POV. DikaSepanjang hari aku selalu gelisah. Jiwaku meronta-ronta. Hatiku perih dan gersang. Luka di wajahku ini tak seberapa di banding sesak di dadaku. Sejak kejadian malam itu, aku mengajukan cuti selama satu Minggu untuk memulihkan luka akibat pukulan pria yang bersama Intan. Selain wajah yang lebam, tulang rusukku pun bagian bawah mengalami cidera retak satu.Lelaki itu memukulku dengan membabi-buta. Siapa dia yang berani-beraninya ikut campur urusanku. Aku ingin melaporkanya pada polisi. Namun setelah mengetahui identitasnya yang seorang pengacara, ditambah lagi luka yang aku tinggalkan di wajah Intan waktu itu bisa ia jadikan bukti yang berbalik pada diriku sendiri.Melihat kedekatan pria itu bersama Intan. Aku yakin, lelaki itu juga menaruh rasa pada istriku itu. Aku tak mau ia pergi meninggalkanku. Saat akalku mulai buntu dengan segala ide, akhirnya aku menelpon Mama. Memintanya untuk merawatku sekaligus membantu aku meyakinkan Intan untuk membatalkan gugatan cerainya padaku
Hingga selesai makan malam aku kembali ke kamar. Ponselku yang aku tinggalkan, berada di atas nakas sebelah ranjangku ini pun masih berdering. Dari pagi sampai sore, Sukma tak henti-henti menelponku. Aku yang mulai bosan akhirnya mengangkat telponnya. "Mas! Kamu kemana saja sih, dari tadi ditelpon nggak diangkat, di sms nggak juga di balas?" ucapnya begitu cepat saat sambungan telponnya aku angkat. "Aku lagi istirahat. Apa kamu lupa, aku ini masih sakit?! Memangnya ada hal penting apa, hingga kamu menelponku?" tanyaku tak bersemangat."Kirimkan aku uang, Mas. Uang yang kamu kirim kemarin habis. Apa lagi skincare aku juga udah pada habis semua," pintanya. Aku yang sedang pusing karena masalah Intan, kini menjadi semakin meradang mendengar ucapan Sukma. Jatah bulanan 20 juta yang baru dua hari yang lalu aku kirimkan kini sudah habis tak bersisa. Apa dia pikir aku ini ATM berjalan apa."Nggak ada! Baru kemarin aku kirim kenapa sudah habis. Kamu beli apa saja? Kamu boros banget sih!" g
"Pa ... aku mau pulang ke rumah Oma, aku kangen sama Mama. Nanti pulang sekolah, Papa antar aku keruang Oma, ya!" pinta Ammar. Di tengah acara sarapan kami. Aku yang sedang meminum kopiku pun menoleh. Sudah beberapa hari tak bertemu dengan Ibunya. Anakku ini mulai kangen."Loh ... di sini juga ada Eyang. Kenapa Ammar justru mau pulang ke rumah Oma. Ammar tak sayang sama Eyang Uti, ya?" balas Mama cepat. Ammar menggeleng. Ia memakan nasi goreng yang ada di hadapannya malas. Sejak tadi nasi goreng itu masih banyak yang tersisa. "Bukan gitu enyang. Aku rindu masakan Mama. Masakan Bibi tak enak!" jawab Ammar polos."Kalau masalah makanan, nanti sepulang dari sekolah, Eyang ajak Ammar makan di restoran yang paling mahal dan pastinya paling enak dari masakan Mamamu itu. Ammar mau kan? Yang penting Ammar di sini, bersama Eyang!" rayu Mama. Namun rasa rindu seorang anak pada ibunya tak dapat di tahan seperti mata air yang mengalir tak dapat di bendung."Tidak Eyang. Ammar mau pulang, jika P
