Untuk pertama kalinya setelah menikah aku bisa belanja sebanyak ini. Ada tiga kantong yang ada di tanganku. Terlihat dengan jelas raut wajah Mas Rudi tak ada binarnya. Mungkin ia kesal, sebab hanya dalam waktu beberapa jam aku menghabiskan enam ratus ribu rupiah. Setengah dari nominal belanja bulananku. Tak cukup sampai di situ, sebelum bener-benar pulang, aku memintanya untuk pergi ke mesin ATM lagi. Aku memintanya uang sebesar satu juta lagi!"Cemberut amat, Mas?! Nggak ikhlas nyenengin istri sekali aja?" celetukku saat melihat Mas Rudi begitu masuk rumah langsung berjalan menuju ke kamar lalu mendudukkan tubuhnya di ranjang. Sejenak lelaki-ku itu membuang pandang ke arah pintu yang tertutup lalu kembali mengarahkan pandangannya padaku. "Kamu itu loh, bisa-bisanya kuras uangku," sungut Mas Rudi dengan nada lirih. "Lah?! Kuras darimana maksud kamu?! Uangmu, itu artinya uangku, Mas. Timbang habis segitu doang kamu marah-marah kayak gini. Kalau kamu nggak ikhlas, ambil lagi aja ua
Akhirnya aku memilih untuk meletakkan kembali ponsel itu, sebab semakin aku mengetahui semua isi chat di ponsel Mas Rudi, semakin menganga rasa sakit hatiku. ****Brak!Brak!Prang!Aku tersentak kaget saat mendengar suara seperti benda sedang dibanting.Aku melirik sekilas ke arah jam yang menggantung di dinding dan ternyata mata ini baru saja terpejam lima belas menit lamanya, hal itu tentu saja membuat kepalaku berdenyut nyeri. Suara benda-benda itu semakin memekakkan gendang telinga, membuatku bergegas bangkit dari pembaringan lalu melangkah menuju ke arah pintu. Akan tetapi, gerakan tanganku yang hampir saja menyentuh gagang pintu langsung terhenti begitu mendengar kalimat dari suara yang amat aku kenali. "Nggak kerja, tapi bilang capek! Capek ngapain, coba? Tidur?!" Kini rasa penasaranku terjawab sudah. Ternyata ibu sengaja membanting setiap benda yang dipegang olehnya. Suara itu kini tak terdengar lagi, seiring suara derap langkah yang semakin menjauh. Setelahnya aku memu
Baru saja aku turun kendaraan roda duaku, terlihat ibu berbisik ke telinga Mas Rudi, tersenyum samar ke arahku lalu ibu memutar tubuh dan berlalu pergi. Aku melangkah dengan menenteng buah yang kubeli tadi. Begitu aku berada di depan Mas Rudi, bergegas kuraih tangan itu lalu kucium punggung tanganya seperti biasanya. Lebih tepatnya seperti seseorang yang tak merasa bersalah sedikit pun. "Masuk!" titah Mas Rudi dengan suara datar, setelahnya ia melangkah terlebih dahulu, akan tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar jawaban yang keluar dari mulutku."iya, Mas. Ini aku mau masuk kok tanpa disuruh." Mas rudi menoleh, menatapku dengan tajam. Aku hanya nyengir kuda. Menunjukkan barisan gigiku, setelahnya ia kembali melenggang pergi begitu saja. "Kata ibu kamu habis loundry pakaian?"Aku melirik sekilas ke arah ibu, bibir itu tersenyum samar sembari menatapku dengan sorot mata mengejek. "Iya, Mas. Ibu sendiri mengizinkan kok," jawabku setenang mungkin. Terdengar Mas Rudi menghembus
