Bab 5
Ia bertanya kepadaaku, sambil menatapku heran."Kita pergi ke rumah Oma ya, Nak. Mulai hari ini kita pindah ke rumahnya," jawabku, sambil menyeret dua koper, seperti yang aku lakukan dulu."Lho, kok pindah sih, Bunda? Memangnya kenapa, kalau kita tinggal di sini? Kan kalau tinggal di rumah Oma, aku malah lebih jauh pergi ke sekolahnya?" tanya Azka lagi."Nggak kok, Nak, cuma beda beberapa menit saja. Nanti juga Ibu akan mengantar jemput kamu kok, ayo kita berangkat," ajakku lagi.Azka pun menurut apa kataku, kami pun akhirnya berjalan keluar dari rumah yang selama ini kami huni. Saat sampai ke depan, mobil online pesananku sudah terparkir dengan cantik, di depan rumah. Aku segera berjalan lebih cepat lagi, supaya segera sampai.Aku kini sudah tidak peduli, dengan masa depan rumah tanggaku, yang ada dalam pikiranku saat ini aku ingin pergi dari rumah ini. Aku sudah benar-benar nekat mau hidup dengan caraku, tanpa diatur oleh yang namanya kepala rumah tangga. Apalagi kepala rumah tangga, yang hanya hobi berselingkuh.Setelah dua koper yang aku bawa dimasukkan oleh sang sopir. Aku menyuruh Azka untuk segera masuk ke dalam mobil taksi online tersebut. Tapi tidak berapa lama, Mas Romi datang dan menghalangi mobil taksi yang aku pesan."Dek, kamu mau pergi ke mana? Kamu jangan ngambek melulu dong, Dek," ujarnya."Mas, seharusnya kamu berpikir dulu dong, kalau mau ngomong. Aku tidak mungkin berbuat seperti ini, jika kelakuan kamu itu benar. Introspeksi diri dong, Mas," sindirku."Memangnya apa yang aku lakukan, Amira? Perasaanku, aku tidak melakukan hal-hal yang di luar aturan," kelitnya.Ia tetap bersikukuh, dengan pendapatnya sendiri, jika dia tidak bersalah. Tapi aku tidak percaya sedikit pun kepadanya, aku tetap akan pergi karena merasa sudah tidak nyaman berumah tangga dengannya."Mas, kamu ingat tidak, jika di dalam surat perjanjian, yang kamu tanda tangani tempo hari. Itu kan ada poin yang mengharuskan kamu berkata jujur, kamu juga harus menuruti apa yang aku minta selama itu wajar. Nah kenapa tadi saat aku minta sama kamu, kalau aku mau mengobrol langsung dengan istrinya Mas Doni, kamu langsung menolak dengan alasan istrinya Mas Doni buru-buru akan pergi arisan. Masa iya sih, ada tamu suaminya, tetapi istrinya malah pergi. Aku rasa itu nggak mungkin banget deh, Mas. Semua alasan kamu tidak masuk akal, bahkan saat aku minta vidio call saja, kamu nggak mau dan banyak alasan. Bukankah semua itu telah melanggar perjanjian? Maka dari itu aku lebih baik aku pergi, biar kamu bisa bebas mau berbuat semaumu. Maaf Mas, aku sudah tidak sanggup lagi menjadi istri, yang hanya kamu peras tenaganya. Silakan kamu cari istri yang lain, yang sekiranya bisa kamu manfaatkan. Permisi, assalamualaikum," pamitku, setelah sebelumnya aku panjang lebar, mengungkapkan semua unek-unek yang dirasa di hatiku ini."Dek, Mas, mohon. Kamu jangan tinggalkan aku dan juga Ibu karena kami sangat membutuhkan kamu," rengeknya.Tapi aku tidak peduli, dengan apa pun usahanya untuk menghentikan langkahku. Aku tetap akan pergi dari rumah ini. Aku pun kemudian segera masuk ke dalam mobil, walau Mas Romi memintaku untuk tetap bersamanya. Aku meninggalkan semua harta, yang selama ini kami kumpulkan bersama. Karena aku sudah putuskan untuk hidup tanpa Mas Romi, sebab aku rasa sudah tidak ada harapan lagi untuk tetap bersamanya.Biarlah, semua yang kami miliki saat hidup bersama, menjadi harta gono-gini di sidang perceraian kami nanti. Aku tetap akan meminta hakku dan hak anakku tentang harta itu. Dan karena demi Azkalah, aku akan melakukannya semua itu. Kalau Mas Romi tidak mau memberi hakku karena alasan aku