"Sudahlah, Bu, Ibu nggak usah bersedih lagi. Karena sekarang Amira sudah datang untuk merawat Ibu. Tapi nanti Ibu jangan kaget ya, ketika ada Mas Romi ataupun yang lain, aku memakai cadar dan namaku bukan Amira tetapi Naira. Sebab Amira sekarang sedang menyamar, menjadi seorang perawatnya Ibu. Maafkan Amira ya, Bu. Sebab Amira butuh pemasukan karena nanti Amira dan Mas Romi akan berpisah," terangku berbisik di telinga Ibu.Bu Rahma pun meresponnya dengan anggukan. Itu merupakan tanda setuju, dengan apa yang aku katakan. Aku pun bahagia, ternyata Bu Rahma memahami posisiku saat ini."Terima kasih ya, Bu," ucapku.Bu Rahma pun kembali mengangguk lagi, kemudian aku membantu Bu Rahma bangun dan mendudukkannya di kursi Roda. Setelah itu aku bawa keluar, serta tidak lupa aku memasang cadarku kembali sebelum keluar kamar. Aku mendorong kursi roda melewati ruang keluarga terlebih dahulu untuk menuju ruang makan. Ternyata di ruang keluarga ada Mas Romi dan juga Lisa, mereka berdua sedang be
"Oke deh, Mas, aku percaya sama kamu. Tapi tetap kamu harus waspada, bisa saja dia pintar menggoda," tuduh Lisa, sambil menunjuk kearahku dengan dahinya."Nggak lah, nggak akan mungkin, Sayang. Sudah ah, jangan cemburu buta seperti itu. Sebentar ya, Mas mau menunjukan ruang makan dulu," pamitnya.Setelah berkata seperti itu, Mas Romi membawaku ke ruang makan, di sana ternyata ada Bi Sumi yang sedang menyiapkan makanan di meja. Kemudian Mas Romi kembali ke ruang keluarga untuk menemui Lisa. Sedangkan aku menanyai Bi Sumi, sebab akan menyiapkan makanan buat Bu Rahma."Bi, apa makanan buat Ibu sudah siap apa belum ya?" tanyaku."Sudah, Mbak. Itu ada di meja makan," tunjuk Bi Asmi."Terima kasih ya, Bi," ucapku.Kemudian aku menyiapkan makan buat Bu Rahma, tapi aku akan menyuapinya di luar sambil berjemur. Mumpung cuacanya bagus, sebab semua itu sangat baik untuk kesehatan.Selesai menyiapkan makan buat Bu Rahma, aku pun segera berpamitan kepada Bi SuMi. Akan menyuapi makan Ibu di luar.S
"Aku pun sekarang menyesal, sebab gara-gara aku berselingkuh dan berkhianat kepada Amira, sampai akhirnya ia pergi meninggalkanku dan juga Ibu. Padahal sebenarnya, aku itu masih sangat mencintainya, serta membutuhkan kehadirannya di rumah ini. Aku menyesal berselingkuh, hingga akhirnya aku kerepotan sendiri. Bahkan aku juga harus mengeluarkan uang lebih, demi membayar seorang perawat. Seandainya waktu bisa berulang, lebih baik aku berikan semua uangku untuk Amira. Daripada dipakai buat modal berselingkuh," tutur Mas Romi penuh penyesalan.Entah dia sadar ataupun tidak, saat ia berkata saat ini. Sebab ucapannya barusan dapat membuat seseorang, yang ada di sampingnya itu tersinggung. Karena ia seolah-olah tidak menginginkan, kehadiran Lisa dihidupya."Mas, apa kamu sadar nggak sih, dengan apa yang kamu ucapkan barusan?" tanya Lisa, dengan wajah yang sudah berubah merah padam. Aku hanya menjadi penonton saat ini, tanpa mau mencampuri urusan mereka berdua."Lho memangnya kenapa, Lisa? Ko
"Iya, Mbak. Aku menang sedang bekerja, tapi minta izin dulu untuk mengantar pulang Azka. Nanti setelah ini, aku juga akan kembali ke rumah majikanku untuk melanjutkan kerjanya," jawabku.Mbak Iren tidak berkomentar apa-apa lagi, tetapi ia pergi ngeloyor begitu saja. Aku pun mengajak Azka untuk mengganti pakaian terlebih dulu, kemudian menyuruhnya makan. Setelah itu, aku menitipkan Azka kepada ibuku. Kemudian aku pamit, mau kembali ke rumah majikanku, yang mereka juga tidak tahu kalau aku bekerja di rumah suamiku sendiri."Mira, apa kamu mau pergi ke tempat kerja kamu lagi?" tanya Mbak Iren."Iya, Mbak," sahutku."Kamu melewati Kafe Anggun, nggak? tanyanya kemudian.Mbak Iren bertanya, tentang tujuanku. Ia saat ini sudah berpakaian rapi, serta berdandan dengan begitu getar beda dari biasanya. Sepertinya ia mau pergi, tetapi ia pergi seorang diri, tanpa Dea anak keduanya. Sedangkan anak pertamanya masih di sekolah."Iya, Mbak, memangnya kenapa?" tanyaku."Aku ikut nebeng ya, Amira. Aku
