Tak mau membuang-buang waktu, Jack dengan segera merogoh sakunya dan melihat isi dompetnya.
Dia pun hanya bisa menghela napas panjang. Seseorang yang sering sekali disebut sebagai tikus got itu memang benar-benar sangat miskin. Di dalam dompet buluknya itu dia bahkan hanya memiliki $10 saja yang tersisa. Jumlah itu jelas tak akan cukup untuk membawa dirinya ke rumah Lily Osborne dengan menggunakan taksi. Dia setidaknya membutuhkan uang sekitar $15 untuk bisa sampai ke rumah Lily. Maka, dengan sangat terpaksa Jack memilih berjalan kaki lebih cepat menuju ke kediaman Lily yang terletak di kawasan The DownGrow House, sebuah kawasan elit yang sangat terkenal di Ocean Hill. Tapi, baru saja dia sebentar berjalan, perutnya mulai keroncongan. Dia menyentuh perutnya dan berusaha menahan lapar. Hari ini dia hanya memakan roti cokelat yang disediakan pihak kampus secara gratis untuk sarapan dan siang harinya dia hanya mengambil sepotong pizza yang dibawa oleh teman satu asramanya. Lapar, tentu saja dia sangat lapar. Tapi, dia berpikir untuk lebih banyak mengumpulkan uang agar bisa dia gunakan untuk mengajak Lily Osborne makan di restoran bagus pada hari jadi mereka yang ke seratus bulan depan. Sayangnya, sepertinya dia mulai ragu bila hal itu akan benar-benar bisa terjadi. "Lily, semoga itu tidak benar," gumam Jack di tengah-tengah perjalanan. Akan tetapi, sebelum dia tiba di rumah Lily, ponsel bututnya tiba-tiba saja bergetar. Jack langsung dengan cepat melihat ponsel itu dan berharap bila Lily yang menghubunginya. Namun, rupanya bukan. Itu adalah sebuah notifikasi dari sebuah media sosial yang dia gunakan. Notifikasi itu ternyata berasal dari Lily Osborne, sang kekasih cantiknya. Jack tersenyum senang dan segera meng-klik notifikasi tersebut. Unggahan itu berupa sebuah foto. Tapi, setelah melihat foto yang baru saja diunggah oleh Lily tersebut, senyum Jack seketika menghilang secara sempurna. Foto itu adalah foto Lily yang sedang dicium mesra oleh Tobias. Bukan foto ciuman di pipi, melainkan di bibir. Kata-kata yang ditulis oleh Lily juga semakin membuat darah Jack mendidih. 'Perjalanan baru denganmu. Aku cinta kamu, Toby.' "Ini tidak benar. Kau ... benar-benar mengkhianatiku, Lily. Tapi kenapa?" Dengan amarah yang sedang menguasai dirinya, Jack berjalan lebih cepat dan akhirnya bisa sampai di kediaman rumah Lily yang megah. Jack memang belum pernah satu kali pun berkunjung ke rumah Lily dikarenakan Lily yang selalu melarangnya. Mereka juga biasanya selalu bertemu di luar kampus. Lokasi yang dipilih pun juga selalu sangat jauh dari kampus mereka. Hal ini agar tak ada orang yang mengetahui tentang hubungan mereka. Akan tetapi, saat ini Jack membutuhkan penjelasan sehingga dia tidak peduli bila Lily akan marah terhadapnya. Dia berjalan mendekat dan memencet bel pintu rumah Lily tanpa pikir panjang. Seorang satpam membuka celah kecil di bagian pinggir dekat bel pintu. Dia melihat siapa tamu itu. Namun, setelah dia melihat jika tamu itu adalah Jack, dia langsung mendengus jengkel. "Astaga! Bagaimana bisa seorang pengemis masuk ke kompleks ini? Pergi dari sini!" Jack terburu-buru membalas, "Maaf, saya bukan pengemis." "Saya ingin bertemu dengan Lily Osborne." Jack berkata dengan cepat. Satpam itu terlihat tidak percaya tapi dia tetap membuka pintu gerbang gerbang sedikit, "Apa yang kau bicarakan tadi? Kau mau bertemu dengan Nona