Lima hari setelah persidangan. Aku mendatangi rumah lain yang diberikan Mas Dika pada Sukma. Setelah mendapat kabar jika putraku saat ini berada di sana. Dengan mengendarai mobilku, akhirnya aku tiba di depan rumah itu. Rumah yang berada di pinggiran kota, rumah yang tidak terlalu besar namun halamannya cukup luas di bandingkan rumah yang ia tempati dulu. Aku tertawa lirih, ternyata kamu begitu memanjakan istri mudamu ini, Mas. Sehingga kamu memberikannya dua rumah."Kamu ini bodoh sekali! Hanya seperti itu saja tidak bisa! Dasar bodoh!" bunyi teriakan Sukma menggema di dalam rumah hingga keluar. Di selingi suara tangis bocah perempuan, membuatku yang masih berada di depan teras mengernyitkan dahi. Siapakah gerangan yang sedang ia marahi itu?Hatiku langsung berdetak tak enak. Aku berjalan mendekat secara perlahan. Lebih tepatnya mengendap-ngendap."Dasar bodoh! Lihat itu, gara-gara kamu anak saya nangis! Kamu ya ... rasakan ini!" suara bentakan Sukma kembali menggema. Dari suaranya
"Cukup Intan! Apa yang kamu lakukan!" suara Mas Dika menggelegar. Ia menarik bahuku kasar, melerai pertengkaran di antara kami. Aku berdiri, merapikan kembali rambutku yang berantakan bagaikan singa. Keringat di wajahku bercucuran. Aku melirik sekilas wajah Sukma yang babak belur, biar dia tahu bagaimana akibatnya menganggu anak singa. Mas Dika menatap tajam wajahku. Plak! Tangan Mas Dika melayang ke arah pipiku. Tanganku mengusap pipiku yang terasa pedih. Bukan hanya pipi tapi juga hatiku, hancur remuk dan tak tersisa. Ia lebih membela wanita simpanannya ini dari pada aku dan putranya sendiri. Aku yakin sekali, pelayan Sukma yang memanggil dirinya untuk datang. Sebegitu cinta kah kamu padanya, Mas. Hingga kamu secepat kilat datang ke rumah ini untuk melindunginya. Mataku mulai memanas. Bulir-bulir air mata menumpuk di ujung pelupuk mata. "Apa kamu ingin membunuh Sukma, hah?" hardik Mas Dika. Selama kami menikah, jangankan membentak ataupun menghardik. Mengeluarkan kata-kata k
"Aku tahu, Mbak Intan itu cemburu padaku, makanya ia begitu membenciku. Tapi jangan fitnah aku seperti ini di depan suami kita, Mbak! Aku menghormatimu sebagai istri pertama, jadi tolong terima aku sebagai yang ke-dua,"Astagfirullah al'azim ya Allah ... dalam keadaan apa engkau menciptakan makhluk yang ada di hadapanku ini. Mulutnya bahkan lebih berbisa dari seekor ular kobra. "Beraninya kau berbohong dan memfitnah dengan kata-kata rendahan itu. Memang sekali wanita murahan, tetap saja wanita murahan yang hanya bisa mengandalkan membuka paha pada suami orang lain. Kamu hanya ...,""Cukup Intan! Tak pantas kamu menghina Sukma seperti itu!" potong Mas Dika. Kedua tanganku terkepal erat. Gigiku gemerutuk, ingin sekali aku menelan bulat-bulat kedua manusia yang ada di hadapanku ini."Kalian yang tak pantas! Terutama dirimu, Mas! Kamu tak pantas menjadi suami dan ayah dari anakku. Jika waktu dapat di putar, aku tak ingin mengenalmu. Aku menyesal memilih dirimu sebagai pendamping hidup. D
Aku raih ponsel yang ada di saku celanaku. "Sini Nak, di mana lagi Tante Sukma mencubitmu?" Ammar membuka celana yang ia gunakan. Ternyata bekas itu tidak hanya di pinggang namun juga di paha. Untuk beberapa detik aku tak dapat bernafas dengan segala rasa sedih ini. Sambil menghapus air mataku, aku foto semua bekas biru di tubuh anakku dengan sangat jelas. Tak ada satu pun yang aku lewatkan. Walau setiap melihat bekas itu hatiku begitu perih. Ada beberapa bekas yang sudah memudar, namun ada juga beberapa yang masih baru. Ingin rasanya aku memotong jari Sukma yang sudah dengan lancang membuat tubuh putraku seperti ini. "Sekarang Ammar pakai lagi baju Ammar. Mulai sekarang Ammar akan tinggal sama Mama. Kamu jangan mau jika Papa ngajak kamu pulang ke rumah itu lagi ya, Nak!"Ammar langsung memelukku. "Papa bilang, Ammar akan ikut Papa. Karena Mama itu pengangguran dan nggak akan bisa menyekolahkan Ammar. Ma, aku nggak sekolah juga nggak apa-apa. Aku nggak mau kembali ke rumah itu, Ma.
