“Zam, kakakmu ada di sini!” teriak Ustaz Sauqi. Aku melotot ke arahnya. Aku sudah lemas, tidak mungkin bisa berlari menghindar lagi. Tidak lama berselang, Nizam datang dengan napas terengah-engah. Remaja yang wajahnya penuh keringat ini mencekal lenganku dan menatapku lekat. “Aku bener-bener nggak bisa ninggalin Mbak sendiri. Maaf, Mbak, maaf. Jangan hukum aku kayak gini.” Mataku memanas. “Mbak minta aku belajar yang rajin, kan? Tapi bagaimana bisa semua itu kulakukan sementara pikiranku terus mengkhawatirkan Mbak dan Mbak pergi dariku dalam keadaan marah.” “Saya tahu, saya telah salah bicara. Timing-nya nggak tepat. Saya juga minta maaf.” Ustaz Sauqi ambil suara. Aku bernapas panjang, lalu menatap Nizam. “Zam, di usiamu ini, kamu memang hanya perlu belajar. Biar Mbak yang pikirkan hal lain. Mbak bisa jaga diri. Kamu tenang saja. Mbak sudah terbiasa, kan, hidup kayak gini? Nyari kontrakan ke sana kemari.” “Iya, itu dulu saat kondisi Mbak sehat dan Mbak pergi dariku tanpa kemar
Orang itu makin mendekat. Aku takut jika diusir dari sini malam-malam begini.“Assalamualaikum. Neng Niha apa kabar?” Umi mendekat. Aku buru-buru menyambut dan menyalaminya dengan kedua tangan secara takzim. Aku terpejam kala mencium tangan lembut ini. Rindu kepada almarhumah ibu tiba-tiba menyergap.“Mi, maaf. Saya merepotkan dengan tinggal di sini,” ujarku setelah melepaskan tangan.Kupersilakan Umi duduk ala kadarnya, di dalam.“Nggak apa-apa, nggak merepotkan. Nizam sudah bicara, izin sama abah, lalu sama abah ditembuskan ke saya.”“Saya janji tidak akan lama, Mi. Setelah membaik, saya akan pergi.”Umi mengangguk sambil tersenyum. Wanita yang masih ayu di usianya yang sudah tidak lagi muda ini menatapku dalam. "Bagaimana kalau diantar pulang pakai mobil ndalem saja? Maksud Umi, kalau di rumah, nanti ada suami yang merawat.”Sekak mat! Yang aku takutkan terbukti. Umi mengusirku secara halus.“Umi tidak bermaksud mengusir, hanya saja siapa tahu kalau dekat sama suami hatinya lebih d
“Berdirilah, Neng Niha. Jangan seperti ini.”Umi memegang lenganku. Aku akhirnya mendongak, menatapnya. Selama Nizam mondok di sini, aku memang sering sowan kepada beliau. Jadi, bisa dibilang kami sudah kenal akrab.“Duduk lagi di samping Umi sini.”Aku menghapus air mata, lalu mengangguk.“Neng Niha, dengar. Ada satu hadis yang menyebutkan bahwa raja iblis meletakkan singgasananya di atas laut. Dia berkata bahwa yang paling dekat dengannya adalah yang paling kuat dan besar fitnahnya. Lantas, datang beberapa pasukannya dan mengatakan sukses melakukan fitnah ini itu dan semua belum membuat sang raja iblis puas. Sampai akhirnya, datang satu iblis yang mengatakan telah mengembuskan fitnah hingga berhasil memisahkan suami istri. Raja iblis itu berkata kurang lebih seperti ini; kamu hebat.”Aku terus menyimak.“Intinya apa? Iblis akan bersorak bahagia kalau ada orang yang bercerai. Dan benar, perceraian itu dibenci Allah, tapi Allah juga tahu keadaan hamba-Nya. Allah itu tidak mempersulit.
