Aku melepaskan genggaman tanganku pada Nika saat dua orang perawat mendorong brankar tempatnya berbaring memasuki ruangan yang pada papannya bertuliskan "Ruang Operasi"Aku terduduk lemas di kursi tunggu, sedangkan Rudi hanya berjalan mondar-mandir di hadapanku yang malah menambah rasa takut dan kekhawatiranku. "Ya, Tuhan, selamatkanlah Nika dan juga bayinya ...." Kutautkan ke sepuluh jemariku, berharap mampu mengurai rasa takut dan khawatir yang telah melebur menjadi satu. Berdoa!Ya, aku harus berdoa!"Rud, mushola tempatnya dimana?" tanyaku. Akan tetapi Rudi tak memberikanku respon. Anak lelaki itu terus berjalan mondar-mandir. Terkadang ia masukkan kedua tangannya di saku celana, terkadang kedua telapak tangan itu saling mengusap, dan tak jarang pula Rudi mengusap wajahnya dengan kasar. "Rud!" Kali ini kutinggikan nada suaraku hingga akhirnya Rudi menghentikan langkahnya lalu menolehkan kepala ke arahku. "Ada apa, Bu?" Rudi melangkah mendekatiku. "Mushola mana?" Kening Rudi
"Itu kenapa kamu keluarin semua, Rud? Nyari apa?" Aku bertanya pada Rudi saat kulihat ia sedang mengeluarkan baju-baju yang ada di lemari bagian kiri. "Ini loh, Bu. Rudi mau masukkin ke lemari samping baju-baju yang udah nggak terpakai. Daripada menuh-menuhi lemari," sahut Rudi tanpa menolehkan kepala ke arahku. Pandangannya tetap terfokus pada isi lemari, sembari tangannya sesekali mengeluarkan baju yang sepertinya tidak ia pakai. "Beginilah, Bu, punya istri kayak nggak punya istri!" celetuk Rudi. Aku menoleh ke arah Nika yang sedang duduk menyusui bayinya, sejenak ia melirikkan kedua netranya ke arah suami dengan sinis lalu mencebikkan bibir. "Nika baru saja melahirkan, Rud. Mana bisa kamu suruh-suruh kayak gitu. Biarkan Nika istirahat di masa pemulihan ini," ucapku lantas melangkah masuk ke dalam kamar dan mendekat ke arah dimana Rudi berdiri. "Biar ibu yang masukin ke lemari samping, kamu ambilah cucian di loundry," ucapku lirih lalu duduk bersila di atas lantai, setelahnya
Pov Nika** Kevin Fachrul Haidar, nama yang kusematkan untuk bayi kecilku. Bukan tanpa sebab aku memberikan nama tersebut. Aku berharap, ia bisa tumbuh menjadi sosok lelaki yang penuh dengan keindahan hati dan pemberani. Kevin, panggilan untuk bayi laki-laki yang kini berusia tiga bulan. Bayi mungilku, kini tumbuh dengan baik. Badannya yang mulai berisi dan wajahnya semakin terlihat tampan selalu saja membuat duniaku teralihkan. Tak pernah jemu rasanya saat kupandangi wajah mungil nan menggemaskan itu. Selama tiga bulan ini, Kevin hanya mendapatkan nutrisi dari Asi-ku.Ya, setelah keluar dari rumah sakit, Asi-ku semakin lancar keluarnya. Bahkan sangatlah melimpah. Bagaimana tidak, setiap hari ibu selalu memasak menu tumis daun pepaya muda untuk menu makanku. Tak jarang juga dengan sayuran yang lainnya. Pokoknya, sayuran untuk mendukung produksi Asi selalu menjadi santapan menu makanku. Setelah melahirkan, ibu benar-benar sangat berubah. Ia menjadi sosok ibu mertua yang sangat
