Aku melangkahkan kakiku dengan mantap memasuki gedung persidangan. Hari ini sidang pertama perceraian kami pun akhirnya di gelar. Mas Dika datang lebih awal dariku, kami sempat berpapasan di luar, aku menghindar darinya saat tatapan mata kami bertemu. Aku lebih memilih langsung masuk ke dalam ruang sidang bersama Mas Yoga, serta langsung duduk di kursi yang sudah di siapkan untukku. Dua jam sidang berlangsung secara sengit. Mas Dika menolak bercerai denganku. Ia juga mengutarakan semua argumennya di depan hakim. Meminta agar pak hakim tidak mengabulkan keinginanku. Aku pun tak mau kalah, aku juga mengutarakan alasan-alasanku, kenapa aku tak mau terus melanjutkan pernikahan ini.Aku meneguk ludah setelah menunggu harap-harap cemas saat hakim mengetuk palu yang ada di tangannya. Hasil keputusan pada akhirnya mengacu pada mediasi kembali, hingga batas waktu yang di tentukan. Karena Mas Dika terus menuntut naik banding. Senyum tipis terbit dari bibir Mas Dika. Membuatku sangat geram. Semu
Lima hari setelah persidangan. Aku mendatangi rumah lain yang diberikan Mas Dika pada Sukma. Setelah mendapat kabar jika putraku saat ini berada di sana. Dengan mengendarai mobilku, akhirnya aku tiba di depan rumah itu. Rumah yang berada di pinggiran kota, rumah yang tidak terlalu besar namun halamannya cukup luas di bandingkan rumah yang ia tempati dulu. Aku tertawa lirih, ternyata kamu begitu memanjakan istri mudamu ini, Mas. Sehingga kamu memberikannya dua rumah."Kamu ini bodoh sekali! Hanya seperti itu saja tidak bisa! Dasar bodoh!" bunyi teriakan Sukma menggema di dalam rumah hingga keluar. Di selingi suara tangis bocah perempuan, membuatku yang masih berada di depan teras mengernyitkan dahi. Siapakah gerangan yang sedang ia marahi itu?Hatiku langsung berdetak tak enak. Aku berjalan mendekat secara perlahan. Lebih tepatnya mengendap-ngendap."Dasar bodoh! Lihat itu, gara-gara kamu anak saya nangis! Kamu ya ... rasakan ini!" suara bentakan Sukma kembali menggema. Dari suaranya
"Cukup Intan! Apa yang kamu lakukan!" suara Mas Dika menggelegar. Ia menarik bahuku kasar, melerai pertengkaran di antara kami. Aku berdiri, merapikan kembali rambutku yang berantakan bagaikan singa. Keringat di wajahku bercucuran. Aku melirik sekilas wajah Sukma yang babak belur, biar dia tahu bagaimana akibatnya menganggu anak singa. Mas Dika menatap tajam wajahku. Plak! Tangan Mas Dika melayang ke arah pipiku. Tanganku mengusap pipiku yang terasa pedih. Bukan hanya pipi tapi juga hatiku, hancur remuk dan tak tersisa. Ia lebih membela wanita simpanannya ini dari pada aku dan putranya sendiri. Aku yakin sekali, pelayan Sukma yang memanggil dirinya untuk datang. Sebegitu cinta kah kamu padanya, Mas. Hingga kamu secepat kilat datang ke rumah ini untuk melindunginya. Mataku mulai memanas. Bulir-bulir air mata menumpuk di ujung pelupuk mata. "Apa kamu ingin membunuh Sukma, hah?" hardik Mas Dika. Selama kami menikah, jangankan membentak ataupun menghardik. Mengeluarkan kata-kata k
