Tok!Tok!Tok!Suara ketukan pintu membuatku tubuhku menggeliat. Pelan aku mengerjapkan kedua kelopak mataku. Saat mata ini terbuka, wajah Mas Rudi yang masih tertidur pulas langsung tertangkap di kedua bola mataku. Sejenak aku hanya menatap wajah suamiku, setelahnya aku langsung memalingkan wajahku. Aku menghembuskan napas berat, setelahnya aku menyingkap selimut yang masih bertengger di atas tubuhku hingga sebatas bahu. "Nika, bangun! Udah jam setengah enam itu!" ucap Ibu mertua yang terdengar jelas di kedua gendang telingaku. Tanpa menjawab terlebih dahulu, aku langsung beringsut dari ranjang lalu melangkah menuju ke arah pintu. "Udah jam berapa ini?" Aku menoleh ke arah jam yang terpasang di dinding. "Udah jam setengah enam itu, kok belum masak nasi? Itu, ibu udah belanja sayur." Aku hanya mengangguk, setelahnya aku langsung berlalu pergi meninggalkan ibu yang masih diam berdiri di tempatnya. Entah bagaimana raut wajah itu saat ini, aku tak tahu. Aku melangkah menuju ke kam
Suara adzan berkumandang dari mushala yang tak jauh dari tempat tinggalku. Cepat kuletakkan benda pipih itu yang sedari tadi ada di genggamanku lalu aku beringsut dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan kewajibanku sebagai seorang muslim, begitu selesai aku kembali melangkah menuju dapur sebab rasa lapar mulai terasa membelit area perutku. Aku mengambil semangkok bubur pemberian Mbak Weni lalu kubawa menuju ke arah meja makan. Aku mulai menyuapkan sesendok demi sendok bubur yang terasa manis itu ke dalam mulutku. "Laper juga kan?" Suapanku terhenti saat mendengar ucapan ibu. Terlihat ia melangkah mendekatiku lalu mengambil piring dan memindahkan nasi, sayur dan juga lauk ke dalam piringnya itu. Aku tak menjawab ucapannya, bahkan sekedar menatapnya pun enggan untuk kulakukan. Tak sengaja tertangkap pada iris hitamku saat Ibu menyantap makanan itu dengan begitu lahapnya. Tak ada perbincangan sama sekali di a
Aku mendengarkan kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir Mbak Weni dengan begitu seksama. Sengaja aku tak memotong ucapannya, hanya sekedar memberikan ruang untuk Mbak Weni menyelesaikan ucapannya. Begitu kalimat kudengar, aku mulai memikirkan dan menimbang-nimbang dengan pikiran yang sedikit tenang, sebab beban yang sejak kemarin menghimpit dada ini sedikit menghilang. Mungkin karena aku telah membagikannya kepala Mbak Weni. "Jadi Nika harus urus diri sendiri, sedangkan abai dengan suami dan mertua ya, Mbak?" Aku memastikan kembali hasil kesimpulan yang kuambil dari kalimat panjang dan lebar yang diutarakan oleh Mbak Weni. "Tepat sekali ...!" Mbak Weni mengacungkan jempolnya ke arahku. "Biarlah suamimu urus dirinya sendiri, biar dia tau betapa lelahnya mengurus rumah itu. Belum lagi mikirin biaya hidup yang semakin mahal. Biar dia tau, uang sejuta itu hanya bisa dibelikan dua puluh lima kilo beras, dua kilo cabe, dan hanya printilan-printilan bumbu dapur lainnya!" ucap Mbak W
"Loh, ibu mau kemana?" Suara Mas Rudi yang duduk di teras rumah membuatku menolehkan kepala. Dapat kulihat saat ini ibu tengah berdiri di teras rumah sembari menenteng tas sandang miliknya. Mataku memicing hingga membuat kedua alisku saling bertautan. "Apa pedulimu?!" ucap Ibu lirih sembari menatap ke arah Mas Rudi yang sedang berusaha bangkit dari tempat duduknya setelah ia meletakkan ponsel di atas meja. Terlihat lelaki itu melangkah mendekat ke arah sang ibu. "Rudi tanya, ibu mau kemana? Kenapa bawa tas kayak gini?" Mas Rudi mengambil tas milik ibu, diturunkannya ke bawah, dengan duduk berjongkok Mas Rudi membuka resleting tas tersebut. Dan sepersekian detik kemudian, Mas Rudi mengeluarkan helaian baju milik Ibu. "Loh, Bu. Apa-apaan ini? Kenapa ibu bawa baju sebanyak ini?!" pekik Mas Rudi dengan kepala mendongak menatap ke arah ibu. Ibu hanya melengos, bahkan menatap atau sekedar melirik sang anak pun enggan. Aku hanya bisa mencebikkan bibir, menikmati pertujukan serial dram
