Pov Rudi"Akhirnya pulang juga kamu, Rud." Tepukan tangan Hariadi mengenai tepat di pundakku. "Kita ke belakang."Aku hanya mengangguk, setelahnya turun dari motor lalu melangkah mengikuti kemana perginya Hariadi. Di sepanjang langkah, kami saling mengobrol. Hingga akhirnya langkah kami terhenti tepat di depan deretan kolam dimana banyak sekali ikan yang mengapung. Aroma tak sedap menusuk indra penciumanku. "Kok bisa seperti ini? Bukankah sebelumnya aman-aman saja?" tanyaku sembari menatap ke kolam sembari menutup hidungku. "Iya, aku juga nggak tau kenapa jadi begini," jawab Hariadi dengan nada lemas. "Rugi dong kita," celetukku. "Namanya juga usaha, Rud. Untung dan rugi itu sepaket. Udah hukum alam," jawab Hariadi dengan begitu entengnya. Tentu membuatku menghembuskan napas berat. Baru juga beberapakali mendapatkan untung, ini malah tekor seperti ini. "Lalu bagaimana? Aku bersihkan lalu beli bibit lagi atau gimana?" "Ah, nanti saja lah. Kita istirahat dulu.""Ok." Singkat H
Aku langsung menuju ke arah toilet lalu berdiri di depan cermin. Tak ada yang aneh. Lalu kenapa mereka melirikku, menatapku dengan pandangan yang begitu aneh?Suara derit pintu terdengar, hingga menyembullah sosok yang dulu adalah sahabatku, tapi begitu kubenci akhir-akhir ini. Hendro. Ya, lelaki itu masuk ke dalam toilet lalu melangkah. Ia berdiri dengan bersandar di daun pintu. "Kamu merasa tatapan mereka aneh?" Sekilas Hendro melirikku lalu pandangannya kembali lurus. Bibir itu tersenyum sinis. Aku hanya mencebikkan bibir tanpa menjawab ucapan yang dilontarkan oleh lelaki itu."Hampir semua karyawan yang ada di sini sudah tau kalau rumah tanggamu berantakan, dan itu karena sifat pelitmu. Makanya mereka, yang kebanyakan perempuan itu seperti menatapmu dengan jijik dan aneh."Kedua tanganku terkepal seiring rahangku yang mulai mengeras. Emosi seketika menjalar hingga berada di ubun-ubun. Deru napasku yang memburu sebagai tanda jika emosi siap untuk diledakkan. "Lihatlah, mer
Pov Author**Tanpa menjawab ucapan dari sang Kakak, Rudi langsung menekan tombol merah. Reni yang saat ini sedang duduk di tepi ranjang hanya memandang layar ponsel tersebut lalu tersenyum getir. Sungguh ... perempuan itu benar-benar tak habis pikir dengan sikap dari sang adik. "Ren ...." Sang Ibu yang sedang berdiri di ambang pintu yang terbuka sepenuhnya itu sepertinya mengerti apa yang terjadi. Reni mengalihkan pandangannya ke arah sang ibu. "Adikmu menelponmu?" tanya sang ibu sembari melangkah masuk ke dalam. Reni mengangguk. Hembusan napas kasar terdengar dari keduanya. Sang ibu bergegas mendudukkan tubuhnya di samping Reni. "Ngapain?" "Tadi nanyain kabar Nika, ya Reni jawab saja nggak tau," celetuk Reni. Di saat sepasang ibu dan anak itu sedang berbincang, berbanding terbalik dengan Rudi. Lelaki itu duduk di tepi ranjang, diremasnya benda pipih yang ada di genggamannya, berharap mampu meredamkan gejolak di dalam dada. Berkali-kali Rudi menghela napas dalam-dalam la
"Sebenernya apa yang terjadi? Terakhir Nika pulang saat ibunya sakit, lalu setelah itu, dia tak pernah pulang lagi. Sebenarnya apa yang terjadi? Katakanlah ...." Gunawan berusaha berbicara setenang mungkin, meskipun perasaan khawatir memenuhi pikirannya saat ini. "Sebelumnya Rudi minta maaf, Pak ...." Rudi menundukkan wajahnya. Tak ada nyali sedikit pun untuk menatap wajah kedua mertuanya itu. Sesekali Rudi menautkan ke sepuluh jemarinya, meremas perlahan, berharap mampu sedikit meredamkan rasa gugup yang menderanya saat ini. "Kurang lebih satu bulan yang lalu ada selisih paham di antara kami, hingga membuat Nika pergi dari rumah dengan membawa bayi kami."Kedua netra Gunawan dan Sumiasih membelalak dengan sempurna. Sejenak mereka berpandangan. Ungkapan yang dikatakan oleh Rudi, sang menantu, tentu membuat perasaan Sumiasih semakin tak karuan. Akan tetapi, Sumiasih dan Gunawan sengaja berdiam. Tak mengeluarkan satu patah kata pun, dengan niat ingin memberikan ruang untuk Rudi mel