Tok!Tok!Tok!Suara ketukan pintu membuatku tubuhku menggeliat. Pelan aku mengerjapkan kedua kelopak mataku. Saat mata ini terbuka, wajah Mas Rudi yang masih tertidur pulas langsung tertangkap di kedua bola mataku. Sejenak aku hanya menatap wajah suamiku, setelahnya aku langsung memalingkan wajahku. Aku menghembuskan napas berat, setelahnya aku menyingkap selimut yang masih bertengger di atas tubuhku hingga sebatas bahu. "Nika, bangun! Udah jam setengah enam itu!" ucap Ibu mertua yang terdengar jelas di kedua gendang telingaku. Tanpa menjawab terlebih dahulu, aku langsung beringsut dari ranjang lalu melangkah menuju ke arah pintu. "Udah jam berapa ini?" Aku menoleh ke arah jam yang terpasang di dinding. "Udah jam setengah enam itu, kok belum masak nasi? Itu, ibu udah belanja sayur." Aku hanya mengangguk, setelahnya aku langsung berlalu pergi meninggalkan ibu yang masih diam berdiri di tempatnya. Entah bagaimana raut wajah itu saat ini, aku tak tahu. Aku melangkah menuju ke kam
Suara adzan berkumandang dari mushala yang tak jauh dari tempat tinggalku. Cepat kuletakkan benda pipih itu yang sedari tadi ada di genggamanku lalu aku beringsut dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan kewajibanku sebagai seorang muslim, begitu selesai aku kembali melangkah menuju dapur sebab rasa lapar mulai terasa membelit area perutku. Aku mengambil semangkok bubur pemberian Mbak Weni lalu kubawa menuju ke arah meja makan. Aku mulai menyuapkan sesendok demi sendok bubur yang terasa manis itu ke dalam mulutku. "Laper juga kan?" Suapanku terhenti saat mendengar ucapan ibu. Terlihat ia melangkah mendekatiku lalu mengambil piring dan memindahkan nasi, sayur dan juga lauk ke dalam piringnya itu. Aku tak menjawab ucapannya, bahkan sekedar menatapnya pun enggan untuk kulakukan. Tak sengaja tertangkap pada iris hitamku saat Ibu menyantap makanan itu dengan begitu lahapnya. Tak ada perbincangan sama sekali di a
Aku mendengarkan kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir Mbak Weni dengan begitu seksama. Sengaja aku tak memotong ucapannya, hanya sekedar memberikan ruang untuk Mbak Weni menyelesaikan ucapannya. Begitu kalimat kudengar, aku mulai memikirkan dan menimbang-nimbang dengan pikiran yang sedikit tenang, sebab beban yang sejak kemarin menghimpit dada ini sedikit menghilang. Mungkin karena aku telah membagikannya kepala Mbak Weni. "Jadi Nika harus urus diri sendiri, sedangkan abai dengan suami dan mertua ya, Mbak?" Aku memastikan kembali hasil kesimpulan yang kuambil dari kalimat panjang dan lebar yang diutarakan oleh Mbak Weni. "Tepat sekali ...!" Mbak Weni mengacungkan jempolnya ke arahku. "Biarlah suamimu urus dirinya sendiri, biar dia tau betapa lelahnya mengurus rumah itu. Belum lagi mikirin biaya hidup yang semakin mahal. Biar dia tau, uang sejuta itu hanya bisa dibelikan dua puluh lima kilo beras, dua kilo cabe, dan hanya printilan-printilan bumbu dapur lainnya!" ucap Mbak W
"Loh, ibu mau kemana?" Suara Mas Rudi yang duduk di teras rumah membuatku menolehkan kepala. Dapat kulihat saat ini ibu tengah berdiri di teras rumah sembari menenteng tas sandang miliknya. Mataku memicing hingga membuat kedua alisku saling bertautan. "Apa pedulimu?!" ucap Ibu lirih sembari menatap ke arah Mas Rudi yang sedang berusaha bangkit dari tempat duduknya setelah ia meletakkan ponsel di atas meja. Terlihat lelaki itu melangkah mendekat ke arah sang ibu. "Rudi tanya, ibu mau kemana? Kenapa bawa tas kayak gini?" Mas Rudi mengambil tas milik ibu, diturunkannya ke bawah, dengan duduk berjongkok Mas Rudi membuka resleting tas tersebut. Dan sepersekian detik kemudian, Mas Rudi mengeluarkan helaian baju milik Ibu. "Loh, Bu. Apa-apaan ini? Kenapa ibu bawa baju sebanyak ini?!" pekik Mas Rudi dengan kepala mendongak menatap ke arah ibu. Ibu hanya melengos, bahkan menatap atau sekedar melirik sang anak pun enggan. Aku hanya bisa mencebikkan bibir, menikmati pertujukan serial dram