Astaga, aku tadi sempat membuka masker ketika berbincang-bincang dengan mamang ketika di kontrakan. Jangan-jangan? Ah, semoga tidak.Sesekali aku menoleh belakang. Mobil putih yang menurutku dari tadi kurasa mengikuti, masih ada.“Pak, saya berhenti di perempatan depan saja!” teriakku pada pengemudi ojek. Sengaja aku mengeraskan suara sebab suaraku beradu dengan angin.“Baik, Neng.”Aku tidak mau mengambil risiko. Jika benar mobil itu orang suruhan Mas Aqsal, aku takut dia akan membuntutiku sampai di pesantren. Aku khawatir dia akan membuat rusuh di sana.Perempatan yang kumaksud, masih jauh dari pesantren. Aku bisa turun dan berhenti sebentar, lalu akan sembunyi. Setelah mobil itu tidak ada, baru aku akan kembali ke pesantren dengan ojek lain. Sekalian nanti mengambil ponsel.Mobil putih itu ikut berhenti saat aku berhenti. Aku masuk ke sebuah toko kelontong sekadar membeli sabun mandi. Aku minta untuk keluar dari pintu samping saja. Beruntung pemilik toko mempersilakan. Lalu, aku me
Aku tersenyum, tetapi mataku menangis. “Lihatlah, bahkan kamu pun sudah mulai berbuat kasar ke Mbak.”Kudorong tubuh Nizam agar ia keluar. kemudian kukunci pintunya dari dalam.Tubuhku merosot di pintu. Aku benci semua keadaan ini.“Mbak, maafin aku. Mbak jangan keras kepala seperti ini. Jangan gegabah. Kita akan ziarah ke kuburan Mama Elena, tapi nanti, oke? Sekarang buka dulu pintunya.” Gedoran dan teriakan Nizam masih jelas terdengar. Aku tidak peduli.Aku keras kepala katanya? Aku hanya ingin bertemu dengan Mama meski sudah berupa gundukan tanah. Apa itu salah?Kematian Mama bisa juga ada andilku di dalamnya. Kalau saja aku tidak meminta Mas Aqsal menikah lagi, kalau saja istri baru Aqsal bukan Dinda, tetapi wanita yang lebih salihah dan bisa menggantikan posisiku merawat Mama, mungkin beliau masih ada sampai sekarang. Aku dibayangi penyesalan mendalam.Mama, sayap pelindungnya untukku telah hilang. Selamanya. Lebih parahnya lagi, aku tidak berada di sampingnya saat sayap itu terb
“Lepas! Siapa kalian!” Aku mencoba berontak saat dua pria menyeretku menuju mobil.“Tolong!” Aku berteriak.Sialnya, kondisi di sekitar sedang sepi. Namun, aku tetap berontak agar tidak sampai masuk mobil.“Kenapa kalian membawa saya!” Aku berteriak.Keduanya tidak menjawab, justru mencengkeram lengan makin kuat. Dengan sengaja, aku menggigit lengan salah satunya.“B4j*ngan! Kur*ng ajar kamu!”Plak!Pria yang aku gigit menampar pipiku. Panas!“Go*lok! Jangan sakiti dia! Bisa habis kita dimarahi bos!” Salah satunya membentak pria yang telah menamparku.“As*, lo pikir nggak sakit?” Pria yang kugigit mengumpat.“Dasar b*nc1. Beraninya cuma sama wanita. Siapa yang nyuruh kalian, hah!” Entah keberanian dari mana sampai aku bisa seberani ini menghadapi mereka. Semua anggota tubuhku kugerakkan, berharap bisa terlepas dari mereka.Keduanya tetap tidak menjawab. Sekuat tenaga aku menggerakkan tangan dan tetap mempertahankan tubuh agar tidak dimasukkan ke dalam mobil.“Masuk!” bentak wanita yan
Mataku melebar saat Nizam berbicara ngawur seperti itu. Sepertinya, adikku itu sangat marah. Aku menggandeng lengannya, mencari tempat agak jauh agar percakapan kami tidak didengar oleh Ustaz Sauqi.“Zam, dengerin Mbak. Mbak mau ke rumah Mas Aqsal diam-diam untuk mengambil surat nikah buat daftar gugatan cerai, bukan mau piknik sampai kamu harus ikut. Habis itu Mbak balik, lalu baru Mbak urus di pengadilan agama. Karena kalau Mbak minta secara baik-baik, mungkin tidak akan dikasih. Dan kalau mengurus di kepolisian, takut ribet. Langkah ini dulu aja Mbak ambil. Kalau sudah mentok, baru nanti ngurus di kepolisian."“Tapi itu sangat berisiko, Mbak. Emang Mbak tahu di mana Mas Aqsal menyembunyikannya?”Aku menggeleng. “Tapi Mbak akan berusaha.”“Sekarang ikut aku dulu. Karena kalau Mbak nekat kayak gini dan diculik lagi, aku nggak tenang sekolah.”Aku bersedekap. “Apa Ustaz Sauqi yang bilang ke kamu kalau Mbak mau pergi dan tadi hampir diculik?”“Siapa lagi selain dia? Aku sekolah dulu sa