POV. SukmaAku menggenggam ponselku dengan erat. Mas Dika benar-benar kelewatan ia benar-benar berubah. Biasanya Iskan langsung menuruti keinginanku. Saat aku meminta sesuatu padanya. Baik itu uang, perhiasan atau apa pun itu. Sekarang, bayangkan! Aku meminta uang tambahan padanya saja ia tak mau memberi. Kartu kreditku pun juga sudah ia tarik. Bikin aku sudah saja. Jika begini, untuk apa aku menikah dengannya. Sampai-sampai aku rela jadi istri ke-dua. "Sukma! Ngapain kamu bengong di sudut itu. Katanya mau belanja? Sini ... pilih baju yang mau kamu beli. Kami sudah selsai dan mau bayar ini," teriak Tiara padaku. Aku melirik hamparan baju yang terpajang cantik di butik ini. Aku menelan ludah, semua baju di sini cantik-cantik dan mahal. Bayar pakai apa aku jika aku mengambilnya? Uang yang aku miliki sudah habis tak bersisa. Lagi pula aku tak mungkin mengetakan pada mereka jika aku tak memiliki uang, bisa malu tujuh turunan aku. Kalau tahu begini, mending aku tak usah ikut ajakan mere
"Kamu kenapa sih Sukma, dari tadi sikap kamu aneh banget? Biasanya paling usia kalau dia Jak belanja, apalagi belanja perhiasan seperti ini?" tanya Tiara menyelidik. "Ho ... oh, aneh banget. Seperti ada sesuatu yang di sembunyikan gitu?" ujarnya menyelidik. Aku berusaha untuk tetap tenang agar mereka tidak curiga."Aku ... menyembunyikan apa? Ah ... itu hanya perasaan kalian saja lah! Sekarang tu udah malam, lihat jam di tangan sudah nunjukin pukul sepuluh malam. Apa kalian nggak ingat keluarga di rumah. Jadi belanja perhiasannya besok saja lah," dalihku. Aku bisa malu jika harus masuk kedalam toko sana. Baru beberapa waktu yang lalu aku jual perhiasan. Eh ... kini justru ke sana lagi untuk pura-pura beli. Aku takut pelayan disana keceplosan pada mereka dan membuat harga diriku terinjak-injak."Apa yang dikatakan Sukma ada benarnya juga. Besok aja belinya, sekarang udah malam. Nanti suami-suami kita pada nyariin. Kalian Mas enak suaminya jarang di rumah, lah aku ...," Dwi menunjuk w
"Tutup mulutmu Sukma. Nggak usah ikut campur yang bukan wilayahmu. Sebaiknya kamu pergi dari sini, jika kehadiranmu membuat keadaan semakin panas saja!" bentaknya padaku. Aku pun ikut memanas, menepis tangannya kasar. Mas Dika tersentak kaget, tatapan matanya yang tajam seoalh ingin menerkamku. Hilang sudah Mas Dika yang selalu lembut dan memanjakanku. Sekarang ia menjadi pelit dan suka marah-marah padaku. Padahal dulu dia selalu memujaku. Aku menghela napas pelan. Lebih baik kali ini aku mengalah, tak ada gunanya aku membantahnya. Aku takut ia mengeluarkan kata sakral yang memutus hubungan kami. "Baik, aku akan pergi tapi sebelum itu, berikan aku duit, Mas. Aku butuh uang, uangku habis!" pintaku sambil menadahkan tangan. Mas Dika mengerang kesal melihat apa yang aku lakukan. Loh ... apa aku salah meminta uang pada suamiku sendiri?"Uang! Uang dan uang! Yang ada di pikiran kamu hanya uang!" bentak Mas Dika lagi. Ia kembali menarik tanganku kasar. Kakiku terseok-seok mengikuti langk
Aku melangkahkan kakiku dengan mantap memasuki gedung persidangan. Hari ini sidang pertama perceraian kami pun akhirnya di gelar. Mas Dika datang lebih awal dariku, kami sempat berpapasan di luar, aku menghindar darinya saat tatapan mata kami bertemu. Aku lebih memilih langsung masuk ke dalam ruang sidang bersama Mas Yoga, serta langsung duduk di kursi yang sudah di siapkan untukku. Dua jam sidang berlangsung secara sengit. Mas Dika menolak bercerai denganku. Ia juga mengutarakan semua argumennya di depan hakim. Meminta agar pak hakim tidak mengabulkan keinginanku. Aku pun tak mau kalah, aku juga mengutarakan alasan-alasanku, kenapa aku tak mau terus melanjutkan pernikahan ini.Aku meneguk ludah setelah menunggu harap-harap cemas saat hakim mengetuk palu yang ada di tangannya. Hasil keputusan pada akhirnya mengacu pada mediasi kembali, hingga batas waktu yang di tentukan. Karena Mas Dika terus menuntut naik banding. Senyum tipis terbit dari bibir Mas Dika. Membuatku sangat geram. Semu
