Mobil itu berhenti. Kaca depan yang terbuka, menampakkan seorang pria.“Kalian mau ke mana?” Pria yang berada di kursi kemudi itu bertanya.“Mau balik ke pondok, Ustaz,” jawab Nizam.“Kenapa jalan kaki? Ayo masuk, barengan.”Nizam melihatku, mungkin sedang meminta pendapat. Aku mengangguk. Tidak apalah menumpang. Lagi pula, rasa nyerinya sudah tidak tertahan lagi.Nizam membuka pintu depan, aku pintu belakang.Mobil melaju. Aku menyenderkan kepala di kursi, lantas terpejam. Dadaku bekas jahitan terasa makin berdenyut sakit.“Ustaz dari mana tadi?” tanya Nizam.“Servis mobil abah. Kebetulan pas mau balik ke pondok. Kamu dari mana mau ke mana?”“Dari kos-kosan mau ke pesantren.”“Oh.”Inilah yang kusuka dari Ustaz Sauqi. Dia tidak terlalu kepo. Bertanya pun hanya sekadar.Dua pria itu mengobrolkan banyak hal tentang pelajaran dan pesantren.Aku bersyukur, ternyata Ustaz Sauqi yang tadi memanggil kami. Entah kebetulan melintas atau mungkin memang sengaja dikirim Allah untuk menolong.“Se
“Zam, kakakmu ada di sini!” teriak Ustaz Sauqi. Aku melotot ke arahnya. Aku sudah lemas, tidak mungkin bisa berlari menghindar lagi. Tidak lama berselang, Nizam datang dengan napas terengah-engah. Remaja yang wajahnya penuh keringat ini mencekal lenganku dan menatapku lekat. “Aku bener-bener nggak bisa ninggalin Mbak sendiri. Maaf, Mbak, maaf. Jangan hukum aku kayak gini.” Mataku memanas. “Mbak minta aku belajar yang rajin, kan? Tapi bagaimana bisa semua itu kulakukan sementara pikiranku terus mengkhawatirkan Mbak dan Mbak pergi dariku dalam keadaan marah.” “Saya tahu, saya telah salah bicara. Timing-nya nggak tepat. Saya juga minta maaf.” Ustaz Sauqi ambil suara. Aku bernapas panjang, lalu menatap Nizam. “Zam, di usiamu ini, kamu memang hanya perlu belajar. Biar Mbak yang pikirkan hal lain. Mbak bisa jaga diri. Kamu tenang saja. Mbak sudah terbiasa, kan, hidup kayak gini? Nyari kontrakan ke sana kemari.” “Iya, itu dulu saat kondisi Mbak sehat dan Mbak pergi dariku tanpa kemar
Orang itu makin mendekat. Aku takut jika diusir dari sini malam-malam begini.“Assalamualaikum. Neng Niha apa kabar?” Umi mendekat. Aku buru-buru menyambut dan menyalaminya dengan kedua tangan secara takzim. Aku terpejam kala mencium tangan lembut ini. Rindu kepada almarhumah ibu tiba-tiba menyergap.“Mi, maaf. Saya merepotkan dengan tinggal di sini,” ujarku setelah melepaskan tangan.Kupersilakan Umi duduk ala kadarnya, di dalam.“Nggak apa-apa, nggak merepotkan. Nizam sudah bicara, izin sama abah, lalu sama abah ditembuskan ke saya.”“Saya janji tidak akan lama, Mi. Setelah membaik, saya akan pergi.”Umi mengangguk sambil tersenyum. Wanita yang masih ayu di usianya yang sudah tidak lagi muda ini menatapku dalam. "Bagaimana kalau diantar pulang pakai mobil ndalem saja? Maksud Umi, kalau di rumah, nanti ada suami yang merawat.”Sekak mat! Yang aku takutkan terbukti. Umi mengusirku secara halus.“Umi tidak bermaksud mengusir, hanya saja siapa tahu kalau dekat sama suami hatinya lebih d
“Berdirilah, Neng Niha. Jangan seperti ini.”Umi memegang lenganku. Aku akhirnya mendongak, menatapnya. Selama Nizam mondok di sini, aku memang sering sowan kepada beliau. Jadi, bisa dibilang kami sudah kenal akrab.“Duduk lagi di samping Umi sini.”Aku menghapus air mata, lalu mengangguk.“Neng Niha, dengar. Ada satu hadis yang menyebutkan bahwa raja iblis meletakkan singgasananya di atas laut. Dia berkata bahwa yang paling dekat dengannya adalah yang paling kuat dan besar fitnahnya. Lantas, datang beberapa pasukannya dan mengatakan sukses melakukan fitnah ini itu dan semua belum membuat sang raja iblis puas. Sampai akhirnya, datang satu iblis yang mengatakan telah mengembuskan fitnah hingga berhasil memisahkan suami istri. Raja iblis itu berkata kurang lebih seperti ini; kamu hebat.”Aku terus menyimak.“Intinya apa? Iblis akan bersorak bahagia kalau ada orang yang bercerai. Dan benar, perceraian itu dibenci Allah, tapi Allah juga tahu keadaan hamba-Nya. Allah itu tidak mempersulit.