Osborne? Astaga!" Dia menggelengkan kepala dan menatap Jack dengan tatapan meremehkan, "Ah, aku tahu. Kau pasti salah satu penggemar nona mudaku." Lily Osborne bukanlah seorang artis tapi dia cukup terkenal di dunia maya sehingga anggapan sang satpam bisa dikatakan tidak salah juga. "Hei anak muda, aku tidak tahu kau tahu dari mana alamat rumah ini, tapi kusarankan padamu agar segera bangun dari mimpi." Jack menatap bingung. "Apa maksud Anda?" "Pergilah dari sini. Nona Osborne tidak bisa dan tidak akan pernah bisa menemuimu." Satpam itu pun kemudian berniat masuk lagi tapi Jack buru-buru mencegahnya. "Maaf, tapi saya benar-benar mengenalnya. Saya teman satu kampusnya, oh lebih tepatnya saya ini pacarnya." Satpam itu membelalakkan mata dan langsung menertawakan Jack. "Oh, anak muda. Berhentilah bertingkah gila. Berani sekali kau mengaku sebagai kekasih Nona Osborne!" "Dasar tidak tahu diri!" Sang satpam menggelengkan kepala tapi dia benar-benar membuka pintu itu. "Saya memang kekasih Lily. Tolong, biarkan saya masuk dan saya akan membuktikan bila apa yang saya katakan memang benar." Jack terlihat percaya diri meskipun dia saat ini sedang begitu sangat marah. "Omong kosong. Kekasih Nona Lily itu Tuan Muda Tobias dan dia sedang ada di dalam. Bagaimana mungkin Nona Lily berpacaran denganmu? Dasar orang miskin terlalu banyak mengkhayal!" Satpam itu sudah kehilangan kesabaran dan segera masuk ke dalam lagi. Akan tetapi, Jack Morland yang sudah tak bisa mengontrol diri dengan segera menyelinap ke dalam dan berlari dengan cepat. "Hei, kembali ke sini!!" "Bocah miskin sialan, berhenti kau!" Sang satpam berteriak keras dan mengejarnya tapi Jack tak menggubris dan terus berlari hingga dia berhenti sendiri saat dia melihat Lily sedang berciuman mesra di dekat mobil mewah yang Jack duga milik Tobias. "Lily!" panggil Jack tak bisa menahan rasa kagetnya. Lily dan Tobias segera memisahkan diri. Lily menatap kaget ke arah Jack, kekasihnya yang miskin dan tak berguna. "Jack, apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau bisa masuk?" Lily menatap kaget. Tobias menatap Jack dengan kening berkerut, "Kau mengenalnya, Sayang? Siapa dia?" Satpam yang mengejar Jack sudah sampai di sana dan berkata, "Maaf, Nona. Dia tadi nekad menerobos masuk." Lily menatap kesal pada satpam itu lalu segera beralih pada Jack. "Kenapa kau ke sini, Jack?" Jack menggelengkan kepala, "Kau malah bertanya hal itu? Astaga, Lily. Kau sudah berselingkuh dariku. Bagaimana bisa kau malah bertanya begitu padaku?" Tobias Gray terlihat agak kaget tapi dia masih diam menunggu, lebih tepatnya menonton. "Bukankah kau harusnya menjelaskan padaku, kenapa kau mengkhianatiku? Apa salahku, Lily?" Jack terlihat bingung. Lily mendesah malas, "Jack, aku rasa hubungan kita sejak awal sudah salah. Seharusnya aku tak pernah setuju untuk berpacaran denganmu." "Tapi, kau-" "Kita putus, Jack. Aku sekarang sudah punya Toby, dia yang sekarang menjadi kekasihku," Lily berkata sambil tersenyum pada Tobias. Tobias yang memahami semuanya pun ikut menanggapi, "Ah, begitu rupanya. Hei, kau ... siapapun kau, mulai sekarang jangan ganggu Lily. Dia kekasihku sekarang." "Lagi pula, apa yang kau bisa berikan untuk Lily? Pemuda miskin sepertimu jelas tak pantas bersama gadis cantik seperti Lily." Tobias menyeringai. Lily menganggukkan kepala, "Kau benar, dia bahkan tak sanggup mengajakku makan di