"Mas mohon dengarkan Mas. Mas tahu kamu marah pada Mas saat ini. Mas minta maaf Intan. Mas khilaf," ujarnya membuatku seketika tertawa. "Khilaf? Enak sekali kamu ngomongnya Mas. Dengan kata khilaf kamu berharap aku akan mereda dan memaafkan kamu. Begitu?" jawabku sinis. Mas Dika diam, tatap matanya menatapku sendu. Aku yang dilukai, aku yang dikhianati, dan aku juga yang telah dibohongi. Tapi kenapa justru ia yang menatapku seolah-olah dirinya yang terluka. "Maafkan Mas, Intan!" pintanya padaku membuat aku kembali terkekeh. Namun air mata ini terus mengalir. Aku tertawa dalam kepedihan."Meminta maaf dan kata khilaf sepertinya sudah menjadi satu rangkaian kata yang menjadi senjata pamungkas ya, Mas. Tapi sayang, itu tak berlaku untukku! Aku tak cukup baik untuk memaafkan orang yang sudah mengkhianatiku!" ucapku tegas. Mas Dika kembali mendekat dan aku pun kembali mundur. Aku tahu ia pasti akan melakukan aksi yang lain. Berlutut ataupun mengemis-ngemis padaku. Aku tak sudi. Melihat
Sepanjang perjalanan, di dalam mobil aku terus menangis. Kenangan kebersamaan serta kebahagian yang terjalin diantara aku dan suamiku berputar-putar di benakku seperti sebuah Vidio dukumenter dengan durasi yang panjang. Lima tahun, lima tahun ia menikah dengan perempuan lain dan aku tak tahu akan hal itu.Apa aku sebodoh itu?Atau Mas Dika yang terlalu pintar membodohiku? Pertanyaan itu kembali berputar di otakku.Irene menepikan mobilnya. Menatap ke arahku. Ia menarik tubuhku untuk menangis di pelukannya. Pelukannya yang hangat dan menenangkan membuatku rindu pada pelukan seseorang yang tak akan pernah lagi bisa aku temui. Bagaikan anak kecil yang menangis dan mengadu pada pelukan seorang ibu. Aku terisak kecil melampiaskan segala sesak di dadaku.Tak apa Intan, menangislah ... semua akan baik-baik saja!" ucapnya sambil menepuk-nepuk pelan punggungku. Satu bait kalimat itu bagaikan mantra yang mujarab. Menenangkan hatiku yang rapuh. Aku menghapus air mataku. Mengangkat kepala menat
Pov. Sukma"Lepaskan aku Sukma. Aku harus pulang dan bicarakan masalah ini baik-baik dengan, Intan," Mas Dika melepas tanganku. Namun aku tak hingga akal. Aku langsung berlari ke arah pintu. Mengunci pintu itu dengan rapat dan langsung mencabut kuncinya dan menyimpannya. Mata Mas Dika terbuka lebar. Ia menatapku tak suka dengan apa yang aku lakukan. Tapi aku tak peduli. Pokoknya hari ini Mas Dika harus bersamaku. Toh ... Intan juga sudah mengetahui semuanya. Justru jika Mas Dika tidak datang malam ini menjelaskan semuanya dan membujuk wanita sialan itu. Mungkin saja dia akan semakin marah dan memaksa bercerai. Bukankah itu semakin menguntungkan buatku.Dengan begitu aku bisa menjadi satu-satunya Nyonya Dika Mahendra yang sah. Baik di mata hukum dan agama. "Apa-apaan kamu Sukma! Cepat berikan kunci itu. Aku harus segera pulang ke rumah menemui Intan!" ucapnya lantang. Membuat dadaku semakin sesak saja. "Tidak! Aku tidak akan memberikannya padamu. Disini aku yang dipermalukan oleh is
Tok! Tok! Tok!"Intan ... buka pintunya! Cepat buka pintunya atau nanti aku dobrak!" Aku yang telah tertidur akhirnya terbangun saat mendengarkan suara seseorang yang menggedor pintu kamarku dengan keras. Mataku terbuka, namun masih dalam posisi semula, tak bergeming. Aku tahu suara siapa itu, aku juga tahu apa yang mau dibahas olehnya."Intan ... buka pintu. Mas mohon, buka pintunya!" teriaknya lagi. Menggema dari luar."Pergi Mas! Pergilah! Aku tak mau mendengar penjelasan apa pun lagi dari kamu. Pergi!" Buk! Pyarrrr!Aku melempar gelas yang berada di atas nakas ke arah pintu kamar. Membuat gelas itu pecah berderai. Aku benci mendengar suaranya. Aku benci melihat ia di hadapanku. Hati manusia adalah laut dalam yang paling sulit untuk diselami. Dapat berubah seiring berjalannya waktu. Kadang bisa sangat saling mencintai, tertiup hembusan angin berubah menjadi sangat membenci. Kepercayaan diri seorang istri timbul saat suaminya begitu mencintai dan menyayanginya. Seakan hanya ial