Aku tidak cemburu melihat kemesraan mereka, hanya saja tidak menyangka sahabatku bisa melakukan semua ini kepadaku.Dua orang dimabuk asmara itu sepertinya belum tahu kalau aku datang.Ini baru sekali kupergoki. Bukan tidak mungkin setiap hari mereka bermesraan seperti ini. Atau bahkan sudah melakukan hubungan suami istri? Astagfirullah. Pikiranku kotor sekali.“Tuan sedang sakit, Mbak. Itu temannya menjenguk. Teman Mbak Niha juga, kan?” ujar Mbak Sa, membuyarkan lamunanku.Kutelisik wajah Mbak Sa yang biasa saja. Sepertinya, dia tidak tahu skandal tuannya dengan mantan temanku itu. Aku hanya tersenyum.“Ya, dan mungkin sebentar lagi wanita itu akan menggantikan posisiku di rumah ini, Mbak.”“Apa maksud Mbak Niha? Kenapa bilang gitu? Dari tadi Mbak pilang cerai-cerai terus perasaan.”Aku menunduk, enggan melihat Mas Aqsal dan Asti yang masih di lantai atas.“Aku akan menyerah dengan pernikahan ini, Mbak Sa. Aku nggak kuat.”Kurasakan sebuah elusan di lenganku. Nizam dari tadi tidak be
“Mas, dingin,” keluh Niha sambil menyatukan kedua tangan di depan dada. Aqsal terkekeh. “Kamu terlalu keras kepala, Sayang. Baru pulih, sudah nyari penyakit lagi. Sini, aku peluk.” Pria itu duduk di belakang istrinya, memeluk erat dari belakang. Niha leluasa menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Atau meletakkan di lemgan suaminya. Baginya, tidak ada tempat bersandar terbaik selain di sana. Aqsal tiada bosan menciumi puncak kepala istrinya yang terbungkus kupluk jaket. Keduanya sedang menunggu sunrise di gunung Bromo. Tepatnya di Love Hill atau spot sunrise point pananjakan 3. Niha kukuh merengek mengajak ke sana padahal baru saja pulih dari sakit. Terpaksa Aqsal menuruti meski dengan berat hati. Mereka tidak jadi dinikahkan ulang oleh warga sebab Niha dan Aqsal berhasil menjelaskan jika mereka memang pasangan suami istri. Keduanya memilih pergi dari lingkungan itu dan mencari tempat tinggal baru. Aqsal membeli sebuah rumah di kota Batu, berdekatan dengan kota sebelumny
Niha mendorong dada Arif agar menjauh dari hadapannya. Wanita itu menghapus air matanya kasar, lalu mengembuskan napas panjang. Ia menatap Arif sungguh-sungguh. “Mas, pernikahan itu bukan permainan. Pun identitas. Aku nggak tahu apa hukumnya menikah lagi denganmu, dengan identitasmu yang berbeda padahal kita masih suami istri. Lalu misal jika kita menikah lagi, siapa walinya? Sementara Nizam jauh di Mesir. Kemudian tentang identitas. Jangan sembarangan menggunakan identitas orang. Meskipun dosa ditanggung masing-masing kepala, tapi aku tetap takut jika dosa dan kesalahan yang kamu perbuat, Arif di alam sana ikut menanggungnya. Ya, meskipun itu kedengarannya tidak mungkin, setidaknya untuk berjaga-jaga. Cukup jadilah Aqsal, bukan orang lain. Setidaknya hormati almarhum Arif. Biarkan dia di sana hidup damai dan tenang, jangan mengusik dengan menggunakan identitasnya,” ucap Niha panjang lebar. Arif terdiam. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Baginya, ia nyaman dengan identitas itu kar
