Aku terjaga, seketika aku terduduk dari pembaringan saat aku tersadar dari mimpi burukku. Napasku terasa tersengal-sengal. Begitu aku mengusap keningku, ternyata peluh telah membanjiri.Mimpi malam ini begitu terasa nyata. Mimpi dimana saat Nika berpamitan untuk pergi. Ia berjalan menyusuri jalan beraspal di tengah teriknya matahari. Ia berpamitan, ia berkata jika dirinya sudah merasa benar-benar tak tahan dengan sikapku dan juga sikap suaminya. Saat Nika berpamitan, aku dan juga Rudi sama-sama melepaskannya. Akan tetapi, bayangan saat Nika yang dulu selalu memperlakukanku dengan baik, menyiapkan makanan untukku, mencucikan baju kotorku dan juga telaten merawatku saat aku sakit terus berkelebatan di kedua pelupuk mataku. Seketika aku tersadar, bergegas aku mencari keberadaan Nika. Aku terus melangkah hingga belasan menit, akan tetapi tak kutemukan keberadaan perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah menantuku. Di saat aku merasa lelah karena pengejaranku tak membuahkan hasil, a
Aku melepaskan genggaman tanganku pada Nika saat dua orang perawat mendorong brankar tempatnya berbaring memasuki ruangan yang pada papannya bertuliskan "Ruang Operasi"Aku terduduk lemas di kursi tunggu, sedangkan Rudi hanya berjalan mondar-mandir di hadapanku yang malah menambah rasa takut dan kekhawatiranku. "Ya, Tuhan, selamatkanlah Nika dan juga bayinya ...." Kutautkan ke sepuluh jemariku, berharap mampu mengurai rasa takut dan khawatir yang telah melebur menjadi satu. Berdoa!Ya, aku harus berdoa!"Rud, mushola tempatnya dimana?" tanyaku. Akan tetapi Rudi tak memberikanku respon. Anak lelaki itu terus berjalan mondar-mandir. Terkadang ia masukkan kedua tangannya di saku celana, terkadang kedua telapak tangan itu saling mengusap, dan tak jarang pula Rudi mengusap wajahnya dengan kasar. "Rud!" Kali ini kutinggikan nada suaraku hingga akhirnya Rudi menghentikan langkahnya lalu menolehkan kepala ke arahku. "Ada apa, Bu?" Rudi melangkah mendekatiku. "Mushola mana?" Kening Rudi
"Itu kenapa kamu keluarin semua, Rud? Nyari apa?" Aku bertanya pada Rudi saat kulihat ia sedang mengeluarkan baju-baju yang ada di lemari bagian kiri. "Ini loh, Bu. Rudi mau masukkin ke lemari samping baju-baju yang udah nggak terpakai. Daripada menuh-menuhi lemari," sahut Rudi tanpa menolehkan kepala ke arahku. Pandangannya tetap terfokus pada isi lemari, sembari tangannya sesekali mengeluarkan baju yang sepertinya tidak ia pakai. "Beginilah, Bu, punya istri kayak nggak punya istri!" celetuk Rudi. Aku menoleh ke arah Nika yang sedang duduk menyusui bayinya, sejenak ia melirikkan kedua netranya ke arah suami dengan sinis lalu mencebikkan bibir. "Nika baru saja melahirkan, Rud. Mana bisa kamu suruh-suruh kayak gitu. Biarkan Nika istirahat di masa pemulihan ini," ucapku lantas melangkah masuk ke dalam kamar dan mendekat ke arah dimana Rudi berdiri. "Biar ibu yang masukin ke lemari samping, kamu ambilah cucian di loundry," ucapku lirih lalu duduk bersila di atas lantai, setelahnya
Pov Nika** Kevin Fachrul Haidar, nama yang kusematkan untuk bayi kecilku. Bukan tanpa sebab aku memberikan nama tersebut. Aku berharap, ia bisa tumbuh menjadi sosok lelaki yang penuh dengan keindahan hati dan pemberani. Kevin, panggilan untuk bayi laki-laki yang kini berusia tiga bulan. Bayi mungilku, kini tumbuh dengan baik. Badannya yang mulai berisi dan wajahnya semakin terlihat tampan selalu saja membuat duniaku teralihkan. Tak pernah jemu rasanya saat kupandangi wajah mungil nan menggemaskan itu. Selama tiga bulan ini, Kevin hanya mendapatkan nutrisi dari Asi-ku.Ya, setelah keluar dari rumah sakit, Asi-ku semakin lancar keluarnya. Bahkan sangatlah melimpah. Bagaimana tidak, setiap hari ibu selalu memasak menu tumis daun pepaya muda untuk menu makanku. Tak jarang juga dengan sayuran yang lainnya. Pokoknya, sayuran untuk mendukung produksi Asi selalu menjadi santapan menu makanku. Setelah melahirkan, ibu benar-benar sangat berubah. Ia menjadi sosok ibu mertua yang sangat
