Pov Rudi**Alarm ponsel membangunkanku dari tidurku. Aku mengerjapkan mata perlahan lalu kuangkat kedua tanganku guna merenggangkan otot-otot di tubuhku. Kuusapkan kedua telapak tanganku pada wajah setelahnya dengan meraba-raba kuambil ponsel yang kuletakkan di bawah bantal. Kumatikan bunyi alarm tersebut dan seketika kudapati layar ponsel yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Kuletakkan kembali ponsel tersebut, setelahnya aku beringsut dari ranjang lalu melangkah keluar dari kamar. "Nik! Nika!" Aku berteriak di sepanjang perjalanan. Sebab tak kulihat keberadaannya di manapun. Di dapur pun juga tak ada. Kucari ibu, tak kutemukan juga. Seketika aku teringat, jika semalam Ibu dan Nika membawa Kevin ke rumah sakit. "Apa mungkin Kevin opname? Tapi cuma panas doang," lirihku. Kuhembuskan napas kasar. Setelahnya aku langsung melangkah ke arah kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Sebab, sebentar lagi aku harus berangkat kerja. Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. Bergegas ak
Bergegas aku bangkit dari sofa, setelahnya aku melangkah menuju pintu. Keningku berkerut dengan alis yang saling bertautan saat begitu pintu kubuka, hanya ibu yang berjalan menuju masuk ke rumah, sedangkan mobil bergerak keluar dari halaman. "Nika sama Kevin mana, Bu?" tanyaku. Ibu menatapku dengan nanar. Terlihat sekali kedua kelopak mata itu berkaca-kaca, karena tergenang oleh cairan bening. "Apa pedulimu sama mereka?" Ibu merangsek masuk ke dalam, menabrak pundakku begitu saja lalu terus melangkah. Cepat kututup kembali pintu dan mengejar langkah Ibu. "Bu, apa Kevin belum pulang?" Aku menghalangi langkah ibu. Aku berhenti tepat di depannya. Tes!Setitik air menetes dari kedua sudut matanya. Ibu menangis? Kenapa? Seketika perasaan menjadi tak enak. "Bu, apa yang terjadi dengan Kevin? Apa Kevin baik-baik saja? Kok ibu pulang lalu Nika nggak ikut? Oh ... apa Ibu pulang hanya untuk mengambil sesuatu lalu balik lagi? Tapi, tapi kenapa ibu menangis?" Aku memberondong ibu deng
Aku menatap ke arah mana mobil itu melaju, hingga akhirnya kendaraan roda empat semakin terlihat mengecil dan tak terlihat lagi.Aku berdiri mematung, hingga akhirnya aku memilih untuk masuk ke dalam rumah. Kuhempaskan tubuhku di sofa, kusandarkan tubuhku hingga kepala sedikit mendongak. Menatap ke arah langit-langit rumah. Berkali-kali kuhela napas dalam-dalam lalu kukeluarkan secara perlahan. Sejenak kupejamkan kedua netraku, berharap mampu sedikit mengurangi perasaan gundah dan emosi yang telah melebur menjadi satu. "Mbak benar-benar kecewa sama kamu, Rud! Mbak benar-benar kecewa! Setelah ini, biarkan Nika dan Kevin bahagia. Jangan pernah kau usik lagi kehidupannya!" Kalimat itu terus saja terngiang-ngiang di telingaku. Apalagi raut wajah Mbak Reni terlihat begitu kecewa, pun juga dengan nada suaranya. "Tenang, Rud. Tenanglah. Semua yang dikatakan oleh Mbak Reni tak akan benar-benar terjadi. Nika pasti akan kembali, tak mungkin ia bisa menghidupi anaknya seorang diri. Uang dar
Pov Author**Status demi status terlihat dengan jelas di depan Rudi. Tentu hal itu semakin membuatnya meradang. Bagaimana bisa mereka bahagia tanpa memikirkan sedikit pun perasaannya? Begitu lah batin Rudi berbicara. Rudi meremas ponsel yang ada di genggamannya. Lelaki itu langsung melemparkan ponselnya ke atas ranjang dengan perasaan kesal. Setelahnya ia menghempaskan tubuhnya di sana. "Selamat ulang tahun ya, Nika ...." Sang ibu mertua memberikannya selamat, sejenak mereka berpelukan lalu beberapa kali mencium pipi Nika dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, Bu," ucap Nika. Pun juga yang dilakukan oleh Reni, ia turut memberikan ucapan selamat pada sosok perempuan yang masih menyandang gelar adik iparnya itu. Malam ini Nika merasa bahagia, mendapatkan kejutan dari orang yang ada di sekelilingnya. Ya, meskipun hanya sekedar kue, Nika merasa begitu istimewa. "Bagaimana kabarmu, Nik? Kevin baik-baik saja?" tanya Sang Ibu mertua setelah acara surprise itu usai dan kini mereka