Lima hari setelah persidangan. Aku mendatangi rumah lain yang diberikan Mas Dika pada Sukma. Setelah mendapat kabar jika putraku saat ini berada di sana. Dengan mengendarai mobilku, akhirnya aku tiba di depan rumah itu. Rumah yang berada di pinggiran kota, rumah yang tidak terlalu besar namun halamannya cukup luas di bandingkan rumah yang ia tempati dulu. Aku tertawa lirih, ternyata kamu begitu memanjakan istri mudamu ini, Mas. Sehingga kamu memberikannya dua rumah."Kamu ini bodoh sekali! Hanya seperti itu saja tidak bisa! Dasar bodoh!" bunyi teriakan Sukma menggema di dalam rumah hingga keluar. Di selingi suara tangis bocah perempuan, membuatku yang masih berada di depan teras mengernyitkan dahi. Siapakah gerangan yang sedang ia marahi itu?Hatiku langsung berdetak tak enak. Aku berjalan mendekat secara perlahan. Lebih tepatnya mengendap-ngendap."Dasar bodoh! Lihat itu, gara-gara kamu anak saya nangis! Kamu ya ... rasakan ini!" suara bentakan Sukma kembali menggema. Dari suaranya
Lagi-lagi aku dibuat tercengang dengan ide gila pria ini. Setelah aku menyetujui untuk menikah dengannya. Pernikahan kami di gelar dalam waktu tiga hari. Terdengar sangat tiba-tiba memang. Namun semuanya tampak siap, seolah sudah di persiapkan sebelumnya. Hanya tinggal mulutku berkata ia. Maka semuanya terlaksana bagai sulap.Bahkan sempat beredar rumor tak sedap yang mengatakan aku hamil duluan. Hanya karena pernikahanku yang di gelar begitu mendadak. Aku juga tak tahu dari mana rumor itu berasal. Namanya juga hidup bertetangga. Ada saja komentar yang terdengar. Aku menatap pantulan diriku di dalam cermin. Kebaya putih yang indah dengan hijab berwarna senada. Make up yang bagus membuat wajahku cantik sempurna. "Kamu cantik sekali, Nak!" puji Mama padaku. Aku menatap dan tersenyum padanya dari balik pantulan cermin. Aku gengam erat tangannya yang memegang pundakku. Ini memang pernikahan keduaku. Tapi gugupnya hampir sama dengan pernikahanku dulu. Bahkan lebih kentara lagi. Pintu
Aku tersentak kaget saat tangan Nini menggoyang tubuhku. Membuyarkan pikiran yang sejak tadi melayang entah kemana. "Mbak ... Mbak Intan! Mbak mikirin apa sih, Mbak?!" serunya padaku. Aku menoleh, menarik napasku yang terasa berat. "Nggak ada," jawabku singkat. Aku yang duduk di meja makan ini hanya menatapi makanan yang sudah Nini siapkan untukku. Tak ada yang aku sentuh. Selera makanku hilang entah kemana. "Mbak pasti mikirin Mas Langit, ya? Udah Mbak, kalau rindu bilang saja. Dari pada bengong gitu. Ayam tetanggaku di kampung, gara-gara bengong gitu selama tiga hari. Besoknya mati loh, Mbak. Kalau cinta bilang aja ok. Gitu aja kok susah Mbak," komentarnya padaku. Mataku melebar. "Kamu ngomong apa sih, Ni? Mbak nggak ngerti," elakku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku lagi malas beradu argumen dengan asisten rumah tanggaku ini. "Udah Mbak jangan malu sama Nini. Nini tu sebenarnya tahu. Sebenarnya Mbak tu cinta kan sama Mas Langit. Cuma Mbak Intan tu takut aja kalau Mas La
