Sepertinya Mas Romi merasa tersinggung, dengan ucapan Ibu barusan. Karena sebenarnya tenaga yang aku keluarkan untuk merawat Bu Rahma ini gratisan, tidak ada bayarannya sama sekali.
Aku pun merasa puas, dengan perkataan Ibu barusan, sebab Ibu telah mewakili perasaanku. Sebenarnya perkataan itu yang ingin aku katakan, ketika Mas Romi ketahuan selingkuh dengan Lisa."Romi, apa boleh Bapak bertanya sesuatu?""Iya, Pak, boleh. Memangnya Bapak mau tanya apa ya," tanya Mas Romi, sambil mengelap keringat dengan tisu."Lho, Nak Romi, kok kamu keringetan begitu sih? Memangnya gerah ya, Nak? Padahal cuaca sedang adem, kamu juga datang kemari membawa mobil kan ya," tanya Ibu.Ibu bertanya kepada Mas Romi, sebab wajah Mas Romi kini sudah dipenuhi dengan keringat. Apalagi dibagian keningnya, ia seperti orang yang sedang kepanasan. Padahal di rumah ini hawanya adem, serta cuaca juga tidak terlalu panas. Pantas saja jika Ibu bertanya demikian kepada Mas Romi."I-iya, Bu, Romi bawa mobil. Tapi nggak tau kok keringat banyak banget ya," sahutnya.'Rasain kamu, Mas, kepanasan karena mau diinterogasi sama Bapak," cibirku dalam hati.Aku merasa puas, ketika melihat pria yang masih menjadi suamiku kelabakan seperti ini. Kelihatan sekali, jika dia itu takut. Makanya jangan sok jadi orang, blagu banget sih sampai mau mendua segala. Disaat Mas Romi masih kepanasan, Bapak langsung bertanya kepada Mas Romi, tentang apa yang ingin dia tanyakan."Romi, sebenarnya kalian berdua itu sedang ada masalah apa? Kok Amira tadi datang sambil membawa koper?" tanya Bapak.Ia berkata dengan nada lembut, tidak ada penekanan sama sekali dari pertanyaannya itu. Padahal Bapak sudah tahu duduk persoalannya, antara aku dan Mas Romi. Tetapi ia tetap bersikap tenang, tidak terburu-buru menegur, apalagi langsung memvonis jahat kepada Mas Romi.Bapak disini benar-benar bersikap netral, ia tidak memihak kepadaku karena aku anaknya, atau menyalahkan Mas Romi karena dia hanya menantu. Padahal jika melihat apa yang aku alami, sudah sewajarnya seorang Bapak memaki menantunya, yang berbuat jahat kepada anaknya.Tapi Bapak tidak, ia masih tetap memberi kesempatan kepada Mas Romi untuk berkata sesuai versi dia. Bapak menghargai pendapat orang lain, walaupun ia tahu orang tersebut salah."Jadi sebenarnya begini, Pak. Amira itu mungkin kelelahan merawat Ibu, sebab adik-adik Romi tidak ada yang mau gantian merawat Ibu. Mereka malah membebankan semuanya kepada Amira. Romi faham dengan kondisi Amira, yang pastinya kecapean. Romi mau memanggil perawat untuk membantu Amira mengurus Ibu, tetapi adik-adik Romi bilang percuma, hanya akan membuang-buang uang saja. Sedangkan menurut mereka, di rumah juga ada Amira, yang tidak bekerja seperti mereka. Nah, mungkin Amira tersinggung, Pak, dengan perkataan adik-adik Romi. Makanya ia pergi dari rumah, sambil membawa Azka," tutur Mas Romi berkata panjang lebar.Ia memberitahu Bapak dan Ibu, tentang versi dia, kenapa aku bisa pergi dari rumah."Lho ... Mas, kok kamu bilangnya seperti itu sih? Kapan coba aku bersikap seperti itu? Walaupun adik-adikmu memang berbicara seperti