pergi meninggalkannya, maka aku akan ngotot untuk mendapatkan semua itu.Aku bahkan memiliki berbagai bukti kesalahan Mas Romi, saat perselingkuhannya dengan Lisa, serta poin perjanjian yang dia tanda tangani sendiri di depan pengacara. Pokoknya aku akan memperjuangan hak aku dan Azka, jika memang nanti Mas Romi mempersulit itu semua. Sebenarnya aku ingin membawa motorku, motor hasil jerih payahku saat sebelum menikah dengan Mas Romi. Tetapi biar lain kali saja aku ambil, sebab untuk sekarang susah karena aku harus membawa dua koper, yang cukup besar pula.***"Amira, ngapain kamu datang ke sini sambil membawa koper?" tanya Mbak Iren Kakak iparku ketus."Memangnya kenapa, Mbak, kalau aku datang ke sini? Rumah ini kan masih milik Ibu dan Bapakku, serta mereka itu orang tua kandungku," jawabku.Aku menjawab pertanyaan Mbak Iren, dengan ketua pula. Karena ia telah membuat hatiku nyesek. Apalagi keadanku saat ini, sedang dalam keadaan ada masalah pula dengan suamiku."Lho kamu kok sewot sih, Amira. Aku kan hanya nanya," ujarnya. Ia tidak merasa bersalah dengan apa yang dipertanyakanya barusan kepadaku."Ya sudah, Mbak, kalau memang Mbak merasa benar. Tapi Maaf jangan menghalangi jalanku, aku mau masuk," pintaku.Mbak Iren pun minggir, ia memberikan jalan kepadaku dan juga Azka. Kemudian aku melepaskan koperku, serta segera mencari Ibu dan Bapak, tanpa mau bertanya lagi kepada Iparku itu. Karena aku tahu, dimana kebiasaan mereka, jika saat siang-siang begini.Mereka biasanya selalu berada di teras belakang, sambil makan singkong goreng, atau ubi goreng kesukaan mereka. Sesampainya aku ke teras belakang, ternyata dugaanku benar, jika Ibu dan juga Bapak sedang berada di sana. Aku pun segera menghampiri mereka berdua."Ibu, Bapak," sapaku, sambil menghampiri mereka berdua."Amira, Azka, kapan kalian datang, Sayang?" tanya Ibu.Aku bukannya menjawab pertanyaan Ibu, tetapi aku malah menangis dipelukannya. Keadaanku yang seperti ini, hingga membuat kedua orang tuaku kaget bukan kepalang. Mereka langsung begitu antusias bertanya, kenapa aku bisa menangis seperti ini."Nak, bicaralah, katakan kepada kami apa yang membuat kamu menangis?" tanya Bapak."Iya, Nak, bicaralah! Insya Allah Ibu dan Bapakmu akan membantu permasalahan kamu," pinta Ibu."Bu, Pak, apa boleh Amira tinggal lagi di rumah Ibu dan Bapak?" tanyaku.Mereka berdua malah saling pandang, saat aku bertnya seperti itu. Sepertinya mereka tidak mengerti, dengan apa yang aku ucapkan barusan. Mereka tidak paham denganku, yabg malah balik bertanya, kepada kedua orang tuaku tersebut, kalau aku meminta izin tinggal kembali di rumah mereka lagi."Ya ampun, Sayang. Pintu rumah Ibu dan Bapak selalu terbuka untuk anak dan keturunan Ibu dan Bapak. Tapi memangnya kenapa kamu tiba-tiba ingin tinggal di sini? Aoa yang membuat kamu tiba- tiba ingin tinggal si rumah Ibu dan Bapak?" tanya Bapak lagi meminta penjelasan darikuBersambung ..."Iya, Amira, coba kamu ceritakan segamblang mungkin, supaya Ibu dan Bapak mengerti, apa yang membuat kamu malah meninggalkan rumahmu." Ibu menimpali ucapan Bapak dan meminta penjelasan kepadaku.Aku pun menarik napas, lalu menghembuskannya lagi, sebelum menjawab dan menceritakan permasalahanku."Bu, Pak, aku tidak sanggup lagi melanjutkan rumah tangga dengan Mas Romi," terangku, memulai cerita."Lho ... memangnya kenapa? Ada permasalahan apa, yang membuat kamu menyerah berumah tangga dengannya? Bukankah Romi orang yang baik? Itu kan pria pilihan kamu, Nak?" tanya Bapak lagi.Bapak bertanya, sambil memangku dan mengusap kepala Azka, dengan penuh kasih sayang. "Iya, Nak, dulu kamu lho yang memaksa Ibu dan Bapak untuk merestui pernikahan kalian. Padahal Ibu dan Bapak dulu kurang setuju, dengan pilihan kamu itu," ujar Ibu seakan menyindirku, sebab dulu aku yang ngotot ingin dinikahkan dengan Mas Romi dan menolak lamaran pria pilihan kedua orang tuaku."Maafkan Amira ya, Bu, Pak! Amira t