"Aku tahu, Mbak Intan itu cemburu padaku, makanya ia begitu membenciku. Tapi jangan fitnah aku seperti ini di depan suami kita, Mbak! Aku menghormatimu sebagai istri pertama, jadi tolong terima aku sebagai yang ke-dua,"Astagfirullah al'azim ya Allah ... dalam keadaan apa engkau menciptakan makhluk yang ada di hadapanku ini. Mulutnya bahkan lebih berbisa dari seekor ular kobra. "Beraninya kau berbohong dan memfitnah dengan kata-kata rendahan itu. Memang sekali wanita murahan, tetap saja wanita murahan yang hanya bisa mengandalkan membuka paha pada suami orang lain. Kamu hanya ...,""Cukup Intan! Tak pantas kamu menghina Sukma seperti itu!" potong Mas Dika. Kedua tanganku terkepal erat. Gigiku gemerutuk, ingin sekali aku menelan bulat-bulat kedua manusia yang ada di hadapanku ini."Kalian yang tak pantas! Terutama dirimu, Mas! Kamu tak pantas menjadi suami dan ayah dari anakku. Jika waktu dapat di putar, aku tak ingin mengenalmu. Aku menyesal memilih dirimu sebagai pendamping hidup. D
Aku raih ponsel yang ada di saku celanaku. "Sini Nak, di mana lagi Tante Sukma mencubitmu?" Ammar membuka celana yang ia gunakan. Ternyata bekas itu tidak hanya di pinggang namun juga di paha. Untuk beberapa detik aku tak dapat bernafas dengan segala rasa sedih ini. Sambil menghapus air mataku, aku foto semua bekas biru di tubuh anakku dengan sangat jelas. Tak ada satu pun yang aku lewatkan. Walau setiap melihat bekas itu hatiku begitu perih. Ada beberapa bekas yang sudah memudar, namun ada juga beberapa yang masih baru. Ingin rasanya aku memotong jari Sukma yang sudah dengan lancang membuat tubuh putraku seperti ini. "Sekarang Ammar pakai lagi baju Ammar. Mulai sekarang Ammar akan tinggal sama Mama. Kamu jangan mau jika Papa ngajak kamu pulang ke rumah itu lagi ya, Nak!"Ammar langsung memelukku. "Papa bilang, Ammar akan ikut Papa. Karena Mama itu pengangguran dan nggak akan bisa menyekolahkan Ammar. Ma, aku nggak sekolah juga nggak apa-apa. Aku nggak mau kembali ke rumah itu, Ma.
"Sidang kali ini akan berlangsung cukup alot. Jadi kamu harus berhati-hati dalam mengemukakan keinginanmu nanti Intan!" jelas Mas yoga. Ia datang menjemputmu, hingga kami pergi ke pengadilan agama berdua. Alasannya agar tidak repot dalam pengurusan nanti."Lalu bagaimana dengan foto-foto yang aku kirimkan waktu itu, Mas. Apa itu bisa di gunakan untuk memperkuat?" tanyaku. Malam itu aku langsung mengirimkan foto-foto tubuh Ammar yang penuh dengan memar itu pada Mas Yoga. "Tentu, itu akan kita gunakan untuk menekan Dika di persidangan. Kamu jangan khawatir Intan. Besar kemungkinan hak asuh akan kamu dapatkan kali ini," ucap Mas Yoga meyakinkanku.Kami berdua melangkah ke gedung persidangan dengan langkah mantap. Mas Dika dan pengacaranya sudah hadir lebih dulu dengan wajah angkuh penuh kesombongan. Biarkan saja ia senang-senang dengan argumen dan khayalannya. Sebelum kepercayaan dirimu aku hancurkan hingga sedemikian rupa, Mas. Tak ada kata maaf untuk seorang penghianat. Lagi-lagi pe
"Intan tunggu! Kita harus bicara!" Mas Dika menarik tanganku saat aku dan Mas Yoga berada di parkiran. Membuat aku mengurungkan niatku masuk ke dalam mobil. Aku menepis tangannya kasar. Aku rasa tak ada lagi yang perlu di bicarakan dengannya. Semuanya sudah selesai."Ada apa, Mas?! Jika kamu tak puas dengan keputusan hakim. Ya ... kamu protes saja di dalam sana. Jangan ganggu aku lagi!" ucapku sarkas. Aku juga sudah malas berlama-lama melihatnya. "Kamu membohongiku selam ini Intan, bagaimana kamu bisa mendapatkan semua harta itu. Bukannya orang tuamu sudah bangkrut! Semua kebun dan tanahnya habis terjual?" Aku ingin tertawa, ternyata ia mengejarku sampai di parkiran hanya ingin menanyakan hal ini."Apa kamu tak dengar apa yang di katakan hakim tadi, HARTA BAWAAN! Itu artinya harta yang diberikan orang tuaku padaku. Lagian untuk apa aku harus mengatakannya padamu. Itu bukan urusanmu!" sindirku. Aku tersenyum sinis menjatuhkannya. "Tapi aku suamimu Intan! Aku berhak ...,""Dulu! Dul
