Drettt! Drett! Drett!Getar ponsel dalam saku celana membuyarkan lamunanku. Aku merogoh benda itu dan melihat layar siapa nama yang tertera di sana. Sebuah nomor baru yang aku tahu pasti nomor siapa ini. Aku tak pernah menyimpan nomor Sukma di ponsel, melainkan di dalam otakku. Aku juga selalu menghapus setiap panggilan masuk dan panggilan keluar dari nomor ini. Tapi entah kenapa Intan masih saja bisa tahu tentang perselingkuhanku itu. Padahal semua sudah aku tutupi secara rapi. Kecuali kecerobohanku waktu itu. Bisa-bisanya kado yang aku berikan untuk Intan ketukar dengan kado milik Sukma. Panggilan dari Sukma terus masuk ke dalam ponselku. Hingga panggilan ke-tiga, barulah aku mengangkatnya. "Hallo ... ada apa?" sahutku tanpa basa-basi dan tanpa nada manis seperti biasanya. "Mas cepat ke rumah sakit, Mas. Maura demam dan kejang, ia juga sesak napas. Kini sedang dirawat di rumah sakit Santa Maria," ucapnya panik dari seberang sana. Membuatku cemas. "Rumah sakit?! Kok bisa, kamu s
Pagi menjelang.Aku terbangun dengan tubuh yang sedikit pegal. Kurang tidur dan kurang istirahat membuatku tak enak badan. Tapi mau apa dikata. Pekerjaan telah menanti untuk di kerjakan. Aku juga bukan lelaki malas yang hanya suka berleha-leha di rumah saja. Setelah selesai berpakaian rapi, aku turun ke bawah untuk pergi ke kantor. Saat melewati meja makan aku melihat meja makan yang sudah terisi menu sarapan. "Sarapan dulu, Tuan!" tawar Bi Susi padaku. Aku hanya menghela napas pendek. Sarapan yang dibuat Bi Susi tak ada yang menggugah selera tidak seperti masakan Intan. Aku akui istriku itu pandai memasak. Masakan apa pun yang ia olah pasti rasanya begitu enak."Nggak lah Bi. Aku sudah terlambat, Bibi habiskan saja sendiri," dalihku sambil berlalu pergi ke kantor. Waktu yang aku miliki sebenarnya masih panjang. Namun aku lagi tak ingin makan saja. Sesampainya di kantor, waktu aku habiskan untuk berkutat pada pekerjaan, hingga aku pun melewatkan makan siang. Sukma juga berulang kal
Tiga hari aku terpuruk dan tiga hari pula aku berdiam diri di rumah. Menangis dan meratapi diri ini. Itu manusiawi menurutku, mengembalikan hati yang rapuh tak semudah membalikkan telapak tangan.Aku harus mengumpulkan puing-puing hatiku yang berserakan seperti mengumpulkan kepingan puzzle. Semakin dikumpulkan semakin sakit pula yang aku rasa. Namun aku harus menikmatinya, bukan? Agar saat aku bertindak, aku tak lagi goyah. Aku berjalan santai menuju meja makan, perutku lapar sejak kemarin belum makan. Malam harinya aku hanya minum segelas susu saja. Tubuhku terasa lemas. Berat badanku pun mulai menyusut, hampir 5 kilo dalam satu minggu terakhir ini. Benar kata orang, jika ingin kurus cepat selain diet, kuncinya hanya satu, makan hati!"Intan, kamu mau kemana pagi-pagi begini sudah rapi?" tanya Mama Astrid padaku. Ia tampak sedang menyantap oatmeal miliknya setelah mengantarkan putraku ke sekolah. Semenjak di sini, Ammar pulang pergi diantar oleh Mama. Mama bilang karena ia tak mem