Hingga pagi menjelang, aku memaksa untuk pulang ke rumah. Demamku sudah turun. Sesampainya di rumah Mama menemaniku hingga ke kamar."Terima kasih, Ma," ucapku tulus. Aku duduk di pinggir ranjang menatapnya sayang. Tak ada amarah ataupun sakit hati. Semuanya sirna dengan kasih sayangnya. Mama menghela napas. Ia duduk di sampingku dan mengusap wajahku lembut. "Tak ada kata terima kasih untuk cinta seorang Ibu untuk anaknya. Sekarang istirahatlah ... jangan lagi menangis seperti itu Intan. Apalagi di makam Papamu sendirian seperti itu. Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?" "Bagaimana Mama bisa tahu aku ada di makam Papa?" tanyaku mulai mengingat kejadian itu. "Penjaga makam menelpon Mama dan memberitahukan keberadaanmu yang tergeletak pingsan di makam," jelas Mama. Ya, penjaga makam memang selalu aku bayar setiap bulan untuk menjaga Makam Papa. Itu sebabnya makam Papa bersih dan terawat. "Intan ... Mama dengar dari Nini, kamu akan pindah dalam minggu ini?" "Iya," jawabku singka
Pukul dua siang, langkah kakiku terhenti di sebuah gapura tinggi. Berdiri kokoh dan bersanding dengan sebatang pohon beringin yang berdiri menantang memamerkan tubuhnya yang tinggi serta rimbun. Daun kering tertiup angin jatuh berguguran. Beberapa lembar jatuh di hadapanku. Lembarannya yang rapuh terinjak di kakiku meninggalkan bunyi patah.Bisikan nyanyian rindu menuntun langkah kakiku untuk terus melangkah maju. Menyusuri setiap jengkal tanah pemakaman melati. Rintik hujan yang mulai turun membasahi pipi bagai iring-iringan yang menyambut kedatanganku. Langit mendung seakan ikut merasakan kehampaan hati ini.Sebuah batu nisan yang di kelilingi keramik berwarna biru menjadi ujung tujuan langkah kakiku. Aku terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Kutekukkan kakiku, duduk di sudut pusara yang terawat ini. Setelah sekian lama, aku datang menemui cinta pertama yang selalu ada untukku di masa hidupnya. Dulu aku rutin datang kesini, minimal tiga bulan atau enam bulan sekali. Namun sejak d
Dari rumah sakit aku mampir sejenak ke perusahaan. Menyelesaikan sebagian pekerjaanku. Sebagai pemilik sebuah perusahaan, aku masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa aku tinggalkan. Pukul tujuh malam, mobilku terparkir cantik di halaman rumah. Aku turun dari mobil dan masuk ke rumah besar dengan bangunan arsitektur klasik. Rumah yang aku tempati selama puluhan tahun. Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya sama, dari dinding cat yang mendominasi warna-warna pastel dan putih. Kecuali bunga-bunga yang ditanam Mama yang berganti sesuai trend yang sedang hits saat ini.Aku memasuki rumah dan berjalan cepat ke ruang makan. Aku yakin semua sudah berkumpul di meja makan. "Selamat malam?" sapaku. "Kamu terlambat lagi, Kak?" ujar Elia padaku. Semuanya sedang makan dan menatap ke arahku yang baru saja tiba. Di samping Elia ada Emil–suaminya. Lelaki itu kerja sebagai pegawai bank swasta. Lalu di hadapan mereka, duduk seorang gadis kecil cantik yang tampak merenggut padaku. Aku mem
Pov. Langit"Langit lepaskan!" ujarnya saat tautan bibir kami terlepas. Dekapan tangan ini masih sangat erat dan tak ingin terlepas. Deru nafas yang naik turun begitu memburu. Seakan berlomba-lomba meraup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku tahu ini salah, aku tahu tak sepantasnya kau melakukan ini padanya. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah cantiknya. Tak bertemu dengannya beberapa hari belakangan ini membuatku kehilangan nalarku saat ini. Apa pun yang berhubungan dengannya membuatku gila. Hanya ada namanya dan wajahnya yang memenuhi kepalaku saat ini. Detak jantungku dan dirinya kian berpacu berirama saling sahut-sahutan, membangkitkan gejolak rasa yang selama ini aku pendam dan kujaga dengan sangat hati-hati. Getaran itu masih sama, iramanya juga masih sama. Kubiarkan kupu-kupu menggelitikku. Membuatku terbuai dalam romansa indah, terbuai dengan irama asmara.Aku dekatkan keningnya dan keningku. Membiarkan punggungnya bersandar dengan pintu mobil. Bulu mat