restoran fast food. Yang benar saja, dia hampir tak pernah memberiku apapun." Tobias tertawa merendahkan sembari menatap Jack dan dia berkata pada Lily, "Beruntunglah kau bertemu denganku, Lily. Kau bisa meminta apapun padaku. Semua yang kau mau, akan aku berikan." Jack mengepalkan tangan, berusaha menyalurkan kekesalannya di sana tapi sayangnya dia tidak bisa. "Tapi, dulu kau bilang uang bukanlah sesuatu yang penting, Lily. Bagaimana kau bisa berubah sekarang?" Lily membalas dengan tidak sabar, "Bukan aku yang berubah tapi aku yang saat ini semakin sadar bahwa berkencan denganmu tidak akan membuatku bahagia." "Jadi, uang yang membuatmu bahagia?" Jack sekarang tidak bisa mengontrol diri. Tobias tertawa mengejek, "Tentu saja. Gadis mana yang tidak suka dengan kemewahan, teman? Jangan terlalu polos!" "Kalau kau tidak punya uang, jangan bermimpi untuk memiliki gadis secantik Lily." Tobias menambahkan. Setelah mengatakan hal itu, Tobias mencium pipi Lily seakan memang sedang membuat Jack cemburu. Jack pun benar-benar terpancing emosi dan langsung memukul Tobias. "Brengsek, berani sekali kau memukulku!" Tobias mengumpat. "Kau pantas mendapatkannya." Jack membalas dan hampir akan melayangkan sebuah pukulan lain. Tobias pun tertawa mengejek, "Kau sangat menyedihkan. Orang miskin sepertimu memang tak punya etika. Pantas saja Lily dengan mudah berpaling darimu." "Kau yang brengsek. Apa kau tidak bisa mendapatkan gadis lain yang masih sendiri?" Jack masih tidak terima. "Aku selalu mendapatkan apa yang aku mau, termasuk saat aku mau Lily, maka dia jadi milikku." Tobias tersenyum miring. Lily tidak bisa menahan diri lagi dan dia pun berteriak panik, "Stephen! Usir dia!" Satpam yang tadi berdiam diri itu pun segera memanggil pengawal lain. "Lily, kau benar-benar sangat keterlaluan!" Jack berteriak tapi Lily tidak peduli dan malah sibuk membantu Tobias. Tobias menyeringai pada Jack yang sedang dipegang oleh satpam dan para pengawal keluarga Osborne. "Lempar dia dari rumah ini sekarang!" Lily memerintah tanpa perasaan. "Lily, aku mohon!" Jack memanggil dengan begitu tak percaya. Tapi, Lily Osborne benar-benar tampak tidak peduli pada Jack Morland. Dia seakan tuli, tidak mendengarkan panggilan Jack. Dia seolah tuli dan tak sedikitpun menoleh ke arah Jack. Para pengawal kemudian menyeret Jack keluar dari rumah megah itu lalu melemparnya ke jalanan hingga Jack terhuyung-huyung dan terjatuh. Jack benar-benar sangat sedih karena kekasih yang sangat dia cintai itu ternyata telah mengkhianati dan memperlakukannya seolah dirinya sampah. "Lily, bagaimana bisa kau setega ini padaku?" gumam Jack saking terkejutnya.Merasa begitu terhina dan sangat sedih, Jack pun pada akhirnya memilih untuk segera meninggalkan kediaman keluarga Osborne. Ia sudah tersadar sepenuhnya bila dia tidak akan mungkin lagi bisa mendapatkan Lily. Lawannya adalah seorang Tobias Gray yang tidak hanya tampan tapi juga kaya luar biasa. Pesonanya begitu kuat sehingga Lily pun terpesona kepadanya. Di samping itu, Lily juga benar-benar sudah tak menginginkan dirinya lagi. Tak ada alasan lain baginya untuk mempertahankan Lily. Lily telah menjadi mantan kekasihnya saat ini.Dengan hati yang remuk, Jack berjalan sembari menahan rasa lapar yang mengganggunya. Akan tetapi, baru saja dia berjalan tidak terlalu jauh dari sana, dia malah dikejutkan dengan sebuah mobil polisi yang berhenti tepat di dekatnya.Dua orang polisi turun dari mobil dan berjalan ke arahnya, "Jack Morland, Anda ditangkap. Silakan ikut kami ke kantor polisi."Salah seorang dari polisi itu telah memegang tangannya dan berniat memborgolnya.Jack membelalakkan mata