"Ibu tidak menyangka, jika Romi bisa sejahat itu sama kamu, Nak. Padahal dulu ia memohon-mohon kepada Bapak dan Ibu untuk bisa menikah denganmu. Tetapi setelah kamu didapatkan olehnya, kamu malah disia-siakan. Tega betul si Romi itu, padahal kamu itu kurang apa lagi untuk jadi seorang istri. Cantik iya, baik iya, penurut juga iya. Bahkan kamu juga rela, merawat mertua kamu yang sedang sakit. Jujur, Nak, Ibu tidak terima anak Ibu dimanfaatkan begini." Ibu mengomentari tindak-tanduk Mas Romi, yang di luar ekspektasinya."Iya benar, apa yang dikatakan Ibumu itu semuanya benar. Ternyata si Romi hanya ingin memanfaatkan kebaikan dan keluguan kamu, Nak. Ternyata kita semua telah kecolongan, dengan keluguan sikapnya," timpal Bapak."Tapi kamu punya buktinya kan, Nak, kalau si Romi telah berselingkuh?" tanya Ibu lagi.Ia menanyakan tentang bukti perselingkuhan suamiku tersebut."Ada kok, Bu," sahutku."Syukurlah kalau memang ada. Sebab Ibu takut, jika dia nanti berkelit, atau malah membalika
Sepertinya Mas Romi merasa tersinggung, dengan ucapan Ibu barusan. Karena sebenarnya tenaga yang aku keluarkan untuk merawat Bu Rahma ini gratisan, tidak ada bayarannya sama sekali.Aku pun merasa puas, dengan perkataan Ibu barusan, sebab Ibu telah mewakili perasaanku. Sebenarnya perkataan itu yang ingin aku katakan, ketika Mas Romi ketahuan selingkuh dengan Lisa. "Romi, apa boleh Bapak bertanya sesuatu?" "Iya, Pak, boleh. Memangnya Bapak mau tanya apa ya," tanya Mas Romi, sambil mengelap keringat dengan tisu."Lho, Nak Romi, kok kamu keringetan begitu sih? Memangnya gerah ya, Nak? Padahal cuaca sedang adem, kamu juga datang kemari membawa mobil kan ya," tanya Ibu.Ibu bertanya kepada Mas Romi, sebab wajah Mas Romi kini sudah dipenuhi dengan keringat. Apalagi dibagian keningnya, ia seperti orang yang sedang kepanasan. Padahal di rumah ini hawanya adem, serta cuaca juga tidak terlalu panas. Pantas saja jika Ibu bertanya demikian kepada Mas Romi."I-iya, Bu, Romi bawa mobil. Tapi ngg
"Sudahlah, Mas, lebih baik kamu berterus terang saja. Kamu tidak perlu berpura-pura lagi sekarang, dengan apa yang kita alami. Karena aku sudah memberitahu Bapak dan Ibu tentang permasalahan kita," terangku."Apa, Dek, kamu sudah memberitahu Bapak dan Ibu?" Mas Romi bertanya, kepadaku seakan meyakinkanku. Mungkin ia mengira aku belum mengatakan semuanya, makanya ia begitu berharap kepadaku untuk menutupi semuanya. Mas Romi sepertinya tidak percaya, jika Bapak juga sudah tahu. Karena sikap Bapak Padanya biasa-biasa saja, sehingga ia mengira aku belum berbicara apa-apa terhadap kedua orang tuaku. Bapak tidak ada marah ataupun mendikte dia, malah bertanya dengan lemah lembut. Makanya Mas Romi tidak percaya, dengan apa yang diucapkan olehku. Kalau aku sudah memberitahu Bapak tentang ais yang telah ia lakukan terhadapku. "Ia, Mas, aku sudah membicarakannya. Orang tuaku sudah tahu, kenapa aku pulang sambil membawa koper besar. Jadi kamu nggak perlu drama lagi deh sekarang," ujarku."J
