"Tertawalah, Mas, hingga akhirnya kau akan berkubang dalam penyesalan setelah tak ada aku dan Kevin di sampingmu!" Seketika tawa Mas Rudi terhenti. Seraut wajah itu terlihat berubah menjadi pucat pasi. Saat aku memutar tubuh dan ingin meninggalkan Mas Rudi, kulihat ibu mertua berdiri di ambang pintu pembatas antara dapur dan ruang tengah. Kaki yang semula akan melangkah, tiba-tiba seperti mengakar di lantai dengan kuat saat kulihat wajah ibu begitu sedih dan bersimbah air mata. "Ibu?" ucapku tanpa suara. Cepat ibu menghapus air matanya, setelahnya ia pun berlalu pergi. Aku ingin mengikuti, akan tetapi kaki ini sulit sekali untuk terangkat. Hingga sepersekian detik kemudian, aku berhasil melangkahkan kaki-ku. Aku berjalan menuju ke kamar ibu dan ketika sampai, ternyata pintu itu dalam keadaan tertutup. Tok!Tok!Tok!Halus aku mengetuk pintu kamar ibu. Tak ada sahutan. Hingga akhirnya kembali kuulangi untuk mengetuk pintu kamar milik Ibu dan masih saja tak ada respon. "Bu ...,
Hanya tiga puluh menit kami berada di acara pesta pernikahan itu. Bukan tanpa sebab, tubuh Kevin seperti memberikan respon jika ia tak merasa nyaman berada di dalam sana. Mungkin karena keriuhan dan keramaian yang tak biasa ia rasakan saat berada di rumah. Akhirnya aku berbisik pada Mas Rudi untuk pulang. Dan tanpa drama, Mas Rudi langsung mengangguk. Setelah kami berpamitan dengan kedua mempelai pengantin dan juga beberapa rekan kerja Mas Rudi, kami akhirnya melangkah keluar gedung menuju taksi online yang sudah menunggu. Ya, kami meminta taksi online yang mengantarkan kami untuk menunggu hingga kepulangan kami. Di sepanjang perjalanan Mas Rudi hanya diam. Ia memainkan ponsel sembari menyandarkan tubuhnya. Ia hanya sekedar melirik saat aku mengajaknya bicara. Jika sudah seperti ini, artinya Mas Rudi dalam keadaan mode marah. Kenapa?Belasan menit kemudian taksi online yang kami kendarai berhenti di pinggir jalan, tepat di depan rumah. "Mas, belum bayar tagihannya!" Aku berteri
"Astaghfirullah, Rudi?!" Kali ini suara Ibu memekik. Wanita paruh baya itu berjalan tergopoh-gopoh lalu bergegas memeluk tubuhku. Terlihat dengan jelas tangan Mas Rudi gemetar. Wajar saja, ini pertama kaliny lelaki itu bermain tangan. "Kamu baik-baik saja, Nik?" tanya Ibu. Gurat kekhawatiran terpancar dengan jelas pada wajah itu. Aku hanya mengangguk, menyembunyikan rasa sesak yang tiada terkira. Cepat kuhela napas dalam-dalam lalu kukeluarkan secara perlahan. Berharap mampu mengontrol rasa sesak agar tak semakin menjadi, sebab rasa hangat mulai kurasakan di kedua area mataku. Kutahan kuat-kuat agar air mata ini tak mengalir. Jangan sampai ia melihat buliran-buliran bening mengalir dari kedua pelupuk mataku. "Kamu ini apa-apaan, Rud?! Sejak kapan kamu jadi lelaki tempramen seperti ini!" Suara ibu bergetar. Memang, yang kutau, Mas Rudi tak pernah melakukan tindakan kekerasan pada orang lain. Hanya saja, ucapannya yang terkadang melukai hati. "Jangan salahkan Rudi dong, Bu! Sala
Tujuh hari sudah Mas Rudi kudiamkan. Apapun pertanyaannya, jika mendesak hanya kujawab dengan anggukan atau hanya sekedar gelengan kepala. Hal itu tentu saja membuat Mas Rudi semakin meradang. Tiap hari ia selalu uring-uringan. Bukankah pembalasan yang paling menyakitkan adalah ketika didiamkan?Pernah kudengar ia mengadu pada Ibu mertua soal sikapku yang terus saja mendiamkannya, dan kalian tau bagaimana jawaban ibu? "Minta maaflah ...." Hanya itu lah jawaban yang keluar dari bibir ibu. Saat aku sedang mengetik kelanjutan ceritaku, tiba-tiba Kevin menangis meraung-raung. Cepat kuletakkan laptop lalu bergegas kubaringkan tubuhku. Saat bibir mungil mulai menghisap put*ng pay*daraku, tiba-tiba kurasakan mulut Kevin begitu panas. Seketika jantung seperti berhenti berdetak. Cepat kutempelkan punggung tanganku pada kening Kevin dan seketika membelalaklah kedua netraku saat kening Kevin terasa begitu panas. Kevin meronta, tangisnya semakin menjadi. Bergegas kugendong tubuh itu lalu