POV. DikaLangit kian menghitam, tak ada bintang yang bertaburan. Aku masuk ke dalam sebuah diskotik yang ada di kota ini. Tempat yang sudah lama aku tinggalkan saat menikah dengan Intan. Sebenarnya Intan adalah orang yang membawa pengaruh dalam hidupku, membuatku menjadi pribadi yang baik. Bunyi alunan musik yang menghentak-hentak membuat bising telingaku. Ditambah lagi pemandangan para wanita cantik menggunakan pakaian kurang bahan sileweran di sekelilingku. Aku memiliki banyak uang, aku bisa memilih wanita mana saja yang aku mau. Wajahku juga termasuk tampan. Namun tak ada satu pun wanita yang menarik perhatianku saat ini. Aku teguk gelas kecil yang berisi cairan bening yang manis cendrung pahit dengan panas yang menjalar di tenggorokan saat meminumnya. Satu atau dua sloky kecil Vodka tak membuatku mabuk. Namun entah sudah berapa sloky yang aku konsumsi. Hingga kini tubuhku terasa begitu fly dibuatnya. "Hallo ganteng ... sendirian saja, mau aku temani?" ucap wanita seksi yang m
Lagi-lagi aku dibuat tercengang dengan ide gila pria ini. Setelah aku menyetujui untuk menikah dengannya. Pernikahan kami di gelar dalam waktu tiga hari. Terdengar sangat tiba-tiba memang. Namun semuanya tampak siap, seolah sudah di persiapkan sebelumnya. Hanya tinggal mulutku berkata ia. Maka semuanya terlaksana bagai sulap.Bahkan sempat beredar rumor tak sedap yang mengatakan aku hamil duluan. Hanya karena pernikahanku yang di gelar begitu mendadak. Aku juga tak tahu dari mana rumor itu berasal. Namanya juga hidup bertetangga. Ada saja komentar yang terdengar. Aku menatap pantulan diriku di dalam cermin. Kebaya putih yang indah dengan hijab berwarna senada. Make up yang bagus membuat wajahku cantik sempurna. "Kamu cantik sekali, Nak!" puji Mama padaku. Aku menatap dan tersenyum padanya dari balik pantulan cermin. Aku gengam erat tangannya yang memegang pundakku. Ini memang pernikahan keduaku. Tapi gugupnya hampir sama dengan pernikahanku dulu. Bahkan lebih kentara lagi. Pintu
Aku tersentak kaget saat tangan Nini menggoyang tubuhku. Membuyarkan pikiran yang sejak tadi melayang entah kemana. "Mbak ... Mbak Intan! Mbak mikirin apa sih, Mbak?!" serunya padaku. Aku menoleh, menarik napasku yang terasa berat. "Nggak ada," jawabku singkat. Aku yang duduk di meja makan ini hanya menatapi makanan yang sudah Nini siapkan untukku. Tak ada yang aku sentuh. Selera makanku hilang entah kemana. "Mbak pasti mikirin Mas Langit, ya? Udah Mbak, kalau rindu bilang saja. Dari pada bengong gitu. Ayam tetanggaku di kampung, gara-gara bengong gitu selama tiga hari. Besoknya mati loh, Mbak. Kalau cinta bilang aja ok. Gitu aja kok susah Mbak," komentarnya padaku. Mataku melebar. "Kamu ngomong apa sih, Ni? Mbak nggak ngerti," elakku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku lagi malas beradu argumen dengan asisten rumah tanggaku ini. "Udah Mbak jangan malu sama Nini. Nini tu sebenarnya tahu. Sebenarnya Mbak tu cinta kan sama Mas Langit. Cuma Mbak Intan tu takut aja kalau Mas La
