"Lagi ada urusan dikit tadi. Kalian berdua kenapa? Tumben pagi-pagi sudah ngerumpi seperti emak-emak komplek yang menunggu tukang sayur?" sindirnya yang begitu mengena di hati. Ini orang jarang banget ngomong. Tapi sekali ngomong, kenapa kata-kata yang keluar pedas benget. Pantas saja di umur segitu masih jomblo. Wanita mana yang mau dengannya. Nggak bisa bersikap lembut pada wanita. Di kantor ini banyak wanita yang tertarik padanya. Tapi tak ada satu pun yang menarik perhatiannya. Ia juga selalu bersikap dingin pada semau wanita itu. Entah wanita seperti apa yang menjadi kriterianya. Selain tampan, walau masih tampan diriku sih. Langit termasuk pria mapan. Ia memiliki 10% saham di perusahaan ini. Tapi memilih jadi karyawan biasa dengan jabatan di bawahku."Ini lagi bicarakan playboy kita satu ini. Akhirnya setelah sekian purnama, pesonanya luntur. Bentar lagi mau jadi duda setengah dia," seloroh Erlan yang membuatku mataku terbelalak. Duda setengah, apa maksudnya?"Duda setengah,
Tak ada yang melintas di pikiranku saat ini selain Irene dan Mas Yoga. Jika aku meminta tolong dengan Irene. Sama saja bohong, kan? Wanita itu tak bisa apa-apa selain dandan. Masak aja terkadang masih suka gosong."Apa aku minta tolong Mas Yoga saja? Tapi masa harus dia? Aistt ... andai aku ada menyimpan satu saja nomor montir mobil. Mungkin keadaannya tak serepot ini. Tapi aku juga nggak mungkin diam nunggu di sini sampai ada orang yang lewat. Iya kalau orang baik, kalau orang jahat? Bisa berabe urusannya," Aku melirik kekiri dan kekanan. Menimbang-nimbang apa yang harus aku lakukan. Akhirnya aku memutuskan menelpon Mas Yoga. Menurut pikiranku meminta bantuannya lebih aman dari pada aku dibegal di pinggir jalan begini. Situasi yang aku hadapi saat ini sungguh horor. Lebih baik malu dari pada nyawa melayang, kan."Assalamualaikum. Hallo Intan, ada apa?" ucap Mas Yoga dari seberang sana. Suara bass lembut mendayu."Waalaikum salam, Mas. Aku boleh minta bantuanmu Mas? Aku sekarang meng
Aku dan langit dulu pernah berpacaran selama dua tahun. Waktu itu hubungan kami di mulai saat aku masih kuliah semester satu sedangkan dia mahasiswa semester akhir. Mungkin karena kesibukan kami masing masing. Hubungan kami merenggang hingga berakhir pada kata putus. Lebih tepatnya aku yang memutuskan dirinya. Aku tak suka khianati. Dan saat itu aku memergoki langit sedang berciuman dengan wanita lain. Sakit? Tentu saja sakit. Tanpa menunggu penjelasannya dan tanpa pikir panjang karena terbawa emosi. Aku langsung saja meminta putus. Hingga kami hilang kontak karena ia berangkat ke luar negeri untuk menemui orang tuanya yang sedang sakit. Di luar negeri, pria ini masih sempat menghubungiku lewat email. Namun sekalipun tak pernah aku gubris. Hingga akhirnya aku melabuhkan hatiku pada Mas Dika dan memutuskan untuk menikah dengannya. "Apa mobilmu ada kunci-kunci lengkap?" ucapnya. Membuyarkan lamunanku akan masa lalu."Ada, tapi tak perlu repot-repot. Soalnya aku sudah menelpon seseo
"Langit terima kasih banyak, ya. Kamu udah mau nolongin aku," selaku diantara ketegangan yang terjadi diantara mereka berdua. Aku tak enak hati jadinya. "Kamu mau kemana Intan? Biar saya antar saja?" tanya Mas Yoga."Aku mau kembali ke rumah. Mas Dika membawa putraku dari sekolahnya tanpa izinku. Aku mau menjemputnya. Jika Mas Yoga menemani aku, lalu mobil Mas gimana?" tanyaku balik pada Mas Yoga. "Ada yang akan membawanya pulang," Mas yoga menunjuk ke arah mobilnya. Aku pun menoleh dan benar saja, ada seorang lelaki yang duduk di dalam mobil sebelah sopir. Aku tak memperhatikan keberadaan pria tersebut. Aku pikir Mas yoga datang seorang diri."Yoga membawa anakmu, bukannya dia ayahnya? Memangnya masalah?" tanya Langit. Sudut matanya memicing menatap ke arahku. Apa pria ini tak mendengar kabar rencana perceraianku. Atau ia sedang ingin memastikan sesuatu."Mas Dika mengancam akan mengambil hak asuh Ammar dariku. Tentu aku tak mau itu terjadi," jelasku. "Dia bahkan memboikot aku. Hin