"Ya sudah, Tuan. Aku permisi mau melihat Ibu dulu," pamitku kemudian."Iya, Mbak Naira silahkan," ujar Mas Romi.Mas Romi pun mempersilakan aku, supaya aku masuk ke kamar ibunya. Setelah diijinkan, aku pun segera masuk ke kamar Bu Rahma. Aku sengaja tidak berlama-lama dekat dengan Mas Romi, sebab aku takut kalau nanti aku asal bicara. Kemudian penyamaranku akan terbongkar. Aku tidak mau apa yang telah aku lakukan selama ini, semuanya menjadi sia-siakan. Aku segera masuk ke kamar Bu Rahma, kemudian menutup pintu kamarnya dengan Rapat. Aku segera menghampiri Ibu mertuaku, yang ternyata sudah terbangun. Entah sudah berapa lama ia terbangun, atau mungkin juga ia baru terbangun karena terganggu oleh kedatanganku."Bu, maafkan aku ya. Apa aku mengganggu tidur Ibu?" Aku bertanya kepada Bu Rahma."Ng-gak, kok, A-mira. Ibu su-dah ba-ngun daritadi," sahut Bu Rahma tebata.Bu Rahma kini bisa menjawab pertanyaanku, walau dengan terbata, hingga membuat aku menjadi kaget dibuatnya. Pasalnya sela
Iya, Tuan mungkin karena kita kangen Bu Amira, makanya mendengar suara Mbak Naira saja seperti syara Bu Amira." Bi Asmi menimpali ucapanku membuat aku merasa dibela.Beruntung saat tegang seperti ini juga, Bu Rahma memanggilku, dengan menyebut Naira. Jadi bisa membuktikan kepada Mas Romi dan Bi Asmi, kalau di kamar ini tidak ada Amira."Iya, Bu," sahutku, sambil menghampiri mertuaku."Na-ira, Ibu haus," ujarnya."Sebentar, Bu," ucapku kemudian.Aku pun segera mengangkat kepala Bu Rahma. Kemudian menambahkan bantal di bawahnya, supaya menjadi tinggi. Biar dia bisa minum dengan tenang, sebab aku takut dia tersedak. Setelah itu aku mengambil gelas yang berisi air lalu meminumkannya, dengan menempelkan sedotan ke mulutnya."Bu, terima kasih, ya Bu. Karena Ibu mau membantu penyamaranku," bisikku.Bu Rahma pun mengangguk, kemudian menyedot kembali, air yang aku berikan kepadanya."Bu, Romi mau keluar dulu ya! Mau ada perlu sebentar," pamitnya."Iya, Ro-mi, hati-hati," pesan Bu Rahma kepada
Mbak Iren pun tambah melongo, saat mendengar ucapanku. I seakan sedang mengingat, kejadian yang barusan aku sebutkan itu. Tapi biarin saja karena aku juga sengaja mengatakannya, supaya ia bisa mengingat kejadiannya. Biar dia sadar diri, kalau kelakuan murahannya itu, sudah terekspos oleh kamera handphoneku."Sudahlah, Amira, nggak usah dibahas lagi. Aku mendingan pergi, dari pada harus membahas itu semua. Aku juga sudah nggak mengerti, dengan alur pembicaraanmu. Kamu itu tidak jelas, Amira. Orang nanya apa, kamu malah membahas apa?" Mbak Iren mengelak perkataanku. Ia malah memilih pergi untuk menghindariku."Mbak, bilang saja, kalau Mbak itu takut. Benar kan, Mbak? Pokoknya awas saja ya, kalau sampai Mbak Iren masih berani kurang ajar kepada kedua orang tuaku dan juga keluargaku yang lain! Apalagi jika Mbak sampai berani berbuat kasar sama mereka semua. Aku nggak akan diam saja, Mbak. Tapi aku jamin, kalau Mbak bakal menyesal. Karena aku sudah pasti akan memberitahu, Mas Raka, tentang
Ibu begitu kaget, saat mendengar perkataanku tentang Mbak Iren. Tetapi apa yang mau dikata, memang begitulah kenyataan sifat menantunya itu. "Apa yang sedang kalian bahas sih, kok saling berbisik begitu?" tanya Bapak, yang memang tidak diajak bicara. Karena Bapak fokus, sedang mengajak main ketiga cucunya."Ini Pak, Ibu sedang membahas masalah penting. Bapak nanti saja ya, biar Ibu yang memberitahu," sahut Ibu."Ya sudah, terserah kalian saja," ujar Bapak.Bapak tidak berkata apa-apa lagi, setelah Ibu meminta Bapak untuk bersabar. Ibu Bilang akan memberitahu Bapak, apa yang sedang kami bicarakan saat ini. Bapak pun kembali fokus mengajak ketiga cucunya bermain.Bapak dan Ibu memang seorang penyayang anak-anak, apalagi ini adalah cucunya sendiri. Sehingga anakku dan anaknya Mas Raka begitu nurut, kepada kedua orang tua kami ini. Kemudian aku dan Ibu kembali fokus, dengan apa yang dibicarakan."Nah bagaimana, Nak? Apa kamu punya bukti, tentang perselingkuhan itu?" tanya Ibu lagi."A