“Omong kosong apa lagi ini hah!” teriak Niha. “Sayang, kumohon percayalah. Aku–“ “Tolo–“ Keduanya saling memotong ucapan sebelum akhirnya Arif membekap mulut Niha yang hendak berteriak minta tolong. “Sumpah demi Allah kalau aku ini Aqsal, suamimu. Aku bisa menjelaskan. Aku akan melepaskan bekapan, tapi tolong jangan teriak. Oke?” Suara Arif berubah. Suara itu membuat degup jantung Niha berdetak menggila. Suara Arif yang biasanya berat, berubah menjadi suara yang lama dirindukan. Suara itu suara Aqsal. Wanita itu membeku. Merasa Niha tidak bereaksi, Arif melepaskan telapak tangannya di mulut Niha. “Arif, jangan bercanda! Ini nggak lucu!” bentak Niha. “Aku nggak bohong, Sayang. Aku sudah menyebut sumpah atas nama Allah. Bukankah sumpah atas nama suci itu sumpah tertinggi?" Niha menatung. “Rif, aku sakit, jadi jangan mempermainkanku.” Niha menunduk, lelah berbicara dengan nada tinggi pada pria itu. “Sayang, lihat mataku. Apa kamu tidak mengenali mata suamimu? Apa kamu sudah lup
“Arif! Selamanya aku nggak akan pernah mau nikah sama kamu!” teriak Niha.“Sudah, tenang dulu.” Ketua RT menengahi.“Saya siap jika harus diarak keliling kota, Pak. Atau jika didenda berapa pun akan saya bayar. Saya juga janji akan pergi selamanya dari kota ini. Asal saya tidak dinikahkan dengan pria menjijikkan itu. Saya masih punya suami,” ujar Niha dengan napas tersengal-sengal sambil menatap Arif.“Arif, sebenarnya di sini kuncinya hanya kamu. Kamu tinggal jujur apa yang terjadi semalam. Dan saya yakin tidak terjadi apa-apa. Niha dalam kondisi sakit dan saya rasa kamu tidak tega melakukan hal buruk padanya. Kecuali kalau kamu pria bej*t,” ujar Gita.Arif memilih bungkam. Baginya, entah mengapa disuruh menikahi Niha terdengar lebih seru daripada jujur tentang kejadian semalam.“Andai semua orang di sini berpikiran sama denganmu, Mbak, pasti tidak akan ada fitnah dan semua tidak serumit ini,” sahut Arif akhirnya.“Kamu yang membuat semuanya rumit! Kalau kamu ingin menjebakku, carany
Tubuh Niha panas jika disentuh, tetapi ia merasa kedinginan. Arif memeluknya erat dari belakang sambil terus menahan diri agar tidak melewati batas. Apalagi aroma rambut Niha begitu menggelitik hidung, membuatnya harus ekstra menjinakkan gejolak khas orang dewasa dalam dirinya. Niha yang biasa tampil dengan penutup kepala, kini hanya mengenakan baju dan celana pendek. Tidak dipungkiri, Arif tergoda dengan kecantikannya. Pria itu terus mengendalikan sesuatu yang tiba-tiba mengeras di salah satu tubuhnya. “Jangan pergi, Mas.” “Aku rindu.” “Mas Aqsal.” Niha terus mengigau, tubuhnya masih menggigil, giginya bergemeletuk. Tangannya memegangi tangan Arif di perutnya, seolah-olah tidak ingin pria itu pergi. Arif merutuki diri sendiri. Yang dilakukan ini tidak sepatutnya dilakukan, ia tahu itu. Namun, hawa nafsu berbisik bahwa ini bukan hal yang salah. Toh, semua untuk menolong Niha dan tidak sampai menodai. Mana mungkin juga menodai seorang wanita yang kondisinya memprihatinkan seperti
“B-bu Endang!" Niha tergagap sambil berusaha bangkit dari atas tubuh Arif.Endang, pemilik rumah bergaya minimalis yang ditempati Niha mendekat dan menatap dua manusia di hadapannya nyalang.“B-bu, ta-tadi saya nggak sengaja jatuh ka-karena tadi.” Niha berdiri, lalu menggeleng, mendadak lidahnya kelu.“Rif! Jelaskan ke Bu Endang!” teriak Niha. Sementara Arif masih menepuk-nepuk pantatnya yang sakit sambil mendesis.“Mata saya masih normal melihat mana yang sengaja dan tidak. Arif tadi memelukmu! Apa kalian berzina?” bentak Endang.“Eng-enggak, Bu. Ta-tadi kata Arif–““Bu Endang nyium bau gas nggak?” potong Arif.Endang mengendus-endus ruangan.“Hidung Niha mati rasa, Bu. Dia nggak bisa nyium segala bau. Gas bocor pun dia nggak tahu. Daripada nanti rumah Ibu terbakar, saya ingin memperingatkan dia agar tidak menyalakan kompor. Saya tarik tubuhnya, dan terjadilah yang tadi. Telat sedetik, beneran ada ledakan tadi,” jelas Arif panjang lebar.Niha memicing. Arif sedetail itu tahu tentang