itu, tetapi aku selalu menerimanya. Aku selalu mau merawat Ibu? Lebih baik kamu ceritakan yang sejujurnya deh, Mas. Kamu jangan berbicara yang tidak-tidak," pintaku, meminta kejujuran darinya."Lho, Dek, memang apa lagi yang harus Mas beritahu sama Bapak dan Ibu?" Mas Romi bertanya pura-pura tidak mengerti apa yang aku maksud.Semua perkataan yang diucapkan Mas Romi, membuat aku bengong. Karena aku sama sekali tidak ada drama, seperti yang diucapkan oleh Mas Romi barusan. Mas Romi benar-benar pintar memainkan peran, ia bahkan tega mengambing hitamkan orang lain, walaupun itu saudaranya sendiri.Ia juga tega membuat orang lain tercoreng nama baiknya, demi supaya dirinya tetap baik dimata orang lain. Aku tidak menyangka sama sekali, jika Mas Romi memiliki sifat yang demikian. Melihat itu semua, membuat hatiku bertambah mantap, ingin berpisah darinya."Mas, kamu jangan berpura-pura deh," pintaku lagi."Memang seperti itu kan, Dek. Kamu pergi dari rumah karena tersinggung, dengan sikap adiknya, Mas?" tanya Mas Romi.Ia penuh harap, mengiyakan ucapannya. Aku yakin kalau Mas Romi berkata seperti itu, supaya aku dapat menutupi kebohongannya dihadapan Bapak saat ini. Tapi aku tidak akan pernah menutupi kebohongan apa pun di gara kan Bapak. Karena kebenaran harus ditegakkan.Bersambung ..."Sudahlah, Mas, lebih baik kamu berterus terang saja. Kamu tidak perlu berpura-pura lagi sekarang, dengan apa yang kita alami. Karena aku sudah memberitahu Bapak dan Ibu tentang permasalahan kita," terangku."Apa, Dek, kamu sudah memberitahu Bapak dan Ibu?" Mas Romi bertanya, kepadaku seakan meyakinkanku. Mungkin ia mengira aku belum mengatakan semuanya, makanya ia begitu berharap kepadaku untuk menutupi semuanya. Mas Romi sepertinya tidak percaya, jika Bapak juga sudah tahu. Karena sikap Bapak Padanya biasa-biasa saja, sehingga ia mengira aku belum berbicara apa-apa terhadap kedua orang tuaku. Bapak tidak ada marah ataupun mendikte dia, malah bertanya dengan lemah lembut. Makanya Mas Romi tidak percaya, dengan apa yang diucapkan olehku. Kalau aku sudah memberitahu Bapak tentang ais yang telah ia lakukan terhadapku. "Ia, Mas, aku sudah membicarakannya. Orang tuaku sudah tahu, kenapa aku pulang sambil membawa koper besar. Jadi kamu nggak perlu drama lagi deh sekarang," ujarku."J
Aku akhirnya membongkar semuanya di hadapan semuanya, kalau aku berbuat demikian itu karena sudah dua kali diselingkuhin sama Mas Romi. Aku pergi dari hidupnya itu, bukan karena aku sudah tidak sayang dan tidak cinta lagi kepada suamiku. Tetapi karena aku sadar, jika hidup rumah tangga itu bukan hanya berlandaskan kasih dan sayang, tetapi juga kejujuran. Jadi jika salah satu pasangan kita, sudah berbuat kesalahan dan kita telah memberikan peringatan. Tetapi dia kembali melakukan kesalahan yang sama, maka itu sudah fik, lebih baik kita tinggalkan saja. Itu memang sudah menjadi prinsipku, supaya aku tetap bisa menjaga kewarasanku. Makanya sekarang aku memilih pergi, sebab sudah tidak seiring sejalan lagi dengan suamiku. "Nak Romi, bukannya Bapak mau membenarkan pendapat Amira, tentang perceraian. Tetapi jika permasalahannya, tentang perselingkuhan. Maaf, Bapak tidak dapat memberikan wejangan apa-apa. Bapak juga tidak akan memaksa Amira untuk tetap bertahan untuk mempertahankan rumah t