"Nik, pulanglah, Nduk. Pintu rumah ini selalu terbuka untuk kamu ...." Dengan suara bergetar, Sumiasih berbicara. Tentu hal itu membuat jantung Nika berdegup lebih kencang. "Ma–maksud ibu apa?" tanya Nika tergagap. "Sudah, Nduk. Ibu sudah tau semuanya. Tadi suamimu ke sini. Dia sudah bilang kalau kamu pergi dari rumah lebih dari satu bulan yang lalu."Nika yang mendengar ucapan ibu pun lantas menoleh ke arah lain. Ia tak ingin sang ibu melihat kedua kelopak mata itu berkaca-kaca. Cepat Nika menghapus kedua sudut matanya, tak ingin buliran bening itu terjatuh dari sarangnya. Nika menghela napas dalam-dalam lalu ia keluarkan secara perlahan, berharap mampu sedikit mengurangi gemuruh di dalam dada. Nika kembali menatap ke arah layar ponsel, hingga terlihatlah wajah ibu yang digenangi oleh air mata. "Ibu, jangan menangis ...." Jemari Nika bergerak ke layar pipih itu, lalu bergerak pelan. Seolah-olah sedang menghapus air mata yang terus keluar dari kedua sudut mata sang ibu. Gunawa
"Semoga kalian segera menemukan solusinya, ya. Semoga masalah kamu dan Rudi segera berakhir dan Rudi benar-benar berubah, dan semoga ..., kalian bisa bersatu lagi ...."Nika menelan saliva dengan begitu susah payah. Sungguh, ia benar-benar menginginkan sebuah perceraian, akan tetapi sang mertua menginginkan rumah tangga yang sedang tidak baik-baik saja itu terus bertahan. Nika membisu. Ia tak tau harus memberikan jawaban apa pada mertuanya itu. "Kenapa, Nik? Apa kamu sudah benar-benar ingin berpisah? Tak inginkah kamu memberikan satu kali lagi kesempatan untuk putra ibu?" tanya Darmi. "Entahlah, Bu ...." Ragu Nika menjawabnya. "Ya sudah, istirahatlah. Ibu keluar dulu. Besok, kamu akan melakukan perjalanan," ucap Darmi. "Nika boleh pergi, Bu?" "Memang ibu punya hak apa hingga harus melarangmu? Tidurlah, jangan bergadang. Nulisnya lanjut besik saja," titah sang ibu mertua. Nika mengangguk, setelahnya menatap punggung sang ibu yang semakin bergerak menjauh. Nika membaringkan tubu
Langkah Darmi terhenti saat ia menyadari siapa sosok itu. Siapa pemilik kendaraan roda dua yang masuk secara bersamaan dengan dirinya itu. Rudi. Ya, pengendara motor yang sampai di rumah anak perempuannya adalah putranya sendiri. Sungguh, Darmi merasa sedikit terkejut atas kedatangan lelaki yang dulu menjadi kebanggaannya itu. Setelah mesin motor itu sudah tak terdengar lagi, bergegas Rudi melepaskan helm yang bertengger di kepalanya. Bergegas lelaki itu turun lalu menatap sejenak ke arah wanita paruh baya yang berdiam membeku tak jauh dari keberadaannya. "Ibu ...."Rudi melangkah mendekat ke arah sang ibu, setelahnya ia langsung meraih tangan sang ibu lalu mencium punggung tangan itu. "Bagaimana kabar ibu?" tanya Rudi membuat tubuh Darmi tersentak kaget. "Kamu ngapain di sini, Rud?" tanya Darmi sengaja tak menjawab pertanyaan anak lelakinya itu. "Rudi mau jemput anak dan istri Rudi, Bu. Rudi tau, Nika ada di sini." "Wah, Ibu. Dari tadi ditungguin nggak datang-datang." Reni
"Kumohon, Mbak ... pertemukan aku dengan anak istriku, Mbak ...." Dengan kepala yang menunduk dan tubuh terguncang, Rudi bersuara. Reni membeku, ia sama sekali tak memberikan respon pada tangisan adik semata wayangnya itu. Sesaat, Reni dan Darmi saling berpandangan. Saling melempar pertanyaan melalui sorot mata itu. Darmi mengedikkan bahunya, seolah-olah ia tau pertanyaan apa yang dilontarkan oleh anak perempuannya dari sorot matanya. Rudi mendongak, wajah itu digenangi oleh air mata. Ada yang berdesir di dalam hati Reni saat melihat sang adik menangis untuk pertama kalinya. Sorot mata yang begitu sendu, membuat wajah itu semakin terlihat memelas. "Mbak, kumohon ..., katakan dimana anak dan istriku ...," hiba Rudi. Reni menghembuskan napas kasar. Setelahnya ia membantu sang adik untuk bangun dari persimpuhannya. "Duduklah dulu, biar kubikinkan minuman sebentar," titah Reni. "Nggak usah, Mbak. Rudi nggak haus. Mbak katakan saja dimana Nika dan Kevin, biar aku bisa segera bert