"Apa yang sedang kamu lakukan Intan?" teriak Mas Dika yang telah pulang dari mengantar Ammar. Dia masuk ke dalam kamar kami. Ia tampak terkejut dengan apa yang sedang aku lakukan saat ini. Namun aku tak peduli. Lagi-lagi aku tak menjawab pertanyaannya. Aku hanya diam dan fokus melakukan apa yang sedang aku kerjakan. Mas Dika melangkah dengan cepat ke arahku. Setelah semuanya selesai aku menutup koper dan ingin mengancingkannya. Tangan Mas Dika menahan pergelangan tanganku. Membuat aku menoleh dan menepis tangannya kasar. Tatapan mata kami bertemu. Aku menatapnya tajam menantang. "Apa maksud dari semua ini?! Kenapa semua pakaianmu kamu bereskan?" tanyanya heran padaku. Aku tersenyum tipis seakan mengejek dirinya. "Kamu masih punya mata untuk melihatnya dengan jelas kan, Mas! Aku akan pergi dari rumah ini, aku tak mau lagi tinggal satu rumah denganmu!" Mata Mas Dika melebar sempurna. "Maksudmu, kamu akan meminta pisah dariku? Apa kamu yakin Intan? Ayolah ... tak bisakah kita hidup
Aku tahu dengan harta semua bisa didapatkan. Tak munafik, bahkan yang salah bisa jadi benar, benar pun menjadi salah. Tapi aku juga tak mau terus seperti ini. Jika tak mampu untuk mempertahankan maka lepaskan. Aku merasa diriku tak sanggup lagi bersamanya. Lalu untuk apa aku bertahan?Jika kamu tak mampu kehilangan, kenapa menyia-nyiakan aku, Mas? Karena khilaf adalah awal dari penyesalan yang membawa kehampaan dan berakhir pada jalan kehancuran. Sedangkan kekecewaan adalah puncak dari perpisahan.Hidup adalah pilihan, saat kamu di hadapkan pada dua pilihan. Kamu justru memilih untuk tidak setia. Jangan salahkan takdir, tapi salahkan kenapa kamu tidak pernah puas dan bersyukur atas diriku.Tidak semua wanita memiliki hati yang luas. Kata maaf dan ikhlas adalah dua kata yang mudah dalam pengucapannya saja. Sedangkan mempratekkannya butuh jiwa yang kuat. Dan aku tak mampu dalam hal itu. Aku masuk ke dalam mobil, dan memandang dari jendela, rumah yang selama 10 tahun ini aku tempati.
Ceklek! Pintu kamarku terbuka, Mama datang menghampiriku, tatapan matanya sulit aku artikan. Ia duduk di sebelahku. Tangannya terbentang memelukku dan membawaku ke dalam pelukannya, yang untuk pertama kalinya terasa hangat untukku."Jika ingin menangis, menangislah Nak. Jangan ditahan. Lepaskan sesak di dadamu, habiskan air matamu saat ini, agar nanti kamu menghadapinya, tak ada lagi air mata yang tersisa!" ucapnya. Cukup membuat air mataku kembali mengalir sangat deras. "Mas Dika, Ma. Mas Dika dia ...," ucapanku tergantung di tenggorokan. Rasanya sulit sekali mengucapkannya kembali. Rasa sakit ini kian menyiksa setiap aku mengucap dan mengingatnya. "Sssttt ... jika tak sanggup mengatakannya, tak usah dikatakan Intan. Mama mengerti, bahkan sangat mengerti. Tak ada yang lebih mengerti akan rasa itu selain Mama. Tenangkan dirimu. Menangislah jika itu memang perlu. Setidaknya sesak di hatiku bisa sedikit berkurang," Tangis yang sedari kemarin aku tahan-tahan akhirnya pecah juga. Kup
Drettt! Drett! Drett!Getar ponsel dalam saku celana membuyarkan lamunanku. Aku merogoh benda itu dan melihat layar siapa nama yang tertera di sana. Sebuah nomor baru yang aku tahu pasti nomor siapa ini. Aku tak pernah menyimpan nomor Sukma di ponsel, melainkan di dalam otakku. Aku juga selalu menghapus setiap panggilan masuk dan panggilan keluar dari nomor ini. Tapi entah kenapa Intan masih saja bisa tahu tentang perselingkuhanku itu. Padahal semua sudah aku tutupi secara rapi. Kecuali kecerobohanku waktu itu. Bisa-bisanya kado yang aku berikan untuk Intan ketukar dengan kado milik Sukma. Panggilan dari Sukma terus masuk ke dalam ponselku. Hingga panggilan ke-tiga, barulah aku mengangkatnya. "Hallo ... ada apa?" sahutku tanpa basa-basi dan tanpa nada manis seperti biasanya. "Mas cepat ke rumah sakit, Mas. Maura demam dan kejang, ia juga sesak napas. Kini sedang dirawat di rumah sakit Santa Maria," ucapnya panik dari seberang sana. Membuatku cemas. "Rumah sakit?! Kok bisa, kamu s