"Tertawalah, Mas, hingga akhirnya kau akan berkubang dalam penyesalan setelah tak ada aku dan Kevin di sampingmu!" Seketika tawa Mas Rudi terhenti. Seraut wajah itu terlihat berubah menjadi pucat pasi. Saat aku memutar tubuh dan ingin meninggalkan Mas Rudi, kulihat ibu mertua berdiri di ambang pintu pembatas antara dapur dan ruang tengah. Kaki yang semula akan melangkah, tiba-tiba seperti mengakar di lantai dengan kuat saat kulihat wajah ibu begitu sedih dan bersimbah air mata. "Ibu?" ucapku tanpa suara. Cepat ibu menghapus air matanya, setelahnya ia pun berlalu pergi. Aku ingin mengikuti, akan tetapi kaki ini sulit sekali untuk terangkat. Hingga sepersekian detik kemudian, aku berhasil melangkahkan kaki-ku. Aku berjalan menuju ke kamar ibu dan ketika sampai, ternyata pintu itu dalam keadaan tertutup. Tok!Tok!Tok!Halus aku mengetuk pintu kamar ibu. Tak ada sahutan. Hingga akhirnya kembali kuulangi untuk mengetuk pintu kamar milik Ibu dan masih saja tak ada respon. "Bu ...,
Hanya tiga puluh menit kami berada di acara pesta pernikahan itu. Bukan tanpa sebab, tubuh Kevin seperti memberikan respon jika ia tak merasa nyaman berada di dalam sana. Mungkin karena keriuhan dan keramaian yang tak biasa ia rasakan saat berada di rumah. Akhirnya aku berbisik pada Mas Rudi untuk pulang. Dan tanpa drama, Mas Rudi langsung mengangguk. Setelah kami berpamitan dengan kedua mempelai pengantin dan juga beberapa rekan kerja Mas Rudi, kami akhirnya melangkah keluar gedung menuju taksi online yang sudah menunggu. Ya, kami meminta taksi online yang mengantarkan kami untuk menunggu hingga kepulangan kami. Di sepanjang perjalanan Mas Rudi hanya diam. Ia memainkan ponsel sembari menyandarkan tubuhnya. Ia hanya sekedar melirik saat aku mengajaknya bicara. Jika sudah seperti ini, artinya Mas Rudi dalam keadaan mode marah. Kenapa?Belasan menit kemudian taksi online yang kami kendarai berhenti di pinggir jalan, tepat di depan rumah. "Mas, belum bayar tagihannya!" Aku berteri
"Astaghfirullah, Rudi?!" Kali ini suara Ibu memekik. Wanita paruh baya itu berjalan tergopoh-gopoh lalu bergegas memeluk tubuhku. Terlihat dengan jelas tangan Mas Rudi gemetar. Wajar saja, ini pertama kaliny lelaki itu bermain tangan. "Kamu baik-baik saja, Nik?" tanya Ibu. Gurat kekhawatiran terpancar dengan jelas pada wajah itu. Aku hanya mengangguk, menyembunyikan rasa sesak yang tiada terkira. Cepat kuhela napas dalam-dalam lalu kukeluarkan secara perlahan. Berharap mampu mengontrol rasa sesak agar tak semakin menjadi, sebab rasa hangat mulai kurasakan di kedua area mataku. Kutahan kuat-kuat agar air mata ini tak mengalir. Jangan sampai ia melihat buliran-buliran bening mengalir dari kedua pelupuk mataku. "Kamu ini apa-apaan, Rud?! Sejak kapan kamu jadi lelaki tempramen seperti ini!" Suara ibu bergetar. Memang, yang kutau, Mas Rudi tak pernah melakukan tindakan kekerasan pada orang lain. Hanya saja, ucapannya yang terkadang melukai hati. "Jangan salahkan Rudi dong, Bu! Sala
Tujuh hari sudah Mas Rudi kudiamkan. Apapun pertanyaannya, jika mendesak hanya kujawab dengan anggukan atau hanya sekedar gelengan kepala. Hal itu tentu saja membuat Mas Rudi semakin meradang. Tiap hari ia selalu uring-uringan. Bukankah pembalasan yang paling menyakitkan adalah ketika didiamkan?Pernah kudengar ia mengadu pada Ibu mertua soal sikapku yang terus saja mendiamkannya, dan kalian tau bagaimana jawaban ibu? "Minta maaflah ...." Hanya itu lah jawaban yang keluar dari bibir ibu. Saat aku sedang mengetik kelanjutan ceritaku, tiba-tiba Kevin menangis meraung-raung. Cepat kuletakkan laptop lalu bergegas kubaringkan tubuhku. Saat bibir mungil mulai menghisap put*ng pay*daraku, tiba-tiba kurasakan mulut Kevin begitu panas. Seketika jantung seperti berhenti berdetak. Cepat kutempelkan punggung tanganku pada kening Kevin dan seketika membelalaklah kedua netraku saat kening Kevin terasa begitu panas. Kevin meronta, tangisnya semakin menjadi. Bergegas kugendong tubuh itu lalu