"Iya Mas. Aku ingin bersantai dan sekalian mau ngucapin terima kasih atas bantuan kamu," jawabku sambil tersenyum. "Tante kenal Papa?" ucap gadi kecil yang ada di gendonganku ini. Aku sampai lupa kalau aku sedang menggendong anak kecil. Tubuhnya yang mungil membuat aku tak merasa sedang gendong sesuatu. Entah kenapa akhir-akhir ini aku berurusan dengan manusia-manusi bertubuh kecil. Apa karena tubuhku yang tinggi besar, ya? Jadi nggak ideal lagi untuk seorang wanita. Tubuh kecil cantik lebih menggemaskan."Laras turun! Nanti Tante Intannya kecapekan gendongin kamu," Mas Yoga mendekat padaku, ia mengambil alih anaknya yang ada di gendonganku. Sebenarnya aku tak keberatan. Mungkin ia tak enak hati padaku. Aku suka dengan anaknya, memang sejak dulu aku pengen banget punya anak perempuan. Tapi karena Ammar lahir dan aku masih repot, aku menunda dulu kehadiran adiknya. Hingga sampai sekarang rencana menambah momongan hanya tinggal wacana belaka. "Ayo masuk! Nggak enak ngobrol di jalan,"
"Besok-besok Tante datang lagi, ya!" pintanya yang membuat aku iba. "Maafkan putriku Intan. Dia tak mendapatkan kasih sayang ibunya sejak kecil. Jadi saat melihat kami ia menjadi manja begini," ucap Mas Yoga tampak tak enak hati."Tak apa Mas, aku mengerti. Aku pamit dulu ya, Mas. Sampai jumpa," aku masuk ke dalam mobilku. Menghidupkannya dan mengendarainya pergi menjauh dari tempat itu. Aku sebenarnya kasihan dengan gadis manis itu. Andai Mas Yoga mengizinkan aku mau merawat anaknya beberapa hari di rumahku. Aku yakin, Ammar juga pasti senang dengan kehadiran Laras di rumah. Anggap saja sebagai ucapan terima kasihku karena dia sudah menolongku. Tapi tak lebih. Aku tak mau ada hubungan apa pun diantara wanita dan lelaki. Rasa sakit yang di berikan Mas Dika cukup membuatku tak percaya diri pada sosok laki-laki. Jika hanya berteman silahkan, tapi jika untuk hubungan yang lebih intens. Maaf aku belum bisa, masih banyak puing-puing hatiku yang berserakan di lantai. ************
Semalaman aku tak dapat tidur dengan tenang. Kata-kata Mas Dika terus terngiang di pikiranku. Bagaimana jika benar ia memperebutkan hak asuh Ammar. Apa yang harus aku lakukan. "Intan! Heyy ... kamu kenapa bengong? Ada apa?" Irene menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajahku. Membuyarkan lamunanku. Gara-gara memikirkan hal tersebut, makanan yang ada di hadapanku ini pun hanya aku aduk-aduk tak berselera."Kamu ada apa sih, Tan? Aku tuh ngajak kamu makan siang bareng pengen ngobrol. Bukannya lihatin kamu jadi patung selamat datang begini," decak Irene membuatku membuang napas. "Maaf ... aku nggak bermaksud mengabaikan kamu. Tapi aku lagi cemas. Mas Dika mengancam akan merebut hak asuh Ammar dariku. Jika dia tak mau memberikan harta gono-gini padaku aku tak masalah. Tapi kalau Ammar ... kamu tahu sendiri kan Irene. Aku tak bisa jauh-jauh dari anak," aduku mengutarakan semua isi hatiku. Rasa gelisah ini terus menyiksa batinku. "Kamu jangan khawatir Intan. Semua masalah ada jalan kel
"Siang kini telah berganti menjadi malam. Surat gugatan ceraiku itu, aku yakin sudah sampai pada Mas Dika. Karena aku sendiri yang menyuruh kurir untuk mengantarkannya ke rumah itu. Aku masuk ke rumah dengan langkah malas. Lagi-lagi aku mendapati Mama sedang menelpon seseorang dengan nada yang diubah seperti anak kecil. Pintu kamarnya yang terbuka sedikit membuatku sedikit leluasa menguping pembicaraannya."Iya, iya. Gadis kecil Oma sudah rindu sama Oma ya. Sabar ya sayang ... nanti kalau Oma udah nggak sibuk lagi. Oma akan langsung datang ke rumah gadis Oma yang imut ini. Ya ampun, makin lama kamu makin imut saja sih. Bikin Oma gemes.""Ba ba ci ci da da," balas dari telpon itu suara balita yang baru saja bisa berbicara mulai menggema dari speaker ponsel yang dinyalakan sedikit besar. Mama tertawa mendengar suara itu. Wajahnya tampak riang sekali. Membuat hatiku semakin penasaran. Siapa anak kecil yang sering ia hubungi itu. "Mbak Intan ngapain?" tepuk Nini di bahuku. Aku yang te
