Kak Susi Hendra, Kak Zumrotul. Terima kasih singgahnya. Waktu dan tempat memaki Aqsal dipersilakan 🤭
Suara itu, suara Asti.Tanggul pertahanan yang sejak tadi kubangun, akhirnya jebol juga. Air mata ini berhamburan terjun bebas di pipi. Pasukan air mata ini seolah-olah ikut merasakan dahsyatnya perang batin yang kurasa.Maaf. Satu kata yang punya banyak makna. Maaf. Bisa saja berarti orang yang dulu mengaku sahabatku ini berbuat licik di belakangku entah sejak kapan.Lalu siapa sekretaris Mas Aqsal itu? Apa mereka ada hubungan? Siapa Dinda? Apa Dinda dan Mas Aqsal betul-betul menikah? Apa mereka wayang yang pemerannya atas perintah Asti? Masih banyak yang belum aku tahu. Aku terlalu bodoh untuk memahami semua ini.Jika bertanya untuk menjawab semua rasa penasaran itu, kepada siapa? Untuk saat ini, tidak ada yang bisa kupercaya.“Maaf, Ti? Katakan padaku maaf untuk apa? Lalu sejak kapan kamu bersalah kepadaku?” tanyaku balik, tak kalah lirih.“Kekerasan Mas Aqsal yang dilayangkan kepadaku, lalu dia benar-benar menikah lagi. Apa itu semua kamu ikut andil di dalamnya?” Aku kembali berta
Tidak. Aku tidak boleh melunak. Mungkin itu hanya akting Mas Aqsal saja pura-pura tertabrak lalu jatuh. Lagian, di sana ada Asti yang akan membantunya.Mungkin, terkesan aku ini jahat. Namun, aku juga lelah dijahati terus-terusan. Mas Aqsal pernah mengabaikanku, sekarang aku akan melakukan hal yang sama. Balas dendam? Mungkin. Sebab hatiku sudah kebas dengan perilakunya.“Sudah, Bu. Berhenti di sini saja,” ujarku setelah sampai di jalan raya.Aku turun, lalu membuka tas dan menyerahkan uang dua puluh ribu kepada ibu itu. Aku rasa ini sudah cukup karena jaraknya tidak jauh.“Terima kasih banyak karena sudah memberikan tumpangan ke saya, Bu.”“Nggak usah, Mbak. Kebetulan saya juga arah ke sini.” Ibu itu menolaknya. Aku paksa, akhirnya beliau menerima.“Sekali lagi terima kasih. Bantuan Ibu sangat berarti buat saya. Semoga Allah membalas kebaikan Ibu dengan hal yang lebih indah.”“Aamiin. Saya jalan dulu. Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam.” Ibu itu berlalu setelah kujawab salamnya.Aku
Mataku membola. “Apa? Bukannya Mas Aqsal habis kecelakaan? Kenapa bisa datang?”“Aku nggak tahu, Mbak. Udah, jangan banyak tanya. Ayo bawa yang penting saja.”Apa, sih, maunya mereka?Kuikuti instruksi Nizam. Dompet dan beberapa baju kumasukkan ke dalam tas, lalu kami keluar melalui pintu belakang.Kos-kosan ini bentuknya memanjang. Kamar mandi terletak di dalam. Belakang kos-kosan masih ada sedikit lahan kecil yang biasanya digunakan untuk menjemur baju. Di sampingnya sebelum tembok tinggi, ada jalan kecil. Kami berjalan melewati jalan tersebut. Tiba di kos-kosan paling ujung, belakang rumahnya ditutup asbes. Kami kebingungan bagaimana cara agar sampai di jalan depan.“Gimana ini, Zam?” Aku mulai diserang kebingungan.“Kita ketuk pemilik kos-kosan aja kali, ya. Kita izin buat lewat bentar.”Aku mengangguk dengan idenya. Pintu belakang yang terbuat dari seng itu kuketuk. Namun, tidak ada tanggapan.“Kayaknya nggak ada orang, deh, Mbak.”“Cari jalan lain coba.”Nizam berjalan ke sana k
Mobil itu berhenti. Kaca depan yang terbuka, menampakkan seorang pria.“Kalian mau ke mana?” Pria yang berada di kursi kemudi itu bertanya.“Mau balik ke pondok, Ustaz,” jawab Nizam.“Kenapa jalan kaki? Ayo masuk, barengan.”Nizam melihatku, mungkin sedang meminta pendapat. Aku mengangguk. Tidak apalah menumpang. Lagi pula, rasa nyerinya sudah tidak tertahan lagi.Nizam membuka pintu depan, aku pintu belakang.Mobil melaju. Aku menyenderkan kepala di kursi, lantas terpejam. Dadaku bekas jahitan terasa makin berdenyut sakit.“Ustaz dari mana tadi?” tanya Nizam.“Servis mobil abah. Kebetulan pas mau balik ke pondok. Kamu dari mana mau ke mana?”“Dari kos-kosan mau ke pesantren.”“Oh.”Inilah yang kusuka dari Ustaz Sauqi. Dia tidak terlalu kepo. Bertanya pun hanya sekadar.Dua pria itu mengobrolkan banyak hal tentang pelajaran dan pesantren.Aku bersyukur, ternyata Ustaz Sauqi yang tadi memanggil kami. Entah kebetulan melintas atau mungkin memang sengaja dikirim Allah untuk menolong.“Se