"Ikannya mati semua. Ngambang. Nggak tersisa. Kamu bisa pulang kalau nggak percaya ...."Rudi yang mendengar kalimat itu seketika langsung berdiri tegap dengan tangan gemetar. "Ma–maksud kamu gimana ya? Apa aku nggak salah dengar?" Tak bisa dipungkiri, jantung Rudi seperti berdegup lebih kencang. Ia bertanya lagi, sebab ia ingin kembali memastikan jika dirinya tak salah dengar. "Aku serius, Rud. Tadi pagi aku kasih pakan ikan, semua baik-baik saja. Tapi begitu aku cek barusan, semua ikan pada mengambang. Mati! Tak ada yang bersisa, Rud!" Suara dari seberang sana dengan lancar merangsek masuk ke dalam gendang telinga milik lelaki itu. "Jangan bercanda kamu, Di! Ini bukan suatu hal yang patut dibuat guyonan! Kamu pasti hanya nge-prank aku kan?" Rudi terus memastikan. Ia terus meyakinkan diri jika semua baik-baik saja. "Astaga, Rud. Mana mungkin aku membuat guyonan macam ini? Aku serius. Kukirim foto nanti ke kamu. Biar kamu percaya, besok pulanglah ke kampung. Lihat lah sendiri. Be
Sepulang dari tempatnya bekerja, bergegas Rudi memacu kendaraannya dengan kecepatan kencang. Laju kendaraan itu menuju ke arah jalan pulang.Seperti biasanya, lelaki itu selalu tiba di rumah dengan keadaan rumah yang gelap dengan lampu yang belum menyala. Wajar saja, tak ada siapapun yang tinggal di rumah itu selain dirinya. Rudi memarkir kendaraan roda duanya di teras rumah. Setelahnya ia melangkah dan berhenti tepat di depan pintu. Rudi berjongkok, lalu menyibak keset yang ada di bawahnya dan mengambil kunci pintu yang ia simpan di sana. Ya, selama ini Rudi menyimpan benda kecil itu di bawah keset, sebab ia khawatir jika kunci rumah akan hilang kalau dia bawa ke tempatnya bekerja. Rudi memasukkan benda mungil ke dalam lubangnya, hingga menimbulkan bunyi kecil dan terbukalah daun pintu setelah Rudi menekan kuat-kuat gagang pintu. Begitu pintu terbuka, Rudi menatap nanar ke arah depan. Bagaimana tidak, tak terlihat siapapun di dalam sana. Hanya gelap yang tertangkap pada kedua i
Pov Rudi"Akhirnya pulang juga kamu, Rud." Tepukan tangan Hariadi mengenai tepat di pundakku. "Kita ke belakang."Aku hanya mengangguk, setelahnya turun dari motor lalu melangkah mengikuti kemana perginya Hariadi. Di sepanjang langkah, kami saling mengobrol. Hingga akhirnya langkah kami terhenti tepat di depan deretan kolam dimana banyak sekali ikan yang mengapung. Aroma tak sedap menusuk indra penciumanku. "Kok bisa seperti ini? Bukankah sebelumnya aman-aman saja?" tanyaku sembari menatap ke kolam sembari menutup hidungku. "Iya, aku juga nggak tau kenapa jadi begini," jawab Hariadi dengan nada lemas. "Rugi dong kita," celetukku. "Namanya juga usaha, Rud. Untung dan rugi itu sepaket. Udah hukum alam," jawab Hariadi dengan begitu entengnya. Tentu membuatku menghembuskan napas berat. Baru juga beberapakali mendapatkan untung, ini malah tekor seperti ini. "Lalu bagaimana? Aku bersihkan lalu beli bibit lagi atau gimana?" "Ah, nanti saja lah. Kita istirahat dulu.""Ok." Singkat H
Aku langsung menuju ke arah toilet lalu berdiri di depan cermin. Tak ada yang aneh. Lalu kenapa mereka melirikku, menatapku dengan pandangan yang begitu aneh?Suara derit pintu terdengar, hingga menyembullah sosok yang dulu adalah sahabatku, tapi begitu kubenci akhir-akhir ini. Hendro. Ya, lelaki itu masuk ke dalam toilet lalu melangkah. Ia berdiri dengan bersandar di daun pintu. "Kamu merasa tatapan mereka aneh?" Sekilas Hendro melirikku lalu pandangannya kembali lurus. Bibir itu tersenyum sinis. Aku hanya mencebikkan bibir tanpa menjawab ucapan yang dilontarkan oleh lelaki itu."Hampir semua karyawan yang ada di sini sudah tau kalau rumah tanggamu berantakan, dan itu karena sifat pelitmu. Makanya mereka, yang kebanyakan perempuan itu seperti menatapmu dengan jijik dan aneh."Kedua tanganku terkepal seiring rahangku yang mulai mengeras. Emosi seketika menjalar hingga berada di ubun-ubun. Deru napasku yang memburu sebagai tanda jika emosi siap untuk diledakkan. "Lihatlah, mer