Hingga pagi menjelang, aku memaksa untuk pulang ke rumah. Demamku sudah turun. Sesampainya di rumah Mama menemaniku hingga ke kamar."Terima kasih, Ma," ucapku tulus. Aku duduk di pinggir ranjang menatapnya sayang. Tak ada amarah ataupun sakit hati. Semuanya sirna dengan kasih sayangnya. Mama menghela napas. Ia duduk di sampingku dan mengusap wajahku lembut. "Tak ada kata terima kasih untuk cinta seorang Ibu untuk anaknya. Sekarang istirahatlah ... jangan lagi menangis seperti itu Intan. Apalagi di makam Papamu sendirian seperti itu. Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?" "Bagaimana Mama bisa tahu aku ada di makam Papa?" tanyaku mulai mengingat kejadian itu. "Penjaga makam menelpon Mama dan memberitahukan keberadaanmu yang tergeletak pingsan di makam," jelas Mama. Ya, penjaga makam memang selalu aku bayar setiap bulan untuk menjaga Makam Papa. Itu sebabnya makam Papa bersih dan terawat. "Intan ... Mama dengar dari Nini, kamu akan pindah dalam minggu ini?" "Iya," jawabku singka
Pukul dua siang, langkah kakiku terhenti di sebuah gapura tinggi. Berdiri kokoh dan bersanding dengan sebatang pohon beringin yang berdiri menantang memamerkan tubuhnya yang tinggi serta rimbun. Daun kering tertiup angin jatuh berguguran. Beberapa lembar jatuh di hadapanku. Lembarannya yang rapuh terinjak di kakiku meninggalkan bunyi patah.Bisikan nyanyian rindu menuntun langkah kakiku untuk terus melangkah maju. Menyusuri setiap jengkal tanah pemakaman melati. Rintik hujan yang mulai turun membasahi pipi bagai iring-iringan yang menyambut kedatanganku. Langit mendung seakan ikut merasakan kehampaan hati ini.Sebuah batu nisan yang di kelilingi keramik berwarna biru menjadi ujung tujuan langkah kakiku. Aku terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Kutekukkan kakiku, duduk di sudut pusara yang terawat ini. Setelah sekian lama, aku datang menemui cinta pertama yang selalu ada untukku di masa hidupnya. Dulu aku rutin datang kesini, minimal tiga bulan atau enam bulan sekali. Namun sejak d
Dari rumah sakit aku mampir sejenak ke perusahaan. Menyelesaikan sebagian pekerjaanku. Sebagai pemilik sebuah perusahaan, aku masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa aku tinggalkan. Pukul tujuh malam, mobilku terparkir cantik di halaman rumah. Aku turun dari mobil dan masuk ke rumah besar dengan bangunan arsitektur klasik. Rumah yang aku tempati selama puluhan tahun. Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya sama, dari dinding cat yang mendominasi warna-warna pastel dan putih. Kecuali bunga-bunga yang ditanam Mama yang berganti sesuai trend yang sedang hits saat ini.Aku memasuki rumah dan berjalan cepat ke ruang makan. Aku yakin semua sudah berkumpul di meja makan. "Selamat malam?" sapaku. "Kamu terlambat lagi, Kak?" ujar Elia padaku. Semuanya sedang makan dan menatap ke arahku yang baru saja tiba. Di samping Elia ada Emil–suaminya. Lelaki itu kerja sebagai pegawai bank swasta. Lalu di hadapan mereka, duduk seorang gadis kecil cantik yang tampak merenggut padaku. Aku mem
Pov. Langit"Langit lepaskan!" ujarnya saat tautan bibir kami terlepas. Dekapan tangan ini masih sangat erat dan tak ingin terlepas. Deru nafas yang naik turun begitu memburu. Seakan berlomba-lomba meraup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku tahu ini salah, aku tahu tak sepantasnya kau melakukan ini padanya. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah cantiknya. Tak bertemu dengannya beberapa hari belakangan ini membuatku kehilangan nalarku saat ini. Apa pun yang berhubungan dengannya membuatku gila. Hanya ada namanya dan wajahnya yang memenuhi kepalaku saat ini. Detak jantungku dan dirinya kian berpacu berirama saling sahut-sahutan, membangkitkan gejolak rasa yang selama ini aku pendam dan kujaga dengan sangat hati-hati. Getaran itu masih sama, iramanya juga masih sama. Kubiarkan kupu-kupu menggelitikku. Membuatku terbuai dalam romansa indah, terbuai dengan irama asmara.Aku dekatkan keningnya dan keningku. Membiarkan punggungnya bersandar dengan pintu mobil. Bulu mat