Aku akhirnya membongkar semuanya di hadapan semuanya, kalau aku berbuat demikian itu karena sudah dua kali diselingkuhin sama Mas Romi. Aku pergi dari hidupnya itu, bukan karena aku sudah tidak sayang dan tidak cinta lagi kepada suamiku. Tetapi karena aku sadar, jika hidup rumah tangga itu bukan hanya berlandaskan kasih dan sayang, tetapi juga kejujuran. Jadi jika salah satu pasangan kita, sudah berbuat kesalahan dan kita telah memberikan peringatan. Tetapi dia kembali melakukan kesalahan yang sama, maka itu sudah fik, lebih baik kita tinggalkan saja. Itu memang sudah menjadi prinsipku, supaya aku tetap bisa menjaga kewarasanku. Makanya sekarang aku memilih pergi, sebab sudah tidak seiring sejalan lagi dengan suamiku. "Nak Romi, bukannya Bapak mau membenarkan pendapat Amira, tentang perceraian. Tetapi jika permasalahannya, tentang perselingkuhan. Maaf, Bapak tidak dapat memberikan wejangan apa-apa. Bapak juga tidak akan memaksa Amira untuk tetap bertahan untuk mempertahankan rumah t
"Amira, jadi kamu mau melawan aku nih ceritanya," tanya Mbak Iren dengan ketus."Ya terserah tanggapan Mbak saja sih, mau menganggap aku bagaimana. Lagian ya Mbak, aku tidak meminta pendapat kamu kok tentang semua ini. Kamu bisa berkata seperti itu karena Kak Raka tidak pernah selingkuh, tapi jika Mas Raka satu tipe dengan Mas Romi, aku yakin kamu juga akan sependapat denganku." Aku meminta Mbak Iren untuk tidak ikut campur dengan urusanku."Sudah-sudah, kalian jangan saling menyalahkan satu sama lain. Karena semua itu tidak akan menyelesaikan permasalahan yang ada, malah nantinya akan menimbulkan masalah baru." Bapak meminta aku dan Mbak Iren, supaya tidak berkepanjangan berangkatnya.Tetapi permasalahannya bukannya aku, yang tidak mau akur dengan ipar. Tetapi Mbak Iren sendiri, yang selalu membuat gara-gara denganku. Ia selalu merampas apa yang menjadi milikku, ia menyingkirkan aku seolah aku ini anak pungut. Mbak Iren mengambil punyaku, mulai dari kamar tidur, hingga perabotan mili
"Iya, Nak, Ibu juga tau hal itu. Makanya, walaupun nanti kalian berdua telah resmi berpisah. Kamu harus tetap menengok mertuamu, berilah contoh yang baik untuk Azka, supaya kamu juga mendapat menantu yang baik pula nantinya." Ibu menasehatiku, sambil tangannya terus meracik bumbu.Ibu memberi petuah kepadaku, supaya aku tetap berbuat baik terhadap mertuaku, walaupun nanti aku dan Mas Romi berpisah."Iya, Bu, itu sih sudah pasti. Karena aku masih tetap bertahan disana juga, bukan karena aku cinta mati sama Mas Romi, tetapi karena aku begitu menyayangi Bu Rahma," terangku."Bu, Mbak Iren ke mana? Kok dia nggak bantuin Ibu memasak, sebentar lagi kan suaminya pulang? Apa selalu seperti ini yang dia lakukan setiap hari?" tanyaku.Aku kepo tentang keberadaan Mbak Iren, yang tidak membantu Ibu memasak."Ya seperti itulah Iren, Nak. Kalau harus Ibu jujur, Ibu juga sudah tidak tahan, dengan sikapnya yang tidak ada sopan santunnya itu. Tetapi mesti bagaimana lagi, jika Kakakmu begitu mencintain
"Iya, Mas, makanya dia mau tinggal di sini bareng kita," sahut Mbak Iren."Kurang ajar sekali si Romi ini, seenaknya saja ia menduakan adikku satu-satunya. Dulu saja dia begitu memperjuangkan Amira, tetapi setelah didapatkan. Adikku malah disia-siakan," sungut Mas Raka.Ia benar-benar Marah, saat mendengar aku disia-siakan Mas Romi. Siapa juga orangnya yang tidak akan geram, jika mendengar salah satu keluarganya disakiti. Baik itu disakiti secara lahir, maupun batin."Ya sudah, lebih baik sekarang kita makan dulu! Nanti kita lanjutkan lagi, membicarakan hal ini, setelah kita makan." Bapak memberi saran, supaya tidak membicarakan hal yang membuat emosi, saat akan makan. "Benar, Nak, kita makan dulu saja ya," timpal Ibu.Kami pun akhirnya makan dengan tenang, tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami. Padahal pikiranku saat ini sedang traveling ke mana-mana.Seusai makan, aku dan Mbak Iren membereskan piring kotor, kemudian mencucinya bersama perabot kotor lainnya. "Amira, k