Papa ...," ujar Ammar dari lantai atas. Sudah dua hari ini putraku itu memang merindukan Papanya. Ammar bahkan sempat bertanya, kenapa Papanya tak datang dan tak menginap di rumah ini bersama kami. Aku cukup bingung menjawabnya. Mas Dika menatap putranya dengan sebuah seringai terbit di sudut bibirnya. Sebuah sinyal terkirim di kepalaku akan arti senyum itu. Mas di berjalan cepat menuju lantai atas bersamaan denganku yang mengejarnya dari belakang."Stop Mas! Kamu mau ngapain, Mas?! Berhenti!" teriakku. Namun Mas Dika tak peduli. Ia terus melangkah masuk. Ia menggandeng anaknya untuk pergi. Aku yang mulai panik. Menghentikan tindakannya itu dengan menahan tangan Mas Dika. Melepaskan tangannya dari tangan putraku. Aku tahu maksudnya, ia ingin mengambil anakku dan membawanya pergi. Tentu saja aku tak tinggal diam. "Jangan main-main kamu Mas. Jangan seenaknya saja membawa Ammar dariku! Aku Ibunya. Jadi kamu tak berhak membawa dia dariku!" sungutku. Nafasku naik turun, dengan mataku
Lagi-lagi aku dibuat tercengang dengan ide gila pria ini. Setelah aku menyetujui untuk menikah dengannya. Pernikahan kami di gelar dalam waktu tiga hari. Terdengar sangat tiba-tiba memang. Namun semuanya tampak siap, seolah sudah di persiapkan sebelumnya. Hanya tinggal mulutku berkata ia. Maka semuanya terlaksana bagai sulap.Bahkan sempat beredar rumor tak sedap yang mengatakan aku hamil duluan. Hanya karena pernikahanku yang di gelar begitu mendadak. Aku juga tak tahu dari mana rumor itu berasal. Namanya juga hidup bertetangga. Ada saja komentar yang terdengar. Aku menatap pantulan diriku di dalam cermin. Kebaya putih yang indah dengan hijab berwarna senada. Make up yang bagus membuat wajahku cantik sempurna. "Kamu cantik sekali, Nak!" puji Mama padaku. Aku menatap dan tersenyum padanya dari balik pantulan cermin. Aku gengam erat tangannya yang memegang pundakku. Ini memang pernikahan keduaku. Tapi gugupnya hampir sama dengan pernikahanku dulu. Bahkan lebih kentara lagi. Pintu
Aku tersentak kaget saat tangan Nini menggoyang tubuhku. Membuyarkan pikiran yang sejak tadi melayang entah kemana. "Mbak ... Mbak Intan! Mbak mikirin apa sih, Mbak?!" serunya padaku. Aku menoleh, menarik napasku yang terasa berat. "Nggak ada," jawabku singkat. Aku yang duduk di meja makan ini hanya menatapi makanan yang sudah Nini siapkan untukku. Tak ada yang aku sentuh. Selera makanku hilang entah kemana. "Mbak pasti mikirin Mas Langit, ya? Udah Mbak, kalau rindu bilang saja. Dari pada bengong gitu. Ayam tetanggaku di kampung, gara-gara bengong gitu selama tiga hari. Besoknya mati loh, Mbak. Kalau cinta bilang aja ok. Gitu aja kok susah Mbak," komentarnya padaku. Mataku melebar. "Kamu ngomong apa sih, Ni? Mbak nggak ngerti," elakku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku lagi malas beradu argumen dengan asisten rumah tanggaku ini. "Udah Mbak jangan malu sama Nini. Nini tu sebenarnya tahu. Sebenarnya Mbak tu cinta kan sama Mas Langit. Cuma Mbak Intan tu takut aja kalau Mas La