“Zam, kakakmu ada di sini!” teriak Ustaz Sauqi. Aku melotot ke arahnya. Aku sudah lemas, tidak mungkin bisa berlari menghindar lagi. Tidak lama berselang, Nizam datang dengan napas terengah-engah. Remaja yang wajahnya penuh keringat ini mencekal lenganku dan menatapku lekat. “Aku bener-bener nggak bisa ninggalin Mbak sendiri. Maaf, Mbak, maaf. Jangan hukum aku kayak gini.” Mataku memanas. “Mbak minta aku belajar yang rajin, kan? Tapi bagaimana bisa semua itu kulakukan sementara pikiranku terus mengkhawatirkan Mbak dan Mbak pergi dariku dalam keadaan marah.” “Saya tahu, saya telah salah bicara. Timing-nya nggak tepat. Saya juga minta maaf.” Ustaz Sauqi ambil suara. Aku bernapas panjang, lalu menatap Nizam. “Zam, di usiamu ini, kamu memang hanya perlu belajar. Biar Mbak yang pikirkan hal lain. Mbak bisa jaga diri. Kamu tenang saja. Mbak sudah terbiasa, kan, hidup kayak gini? Nyari kontrakan ke sana kemari.” “Iya, itu dulu saat kondisi Mbak sehat dan Mbak pergi dariku tanpa kemar
Orang itu makin mendekat. Aku takut jika diusir dari sini malam-malam begini.“Assalamualaikum. Neng Niha apa kabar?” Umi mendekat. Aku buru-buru menyambut dan menyalaminya dengan kedua tangan secara takzim. Aku terpejam kala mencium tangan lembut ini. Rindu kepada almarhumah ibu tiba-tiba menyergap.“Mi, maaf. Saya merepotkan dengan tinggal di sini,” ujarku setelah melepaskan tangan.Kupersilakan Umi duduk ala kadarnya, di dalam.“Nggak apa-apa, nggak merepotkan. Nizam sudah bicara, izin sama abah, lalu sama abah ditembuskan ke saya.”“Saya janji tidak akan lama, Mi. Setelah membaik, saya akan pergi.”Umi mengangguk sambil tersenyum. Wanita yang masih ayu di usianya yang sudah tidak lagi muda ini menatapku dalam. "Bagaimana kalau diantar pulang pakai mobil ndalem saja? Maksud Umi, kalau di rumah, nanti ada suami yang merawat.”Sekak mat! Yang aku takutkan terbukti. Umi mengusirku secara halus.“Umi tidak bermaksud mengusir, hanya saja siapa tahu kalau dekat sama suami hatinya lebih d
“Berdirilah, Neng Niha. Jangan seperti ini.”Umi memegang lenganku. Aku akhirnya mendongak, menatapnya. Selama Nizam mondok di sini, aku memang sering sowan kepada beliau. Jadi, bisa dibilang kami sudah kenal akrab.“Duduk lagi di samping Umi sini.”Aku menghapus air mata, lalu mengangguk.“Neng Niha, dengar. Ada satu hadis yang menyebutkan bahwa raja iblis meletakkan singgasananya di atas laut. Dia berkata bahwa yang paling dekat dengannya adalah yang paling kuat dan besar fitnahnya. Lantas, datang beberapa pasukannya dan mengatakan sukses melakukan fitnah ini itu dan semua belum membuat sang raja iblis puas. Sampai akhirnya, datang satu iblis yang mengatakan telah mengembuskan fitnah hingga berhasil memisahkan suami istri. Raja iblis itu berkata kurang lebih seperti ini; kamu hebat.”Aku terus menyimak.“Intinya apa? Iblis akan bersorak bahagia kalau ada orang yang bercerai. Dan benar, perceraian itu dibenci Allah, tapi Allah juga tahu keadaan hamba-Nya. Allah itu tidak mempersulit.
Astaga, aku tadi sempat membuka masker ketika berbincang-bincang dengan mamang ketika di kontrakan. Jangan-jangan? Ah, semoga tidak.Sesekali aku menoleh belakang. Mobil putih yang menurutku dari tadi kurasa mengikuti, masih ada.“Pak, saya berhenti di perempatan depan saja!” teriakku pada pengemudi ojek. Sengaja aku mengeraskan suara sebab suaraku beradu dengan angin.“Baik, Neng.”Aku tidak mau mengambil risiko. Jika benar mobil itu orang suruhan Mas Aqsal, aku takut dia akan membuntutiku sampai di pesantren. Aku khawatir dia akan membuat rusuh di sana.Perempatan yang kumaksud, masih jauh dari pesantren. Aku bisa turun dan berhenti sebentar, lalu akan sembunyi. Setelah mobil itu tidak ada, baru aku akan kembali ke pesantren dengan ojek lain. Sekalian nanti mengambil ponsel.Mobil putih itu ikut berhenti saat aku berhenti. Aku masuk ke sebuah toko kelontong sekadar membeli sabun mandi. Aku minta untuk keluar dari pintu samping saja. Beruntung pemilik toko mempersilakan. Lalu, aku me