Astaga, aku tadi sempat membuka masker ketika berbincang-bincang dengan mamang ketika di kontrakan. Jangan-jangan? Ah, semoga tidak.Sesekali aku menoleh belakang. Mobil putih yang menurutku dari tadi kurasa mengikuti, masih ada.“Pak, saya berhenti di perempatan depan saja!” teriakku pada pengemudi ojek. Sengaja aku mengeraskan suara sebab suaraku beradu dengan angin.“Baik, Neng.”Aku tidak mau mengambil risiko. Jika benar mobil itu orang suruhan Mas Aqsal, aku takut dia akan membuntutiku sampai di pesantren. Aku khawatir dia akan membuat rusuh di sana.Perempatan yang kumaksud, masih jauh dari pesantren. Aku bisa turun dan berhenti sebentar, lalu akan sembunyi. Setelah mobil itu tidak ada, baru aku akan kembali ke pesantren dengan ojek lain. Sekalian nanti mengambil ponsel.Mobil putih itu ikut berhenti saat aku berhenti. Aku masuk ke sebuah toko kelontong sekadar membeli sabun mandi. Aku minta untuk keluar dari pintu samping saja. Beruntung pemilik toko mempersilakan. Lalu, aku me
Aku tersenyum, tetapi mataku menangis. “Lihatlah, bahkan kamu pun sudah mulai berbuat kasar ke Mbak.”Kudorong tubuh Nizam agar ia keluar. kemudian kukunci pintunya dari dalam.Tubuhku merosot di pintu. Aku benci semua keadaan ini.“Mbak, maafin aku. Mbak jangan keras kepala seperti ini. Jangan gegabah. Kita akan ziarah ke kuburan Mama Elena, tapi nanti, oke? Sekarang buka dulu pintunya.” Gedoran dan teriakan Nizam masih jelas terdengar. Aku tidak peduli.Aku keras kepala katanya? Aku hanya ingin bertemu dengan Mama meski sudah berupa gundukan tanah. Apa itu salah?Kematian Mama bisa juga ada andilku di dalamnya. Kalau saja aku tidak meminta Mas Aqsal menikah lagi, kalau saja istri baru Aqsal bukan Dinda, tetapi wanita yang lebih salihah dan bisa menggantikan posisiku merawat Mama, mungkin beliau masih ada sampai sekarang. Aku dibayangi penyesalan mendalam.Mama, sayap pelindungnya untukku telah hilang. Selamanya. Lebih parahnya lagi, aku tidak berada di sampingnya saat sayap itu terb
“Lepas! Siapa kalian!” Aku mencoba berontak saat dua pria menyeretku menuju mobil.“Tolong!” Aku berteriak.Sialnya, kondisi di sekitar sedang sepi. Namun, aku tetap berontak agar tidak sampai masuk mobil.“Kenapa kalian membawa saya!” Aku berteriak.Keduanya tidak menjawab, justru mencengkeram lengan makin kuat. Dengan sengaja, aku menggigit lengan salah satunya.“B4j*ngan! Kur*ng ajar kamu!”Plak!Pria yang aku gigit menampar pipiku. Panas!“Go*lok! Jangan sakiti dia! Bisa habis kita dimarahi bos!” Salah satunya membentak pria yang telah menamparku.“As*, lo pikir nggak sakit?” Pria yang kugigit mengumpat.“Dasar b*nc1. Beraninya cuma sama wanita. Siapa yang nyuruh kalian, hah!” Entah keberanian dari mana sampai aku bisa seberani ini menghadapi mereka. Semua anggota tubuhku kugerakkan, berharap bisa terlepas dari mereka.Keduanya tetap tidak menjawab. Sekuat tenaga aku menggerakkan tangan dan tetap mempertahankan tubuh agar tidak dimasukkan ke dalam mobil.“Masuk!” bentak wanita yan
Mataku melebar saat Nizam berbicara ngawur seperti itu. Sepertinya, adikku itu sangat marah. Aku menggandeng lengannya, mencari tempat agak jauh agar percakapan kami tidak didengar oleh Ustaz Sauqi.“Zam, dengerin Mbak. Mbak mau ke rumah Mas Aqsal diam-diam untuk mengambil surat nikah buat daftar gugatan cerai, bukan mau piknik sampai kamu harus ikut. Habis itu Mbak balik, lalu baru Mbak urus di pengadilan agama. Karena kalau Mbak minta secara baik-baik, mungkin tidak akan dikasih. Dan kalau mengurus di kepolisian, takut ribet. Langkah ini dulu aja Mbak ambil. Kalau sudah mentok, baru nanti ngurus di kepolisian."“Tapi itu sangat berisiko, Mbak. Emang Mbak tahu di mana Mas Aqsal menyembunyikannya?”Aku menggeleng. “Tapi Mbak akan berusaha.”“Sekarang ikut aku dulu. Karena kalau Mbak nekat kayak gini dan diculik lagi, aku nggak tenang sekolah.”Aku bersedekap. “Apa Ustaz Sauqi yang bilang ke kamu kalau Mbak mau pergi dan tadi hampir diculik?”“Siapa lagi selain dia? Aku sekolah dulu sa