Dua orang petugas mendorong brankar yang kutempati saat ini. Tak bisa dipungkiri, jantung seperti berdegup lebih kencang. Sempat aku berpamitan pada ibu mertua, tertangkap pada sepasang manik mataku saat kedua netra itu berkaca-kaca. Masih kurasa genggaman tangannya begitu melepasku. Sungguh, ada rasa haru yang kurasa. Setelah sekian lama, ternyata Ibu mertua kini menunjukkan rasa sayangnya. Entah apa penyebab pastinya. Tapi aku yakin, semua karena bayi yang aku kandung dan sebentar lagi akan lahir ke dunia. Di sepanjang perjalanan menuju ruang operasi, aku hanya mampu memanjatkan doa pada Sang Pemilik Kehidupan. Semoga proses melahirkanku diberikan kelancaran. Sehat, selamat untuk aku dan juga bayiku. Seorang perawat yang membukakan pintu, rasa dingin seketika menjalar ke tubuhku kala seorang petugas kesehatan mendorong ranjangku memasuki ruangan yang di bagian depannya bertuliskan "Ruang Operasi"Hening. Suasananya terasa sangat hening. Hanya suara roda dari brankar yang kute
"Assalamualaikum ...," terdengar suara salam dari arah pintu yang terbuka separoh, hingga terlihatlah sosok yang yang selalu menguatkan dan juga mendukungku. Mbak Reni. Ya, dia adalah kakak iparku. Mbak Reni datang bersama suaminya dan juga dua anaknya. "Waalaikumsalam," jawabku dan ibu secara serempak. Mbak Reni bersama keluarga kecilnya melangkah mendekat ke arahku, setelahnya ia meletakkan buah tangan di atas nakas yang ada di samping ranjangku. "Repot-repot banget, Mbak." "Ah, nggak repot. Bagaimana keadaannya, lancar kan?" Mbak Reni bergegas meraih tangan ibu lalu diciumnya punggung tangan itu dan diikuti oleh suami dan juga dua anaknya. Dua keponakanku juga tak lupa meraih tangan lalu mencium punggung tanganku. Aku mengulum senyum. "Alhamdulillah, lancar, Mbak. Tapi operasi caesar," ucapku. "Memangnya kenapa kalau operasi caesar? Ada masalah? Enggak kan? Mau operasi caesar, mau lahiran normal, itu sama saja, Nika," ucap Mbak Nika sembari mengelus pipi bayi mungilku.
"Mas berangkat kerja dulu, ya. Kamu yang baik-baik di sini ditemani sama ibu." Mas Rudi mengulurkan tangannya ke arahku. Setelah kuraih, bergegas kucium punggung tangannya dengan takdzim.Begitu selesai berpamitan denganku dan juga Ibu, ia bergegas melangkah keluar. Ya, Mas Rudi tak mendapatkan cuti. Katanya sudah aturan dari pabrik, jika ia tak boleh mengambil libur secara mendadak. Katanya harus beberapa hari sebelumnya sudah izin terlebih dahulu. Jadi, aku ditemani oleh Ibu. Aku tak menyangka, perempuan yang dulu bersikap begitu ketus, kini telaten sekali merawatku. Menyiapkan obat yang harus kuminum dan membantuku untuk melatihku bergerak. Di saat bayiku menangis, ibu mertuaku dengan gesit langsung mengambil dan menggendong bayiku. "Bu ...," panggilku yang membuat ibu menyuap makanan ke dalam mulutnya terhenti lalu menolehkan kepala ke arahku. "Hm ...." Aku seperti ragu untuk mengatakannya. Entah ini hal yang pantas atau enggak untuk kutanyakan. Akan tetapi, jika tak kutanya
Pov Ibu Rudi(Part ini diambil satu minggu sebelum Nika melahirkan)"Bu, dicariin sama Mbak Reni." Suara dari Rudi membuatku yang sedang duduk menatap ke arah layar televisi menolehkan ke arah sumber suara. Terlihat anak laki-laki semata wayangku melangkah mendekat ke arahku. "Mbak-mu telepon?" "Iya, Bu. Ini, bicaralah. Kupingku berdengung kalau dengerin dia bicara." Rudi mengarahkan ponsel miliknya ke arahku. Aku yang semula duduk bersandar di tembok, segera mengubah posisi menjadi tegak. Kuambil alih ponsel itu. Bergegas kudekatkan pada daun telinga kananku. "Halo, Ren, ada apa?" tanyaku. "Ibu sedang ngapain? Bagaimana kabarnya, Bu? Sehat?" tanya Reni beruntun.."Alhamdulillah, sehat, Ren. Ya ... meskipun setiap hari ibu selalu dilelahkan sama pekerjaan rumah yang se-abrek. Adik iparmu sama sekali nggak mau bantu ibu," ucapku mengadu, sembari melirik ke arah kiri dan kanan. Memastikan jika tak ada keberadaan Nika. Terdengar helaan nafas dari seberang sana. "Wajar, Bu, kalau
