Pov Rudi*Dua bulan telah berlalu. Selama dua bulan ini, Nika benar-benar abai soal kewajibannya sebagai seorang istri. Ia sama sekali tak mau menyentuh pakaian kotorku, ia pun juga tak pernah lagi membantu pekerjaan ibu di dapur. Setiap hari, Nika hanya sudi untuk menyapu. Itu saja. Alasannya simpel, katanya sebagai ganti atas dirinya tinggal di rumah ini. Selama ini, ibu lah yang mengerjakan tugas di dapur. Memang, ibu mengambil alih dalam hal memasak dan belanja, akan tetapi, Ibu juga tak mau lagi mencuci bajuku. Katanya sudah terlalu lelah. Alhasil setiap tiga hari sekali, aku membawa pakaian kotorku dan milik ibu ke loundry. Mulai dicuci dan disetrika sekalian. Dua bulan ini aku benar-benar dibuat kalang kabut. Bagaimana tidak, setiap hari ibu meminta uang belanja seratus ribu. Itu hanya untuk keperluan dapur saja. Soal Loundry, itu nggak masuk dalam anggaran tersebut. Jadi aku harus mengeluarkan uang lagi untuk hal yang satu itu. Tiap hari aku harus menahan sesak luar bia
Kubasuh peluh yang membanjiri area keningku. Rasa lelah begitu terasa, ingin sekali aku lekas beristirahat dan juga membaringkan tubuh, akan tetapi aku harus mengendarai terlebih dahulu kendaraan roda duaku. Di sepanjang perjalanan, beberapa kali punggung tanganku menutup mulut saat menguap. Rasa kantuk benar-benar mendera. Akan tetapi, tiba-tiba ada yang terasa aneh dalam lajunya kendaraanku. Seketika pikiranku merasa tak enak. Bergegas kutepikan motor matic lalu kumatikan mesinnya. Aku melongokkan kepalaku ke arah ban depan, dan benar saja, dugaanku tak salah lagi. Ban motor bagian depan ternyata kempes. Aku mendengkus kesal. Ingin sekali kumaki karena ketidaktahu diriannya motor yang kukendarai. Sudah tau si pemilim capek, malah bikin ulah. Huh!Hembusan kasar kembali keluar dari indra penciumanku. Aku turun dari motor, setelahnya aku berjalan kaki sembari menuntun kendaraan roda duaku ini. Andai aku kaya, sudah kutinggalkan motor ini lalu aku langsung beli lagi. Belasan me
"Aaaa! Mas Rudi! Tolong ...!" "Nika?!" Bergegas kumasukkan benda pipih itu ke dalam saku celanaku, secepatnya aku memutar tubuh lalu .... Brugh!"Ah! Sialan ini pintu!" Brak!Aku menggebrak pintu yang menghalangiku yang ingin berlari. Cepat kuusap wajahku yang terpentok pintu kamar yang tertutup. Bagaimana bisa aku lupa jika aku tadi berdiri di depan pintu yang tertutup?"Tolong ...." Suara lirih itu seketika membuatku kembali tersadar. Cepat kutekan kuat-kuat gagang pintu dan kudorong hingga suara dentuman beradunya daun pintu dengan tembok. Begitu pintu terbuka, sepasang manik hitamku dapat melihat Nika yang terduduk di atas lantai tepat di samping ranjang. "Astaghfirullah, Nika! Kamu kenapa?!" Cepat aku berlari menuju ke arah Nika yang terkulai di atas lantai. Bergegas kuraih tubuh Nika lalu kubaringkan di atas ranjang dengan perlahan. Wajahnya terlihat begitu pucat pasi. Dari bibirnya terdengar suara merintih, seperti menahan rasa sakit yang luar biasa. "Sakit ...," lirih
Pov Nika**Aku mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari bibir suamiku. Aku bisa menarik benang merah. Apa yang mereka bicarakan adalah seputar keuntungan dari bisnis yang mereka bangun saat ini, meskipun aku tak bisa mendengar suara sosok dari seberang sana. Bergegas aku membalikkan tubuhku setelah menutup pintu rapat-rapat begitu Mas Rudi mengakhiri panggilannya, lalu berlari kecil menuju pembaringan agar tak menimbulkan suara derap langkah. Saat langkah ini hampir saja sampai, tiba-tiba ....Brugh!Kakiku terpeleset hingga membuat tubuhku terjatuh ke lantai. Rasa nyeri yang semula terasa pada area bokongku kini mulai menyebar ke arah perutku. Nyeri yang amat luar biasa, hingga tak bisa membuatku bangkit dari lantai. Aku hanya bisa meringis menahan sakit yang menyerang. Sesekali aku menggigit bibir bagian bawahku agar tak mengeluarkan teriakan. Akan tetapi, tiba-tiba aku merasa area sensitifku basah. Aku memandang ke arah sana sembari tangan mengelus perut yang membuncit.
