Share

Bab 4

Bab 4

"Ya sudah, Bi, silakan lanjutkan memasaknya. Aku akan ke kamar dulu ya,"

"Iya, Bu, silakan," sahut Bi Asmi.

Kemudian aku pun pergi dari dapur menuju kamarku. Setelah sampai ke kamar, aku pun segera mencari handphoneku. Aku ingin menelepon suamiku, sebenarnya dia sedang ada di mana?

Kalau saja, aku punya nomernya Mas Doni atau istrinya. Aku pasti akan langsung bertanya kepadanya. Tapi sayang sekali, aku tidak memiliki nomornya Mas Doni, atau istrinya tersebut.

"Mas, kamu ada di mana? Apa masih ada di rumahnya Mas Doni?" tanyaku.

"I-iya, Dek, kenapa memangnya?" tanya Mas Romi.

Ia berkata dengan berbisik, hampir saja aku tidak mendengarnya. Beruntung tadi sengaja aku loudspeaker, supaya bisa mendengar jelas suaranya. Ini juga mengantisipasi, kalau ada yang terdengar, yang sekiranya mencurigakan di seberang sana.

"Nggak kok, Mas. Aku cuma mau nanya aja," sahutku.

"Sayang, ini kopinya," ucap seorang perempuan.

Entah kepada siapa, dia mengatakan sayang. Tapi kalau memang benar Mas Romi di rumah Mas Doni, pastinya dia itu istrinya. Tapi jika ternyata Mas Romi di tempat lain, lalu perempuan itu siapa? Ah, semuanya ini, hanya membuat aku menjadi orang yang emosian saja.

"Mas, itu suara siapa?" tanyaku.

"I-itu, Dek, itu suara istrinya Doni." Mas Romi kembali menjawab dengan gugup.

Kegugupan Mas Romi, membuat aku semakin curiga saja kepadanya, apalagi dulu dia pernah membuat aku kecewa.

"Mas, lebih baik kamu berterus terang kepadaku, siapa sebenarnya perempuan itu? Kegugupanmu itu, membuat aku semakin curiga, kalau kamu itu sebenarnya tidak sedang berada di rumahnya Mas Doni. Kamu sedang ada di tempat lain bukan?" desakku, dengan nada meninggi.

"Nggak, Dek, Mas beneran di rumahnya Doni. Itu tadi suara istri Doni, memanggil suaminya," kelit Mas Romi.

Ia tetap mengaku, kalau dirinya saat ini sedang berada di rumahnya Mas Doni. Bahkan yang tadi memanggil sayang itu, adalah istrinya Mas Doni. Tapi aku merasa, kalau suamiku sedang berbohong. Sebab setiap kali ia menjawab ucapanku, ia selalu saja gugup.

"Ya sudah, kalau begitu coba berikan handphonenya kepada istrinya Mas Doni! Aku ingin bicara," pintaku.

"Maaf, Dek. Istrinya Doni sudah pergi, katanya ia ada acara arisan bersama teman-temannya." Mas Romi menjawabku.

Mas Romi masih berkelit, ia tetap mempunyai berbagai cara untuk menjawab ucapanku. Mas Romi ternyata sudah semakin pintar memainkan perannya. Aku sampai hampir kehilangan cara untuk mengetahui kebohongannya.

"Mas, kalau begitu kita vidio call saja ya. Aku kangen suasana rumahnya Mas Doni, sudah lama kamu nggak pernah lagi diajak main ke sana," pintaku.

"Nggak usah, Dek. Malu di sini sedang banyak rekan-rekannya, Doni. Pokoknya kamu percaya deh sama, Mas. Mas sedang ada di rumahnya Mas Doni," tolaknya.

Aku meminta kepada suamiku untuk melakukan vidio call, supaya ketahuan ia itu dirumah Mas Doni atau bukan. Tetapi Mas Romi malah menolak vidio call dariku, ia beralasan malu banyak rekannya Mas Doni. Tetapi menurutku seharusnya nggak masalah bukan? Justru ini bagus untuk menunjukan kepadaku, jika memang saat ini dia sedang jujur.