"Sayang, baru beberapa Minggu tak melihatku. Kamu semakin cantik saja! Aku kangen banget sama kamu," ucap Mas Dika. Ia melangkah maju selangkah demi selangkah. Aku yang merasa terancam. Memundurkan langkahku. "Stop, Mas! Kamu mau ngapain? Di mana Ammar?" tanyaku. "Kita masih suami istri Intan. Lalu apa masalahnya jika kita melepas rindu saat ini. Siapa tahu setelah ini, kita bisa berbaikan kembali. Mas kangen banget sama kamu," suaranya lembut mendayu-dayu. Membuatku muak mendengarnya. Apa seperti ini sikapnya saat bersama dengan selingkuhannya itu."Dimana Ammar, Mas?" tanyaku kembali. Mas Dika semakin mendekat dan aku semakin menghindar. "Jangan tanyakan Ammar, Intan. Putra kita itu aman denganku. Lebih baik sekarang kita bersenang-senang. Apalagi jika hari ini kita bisa bikin adik Ammar hadir. Pasti putra kita itu sangat senang. Hentikan aksi merajukmu ini!" Aku rasa lelaki ini sudah gila. Bagaimana mungkin ia bisa berkata begitu setelah apa yang telah ia perbuat padaku. Jangan
"Sudah lah Intan, jangan menangis lagi! Tak perlu kamu tangisi lelaki seperti itu. Sebaiknya sekarang kamu obati dulu lukamu itu!" Mas Yoga menyerahkan kota P3K yang selalu tersedia di dalam mobilku. Kini kami berada di pinggir taman. Setelah perkelahian tadi, aku dan Mas Yoga pergi dari rumah itu dengan hati yang sulit untuk di gambarkan. Sedangkan pakaianku, aku mengambil pakaian yang masih ada di lemari kamarku."Aku hanya tak menyangka saja, Mas Dika akan berbuat begini padaku. Waktu sungguh membuktikan bahwa keadaan dapat mengubah seseorang." ucapku lirih. Aku terdiam sejenak menatap langit terang dari balik jendela. Angin yang berhembus dari pohon akasi menerpa wajahku. Di taman itu banyak anak-anak yang sedang bermain riang. Hari mulai sore. Aku menatap anak-anak yang bermain ayunan dan plosotan dengan riang. Sedangkan kedua orang tuanya duduk santai di kursi panjang sambil mengobrol.Membuat hatiku itu melihatnya. Sebenarnya tak banyak yang aku inginkan. Pernikahan yang tena
"Cerita apalagi, tentu saja kenyataan kalau kamu lebih memilih untuk bersama selingkuhanmu itu. Sampai-sampai kamu tega menyuruh selingkuhan kamu untuk memukul anak saya! Jika kamu sudah tak mau lagi dengan Dika. Silahkan kamu pergi saja dari hidupnya, tapi jangan bawa-bawa Ammar. Biar cucu saya, saya yang merawatnya. Saya nggak mau cucu saya kena pengaruh buruk dari Ibunya yang tak tahu berterima kasih," hina Mama. Tanganku terkepal erat. Nini yang datang membawa nampan minuman dan cemilan seakan mengintrupsi ucapan Mama. Membuat wanita tua ini diam sejenak. Aku tahu dari tatapan matanya yang tak suka melihat kedatangan Neneng, sebabnya masih banyak kata-kata pedas lagi yang ingin ia sampaikan."Silahkan di minum air-nya, Bu!" ucap Nini. "Nggak usah saya ke sini bukan untuk numpang minum!" Nini terkejut. Matanya membulat mendengar ucapan Mama yang menyinggung perasaannya. Tanpa pamit Nini langsung pergi meninggalkan kami. Aku melihat ke arah Nini sekilas, lalu kembali ke pada Mama
"Sekarang coba Mama beritahu aku, aku harus menyelesaikan masalahnya seperti apa? Bagaimana jika Mama yang berada di posisi aku. Apa Mama akan menerima begitu saja saat aman diduakan oleh Papa. Semudah Mama mengatakannya padaku saat ini!" Aku membalikkan ucapannya.Kuteguk ludah ini. Enak sekali ia berkata seperti itu dengan mudahnya. Memintaku menerima dengan ikhlas apa yang dilakukan putranya dengan lapang dada. Memangnya ia pikir hatiku ini terbuat dari apa? "Intan! Jaga bicaramu. Tak pantas kamu berbicara pada orang tua seperti itu. Apa kamu lupa, aku ini masih mertuamu!" "Kenapa Ma?! Bukannya apa yang aku katakan itu benar. Mama nggak usah sok menasehati aku tentang kata ikhlas. Jika Mama saja masih merasakan cemburu saat Papa digoda wanita lain di luaran sana. Tak ada satu pun wanita di dunia ini mau untuk dimadu. Begitu pun dengan Mama. Mama bisa santai mengatakan itu saat ini padaku, karena yang melakukan itu adalah putra Mama!" jawabku. Aku atur napas yang bergemuruh hebat