Pov Nika**Aku mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari bibir suamiku. Aku bisa menarik benang merah. Apa yang mereka bicarakan adalah seputar keuntungan dari bisnis yang mereka bangun saat ini, meskipun aku tak bisa mendengar suara sosok dari seberang sana. Bergegas aku membalikkan tubuhku setelah menutup pintu rapat-rapat begitu Mas Rudi mengakhiri panggilannya, lalu berlari kecil menuju pembaringan agar tak menimbulkan suara derap langkah. Saat langkah ini hampir saja sampai, tiba-tiba ....Brugh!Kakiku terpeleset hingga membuat tubuhku terjatuh ke lantai. Rasa nyeri yang semula terasa pada area bokongku kini mulai menyebar ke arah perutku. Nyeri yang amat luar biasa, hingga tak bisa membuatku bangkit dari lantai. Aku hanya bisa meringis menahan sakit yang menyerang. Sesekali aku menggigit bibir bagian bawahku agar tak mengeluarkan teriakan. Akan tetapi, tiba-tiba aku merasa area sensitifku basah. Aku memandang ke arah sana sembari tangan mengelus perut yang membuncit.
"Kamu nggak ada BPJS. Usahakan lahiran normal, ya. Biaya operasi sangatlah mahal."Aku tertegun mendengar kalimat itu keluar dari mulut suamiku. Bagaimana bisa ia mengucapkannya sedangkan istrinya sedang menikmati setiap rasa mulas, sakit dan nyeri di bagian perut hingga pinggangku? Aku mengerjapkan kedua mataku berkali-kali karena sempat membelalak sesaat, setelahnya aku menelan saliva dengan susah payah. Rasa kesal yang sempat terkikis sedikit saja, kini kian bertambah berkali-kali lipatnya. Oh, Tuhan, berikan aku kekuatan agar aku bisa menerjang tubuh lelaki yang duduk di samping ranjangku saat ini. Astaghfirullah!Astaghfirullah!Andai aku memiliki ilmu menyakiti hanya dengan kedipan mata, andai membunuh tidak berdosa, pasti akan kulakukan saat ini juga. "Nik ...."Bibirku meringis begitu rasa nyeri semakin intens terasa. Seperti ada sebuah benda tajam yang menghujam tepat di perutku hingga tembus pinggangku. "Mas, panggilkan dokter!" ucapku menahan sakit luar biasa. "Kamu
Dua orang petugas mendorong brankar yang kutempati saat ini. Tak bisa dipungkiri, jantung seperti berdegup lebih kencang. Sempat aku berpamitan pada ibu mertua, tertangkap pada sepasang manik mataku saat kedua netra itu berkaca-kaca. Masih kurasa genggaman tangannya begitu melepasku. Sungguh, ada rasa haru yang kurasa. Setelah sekian lama, ternyata Ibu mertua kini menunjukkan rasa sayangnya. Entah apa penyebab pastinya. Tapi aku yakin, semua karena bayi yang aku kandung dan sebentar lagi akan lahir ke dunia. Di sepanjang perjalanan menuju ruang operasi, aku hanya mampu memanjatkan doa pada Sang Pemilik Kehidupan. Semoga proses melahirkanku diberikan kelancaran. Sehat, selamat untuk aku dan juga bayiku. Seorang perawat yang membukakan pintu, rasa dingin seketika menjalar ke tubuhku kala seorang petugas kesehatan mendorong ranjangku memasuki ruangan yang di bagian depannya bertuliskan "Ruang Operasi"Hening. Suasananya terasa sangat hening. Hanya suara roda dari brankar yang kute
"Assalamualaikum ...," terdengar suara salam dari arah pintu yang terbuka separoh, hingga terlihatlah sosok yang yang selalu menguatkan dan juga mendukungku. Mbak Reni. Ya, dia adalah kakak iparku. Mbak Reni datang bersama suaminya dan juga dua anaknya. "Waalaikumsalam," jawabku dan ibu secara serempak. Mbak Reni bersama keluarga kecilnya melangkah mendekat ke arahku, setelahnya ia meletakkan buah tangan di atas nakas yang ada di samping ranjangku. "Repot-repot banget, Mbak." "Ah, nggak repot. Bagaimana keadaannya, lancar kan?" Mbak Reni bergegas meraih tangan ibu lalu diciumnya punggung tangan itu dan diikuti oleh suami dan juga dua anaknya. Dua keponakanku juga tak lupa meraih tangan lalu mencium punggung tanganku. Aku mengulum senyum. "Alhamdulillah, lancar, Mbak. Tapi operasi caesar," ucapku. "Memangnya kenapa kalau operasi caesar? Ada masalah? Enggak kan? Mau operasi caesar, mau lahiran normal, itu sama saja, Nika," ucap Mbak Nika sembari mengelus pipi bayi mungilku.