“Niha, hati-hati kalau lari!” Suara familier itu terdengar saat tubuh Niha menubruk dada seseorang. Kalau saja pria itu tidak memeluknya, Niha pasti akan jatuh.Sambil tersenyum tidak enak, Niha pun melepaskan diri.“Dokter Dico. Ma-maaf.”“Ya, nggak apa-apa. Untung aku yang kamu tubruk. Kalau orang lain gimana? Dan kenapa lari kayak ketakutan gini?”“A-ada pria menyeramkan, Dok. Dia tetangga baru di kontrakanku. Mungkin dia sengaja mengikutiku. Aku takut.”“Menyeramkan?”“Ho'oh. Oh, ya, kenapa bisa kebetulan Dokter ada di sini?”Dico terkekeh. “Aku tadi baca status W* kamu, katanya OTW ke sini. Ya udah, aku susul ke sini sengaja nggak ngasih tahu. Buat tantangan juga bisa menemukanmu apa enggak di pantai seluas ini. Eh, ternyata bisa.”“Kok cepet? Dari Jakarta?”“Enggak. Aku tiba di kota ini semalam. Jum’at sore kemarin setelah dinas, aku berangkat biar bisa di sini agak lama. Nginep di hotel, lalu pagi ini di sini, kita bertemu ini. Bukankah aku sudah bilang akan menyusul?”Niha ter
“Dok.” Niha memanggil saat Dico mengabaikan pertanyaannya. Justru ada suara seperti gumaman di seberang sana.“Eh, iya. Sebentar ya, lagi ngomong sama seseorang.” Dico menimpali. Suara yang didengar Niha sebuah suara tidak jelas.“Halo, Niha,” ujar Dico setelah selesai.“Ada kabar apa?”“Nggak jadi. Kemarin kamu bilang nggak tertarik sama si mantan musuh. Jadi, nggak usah aja.” Dico terkekeh. “Oh, ya, kamu lagi ada di mana ini?”Mantan musuh? Niha berpikir mungkin itu kabar tentang Asti. Ia tidak peduli.“Kasih tahu nggak ya?” Niha tertawa.Di seberang, Dico ikut tertawa. “Kali aja aku minat ingin ke sana juga. Pengen nyusul.”“Dokter, kok, hobi menguntit. Aku lagi di Malang, Dok. Dan langsung jatuh cinta sama tempat ini. Di sini sejuk, cenderung dingin. Hal yang nggak didapat di Jakarta.”“Ya sudah. Jangan lupa oleh-olehnya kalau balik.”“Siap, Bos.”“Niha.”“Ya.”“Ah, nggak jadi.”“Dasar. Ya udah, aku tutup teleponnya. Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam. Enjoy your holiday, Niha.”
Akibat perbuatannya, Robin dijerat pasal berlapis mulai dari kepemilikan senjata api ilegal, rencana pembunuhan pada Niha dan Aqsal, juga terkuaknya kasus terdahulu yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Ia dipenjara sepuluh tahun dan denda yang tidaklah sedikit.Sementara Asti, Niha tidak terlalu paham karena benar-benar memutus sambungan dengan wanita itu. Terakhir yang diketahui, Asti dijodohkan oleh orang tuanya.Setahun belakangan ini, Niha tinggal di sebuah apartemen elite yang dibeli dari uang peninggalan sang suami. Rumah pribadinya dibiarkan kosong. Hanya saja, tetap ada orang yang ditugaskan membersihkan. Ia masih ada di Jakarta, menunggu jika sewaktu-waktu Aqsal datang. Aqsal sendiri seperti ditelan bumi. Pihak kepolisian, detektif, mencari lewat media sosial, bahkan dukun dikerahkan untuk mencari. Namun, hasilnya nihil.“Aku nggak jadi ke Mesir aja, Mbak. Nemeni Mbak di sini,” ujar Nizam dulu sesaat setelah lulus.“Jangan karena masalah Mbak, jadi penghalang cita-citamu. Mb