Hingga pagi menjelang, aku memaksa untuk pulang ke rumah. Demamku sudah turun. Sesampainya di rumah Mama menemaniku hingga ke kamar."Terima kasih, Ma," ucapku tulus. Aku duduk di pinggir ranjang menatapnya sayang. Tak ada amarah ataupun sakit hati. Semuanya sirna dengan kasih sayangnya. Mama menghela napas. Ia duduk di sampingku dan mengusap wajahku lembut. "Tak ada kata terima kasih untuk cinta seorang Ibu untuk anaknya. Sekarang istirahatlah ... jangan lagi menangis seperti itu Intan. Apalagi di makam Papamu sendirian seperti itu. Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?" "Bagaimana Mama bisa tahu aku ada di makam Papa?" tanyaku mulai mengingat kejadian itu. "Penjaga makam menelpon Mama dan memberitahukan keberadaanmu yang tergeletak pingsan di makam," jelas Mama. Ya, penjaga makam memang selalu aku bayar setiap bulan untuk menjaga Makam Papa. Itu sebabnya makam Papa bersih dan terawat. "Intan ... Mama dengar dari Nini, kamu akan pindah dalam minggu ini?" "Iya," jawabku singka
Pukul dua siang, langkah kakiku terhenti di sebuah gapura tinggi. Berdiri kokoh dan bersanding dengan sebatang pohon beringin yang berdiri menantang memamerkan tubuhnya yang tinggi serta rimbun. Daun kering tertiup angin jatuh berguguran. Beberapa lembar jatuh di hadapanku. Lembarannya yang rapuh terinjak di kakiku meninggalkan bunyi patah.Bisikan nyanyian rindu menuntun langkah kakiku untuk terus melangkah maju. Menyusuri setiap jengkal tanah pemakaman melati. Rintik hujan yang mulai turun membasahi pipi bagai iring-iringan yang menyambut kedatanganku. Langit mendung seakan ikut merasakan kehampaan hati ini.Sebuah batu nisan yang di kelilingi keramik berwarna biru menjadi ujung tujuan langkah kakiku. Aku terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Kutekukkan kakiku, duduk di sudut pusara yang terawat ini. Setelah sekian lama, aku datang menemui cinta pertama yang selalu ada untukku di masa hidupnya. Dulu aku rutin datang kesini, minimal tiga bulan atau enam bulan sekali. Namun sejak d
Dari rumah sakit aku mampir sejenak ke perusahaan. Menyelesaikan sebagian pekerjaanku. Sebagai pemilik sebuah perusahaan, aku masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa aku tinggalkan. Pukul tujuh malam, mobilku terparkir cantik di halaman rumah. Aku turun dari mobil dan masuk ke rumah besar dengan bangunan arsitektur klasik. Rumah yang aku tempati selama puluhan tahun. Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya sama, dari dinding cat yang mendominasi warna-warna pastel dan putih. Kecuali bunga-bunga yang ditanam Mama yang berganti sesuai trend yang sedang hits saat ini.Aku memasuki rumah dan berjalan cepat ke ruang makan. Aku yakin semua sudah berkumpul di meja makan. "Selamat malam?" sapaku. "Kamu terlambat lagi, Kak?" ujar Elia padaku. Semuanya sedang makan dan menatap ke arahku yang baru saja tiba. Di samping Elia ada Emil–suaminya. Lelaki itu kerja sebagai pegawai bank swasta. Lalu di hadapan mereka, duduk seorang gadis kecil cantik yang tampak merenggut padaku. Aku mem
Pov. Langit"Langit lepaskan!" ujarnya saat tautan bibir kami terlepas. Dekapan tangan ini masih sangat erat dan tak ingin terlepas. Deru nafas yang naik turun begitu memburu. Seakan berlomba-lomba meraup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku tahu ini salah, aku tahu tak sepantasnya kau melakukan ini padanya. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah cantiknya. Tak bertemu dengannya beberapa hari belakangan ini membuatku kehilangan nalarku saat ini. Apa pun yang berhubungan dengannya membuatku gila. Hanya ada namanya dan wajahnya yang memenuhi kepalaku saat ini. Detak jantungku dan dirinya kian berpacu berirama saling sahut-sahutan, membangkitkan gejolak rasa yang selama ini aku pendam dan kujaga dengan sangat hati-hati. Getaran itu masih sama, iramanya juga masih sama. Kubiarkan kupu-kupu menggelitikku. Membuatku terbuai dalam romansa indah, terbuai dengan irama asmara.Aku dekatkan keningnya dan keningku. Membiarkan punggungnya bersandar dengan pintu mobil. Bulu mat