"Nika! Ambilkan air!" "Rudi nggak sengaja, Bu ...." Ibu menepis tangan Mas Rudi yang memegang pundaknya. Gurat kekesalan terpancar dengan jelas pada wajah itu.Apa perdebatan itu belum usai?Ah, entahlah!"Ambilkan air, Nik!" pekik Ibu lagi. Tak bisa lagi kuartikan mimik wajah perempuan paruh baya itu. Aku hanya menganggukkan kepalaku, setelahnya aku melangkah menuju dapur. Langkahku tertuju ke arah dimana rak piring tersedia, kuambil gelas yang menggantung dan kubawa menuju meja makan. Kutuang segelas air lalu aku kembali melangkah menuju ke kamar ibu. "Ini, Bu!" Aku mengulurkan gelas yang terisi penuh oleh air putih. Ibu mendelik ke arahku, tentu hal itu membuatku mengerutkan kening. Ia hanya menatap gelas yang kuulurkan dan wajahku secara bergantian. "Kamu mau ngejek ibu?! Ambilkan di baskom!" pekik Ibu dengan kedua bola melotot. Sesekali tangannya mengucek area hidung. Aku menggaruk kepala yang terasa tak gatal, setelahnya kubawa kembali menuju dapur dan kuganti dengan seba
"Ibu senang sekali melihat hubungan kalian kembali bersatu. Nika, ibu ucapkan terima kasih banyak atas kesempatan yang kamu sudah kamu berikan untuk Rudi," ucap Darmi setelah terjadi perbincangan di antara mereka. Ya, Nika telah menceritakan semuanya pada mertua dan juga iparnya. Rasa haru dan bahagia menyelimuti saat ini. "Rud, jangan pernah membuat kesalahan yang sama. Andai itu terjadi, maka Mbak sendiri yang akan mengantar Nika ke pengadilan agama untuk menggugat cerai kami." Ucapan Reni bernada ancaman. "Ish! Sebenarnya adik Mbak itu aku apa Nika sih? Kok dari dulu berpihak sama Nika dibanding Rudi. Lah itu malah mau bantu Nika gugat cerai aku." Rudi bersungut-sungut. "Mbak berpihak pada yang benar lah. Enak aja!" Ucapan Reni disambut lengkungan senyum oleh Nika. Perbincangan itu terasa begitu hangat, sudah selayaknya seperti sebuah keluarga yang bahagia. Hingga akhirnya Nika melayangkan satu pertanyaan pada sang Mertua. "Ibu, kita balik ke rumah Mas Rudi ya. Kita tinggal ba
Kali ini lengkungan senyum tak bisa sirna dari bibir lelaki itu. Entahlah, dia sangatlah bahagia dengan kesempatan kedua yang diberikan oleh sang istri. "Terima kasih, Nik. Mas janji, tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang kamu berikan. Terima kasih, terima kasih banyak ...." Rudi berucap dengan air mata yang terus bergulir. Air mata yang mengisyaratkan suatu kebahagiaan yang luar biasa. Nika mengangguk, ada yang menghentak di dalam batinnya saat melihat respon sang suami yang seperti ini. Ya, ini adalah kali pertama Nika melihat Rudi yang bersimbah air mata. Nika mengulas senyum, setelahnya Rudi meraih tangan kanan Nika lalu dibawanya mendekat ke bibir. Rudi mengecup beberapa kali punggung tangan itu. "Sudah, Mas. Jangan begitu, malu dilihat orang ...."Rudi mengusap wajahnya dengan kasar. Setelahnya ia kembali tersenyum. "Kamu dan Kevin ikut Mas pulang, ya. Rumah terasa begitu tak nyaman dan hampa setelah kepergian kalian." Nika mengangguk."Tapi besok pagi saja ya, Mas. Ka