"Mas berangkat kerja dulu, ya. Kamu yang baik-baik di sini ditemani sama ibu." Mas Rudi mengulurkan tangannya ke arahku. Setelah kuraih, bergegas kucium punggung tangannya dengan takdzim.Begitu selesai berpamitan denganku dan juga Ibu, ia bergegas melangkah keluar. Ya, Mas Rudi tak mendapatkan cuti. Katanya sudah aturan dari pabrik, jika ia tak boleh mengambil libur secara mendadak. Katanya harus beberapa hari sebelumnya sudah izin terlebih dahulu. Jadi, aku ditemani oleh Ibu. Aku tak menyangka, perempuan yang dulu bersikap begitu ketus, kini telaten sekali merawatku. Menyiapkan obat yang harus kuminum dan membantuku untuk melatihku bergerak. Di saat bayiku menangis, ibu mertuaku dengan gesit langsung mengambil dan menggendong bayiku. "Bu ...," panggilku yang membuat ibu menyuap makanan ke dalam mulutnya terhenti lalu menolehkan kepala ke arahku. "Hm ...." Aku seperti ragu untuk mengatakannya. Entah ini hal yang pantas atau enggak untuk kutanyakan. Akan tetapi, jika tak kutanya
Pov Ibu Rudi(Part ini diambil satu minggu sebelum Nika melahirkan)"Bu, dicariin sama Mbak Reni." Suara dari Rudi membuatku yang sedang duduk menatap ke arah layar televisi menolehkan ke arah sumber suara. Terlihat anak laki-laki semata wayangku melangkah mendekat ke arahku. "Mbak-mu telepon?" "Iya, Bu. Ini, bicaralah. Kupingku berdengung kalau dengerin dia bicara." Rudi mengarahkan ponsel miliknya ke arahku. Aku yang semula duduk bersandar di tembok, segera mengubah posisi menjadi tegak. Kuambil alih ponsel itu. Bergegas kudekatkan pada daun telinga kananku. "Halo, Ren, ada apa?" tanyaku. "Ibu sedang ngapain? Bagaimana kabarnya, Bu? Sehat?" tanya Reni beruntun.."Alhamdulillah, sehat, Ren. Ya ... meskipun setiap hari ibu selalu dilelahkan sama pekerjaan rumah yang se-abrek. Adik iparmu sama sekali nggak mau bantu ibu," ucapku mengadu, sembari melirik ke arah kiri dan kanan. Memastikan jika tak ada keberadaan Nika. Terdengar helaan nafas dari seberang sana. "Wajar, Bu, kalau
Aku terjaga, seketika aku terduduk dari pembaringan saat aku tersadar dari mimpi burukku. Napasku terasa tersengal-sengal. Begitu aku mengusap keningku, ternyata peluh telah membanjiri.Mimpi malam ini begitu terasa nyata. Mimpi dimana saat Nika berpamitan untuk pergi. Ia berjalan menyusuri jalan beraspal di tengah teriknya matahari. Ia berpamitan, ia berkata jika dirinya sudah merasa benar-benar tak tahan dengan sikapku dan juga sikap suaminya. Saat Nika berpamitan, aku dan juga Rudi sama-sama melepaskannya. Akan tetapi, bayangan saat Nika yang dulu selalu memperlakukanku dengan baik, menyiapkan makanan untukku, mencucikan baju kotorku dan juga telaten merawatku saat aku sakit terus berkelebatan di kedua pelupuk mataku. Seketika aku tersadar, bergegas aku mencari keberadaan Nika. Aku terus melangkah hingga belasan menit, akan tetapi tak kutemukan keberadaan perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah menantuku. Di saat aku merasa lelah karena pengejaranku tak membuahkan hasil, a
Aku melepaskan genggaman tanganku pada Nika saat dua orang perawat mendorong brankar tempatnya berbaring memasuki ruangan yang pada papannya bertuliskan "Ruang Operasi"Aku terduduk lemas di kursi tunggu, sedangkan Rudi hanya berjalan mondar-mandir di hadapanku yang malah menambah rasa takut dan kekhawatiranku. "Ya, Tuhan, selamatkanlah Nika dan juga bayinya ...." Kutautkan ke sepuluh jemariku, berharap mampu mengurai rasa takut dan khawatir yang telah melebur menjadi satu. Berdoa!Ya, aku harus berdoa!"Rud, mushola tempatnya dimana?" tanyaku. Akan tetapi Rudi tak memberikanku respon. Anak lelaki itu terus berjalan mondar-mandir. Terkadang ia masukkan kedua tangannya di saku celana, terkadang kedua telapak tangan itu saling mengusap, dan tak jarang pula Rudi mengusap wajahnya dengan kasar. "Rud!" Kali ini kutinggikan nada suaraku hingga akhirnya Rudi menghentikan langkahnya lalu menolehkan kepala ke arahku. "Ada apa, Bu?" Rudi melangkah mendekatiku. "Mushola mana?" Kening Rudi