Pov Rudi**Alarm ponsel membangunkanku dari tidurku. Aku mengerjapkan mata perlahan lalu kuangkat kedua tanganku guna merenggangkan otot-otot di tubuhku. Kuusapkan kedua telapak tanganku pada wajah setelahnya dengan meraba-raba kuambil ponsel yang kuletakkan di bawah bantal. Kumatikan bunyi alarm tersebut dan seketika kudapati layar ponsel yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Kuletakkan kembali ponsel tersebut, setelahnya aku beringsut dari ranjang lalu melangkah keluar dari kamar. "Nik! Nika!" Aku berteriak di sepanjang perjalanan. Sebab tak kulihat keberadaannya di manapun. Di dapur pun juga tak ada. Kucari ibu, tak kutemukan juga. Seketika aku teringat, jika semalam Ibu dan Nika membawa Kevin ke rumah sakit. "Apa mungkin Kevin opname? Tapi cuma panas doang," lirihku. Kuhembuskan napas kasar. Setelahnya aku langsung melangkah ke arah kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Sebab, sebentar lagi aku harus berangkat kerja. Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. Bergegas ak
Bergegas aku bangkit dari sofa, setelahnya aku melangkah menuju pintu. Keningku berkerut dengan alis yang saling bertautan saat begitu pintu kubuka, hanya ibu yang berjalan menuju masuk ke rumah, sedangkan mobil bergerak keluar dari halaman. "Nika sama Kevin mana, Bu?" tanyaku. Ibu menatapku dengan nanar. Terlihat sekali kedua kelopak mata itu berkaca-kaca, karena tergenang oleh cairan bening. "Apa pedulimu sama mereka?" Ibu merangsek masuk ke dalam, menabrak pundakku begitu saja lalu terus melangkah. Cepat kututup kembali pintu dan mengejar langkah Ibu. "Bu, apa Kevin belum pulang?" Aku menghalangi langkah ibu. Aku berhenti tepat di depannya. Tes!Setitik air menetes dari kedua sudut matanya. Ibu menangis? Kenapa? Seketika perasaan menjadi tak enak. "Bu, apa yang terjadi dengan Kevin? Apa Kevin baik-baik saja? Kok ibu pulang lalu Nika nggak ikut? Oh ... apa Ibu pulang hanya untuk mengambil sesuatu lalu balik lagi? Tapi, tapi kenapa ibu menangis?" Aku memberondong ibu deng
Aku menatap ke arah mana mobil itu melaju, hingga akhirnya kendaraan roda empat semakin terlihat mengecil dan tak terlihat lagi.Aku berdiri mematung, hingga akhirnya aku memilih untuk masuk ke dalam rumah. Kuhempaskan tubuhku di sofa, kusandarkan tubuhku hingga kepala sedikit mendongak. Menatap ke arah langit-langit rumah. Berkali-kali kuhela napas dalam-dalam lalu kukeluarkan secara perlahan. Sejenak kupejamkan kedua netraku, berharap mampu sedikit mengurangi perasaan gundah dan emosi yang telah melebur menjadi satu. "Mbak benar-benar kecewa sama kamu, Rud! Mbak benar-benar kecewa! Setelah ini, biarkan Nika dan Kevin bahagia. Jangan pernah kau usik lagi kehidupannya!" Kalimat itu terus saja terngiang-ngiang di telingaku. Apalagi raut wajah Mbak Reni terlihat begitu kecewa, pun juga dengan nada suaranya. "Tenang, Rud. Tenanglah. Semua yang dikatakan oleh Mbak Reni tak akan benar-benar terjadi. Nika pasti akan kembali, tak mungkin ia bisa menghidupi anaknya seorang diri. Uang dar
Pov Author**Status demi status terlihat dengan jelas di depan Rudi. Tentu hal itu semakin membuatnya meradang. Bagaimana bisa mereka bahagia tanpa memikirkan sedikit pun perasaannya? Begitu lah batin Rudi berbicara. Rudi meremas ponsel yang ada di genggamannya. Lelaki itu langsung melemparkan ponselnya ke atas ranjang dengan perasaan kesal. Setelahnya ia menghempaskan tubuhnya di sana. "Selamat ulang tahun ya, Nika ...." Sang ibu mertua memberikannya selamat, sejenak mereka berpelukan lalu beberapa kali mencium pipi Nika dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, Bu," ucap Nika. Pun juga yang dilakukan oleh Reni, ia turut memberikan ucapan selamat pada sosok perempuan yang masih menyandang gelar adik iparnya itu. Malam ini Nika merasa bahagia, mendapatkan kejutan dari orang yang ada di sekelilingnya. Ya, meskipun hanya sekedar kue, Nika merasa begitu istimewa. "Bagaimana kabarmu, Nik? Kevin baik-baik saja?" tanya Sang Ibu mertua setelah acara surprise itu usai dan kini mereka