"Baik kalau seperti itu maumu, Mas. Aku saat ini juga pamit pergi, aku sudah tidak sanggup hidup denganmu. Penolakanmu tadi saat aku mengajak vidio call menunjukan, bahwa kamu saat ini sedang membohongiku. Kamu jangan mengira aku sebodoh itu ya, Mas. Karena kepercayaanku terhadapmu sudah terkikis, saat kamu ketahuan berselingkuh dengan Lisa. Kepercayaanku terhadapmu telah pupus, sebab kamu berani membohongiku. Silakan kamu atur hidupmu sendiri, urus Ibumu sebaik mungkin. Karena aku dan Azka, saat ini juga akan pergi dari rumah ini. Assalamualaikum," ucapku, sambil menutup panggilan telepon dengan Mas Romi.

"Ternyata sudah tidak ada gunanya lagi aku bertahan di rumah ini, sebab Mas Romi tidak dapat menepati janji. Maafkan aku, Bu. Aku bukannya tidak sayang padamu, tetapi karena anakmu yang terus-terusan menyakiti aku. Sehingga aku mengambil keputusan ini," lirihku, sambil mengemasi barang-barangku.

Beres mengemasi semua perlengkapanku, aku segera mengemasi perlengkapan Azka. Kemudian aku segera pergi ke kamar mertuaku, yang saat ini aku tinggal tertidur. Aku hanya mencium tangannya takzim, serta mencium pipi kiri dan kanannya.

"Maafkan aku, Bu. Bukannya aku tega sama Ibu, tetapi karena anak Ibu sendiri, yang membuat semua ini harus terjadi." Aku berkata lirih, sambil mengusap air mata, yang terus membasahi pipi.

Setelah itu aku pergi menemui Bi Asmi, aku mau menitipkan mertuaku kepadanya, sebelum Mas Romi datang.

"Bi, maaf ya, aku mau nitip Ibu sampai Mas Romi datang." Aku menitipkan Ibu mertuaku, kepada asisten rumah tanggaku, yang bernama Bi Asmi.

"Lho, memangnya Ibu mau kemana?" tanya Bi Asmi dengan raut muka heran.

Sudah pasti Bi Asmi heran, sebab aku tidak biasa menitipkan Ibu, jika tidak ada kepentingan.

"Aku mau pergi, Bi. Sepertinya aku sudah tidak bisa tinggal di rumah ini lagi. Maafkan aku ya, Bi. Jika selama ini aku ada salah kepada Bibi," ucapku.

"Lho ... kok Ibu mau pergi, memangnya kenapa, Bu? Ada masalah apa sampai Ibu mau pergi? Terus bagaimana dengan Bu Rahma? Siapa yang akan merawatnya?" tanya Bi Asmi lagi.

Bi Asmi memborong pertanyaan kepadaku, mungkin karena saking penasarannya, ia dengan apa yang terjadi kepadaku.

"Maaf, Bi, aku sudah tidak sanggup lagi untuk tinggal di rumah ini. Kalau soal Ibu, biar Mas Romi saja yang mengaturnya, siapa yang akan merawat dia nanti." Aku menjawab pertanyaan, secara garis besarnya saja.

"Oh iya, Bu," sahutku,

"Iya, Bi, seperti itu. Bi, maafkan aku ya. Jika selama aku tinggal di sini, aku punya banyak salah sama Bibi. Mohon dimaafkan ya, Bi. Maaf juga aku tidak bisa lama-lama lagi, Bi. permisi dulu ya, assalamualaikum," pamitku.

"Waalaikumsalam, Bu. Iya, Bu, pasti akan Bibi maafkan. Bibi juga minta maaf ya, Bu. Jika selama bekerja di sini, Bibi banyak salah. Karena sebagai manusia, kita tidak akan luput dari kesalahan, baik itu sengaja ataupun tidak," tuturnya.

Bi Asmi menyahut perkataanku, sambil memelukku. Aku pun membalas pelukannya.

"Ya sudah, Bi. Aku pergi ya, assalamualaikum," pamitku.

"Waalaikumsalam," sahut Bi Asmi, sambil mengekoriku dari belakang.

Setelah berpamitan dengan Bi Asmi dan juga telah menitipkan Ibu. Aku menemui Azka anakku, yang sedang menonton televisi seorang diri di ruang keluarga.

"Nak, ayo kita pergi!" ajakku.

"Kita mau pergi kemana, Bun?" tanya Azka.

Bersambung ...

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kebanyakan drama kau nyet. harusnya dari awal kau pintar dikit. cinta boleh tapi jangan tolol.
goodnovel comment avatar
Mael Julius
perempuan seperti inilah yg sering jadi bulan2an..goblok dpelihara
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
good rima pergi percuma bertahan otaknya sdb keracunan air selangkangan baru ,pasti dusta trus ,kly sdh ancur varu nyesel
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status