Pov Rudi**Alarm ponsel membangunkanku dari tidurku. Aku mengerjapkan mata perlahan lalu kuangkat kedua tanganku guna merenggangkan otot-otot di tubuhku. Kuusapkan kedua telapak tanganku pada wajah setelahnya dengan meraba-raba kuambil ponsel yang kuletakkan di bawah bantal. Kumatikan bunyi alarm tersebut dan seketika kudapati layar ponsel yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Kuletakkan kembali ponsel tersebut, setelahnya aku beringsut dari ranjang lalu melangkah keluar dari kamar. "Nik! Nika!" Aku berteriak di sepanjang perjalanan. Sebab tak kulihat keberadaannya di manapun. Di dapur pun juga tak ada. Kucari ibu, tak kutemukan juga. Seketika aku teringat, jika semalam Ibu dan Nika membawa Kevin ke rumah sakit. "Apa mungkin Kevin opname? Tapi cuma panas doang," lirihku. Kuhembuskan napas kasar. Setelahnya aku langsung melangkah ke arah kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Sebab, sebentar lagi aku harus berangkat kerja. Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. Bergegas ak
"Ibu senang sekali melihat hubungan kalian kembali bersatu. Nika, ibu ucapkan terima kasih banyak atas kesempatan yang kamu sudah kamu berikan untuk Rudi," ucap Darmi setelah terjadi perbincangan di antara mereka. Ya, Nika telah menceritakan semuanya pada mertua dan juga iparnya. Rasa haru dan bahagia menyelimuti saat ini. "Rud, jangan pernah membuat kesalahan yang sama. Andai itu terjadi, maka Mbak sendiri yang akan mengantar Nika ke pengadilan agama untuk menggugat cerai kami." Ucapan Reni bernada ancaman. "Ish! Sebenarnya adik Mbak itu aku apa Nika sih? Kok dari dulu berpihak sama Nika dibanding Rudi. Lah itu malah mau bantu Nika gugat cerai aku." Rudi bersungut-sungut. "Mbak berpihak pada yang benar lah. Enak aja!" Ucapan Reni disambut lengkungan senyum oleh Nika. Perbincangan itu terasa begitu hangat, sudah selayaknya seperti sebuah keluarga yang bahagia. Hingga akhirnya Nika melayangkan satu pertanyaan pada sang Mertua. "Ibu, kita balik ke rumah Mas Rudi ya. Kita tinggal ba
Kali ini lengkungan senyum tak bisa sirna dari bibir lelaki itu. Entahlah, dia sangatlah bahagia dengan kesempatan kedua yang diberikan oleh sang istri. "Terima kasih, Nik. Mas janji, tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang kamu berikan. Terima kasih, terima kasih banyak ...." Rudi berucap dengan air mata yang terus bergulir. Air mata yang mengisyaratkan suatu kebahagiaan yang luar biasa. Nika mengangguk, ada yang menghentak di dalam batinnya saat melihat respon sang suami yang seperti ini. Ya, ini adalah kali pertama Nika melihat Rudi yang bersimbah air mata. Nika mengulas senyum, setelahnya Rudi meraih tangan kanan Nika lalu dibawanya mendekat ke bibir. Rudi mengecup beberapa kali punggung tangan itu. "Sudah, Mas. Jangan begitu, malu dilihat orang ...."Rudi mengusap wajahnya dengan kasar. Setelahnya ia kembali tersenyum. "Kamu dan Kevin ikut Mas pulang, ya. Rumah terasa begitu tak nyaman dan hampa setelah kepergian kalian." Nika mengangguk."Tapi besok pagi saja ya, Mas. Ka