"Tak perlu risau, Nduk ..., pintu rumah ini akan selalu terbuka untukmu. Bahkan, Bapak yang akan menjemputmu jika kamu menginginkannya ...." Ada yang bergetar di dalam sudut hatinya saat mendengar kalimat itu keluar dari bibir Sang Ayah. Ada suatu harapan yang tersorot dari kedua manik hitam itu. Ya, bagaimana pun juga Nika sadar jika setiap orangtua menginginkan kelanggengan dalam rumah tangga yang dibina oleh sang anak. "Kamu mau mendengarkan alasan dari Bapak Nduk kenapa Bapak memintamu memberikan kesempatan untuk Suamimu?" Nika mengangguk dengan patah-patah. Satu patah kata pun tak keluar dari bibir itu. Entahlah, lidah Nika terasa begitu kelu. Hingga tak mampu untuk berucap sedikit pun. "Bapak tau, kamu tidak akan seperti ini jika suamimu tidak keterlaluan. Bapak lihat, dia begitu menyesali sikapnya selama ini, Nduk. Bapak yakin, suamimu pasti akan berubah ....""Tapi, Pak. Sebelumnya Nika sudah memberikannya pelajaran, Pak. Dengan tidak mau mengurus keperluannya. Nika piki
"Bapak, Ibu, Rudi pamit dulu. Rudi nitip Nika dan Kevin di sini, ya, Bu, Pak. Maaf, jika Rudi masih saja merepotkan Bapak dan Ibu ...." Rudi mengucapkan kalimat itu dengan rasa sesak yang luar biasa. Tertangkap dengan jelas sebuah keseriusan pada sorot mata yang terpancar pada kedua netra Rudi. Bahkan, kedua kelopak mata lelaki itu terlihat berkaca-kaca. "Tenang saja. Tanpa kamu bilang pun Bapak dan Ibu akan menjaga Nika dan juga Kevin dengan baik.""Rudi janji, Pak. Rudi akan membawa kembali Nika dan juga Kevin. Rudi minta restu sama Bapak dan Ibu ...." Suara Rudi kali ini terdengar bergetar, seiring rasa gemuruh di dalam dada yang begitu ia rasa. "Boleh Bapak bertanya sesuatu?" Rudi mengangguk. "Duduklah ..., sebentar saja," titah Gunawan yang direspon gerakan anggukan kepala oleh Sang Menantu. Rudi pun lantas menuruti perintah sang bapak mertua. Hingga akhirnya Rudi dam Gunawan duduk bersebelahan. "Sebenarnya ada masalah apa di antara kalian? Sejauh ini, Nika belum mencerita
[Kepergian kalian bukan hanya menjadi cobaan untukku. Melainkan suatu hukuman yang sangat lah menyiksaku. Tolong ... berikan aku kesempatan untuk menjadi suami dan ayah yang baik untuk kalian. Aku berjanji, setelah ini, akan kulakukan kewajibanku dengan sebagai mana mestinya. Aku sadar, aku salah. Oleh sebab itu, berikan aku kesempatan satu kali lagi. Sungguh ... aku benar-benar menyesal. Nik, tolong terima uang pemberianku ini sebagai bentuk nafkah untuk kalian. Meskipun aku tau, tanpa aku, kalian bisa hidup jauh lebih bahagia dan bisa mencukupi semuanya ....Tertanda, Rudi ]Nika membaca dengan seksama setiap coretan tangan yang ditulis oleh suaminya. Ada yang bergetar di dalam hatinya. Akan tetapi, seketika otaknya kembali bekerja. "Sampai kapanpun, orang pelit tidak akan pernah berubah." Nika membatin, kembali meyakinkan dirinya sendiri. Setelah secarik surat itu ia baca, bergegas ia melipat kembali kertas tersebut. Setelahnya, ia memasukkan kembali ke dalam amplop itu bers
"Bapak? Bapak kok ada di sini?" Bergegas Rudi meraih tangan kanan lelaki yang wajahnya telah dipenuhi oleh keriput itu. Lalu, diciumnya punggung tangan sang mertua dengan takdzim."Iya, baru saja tiba. Mau jemput Nika ...."Deg!Seketika jantung Rudi seperti terpacu lebih kuat lagi. "Jemput Nika?" Rudi berucap hanya dengan gerakan bibir, tanpa suara. "Ma–maksud Bapak jemput mau dibawa kemana, Pak? Rudi ke sini mau jemput Nika dan Anak Rudi juga ...." Gunawan menghela napas berat. "Bicaralah dulu dengan Nika, kalau ada masalah, bicarakan dulu dengan baik-baik dan kepala dingin ...," titah sang bapak mertua yang dibalas anggukan oleh Rudi. Gunawan menggeser tubuhnya, memberikan ruang bagi Rudi untuk melangkah masuk ke dalam rumah. "Namanya rumah tangga pasti ada permasalahannya. Semoga anak kita menemukan solusi yang terbaik ....""Aamiin ...," sahut Darmi dan Reni secara serempak. Kali ini Darmi bernapas lega, sebab memiliki besan yang memiliki pemikiran yang bijak. Reni dan D
