mengajakku berdebat kembali. Arggghhh ... kenapa wanita ini sekarang begitu bar-bar seperti suku pedalaman yang siap menyerang saja. Ditengah pertengkaran kami, Mama astrid ikut menimpali keributan yang terjadi. Bukannya melerai dan menasehati anaknya. Ia justru mengusirku, sepertinya ia begitu mengharapkan aku dan Intan bercerai. Ibu macam apa dia yang
"Lagi ada urusan dikit tadi. Kalian berdua kenapa? Tumben pagi-pagi sudah ngerumpi seperti emak-emak komplek yang menunggu tukang sayur?" sindirnya yang begitu mengena di hati. Ini orang jarang banget ngomong. Tapi sekali ngomong, kenapa kata-kata yang keluar pedas benget. Pantas saja di umur segitu masih jomblo. Wanita mana yang mau dengannya. Nggak bisa bersikap lembut pada wanita. Di kantor ini banyak wanita yang tertarik padanya. Tapi tak ada satu pun yang menarik perhatiannya. Ia juga selalu bersikap dingin pada semau wanita itu. Entah wanita seperti apa yang menjadi kriterianya. Selain tampan, walau masih tampan diriku sih. Langit termasuk pria mapan. Ia memiliki 10% saham di perusahaan ini. Tapi memilih jadi karyawan biasa dengan jabatan di bawahku."Ini lagi bicarakan playboy kita satu ini. Akhirnya setelah sekian purnama, pesonanya luntur. Bentar lagi mau jadi duda setengah dia," seloroh Erlan yang membuatku mataku terbelalak. Duda setengah, apa maksudnya?"Duda setengah,
Tak ada yang melintas di pikiranku saat ini selain Irene dan Mas Yoga. Jika aku meminta tolong dengan Irene. Sama saja bohong, kan? Wanita itu tak bisa apa-apa selain dandan. Masak aja terkadang masih suka gosong."Apa aku minta tolong Mas Yoga saja? Tapi masa harus dia? Aistt ... andai aku ada menyimpan satu saja nomor montir mobil. Mungkin keadaannya tak serepot ini. Tapi aku juga nggak mungkin diam nunggu di sini sampai ada orang yang lewat. Iya kalau orang baik, kalau orang jahat? Bisa berabe urusannya," Aku melirik kekiri dan kekanan. Menimbang-nimbang apa yang harus aku lakukan. Akhirnya aku memutuskan menelpon Mas Yoga. Menurut pikiranku meminta bantuannya lebih aman dari pada aku dibegal di pinggir jalan begini. Situasi yang aku hadapi saat ini sungguh horor. Lebih baik malu dari pada nyawa melayang, kan."Assalamualaikum. Hallo Intan, ada apa?" ucap Mas Yoga dari seberang sana. Suara bass lembut mendayu."Waalaikum salam, Mas. Aku boleh minta bantuanmu Mas? Aku sekarang meng