"Tak perlu risau, Nduk ..., pintu rumah ini akan selalu terbuka untukmu. Bahkan, Bapak yang akan menjemputmu jika kamu menginginkannya ...." Ada yang bergetar di dalam sudut hatinya saat mendengar kalimat itu keluar dari bibir Sang Ayah. Ada suatu harapan yang tersorot dari kedua manik hitam itu. Ya, bagaimana pun juga Nika sadar jika setiap orangtua menginginkan kelanggengan dalam rumah tangga yang dibina oleh sang anak. "Kamu mau mendengarkan alasan dari Bapak Nduk kenapa Bapak memintamu memberikan kesempatan untuk Suamimu?" Nika mengangguk dengan patah-patah. Satu patah kata pun tak keluar dari bibir itu. Entahlah, lidah Nika terasa begitu kelu. Hingga tak mampu untuk berucap sedikit pun. "Bapak tau, kamu tidak akan seperti ini jika suamimu tidak keterlaluan. Bapak lihat, dia begitu menyesali sikapnya selama ini, Nduk. Bapak yakin, suamimu pasti akan berubah ....""Tapi, Pak. Sebelumnya Nika sudah memberikannya pelajaran, Pak. Dengan tidak mau mengurus keperluannya. Nika piki
"Bapak, Ibu, Rudi pamit dulu. Rudi nitip Nika dan Kevin di sini, ya, Bu, Pak. Maaf, jika Rudi masih saja merepotkan Bapak dan Ibu ...." Rudi mengucapkan kalimat itu dengan rasa sesak yang luar biasa. Tertangkap dengan jelas sebuah keseriusan pada sorot mata yang terpancar pada kedua netra Rudi. Bahkan, kedua kelopak mata lelaki itu terlihat berkaca-kaca. "Tenang saja. Tanpa kamu bilang pun Bapak dan Ibu akan menjaga Nika dan juga Kevin dengan baik.""Rudi janji, Pak. Rudi akan membawa kembali Nika dan juga Kevin. Rudi minta restu sama Bapak dan Ibu ...." Suara Rudi kali ini terdengar bergetar, seiring rasa gemuruh di dalam dada yang begitu ia rasa. "Boleh Bapak bertanya sesuatu?" Rudi mengangguk. "Duduklah ..., sebentar saja," titah Gunawan yang direspon gerakan anggukan kepala oleh Sang Menantu. Rudi pun lantas menuruti perintah sang bapak mertua. Hingga akhirnya Rudi dam Gunawan duduk bersebelahan. "Sebenarnya ada masalah apa di antara kalian? Sejauh ini, Nika belum mencerita
[Kepergian kalian bukan hanya menjadi cobaan untukku. Melainkan suatu hukuman yang sangat lah menyiksaku. Tolong ... berikan aku kesempatan untuk menjadi suami dan ayah yang baik untuk kalian. Aku berjanji, setelah ini, akan kulakukan kewajibanku dengan sebagai mana mestinya. Aku sadar, aku salah. Oleh sebab itu, berikan aku kesempatan satu kali lagi. Sungguh ... aku benar-benar menyesal. Nik, tolong terima uang pemberianku ini sebagai bentuk nafkah untuk kalian. Meskipun aku tau, tanpa aku, kalian bisa hidup jauh lebih bahagia dan bisa mencukupi semuanya ....Tertanda, Rudi ]Nika membaca dengan seksama setiap coretan tangan yang ditulis oleh suaminya. Ada yang bergetar di dalam hatinya. Akan tetapi, seketika otaknya kembali bekerja. "Sampai kapanpun, orang pelit tidak akan pernah berubah." Nika membatin, kembali meyakinkan dirinya sendiri. Setelah secarik surat itu ia baca, bergegas ia melipat kembali kertas tersebut. Setelahnya, ia memasukkan kembali ke dalam amplop itu bers
"Bapak? Bapak kok ada di sini?" Bergegas Rudi meraih tangan kanan lelaki yang wajahnya telah dipenuhi oleh keriput itu. Lalu, diciumnya punggung tangan sang mertua dengan takdzim."Iya, baru saja tiba. Mau jemput Nika ...."Deg!Seketika jantung Rudi seperti terpacu lebih kuat lagi. "Jemput Nika?" Rudi berucap hanya dengan gerakan bibir, tanpa suara. "Ma–maksud Bapak jemput mau dibawa kemana, Pak? Rudi ke sini mau jemput Nika dan Anak Rudi juga ...." Gunawan menghela napas berat. "Bicaralah dulu dengan Nika, kalau ada masalah, bicarakan dulu dengan baik-baik dan kepala dingin ...," titah sang bapak mertua yang dibalas anggukan oleh Rudi. Gunawan menggeser tubuhnya, memberikan ruang bagi Rudi untuk melangkah masuk ke dalam rumah. "Namanya rumah tangga pasti ada permasalahannya. Semoga anak kita menemukan solusi yang terbaik ....""Aamiin ...," sahut Darmi dan Reni secara serempak. Kali ini Darmi bernapas lega, sebab memiliki besan yang memiliki pemikiran yang bijak. Reni dan D