Aku terjaga, seketika aku terduduk dari pembaringan saat aku tersadar dari mimpi burukku. Napasku terasa tersengal-sengal. Begitu aku mengusap keningku, ternyata peluh telah membanjiri.Mimpi malam ini begitu terasa nyata. Mimpi dimana saat Nika berpamitan untuk pergi. Ia berjalan menyusuri jalan beraspal di tengah teriknya matahari. Ia berpamitan, ia berkata jika dirinya sudah merasa benar-benar tak tahan dengan sikapku dan juga sikap suaminya. Saat Nika berpamitan, aku dan juga Rudi sama-sama melepaskannya. Akan tetapi, bayangan saat Nika yang dulu selalu memperlakukanku dengan baik, menyiapkan makanan untukku, mencucikan baju kotorku dan juga telaten merawatku saat aku sakit terus berkelebatan di kedua pelupuk mataku. Seketika aku tersadar, bergegas aku mencari keberadaan Nika. Aku terus melangkah hingga belasan menit, akan tetapi tak kutemukan keberadaan perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah menantuku. Di saat aku merasa lelah karena pengejaranku tak membuahkan hasil, a
Aku melepaskan genggaman tanganku pada Nika saat dua orang perawat mendorong brankar tempatnya berbaring memasuki ruangan yang pada papannya bertuliskan "Ruang Operasi"Aku terduduk lemas di kursi tunggu, sedangkan Rudi hanya berjalan mondar-mandir di hadapanku yang malah menambah rasa takut dan kekhawatiranku. "Ya, Tuhan, selamatkanlah Nika dan juga bayinya ...." Kutautkan ke sepuluh jemariku, berharap mampu mengurai rasa takut dan khawatir yang telah melebur menjadi satu. Berdoa!Ya, aku harus berdoa!"Rud, mushola tempatnya dimana?" tanyaku. Akan tetapi Rudi tak memberikanku respon. Anak lelaki itu terus berjalan mondar-mandir. Terkadang ia masukkan kedua tangannya di saku celana, terkadang kedua telapak tangan itu saling mengusap, dan tak jarang pula Rudi mengusap wajahnya dengan kasar. "Rud!" Kali ini kutinggikan nada suaraku hingga akhirnya Rudi menghentikan langkahnya lalu menolehkan kepala ke arahku. "Ada apa, Bu?" Rudi melangkah mendekatiku. "Mushola mana?" Kening Rudi
"Itu kenapa kamu keluarin semua, Rud? Nyari apa?" Aku bertanya pada Rudi saat kulihat ia sedang mengeluarkan baju-baju yang ada di lemari bagian kiri. "Ini loh, Bu. Rudi mau masukkin ke lemari samping baju-baju yang udah nggak terpakai. Daripada menuh-menuhi lemari," sahut Rudi tanpa menolehkan kepala ke arahku. Pandangannya tetap terfokus pada isi lemari, sembari tangannya sesekali mengeluarkan baju yang sepertinya tidak ia pakai. "Beginilah, Bu, punya istri kayak nggak punya istri!" celetuk Rudi. Aku menoleh ke arah Nika yang sedang duduk menyusui bayinya, sejenak ia melirikkan kedua netranya ke arah suami dengan sinis lalu mencebikkan bibir. "Nika baru saja melahirkan, Rud. Mana bisa kamu suruh-suruh kayak gitu. Biarkan Nika istirahat di masa pemulihan ini," ucapku lantas melangkah masuk ke dalam kamar dan mendekat ke arah dimana Rudi berdiri. "Biar ibu yang masukin ke lemari samping, kamu ambilah cucian di loundry," ucapku lirih lalu duduk bersila di atas lantai, setelahnya
Pov Nika** Kevin Fachrul Haidar, nama yang kusematkan untuk bayi kecilku. Bukan tanpa sebab aku memberikan nama tersebut. Aku berharap, ia bisa tumbuh menjadi sosok lelaki yang penuh dengan keindahan hati dan pemberani. Kevin, panggilan untuk bayi laki-laki yang kini berusia tiga bulan. Bayi mungilku, kini tumbuh dengan baik. Badannya yang mulai berisi dan wajahnya semakin terlihat tampan selalu saja membuat duniaku teralihkan. Tak pernah jemu rasanya saat kupandangi wajah mungil nan menggemaskan itu. Selama tiga bulan ini, Kevin hanya mendapatkan nutrisi dari Asi-ku.Ya, setelah keluar dari rumah sakit, Asi-ku semakin lancar keluarnya. Bahkan sangatlah melimpah. Bagaimana tidak, setiap hari ibu selalu memasak menu tumis daun pepaya muda untuk menu makanku. Tak jarang juga dengan sayuran yang lainnya. Pokoknya, sayuran untuk mendukung produksi Asi selalu menjadi santapan menu makanku. Setelah melahirkan, ibu benar-benar sangat berubah. Ia menjadi sosok ibu mertua yang sangat