Tangan sang ibu terulur lalu menyentuh tepat di puncak kepala Rudi dan setelahnya berucap,"ibu ... merestuimu ...."Ada yang berdesir di dalam batin lelaki itu. Sebab, ini adalah pertama kalinya sang ibu memberikan restu untuk hubungannya dengan Nika. Memang, sebelum kepergian mereka dari rumah, sang ibu sudah menampakkan sikap positif pada Nika. Bahkan, tak jarang pula sang ibu lebih membela Nika dibandingkan Rudi yang notabenenya adalah anak kandungnya. Akan tetapi, baru kali inilah sang ibu secara terang-terangan memberikan restu untuknya. Kedua netra Rudi terlihat berkaca-kaca. Secercah harapan muncul di dalam benaknya. Semoga Nika berkenan memaafkannya. Semoga Nika sudi kembali dengannya. Dan semoga saja Nika tak berat kembali membangun mahligai rumah tangga dengannya. Semoga, semoga dan semoga. Sang ibu lantas menurunkan tangannya dari puncak kepala sang putra. "Pergilah dan temui anak istrimu," ucap Sang ibu dengan nada suara serak. Mendengar perintah sang Ibu, Rudi
"Kumohon, Mbak ... pertemukan aku dengan anak istriku, Mbak ...." Dengan kepala yang menunduk dan tubuh terguncang, Rudi bersuara. Reni membeku, ia sama sekali tak memberikan respon pada tangisan adik semata wayangnya itu. Sesaat, Reni dan Darmi saling berpandangan. Saling melempar pertanyaan melalui sorot mata itu. Darmi mengedikkan bahunya, seolah-olah ia tau pertanyaan apa yang dilontarkan oleh anak perempuannya dari sorot matanya. Rudi mendongak, wajah itu digenangi oleh air mata. Ada yang berdesir di dalam hati Reni saat melihat sang adik menangis untuk pertama kalinya. Sorot mata yang begitu sendu, membuat wajah itu semakin terlihat memelas. "Mbak, kumohon ..., katakan dimana anak dan istriku ...," hiba Rudi. Reni menghembuskan napas kasar. Setelahnya ia membantu sang adik untuk bangun dari persimpuhannya. "Duduklah dulu, biar kubikinkan minuman sebentar," titah Reni. "Nggak usah, Mbak. Rudi nggak haus. Mbak katakan saja dimana Nika dan Kevin, biar aku bisa segera bert
Langkah Darmi terhenti saat ia menyadari siapa sosok itu. Siapa pemilik kendaraan roda dua yang masuk secara bersamaan dengan dirinya itu. Rudi. Ya, pengendara motor yang sampai di rumah anak perempuannya adalah putranya sendiri. Sungguh, Darmi merasa sedikit terkejut atas kedatangan lelaki yang dulu menjadi kebanggaannya itu. Setelah mesin motor itu sudah tak terdengar lagi, bergegas Rudi melepaskan helm yang bertengger di kepalanya. Bergegas lelaki itu turun lalu menatap sejenak ke arah wanita paruh baya yang berdiam membeku tak jauh dari keberadaannya. "Ibu ...."Rudi melangkah mendekat ke arah sang ibu, setelahnya ia langsung meraih tangan sang ibu lalu mencium punggung tangan itu. "Bagaimana kabar ibu?" tanya Rudi membuat tubuh Darmi tersentak kaget. "Kamu ngapain di sini, Rud?" tanya Darmi sengaja tak menjawab pertanyaan anak lelakinya itu. "Rudi mau jemput anak dan istri Rudi, Bu. Rudi tau, Nika ada di sini." "Wah, Ibu. Dari tadi ditungguin nggak datang-datang." Reni