Tangan sang ibu terulur lalu menyentuh tepat di puncak kepala Rudi dan setelahnya berucap,"ibu ... merestuimu ...."Ada yang berdesir di dalam batin lelaki itu. Sebab, ini adalah pertama kalinya sang ibu memberikan restu untuk hubungannya dengan Nika. Memang, sebelum kepergian mereka dari rumah, sang ibu sudah menampakkan sikap positif pada Nika. Bahkan, tak jarang pula sang ibu lebih membela Nika dibandingkan Rudi yang notabenenya adalah anak kandungnya. Akan tetapi, baru kali inilah sang ibu secara terang-terangan memberikan restu untuknya. Kedua netra Rudi terlihat berkaca-kaca. Secercah harapan muncul di dalam benaknya. Semoga Nika berkenan memaafkannya. Semoga Nika sudi kembali dengannya. Dan semoga saja Nika tak berat kembali membangun mahligai rumah tangga dengannya. Semoga, semoga dan semoga. Sang ibu lantas menurunkan tangannya dari puncak kepala sang putra. "Pergilah dan temui anak istrimu," ucap Sang ibu dengan nada suara serak. Mendengar perintah sang Ibu, Rudi
"Kumohon, Mbak ... pertemukan aku dengan anak istriku, Mbak ...." Dengan kepala yang menunduk dan tubuh terguncang, Rudi bersuara. Reni membeku, ia sama sekali tak memberikan respon pada tangisan adik semata wayangnya itu. Sesaat, Reni dan Darmi saling berpandangan. Saling melempar pertanyaan melalui sorot mata itu. Darmi mengedikkan bahunya, seolah-olah ia tau pertanyaan apa yang dilontarkan oleh anak perempuannya dari sorot matanya. Rudi mendongak, wajah itu digenangi oleh air mata. Ada yang berdesir di dalam hati Reni saat melihat sang adik menangis untuk pertama kalinya. Sorot mata yang begitu sendu, membuat wajah itu semakin terlihat memelas. "Mbak, kumohon ..., katakan dimana anak dan istriku ...," hiba Rudi. Reni menghembuskan napas kasar. Setelahnya ia membantu sang adik untuk bangun dari persimpuhannya. "Duduklah dulu, biar kubikinkan minuman sebentar," titah Reni. "Nggak usah, Mbak. Rudi nggak haus. Mbak katakan saja dimana Nika dan Kevin, biar aku bisa segera bert
Langkah Darmi terhenti saat ia menyadari siapa sosok itu. Siapa pemilik kendaraan roda dua yang masuk secara bersamaan dengan dirinya itu. Rudi. Ya, pengendara motor yang sampai di rumah anak perempuannya adalah putranya sendiri. Sungguh, Darmi merasa sedikit terkejut atas kedatangan lelaki yang dulu menjadi kebanggaannya itu. Setelah mesin motor itu sudah tak terdengar lagi, bergegas Rudi melepaskan helm yang bertengger di kepalanya. Bergegas lelaki itu turun lalu menatap sejenak ke arah wanita paruh baya yang berdiam membeku tak jauh dari keberadaannya. "Ibu ...."Rudi melangkah mendekat ke arah sang ibu, setelahnya ia langsung meraih tangan sang ibu lalu mencium punggung tangan itu. "Bagaimana kabar ibu?" tanya Rudi membuat tubuh Darmi tersentak kaget. "Kamu ngapain di sini, Rud?" tanya Darmi sengaja tak menjawab pertanyaan anak lelakinya itu. "Rudi mau jemput anak dan istri Rudi, Bu. Rudi tau, Nika ada di sini." "Wah, Ibu. Dari tadi ditungguin nggak datang-datang." Reni