"Sidang kali ini akan berlangsung cukup alot. Jadi kamu harus berhati-hati dalam mengemukakan keinginanmu nanti Intan!" jelas Mas yoga. Ia datang menjemputmu, hingga kami pergi ke pengadilan agama berdua. Alasannya agar tidak repot dalam pengurusan nanti."Lalu bagaimana dengan foto-foto yang aku kirimkan waktu itu, Mas. Apa itu bisa di gunakan untuk memperkuat?" tanyaku. Malam itu aku langsung mengirimkan foto-foto tubuh Ammar yang penuh dengan memar itu pada Mas Yoga. "Tentu, itu akan kita gunakan untuk menekan Dika di persidangan. Kamu jangan khawatir Intan. Besar kemungkinan hak asuh akan kamu dapatkan kali ini," ucap Mas Yoga meyakinkanku.Kami berdua melangkah ke gedung persidangan dengan langkah mantap. Mas Dika dan pengacaranya sudah hadir lebih dulu dengan wajah angkuh penuh kesombongan. Biarkan saja ia senang-senang dengan argumen dan khayalannya. Sebelum kepercayaan dirimu aku hancurkan hingga sedemikian rupa, Mas. Tak ada kata maaf untuk seorang penghianat. Lagi-lagi pe
"Intan tunggu! Kita harus bicara!" Mas Dika menarik tanganku saat aku dan Mas Yoga berada di parkiran. Membuat aku mengurungkan niatku masuk ke dalam mobil. Aku menepis tangannya kasar. Aku rasa tak ada lagi yang perlu di bicarakan dengannya. Semuanya sudah selesai."Ada apa, Mas?! Jika kamu tak puas dengan keputusan hakim. Ya ... kamu protes saja di dalam sana. Jangan ganggu aku lagi!" ucapku sarkas. Aku juga sudah malas berlama-lama melihatnya. "Kamu membohongiku selam ini Intan, bagaimana kamu bisa mendapatkan semua harta itu. Bukannya orang tuamu sudah bangkrut! Semua kebun dan tanahnya habis terjual?" Aku ingin tertawa, ternyata ia mengejarku sampai di parkiran hanya ingin menanyakan hal ini."Apa kamu tak dengar apa yang di katakan hakim tadi, HARTA BAWAAN! Itu artinya harta yang diberikan orang tuaku padaku. Lagian untuk apa aku harus mengatakannya padamu. Itu bukan urusanmu!" sindirku. Aku tersenyum sinis menjatuhkannya. "Tapi aku suamimu Intan! Aku berhak ...,""Dulu! Dul
POV. DikaLangit kian menghitam, tak ada bintang yang bertaburan. Aku masuk ke dalam sebuah diskotik yang ada di kota ini. Tempat yang sudah lama aku tinggalkan saat menikah dengan Intan. Sebenarnya Intan adalah orang yang membawa pengaruh dalam hidupku, membuatku menjadi pribadi yang baik. Bunyi alunan musik yang menghentak-hentak membuat bising telingaku. Ditambah lagi pemandangan para wanita cantik menggunakan pakaian kurang bahan sileweran di sekelilingku. Aku memiliki banyak uang, aku bisa memilih wanita mana saja yang aku mau. Wajahku juga termasuk tampan. Namun tak ada satu pun wanita yang menarik perhatianku saat ini. Aku teguk gelas kecil yang berisi cairan bening yang manis cendrung pahit dengan panas yang menjalar di tenggorokan saat meminumnya. Satu atau dua sloky kecil Vodka tak membuatku mabuk. Namun entah sudah berapa sloky yang aku konsumsi. Hingga kini tubuhku terasa begitu fly dibuatnya. "Hallo ganteng ... sendirian saja, mau aku temani?" ucap wanita seksi yang m
Aku tarik selimut yang menutupi aset berhargaku ini. Sedangkan pakaianku teronggok berserakan di lantai. Sebagai orang yang sudah dewasa, tentu aku paham betul dengan situasi saat ini. "Siapa aku itu tidak penting, yang terpenting saat ini. Mana bayaranku? Tadinya aku mau langsung pergi saja, namun di dompetmu tak kutemukan sepeser pun uang," todongnya. Tangannya tengadah memberi isyarat padanya. Aku mengambil dompetku yang ada di saku celana yang tergeletak tak jauh dariku. Aku membuka dompetku. Aku lupa jika uangku tadi malam sudah habis dan lupa untuk menarik lagi di ATM."Berapa nomor rekeningnya, biar aku transfer saja," Wanita itu menekan rokok yang ada di tangannya ke dalam asbak. Lalu melangkah dengan gemulai menuju ke arahku. Ia mengambil ponselnya yang ada di dalam tasnya. Tas itu tergeletak cantik di atas nakas. Jemari lentik itu bergerak dengan lincah di atas layar ponsel. Jemari yang bercat kuku warna merah menyala dengan aneka aksesoris pendukung di kuku. Aku yang me