"Nika! Ambilkan air!" "Rudi nggak sengaja, Bu ...." Ibu menepis tangan Mas Rudi yang memegang pundaknya. Gurat kekesalan terpancar dengan jelas pada wajah itu.Apa perdebatan itu belum usai?Ah, entahlah!"Ambilkan air, Nik!" pekik Ibu lagi. Tak bisa lagi kuartikan mimik wajah perempuan paruh baya itu. Aku hanya menganggukkan kepalaku, setelahnya aku melangkah menuju dapur. Langkahku tertuju ke arah dimana rak piring tersedia, kuambil gelas yang menggantung dan kubawa menuju meja makan. Kutuang segelas air lalu aku kembali melangkah menuju ke kamar ibu. "Ini, Bu!" Aku mengulurkan gelas yang terisi penuh oleh air putih. Ibu mendelik ke arahku, tentu hal itu membuatku mengerutkan kening. Ia hanya menatap gelas yang kuulurkan dan wajahku secara bergantian. "Kamu mau ngejek ibu?! Ambilkan di baskom!" pekik Ibu dengan kedua bola melotot. Sesekali tangannya mengucek area hidung. Aku menggaruk kepala yang terasa tak gatal, setelahnya kubawa kembali menuju dapur dan kuganti dengan seba
Pov Rudi*Tok!Tok!"Rudi!"Aku terlonjak kaget begitu mendengar suara ketukan pintu yang begitu kencang. Apalagi ditambah suara ibu tak kalah nyaringnya. Tok!Tok!"Bangun, Rud!" Aku mengusap wajahku dengan kedua telapak tangan, bergegas aku bangkit dari tempat tidurku dan beringsut dari ranjang setelahnya aku melangkah gontai menuju ke arah pintu. "Ada apa sih, Bu?" tanyaku masih dengan nada suara serak. Sesekali aku masih mengucek area mataku. Sebab rasa kantuk masih begitu terasa. "Lihat tuh, udah jam tujuh! Kamu nggak kerja?" tanya Ibu sembari menunjuk ke arah jam yang menggantung di dinding dengan gerakan kepala. Aku menoleh kepala ke arah jam tersebut, dan benar saja, jarum jam telah menunjukkan pukul tujuh lebih lima menit. "Yaudah, Bu. Rudi mandi dulu," ucapku. Bergegas aku meraih handuk yang menggantung di tempatnya, setelahnya aku melangkah menuju ke arah kamar mandi. Biasanya Nika akan membangunkanku lebih pagi, tapi tidak kali ini. Mungkin ia terlalu sibuk berkuta
Pov Rudi*Dua bulan telah berlalu. Selama dua bulan ini, Nika benar-benar abai soal kewajibannya sebagai seorang istri. Ia sama sekali tak mau menyentuh pakaian kotorku, ia pun juga tak pernah lagi membantu pekerjaan ibu di dapur. Setiap hari, Nika hanya sudi untuk menyapu. Itu saja. Alasannya simpel, katanya sebagai ganti atas dirinya tinggal di rumah ini. Selama ini, ibu lah yang mengerjakan tugas di dapur. Memang, ibu mengambil alih dalam hal memasak dan belanja, akan tetapi, Ibu juga tak mau lagi mencuci bajuku. Katanya sudah terlalu lelah. Alhasil setiap tiga hari sekali, aku membawa pakaian kotorku dan milik ibu ke loundry. Mulai dicuci dan disetrika sekalian. Dua bulan ini aku benar-benar dibuat kalang kabut. Bagaimana tidak, setiap hari ibu meminta uang belanja seratus ribu. Itu hanya untuk keperluan dapur saja. Soal Loundry, itu nggak masuk dalam anggaran tersebut. Jadi aku harus mengeluarkan uang lagi untuk hal yang satu itu. Tiap hari aku harus menahan sesak luar bia
Kubasuh peluh yang membanjiri area keningku. Rasa lelah begitu terasa, ingin sekali aku lekas beristirahat dan juga membaringkan tubuh, akan tetapi aku harus mengendarai terlebih dahulu kendaraan roda duaku. Di sepanjang perjalanan, beberapa kali punggung tanganku menutup mulut saat menguap. Rasa kantuk benar-benar mendera. Akan tetapi, tiba-tiba ada yang terasa aneh dalam lajunya kendaraanku. Seketika pikiranku merasa tak enak. Bergegas kutepikan motor matic lalu kumatikan mesinnya. Aku melongokkan kepalaku ke arah ban depan, dan benar saja, dugaanku tak salah lagi. Ban motor bagian depan ternyata kempes. Aku mendengkus kesal. Ingin sekali kumaki karena ketidaktahu diriannya motor yang kukendarai. Sudah tau si pemilim capek, malah bikin ulah. Huh!Hembusan kasar kembali keluar dari indra penciumanku. Aku turun dari motor, setelahnya aku berjalan kaki sembari menuntun kendaraan roda duaku ini. Andai aku kaya, sudah kutinggalkan motor ini lalu aku langsung beli lagi. Belasan me