Sudah berkali-kali dan berhari-hari Mama mencoba meminta Maaf padaku. Berkali-kali aku juga diam. Kini keputusanku untuk pindah semakin kuat. Taka ada lagi yang perlu aku pertahankan lagi tinggal disini. Hidupku juga sudah selesai, resmi dengan status janda yang tersemat.Ammar juga kondisinya sudah semakin pulih. Ia juga sudah mulai bisa beraktivitas seperti biasanya. Hari ini aku bersiap-siap di depan cermin. Memoles sedikit make-up di wajahku yang pucat. Hari ini adalah jadwal control rutin Ammar. Kali ini aku tidak datang ke rumah sakit dimana Ammar operasi kemarin. Tapi pindah ke rumah sakit yang lain. Tentunya rumah sakit yang sama besarnya dan fasilitas yang lengkap tentunya. Setelah dirasa pantas, aku keluar kamar. Membantu Ammar untuk berjalan menuju mobil. Walaupun ia sudah agak mendingan, namun sesekali putraku kerap merasa nyeri di bagian dadanya. Untuk Langit, aku memang tidak dapat menjenguknya. Bukan berarti aku tidak terima kasih atas apa yang ia lakukan pada putrak
"Kalau tidak kenapa, Ma?" Aku keluar dari persembunyianku menatap tajam Mama yang terkejut dan langsung mematikan sambungan telponnya. Kedua tanganku terkepal di kedua sisi tubuhku. "Intan ... sejak kapan kamu berada di situ, sayang?" tanya Mama gugup. Seperti penciri yang tertangkap basah dengan hasil curiannya. "Cukup lama untuk mendengar semua kebohongan Mama. Jadi benar apa yang dikatakan Bu Dahlia itu. Kenapa Mama lakukan ini padaku, Ma. Kenapa?!" teriakku penuh amarah. "Bukan begitu Intan, Maafkan Mama. Mama khilaf melakukan semua itu. Maafkan Mama, Nak. Kamu tahu sendiri saat itu Papa kamu mengalami krisis keuangan. Uang hasil panen sawit yang biasanya melimpah, tiba-tiba berkurang hampir setengahnya karena harga sawit turun. Sedangkan Mama saat itu tidak tahu kalau Papamu punya kebun lain yang dialihkan atas namamu. Uang yang di berikan Papamu tidak cukup,""Tidak cukup memenuhi keinginan Mama untuk foya-foya!" selaku sinis. "Bukan begitu, Intan. Dika menyukaimu sejak pe
Kuusap kepala Ammar dengan lembut. Menemaninya hingga ia terbuai mimpi. Bocahku ini sangat suka diusap-usap kepalanya. Bahkan ia akan cepat tertidur jika aku perlakukan demikian.Setelah Ammar tidur, aku kembali keluar. Merenggangkan tangan serta badanku yang terasa remuk. Perutku juga lapar tapi aku tak mungkin pergi meninggalkan anakku seorang diri di kamar. Aku yang baru saja keluar dari kamar langsung beradu hidung dengan Mas Yoga."Apa aku mengganggumu. Kamu mau kemana? Mau membeli makanan?" tebaknya tepat. Setidaknya aku bisa meminta bantuannya untuk menjaga Ammar. "Iya Mas, aku lapar. Bisa minta tolong nggak, Mas? Tolong jagain Ammar sebentar," pintaku. "Untuk apa keluar ... ini aku bawakan makanan untukmu," Mas Yoga mengangkat plastik putih yang ia bawa ke dapan wajahku. Bau wangi dari bungkusan itu menggoda indra penciumanku. Membuat cacing di perutku semakin berdendang. Kata orang, jika rezeki tak akan lari walau hujan menerpa. Seperti itu juga lah rezekiku hari ini. P