"Amira, jadi kamu mau melawan aku nih ceritanya," tanya Mbak Iren dengan ketus."Ya terserah tanggapan Mbak saja sih, mau menganggap aku bagaimana. Lagian ya Mbak, aku tidak meminta pendapat kamu kok tentang semua ini. Kamu bisa berkata seperti itu karena Kak Raka tidak pernah selingkuh, tapi jika Mas Raka satu tipe dengan Mas Romi, aku yakin kamu juga akan sependapat denganku." Aku meminta Mbak Iren untuk tidak ikut campur dengan urusanku."Sudah-sudah, kalian jangan saling menyalahkan satu sama lain. Karena semua itu tidak akan menyelesaikan permasalahan yang ada, malah nantinya akan menimbulkan masalah baru." Bapak meminta aku dan Mbak Iren, supaya tidak berkepanjangan berangkatnya.Tetapi permasalahannya bukannya aku, yang tidak mau akur dengan ipar. Tetapi Mbak Iren sendiri, yang selalu membuat gara-gara denganku. Ia selalu merampas apa yang menjadi milikku, ia menyingkirkan aku seolah aku ini anak pungut. Mbak Iren mengambil punyaku, mulai dari kamar tidur, hingga perabotan mili
"Iya, Nak, Ibu juga tau hal itu. Makanya, walaupun nanti kalian berdua telah resmi berpisah. Kamu harus tetap menengok mertuamu, berilah contoh yang baik untuk Azka, supaya kamu juga mendapat menantu yang baik pula nantinya." Ibu menasehatiku, sambil tangannya terus meracik bumbu.Ibu memberi petuah kepadaku, supaya aku tetap berbuat baik terhadap mertuaku, walaupun nanti aku dan Mas Romi berpisah."Iya, Bu, itu sih sudah pasti. Karena aku masih tetap bertahan disana juga, bukan karena aku cinta mati sama Mas Romi, tetapi karena aku begitu menyayangi Bu Rahma," terangku."Bu, Mbak Iren ke mana? Kok dia nggak bantuin Ibu memasak, sebentar lagi kan suaminya pulang? Apa selalu seperti ini yang dia lakukan setiap hari?" tanyaku.Aku kepo tentang keberadaan Mbak Iren, yang tidak membantu Ibu memasak."Ya seperti itulah Iren, Nak. Kalau harus Ibu jujur, Ibu juga sudah tidak tahan, dengan sikapnya yang tidak ada sopan santunnya itu. Tetapi mesti bagaimana lagi, jika Kakakmu begitu mencintain
"Iya, Mas, makanya dia mau tinggal di sini bareng kita," sahut Mbak Iren."Kurang ajar sekali si Romi ini, seenaknya saja ia menduakan adikku satu-satunya. Dulu saja dia begitu memperjuangkan Amira, tetapi setelah didapatkan. Adikku malah disia-siakan," sungut Mas Raka.Ia benar-benar Marah, saat mendengar aku disia-siakan Mas Romi. Siapa juga orangnya yang tidak akan geram, jika mendengar salah satu keluarganya disakiti. Baik itu disakiti secara lahir, maupun batin."Ya sudah, lebih baik sekarang kita makan dulu! Nanti kita lanjutkan lagi, membicarakan hal ini, setelah kita makan." Bapak memberi saran, supaya tidak membicarakan hal yang membuat emosi, saat akan makan. "Benar, Nak, kita makan dulu saja ya," timpal Ibu.Kami pun akhirnya makan dengan tenang, tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami. Padahal pikiranku saat ini sedang traveling ke mana-mana.Seusai makan, aku dan Mbak Iren membereskan piring kotor, kemudian mencucinya bersama perabot kotor lainnya. "Amira, k