"Kamu nggak ada BPJS. Usahakan lahiran normal, ya. Biaya operasi sangatlah mahal."Aku tertegun mendengar kalimat itu keluar dari mulut suamiku. Bagaimana bisa ia mengucapkannya sedangkan istrinya sedang menikmati setiap rasa mulas, sakit dan nyeri di bagian perut hingga pinggangku? Aku mengerjapkan kedua mataku berkali-kali karena sempat membelalak sesaat, setelahnya aku menelan saliva dengan susah payah. Rasa kesal yang sempat terkikis sedikit saja, kini kian bertambah berkali-kali lipatnya. Oh, Tuhan, berikan aku kekuatan agar aku bisa menerjang tubuh lelaki yang duduk di samping ranjangku saat ini. Astaghfirullah!Astaghfirullah!Andai aku memiliki ilmu menyakiti hanya dengan kedipan mata, andai membunuh tidak berdosa, pasti akan kulakukan saat ini juga. "Nik ...."Bibirku meringis begitu rasa nyeri semakin intens terasa. Seperti ada sebuah benda tajam yang menghujam tepat di perutku hingga tembus pinggangku. "Mas, panggilkan dokter!" ucapku menahan sakit luar biasa. "Kamu
Dua orang petugas mendorong brankar yang kutempati saat ini. Tak bisa dipungkiri, jantung seperti berdegup lebih kencang. Sempat aku berpamitan pada ibu mertua, tertangkap pada sepasang manik mataku saat kedua netra itu berkaca-kaca. Masih kurasa genggaman tangannya begitu melepasku. Sungguh, ada rasa haru yang kurasa. Setelah sekian lama, ternyata Ibu mertua kini menunjukkan rasa sayangnya. Entah apa penyebab pastinya. Tapi aku yakin, semua karena bayi yang aku kandung dan sebentar lagi akan lahir ke dunia. Di sepanjang perjalanan menuju ruang operasi, aku hanya mampu memanjatkan doa pada Sang Pemilik Kehidupan. Semoga proses melahirkanku diberikan kelancaran. Sehat, selamat untuk aku dan juga bayiku. Seorang perawat yang membukakan pintu, rasa dingin seketika menjalar ke tubuhku kala seorang petugas kesehatan mendorong ranjangku memasuki ruangan yang di bagian depannya bertuliskan "Ruang Operasi"Hening. Suasananya terasa sangat hening. Hanya suara roda dari brankar yang kute
"Assalamualaikum ...," terdengar suara salam dari arah pintu yang terbuka separoh, hingga terlihatlah sosok yang yang selalu menguatkan dan juga mendukungku. Mbak Reni. Ya, dia adalah kakak iparku. Mbak Reni datang bersama suaminya dan juga dua anaknya. "Waalaikumsalam," jawabku dan ibu secara serempak. Mbak Reni bersama keluarga kecilnya melangkah mendekat ke arahku, setelahnya ia meletakkan buah tangan di atas nakas yang ada di samping ranjangku. "Repot-repot banget, Mbak." "Ah, nggak repot. Bagaimana keadaannya, lancar kan?" Mbak Reni bergegas meraih tangan ibu lalu diciumnya punggung tangan itu dan diikuti oleh suami dan juga dua anaknya. Dua keponakanku juga tak lupa meraih tangan lalu mencium punggung tanganku. Aku mengulum senyum. "Alhamdulillah, lancar, Mbak. Tapi operasi caesar," ucapku. "Memangnya kenapa kalau operasi caesar? Ada masalah? Enggak kan? Mau operasi caesar, mau lahiran normal, itu sama saja, Nika," ucap Mbak Nika sembari mengelus pipi bayi mungilku.
"Mas berangkat kerja dulu, ya. Kamu yang baik-baik di sini ditemani sama ibu." Mas Rudi mengulurkan tangannya ke arahku. Setelah kuraih, bergegas kucium punggung tangannya dengan takdzim.Begitu selesai berpamitan denganku dan juga Ibu, ia bergegas melangkah keluar. Ya, Mas Rudi tak mendapatkan cuti. Katanya sudah aturan dari pabrik, jika ia tak boleh mengambil libur secara mendadak. Katanya harus beberapa hari sebelumnya sudah izin terlebih dahulu. Jadi, aku ditemani oleh Ibu. Aku tak menyangka, perempuan yang dulu bersikap begitu ketus, kini telaten sekali merawatku. Menyiapkan obat yang harus kuminum dan membantuku untuk melatihku bergerak. Di saat bayiku menangis, ibu mertuaku dengan gesit langsung mengambil dan menggendong bayiku. "Bu ...," panggilku yang membuat ibu menyuap makanan ke dalam mulutnya terhenti lalu menolehkan kepala ke arahku. "Hm ...." Aku seperti ragu untuk mengatakannya. Entah ini hal yang pantas atau enggak untuk kutanyakan. Akan tetapi, jika tak kutanya