Sudah berkali-kali dan berhari-hari Mama mencoba meminta Maaf padaku. Berkali-kali aku juga diam. Kini keputusanku untuk pindah semakin kuat. Taka ada lagi yang perlu aku pertahankan lagi tinggal disini. Hidupku juga sudah selesai, resmi dengan status janda yang tersemat.Ammar juga kondisinya sudah semakin pulih. Ia juga sudah mulai bisa beraktivitas seperti biasanya. Hari ini aku bersiap-siap di depan cermin. Memoles sedikit make-up di wajahku yang pucat. Hari ini adalah jadwal control rutin Ammar. Kali ini aku tidak datang ke rumah sakit dimana Ammar operasi kemarin. Tapi pindah ke rumah sakit yang lain. Tentunya rumah sakit yang sama besarnya dan fasilitas yang lengkap tentunya. Setelah dirasa pantas, aku keluar kamar. Membantu Ammar untuk berjalan menuju mobil. Walaupun ia sudah agak mendingan, namun sesekali putraku kerap merasa nyeri di bagian dadanya. Untuk Langit, aku memang tidak dapat menjenguknya. Bukan berarti aku tidak terima kasih atas apa yang ia lakukan pada putrak
"Kalau tidak kenapa, Ma?" Aku keluar dari persembunyianku menatap tajam Mama yang terkejut dan langsung mematikan sambungan telponnya. Kedua tanganku terkepal di kedua sisi tubuhku. "Intan ... sejak kapan kamu berada di situ, sayang?" tanya Mama gugup. Seperti penciri yang tertangkap basah dengan hasil curiannya. "Cukup lama untuk mendengar semua kebohongan Mama. Jadi benar apa yang dikatakan Bu Dahlia itu. Kenapa Mama lakukan ini padaku, Ma. Kenapa?!" teriakku penuh amarah. "Bukan begitu Intan, Maafkan Mama. Mama khilaf melakukan semua itu. Maafkan Mama, Nak. Kamu tahu sendiri saat itu Papa kamu mengalami krisis keuangan. Uang hasil panen sawit yang biasanya melimpah, tiba-tiba berkurang hampir setengahnya karena harga sawit turun. Sedangkan Mama saat itu tidak tahu kalau Papamu punya kebun lain yang dialihkan atas namamu. Uang yang di berikan Papamu tidak cukup,""Tidak cukup memenuhi keinginan Mama untuk foya-foya!" selaku sinis. "Bukan begitu, Intan. Dika menyukaimu sejak pe
Kuusap kepala Ammar dengan lembut. Menemaninya hingga ia terbuai mimpi. Bocahku ini sangat suka diusap-usap kepalanya. Bahkan ia akan cepat tertidur jika aku perlakukan demikian.Setelah Ammar tidur, aku kembali keluar. Merenggangkan tangan serta badanku yang terasa remuk. Perutku juga lapar tapi aku tak mungkin pergi meninggalkan anakku seorang diri di kamar. Aku yang baru saja keluar dari kamar langsung beradu hidung dengan Mas Yoga."Apa aku mengganggumu. Kamu mau kemana? Mau membeli makanan?" tebaknya tepat. Setidaknya aku bisa meminta bantuannya untuk menjaga Ammar. "Iya Mas, aku lapar. Bisa minta tolong nggak, Mas? Tolong jagain Ammar sebentar," pintaku. "Untuk apa keluar ... ini aku bawakan makanan untukmu," Mas Yoga mengangkat plastik putih yang ia bawa ke dapan wajahku. Bau wangi dari bungkusan itu menggoda indra penciumanku. Membuat cacing di perutku semakin berdendang. Kata orang, jika rezeki tak akan lari walau hujan menerpa. Seperti itu juga lah rezekiku hari ini. P