"Mira, jadi sebenarnya bagaimana duduk persoalannya? Kok bisa si Romi selingkuh, ia selingkuh dengan siapa?" tanya Mas Raka memberondong pertanyaan."Mas Romi selingkuh dengan Lisa teman aku, Mas. Mereka ketahuan selingkuh, saat aku mengekorinya ke kantor. Saat sampai kantor, aku langsung ke ruangan Mas Romi dan ternyata ada Lisa, ia sedang duduk di pangkuan Mas Romi, sambil menyuapinya. Saat itu juga sebenarnya aku ingin pergi dari rumahnya Mas Romi, Mas. Tetapi entah mengapa, aku bisa kembali luluh dan memberi kesempatan kedua. Tetapi ternyata Mas Romi malah menyalah gunakan kesempatan itu. Makanya aku kini memilih pergi dan tidak akan memberi kesempatan ketiga dan selanjutnya." Aku panjang lebar, menceritakan persoalan, yang sedang aku hadapi kepada Kakakku.Ia menanggapi penuntutanku, dengan manggut-manggut."Oh, jadi seperti itu awalnya, ya Amira. Terus sekarang kamu banar-benar ingin pergi, dari kehidupannya Romi? Apa kamu sudah siap dengan semua konsekuensinya?" tanya Mas Raka
Ternyata pada kenyataannya, kalau dia itu tidak mampu untuk merawatnya. Ia malah masih saja membutuhkan bantuanku. Tapi sayangnya, ia tidak bisa membuat aku bertahan untuk tetap berada di sampingnya. Mas Romi malah menghianati aku, ia berselingkuh dengan Lisa teman dekatku."Maaf, Mas, bukannya aku tidak peduli sama Ibu. Tapi sebagai seorang anak, kamu dan adik-adik kamu itu harus tetap berusaha dong, buat merawat orang tua kalian sendiri. Jangan bisanya hanya mengandalkan bantuan orang lain, apalagi yang mesti dirawat hanya tinggal Ibu seorang." Aku menasehati Mas Romi, siapa tahu dia mau mendengarnya."Ya sudah, kalau memang kamu tidak mau membantu, nggak perlu banyak omong. Ternyata percuma juga aku korbankan egoku, hanya demi meminta bantuanmu. Ternyata hati kamu sekarang sekeras batu, kamu tidak mau lagi peduli terhadap orang lain. Kalau sampai terjadi apa-apa sama Ibu, kamu jangan pernah menyesal," sungutnya.Setelah itu ia mematikan telepon, tanpa mengucapkan salam terlebih dah
"Waalaikumsalam," sahutnya sambil berlalu pergi.Walaupun menjawab salam, nada suara Mbak Iren tetap saja kedengarannya begitu sinis. Aku pun kemudian melangkahkan kakiku menuju teras depan, sebab Azka sudah menunggu di sana, sedang bercanda bersama Oma dan juga Opanya."Sayang, ayo kita pergi!" ajakku."Iya, Bunda," sahutnya, sambil turun dari pangkuan sang Opa."Oma, Opa, Azka pergi sekolah dulu ya, assalamualaikum," pamit Azka, sambil mencium punggung tangan kedua orang tuaku.Anakku memang sudah terbiasa seperti itu, makanya ia tidak canggung lagi melakukannya."Waalaikumsalam, Sayang, kamu yang pintar ya di sekolahnya! Awas, jangan nakalin teman-temannya," pesan Ibu."Nggak dong Oma, aku kan anak baik," jawab Azka.Setelah itu, aku pun pamit kepada kedua orang tuaku, serta memberitahu rencanaku seusai mengantar Azka. Aku dan Azka pun menaiki motor matic milikku, kemudian aku pacu menuju jalan raya. Sesampainya di sekolah Azka, aku menitipkan Azka kepada gurunya, baru aku pergi m