Sudah berkali-kali dan berhari-hari Mama mencoba meminta Maaf padaku. Berkali-kali aku juga diam. Kini keputusanku untuk pindah semakin kuat. Taka ada lagi yang perlu aku pertahankan lagi tinggal disini. Hidupku juga sudah selesai, resmi dengan status janda yang tersemat.Ammar juga kondisinya sudah semakin pulih. Ia juga sudah mulai bisa beraktivitas seperti biasanya. Hari ini aku bersiap-siap di depan cermin. Memoles sedikit make-up di wajahku yang pucat. Hari ini adalah jadwal control rutin Ammar. Kali ini aku tidak datang ke rumah sakit dimana Ammar operasi kemarin. Tapi pindah ke rumah sakit yang lain. Tentunya rumah sakit yang sama besarnya dan fasilitas yang lengkap tentunya. Setelah dirasa pantas, aku keluar kamar. Membantu Ammar untuk berjalan menuju mobil. Walaupun ia sudah agak mendingan, namun sesekali putraku kerap merasa nyeri di bagian dadanya. Untuk Langit, aku memang tidak dapat menjenguknya. Bukan berarti aku tidak terima kasih atas apa yang ia lakukan pada putrak
"Kalau tidak kenapa, Ma?" Aku keluar dari persembunyianku menatap tajam Mama yang terkejut dan langsung mematikan sambungan telponnya. Kedua tanganku terkepal di kedua sisi tubuhku. "Intan ... sejak kapan kamu berada di situ, sayang?" tanya Mama gugup. Seperti penciri yang tertangkap basah dengan hasil curiannya. "Cukup lama untuk mendengar semua kebohongan Mama. Jadi benar apa yang dikatakan Bu Dahlia itu. Kenapa Mama lakukan ini padaku, Ma. Kenapa?!" teriakku penuh amarah. "Bukan begitu Intan, Maafkan Mama. Mama khilaf melakukan semua itu. Maafkan Mama, Nak. Kamu tahu sendiri saat itu Papa kamu mengalami krisis keuangan. Uang hasil panen sawit yang biasanya melimpah, tiba-tiba berkurang hampir setengahnya karena harga sawit turun. Sedangkan Mama saat itu tidak tahu kalau Papamu punya kebun lain yang dialihkan atas namamu. Uang yang di berikan Papamu tidak cukup,""Tidak cukup memenuhi keinginan Mama untuk foya-foya!" selaku sinis. "Bukan begitu, Intan. Dika menyukaimu sejak pe
Kuusap kepala Ammar dengan lembut. Menemaninya hingga ia terbuai mimpi. Bocahku ini sangat suka diusap-usap kepalanya. Bahkan ia akan cepat tertidur jika aku perlakukan demikian.Setelah Ammar tidur, aku kembali keluar. Merenggangkan tangan serta badanku yang terasa remuk. Perutku juga lapar tapi aku tak mungkin pergi meninggalkan anakku seorang diri di kamar. Aku yang baru saja keluar dari kamar langsung beradu hidung dengan Mas Yoga."Apa aku mengganggumu. Kamu mau kemana? Mau membeli makanan?" tebaknya tepat. Setidaknya aku bisa meminta bantuannya untuk menjaga Ammar. "Iya Mas, aku lapar. Bisa minta tolong nggak, Mas? Tolong jagain Ammar sebentar," pintaku. "Untuk apa keluar ... ini aku bawakan makanan untukmu," Mas Yoga mengangkat plastik putih yang ia bawa ke dapan wajahku. Bau wangi dari bungkusan itu menggoda indra penciumanku. Membuat cacing di perutku semakin berdendang. Kata orang, jika rezeki tak akan lari walau hujan menerpa. Seperti itu juga lah rezekiku hari ini. P