"Tertawalah, Mas, hingga akhirnya kau akan berkubang dalam penyesalan setelah tak ada aku dan Kevin di sampingmu!" Seketika tawa Mas Rudi terhenti. Seraut wajah itu terlihat berubah menjadi pucat pasi. Saat aku memutar tubuh dan ingin meninggalkan Mas Rudi, kulihat ibu mertua berdiri di ambang pintu pembatas antara dapur dan ruang tengah. Kaki yang semula akan melangkah, tiba-tiba seperti mengakar di lantai dengan kuat saat kulihat wajah ibu begitu sedih dan bersimbah air mata. "Ibu?" ucapku tanpa suara. Cepat ibu menghapus air matanya, setelahnya ia pun berlalu pergi. Aku ingin mengikuti, akan tetapi kaki ini sulit sekali untuk terangkat. Hingga sepersekian detik kemudian, aku berhasil melangkahkan kaki-ku. Aku berjalan menuju ke kamar ibu dan ketika sampai, ternyata pintu itu dalam keadaan tertutup. Tok!Tok!Tok!Halus aku mengetuk pintu kamar ibu. Tak ada sahutan. Hingga akhirnya kembali kuulangi untuk mengetuk pintu kamar milik Ibu dan masih saja tak ada respon. "Bu ...,
Hanya tiga puluh menit kami berada di acara pesta pernikahan itu. Bukan tanpa sebab, tubuh Kevin seperti memberikan respon jika ia tak merasa nyaman berada di dalam sana. Mungkin karena keriuhan dan keramaian yang tak biasa ia rasakan saat berada di rumah. Akhirnya aku berbisik pada Mas Rudi untuk pulang. Dan tanpa drama, Mas Rudi langsung mengangguk. Setelah kami berpamitan dengan kedua mempelai pengantin dan juga beberapa rekan kerja Mas Rudi, kami akhirnya melangkah keluar gedung menuju taksi online yang sudah menunggu. Ya, kami meminta taksi online yang mengantarkan kami untuk menunggu hingga kepulangan kami. Di sepanjang perjalanan Mas Rudi hanya diam. Ia memainkan ponsel sembari menyandarkan tubuhnya. Ia hanya sekedar melirik saat aku mengajaknya bicara. Jika sudah seperti ini, artinya Mas Rudi dalam keadaan mode marah. Kenapa?Belasan menit kemudian taksi online yang kami kendarai berhenti di pinggir jalan, tepat di depan rumah. "Mas, belum bayar tagihannya!" Aku berteri
"Astaghfirullah, Rudi?!" Kali ini suara Ibu memekik. Wanita paruh baya itu berjalan tergopoh-gopoh lalu bergegas memeluk tubuhku. Terlihat dengan jelas tangan Mas Rudi gemetar. Wajar saja, ini pertama kaliny lelaki itu bermain tangan. "Kamu baik-baik saja, Nik?" tanya Ibu. Gurat kekhawatiran terpancar dengan jelas pada wajah itu. Aku hanya mengangguk, menyembunyikan rasa sesak yang tiada terkira. Cepat kuhela napas dalam-dalam lalu kukeluarkan secara perlahan. Berharap mampu mengontrol rasa sesak agar tak semakin menjadi, sebab rasa hangat mulai kurasakan di kedua area mataku. Kutahan kuat-kuat agar air mata ini tak mengalir. Jangan sampai ia melihat buliran-buliran bening mengalir dari kedua pelupuk mataku. "Kamu ini apa-apaan, Rud?! Sejak kapan kamu jadi lelaki tempramen seperti ini!" Suara ibu bergetar. Memang, yang kutau, Mas Rudi tak pernah melakukan tindakan kekerasan pada orang lain. Hanya saja, ucapannya yang terkadang melukai hati. "Jangan salahkan Rudi dong, Bu! Sala
Tujuh hari sudah Mas Rudi kudiamkan. Apapun pertanyaannya, jika mendesak hanya kujawab dengan anggukan atau hanya sekedar gelengan kepala. Hal itu tentu saja membuat Mas Rudi semakin meradang. Tiap hari ia selalu uring-uringan. Bukankah pembalasan yang paling menyakitkan adalah ketika didiamkan?Pernah kudengar ia mengadu pada Ibu mertua soal sikapku yang terus saja mendiamkannya, dan kalian tau bagaimana jawaban ibu? "Minta maaflah ...." Hanya itu lah jawaban yang keluar dari bibir ibu. Saat aku sedang mengetik kelanjutan ceritaku, tiba-tiba Kevin menangis meraung-raung. Cepat kuletakkan laptop lalu bergegas kubaringkan tubuhku. Saat bibir mungil mulai menghisap put*ng pay*daraku, tiba-tiba kurasakan mulut Kevin begitu panas. Seketika jantung seperti berhenti berdetak. Cepat kutempelkan punggung tanganku pada kening Kevin dan seketika membelalaklah kedua netraku saat kening Kevin terasa begitu panas. Kevin meronta, tangisnya semakin menjadi. Bergegas kugendong tubuh itu lalu