"Sir, saya masih sulit mempercayainya." Jack berkata dengan sangat jujur.Hugh langsung tersenyum lembut pada Jack. "Aku mengerti. Tak mudah untuk kau mempercayainya, tapi inilah kenyataannya. Kau memang cucuku, satu-satunya cucuku, Jack."Hugh menambahkan lagi, "Kau adalah pewaris kerajaan bisnis keluarga Morland."Pewaris kerajaan bisnis? Dirinya? Seseorang yang kerap disebut sebagai seorang pecundang? Bagaimana mungkin bisa begitu?Jack yang kepalanya sudah dipenuhi oleh berbagai pertanyaan pun bertanya, "Sebenarnya apa yang terjadi, Tuan? Kalau saya cucu Anda, kenapa Anda membiarkan saya hidup sendirian di panti asuhan?"Tentu saja hal itulah yang membuat Jack kebingungan.Hugh tidak terkejut dengan pertanyaan itu dan pria tua itu pun langsung menjawab, "Jack, kau sudah salah paham, Nak. Biar Kakek jelaskan terlebih dulu."Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, ayah Jack, Joss dan ibunya, Claire sedang mengajak bermain Jack ke sebuah taman yang terletak tak jauh dari rumah keluarga b
"Apa Kakek sedang bercanda? Bagaimana mungkin aku menggantikan Kakek?" Jack berkata dengan ekspresi terlihat luar biasa bingung. Hugh tersenyum lembut. "Kenapa tidak mungkin? Harus berapa kali aku katakan? Kau satu-satunya pewaris kerajaan bisnis keluarga ini, tentu kau adalah pengganti Kakek." Setelah mempercayai statusnya, Jack malah semakin terlihat kebingungan. "Ta-tapi, Kek. Aku masih seorang mahasiswa." "Memang kenapa kalau kau masih mahasiswa? Kau tetap bisa menjalankan perusahaan keluarga sembari kau belajar di universitas." Hugh berhenti sejenak, mengamati ekspresi cucunya. "Dan lagi pula, kudengar kau mengambil jurusan bisnis manajemen. Bukankah itu sangat cocok?" Jack tidak pernah menduganya. "Aku mengambil jurusan itu dengan harapan setelah lulus nantinya bisa mengembangkan bisnisku sendiri." Hugh bertepuk tangan untuk sang cucu, "Itu luar biasa, Jack. Itu baru keturunan keluarga Morland." Jack meringis. "Tapi, tidakkah aku masih terlalu muda untuk menjalankan bis
Tobias Gray mengernyitkan dahi kembali, "Voucher? Buat apa?"Lily menatap Jack si mantan kekasih dengan pandangan meremehkan, "Astaga, Toby. Lihatlah sepatu bututnya itu! Mungkin dia ingin memiliki sepatu baru."Tebakan Lily itu membuat Tobias sontak tertawa terpingkal-pingkal. Dia memberikan tatapan mencibir pada Jack, "Sepatu? Jadi, kau mau membeli sepatu di mall milik keluargaku, pecundang?"Jack masih terdiam, menanti ucapan Tobias selanjutnya seolah dia tahu Tobias masih belum berhenti berbicara."Apa kau tidak tahu berapa harga minimum sepatu di Gray Mall?" ucap Tobias sambil menyeringai, "Ah, tidak. Kalau aku sebutkan, aku takut kau akan pingsan.""Katakan saja berapa harganya!" Jack membalas masih menahan diri. "Tidak usah, yang pasti kau tidak akan mampu membelinya.""Jangankan sepasang, sebelahnya saja kau tak akan sanggup," tambah Tobias dengan senyum mengejek yang semakin menyebalkan."Bagaimana kalau aku bisa membelinya?" balas Jack pada akhirnya yang sudah tidak sanggup
"Kau akan diperiksa lebih lanjut di sana tentang uang yang kau bawa ini."Sang petugas menuntun Jack untuk menuju ke arah ruang keamanan. Akan tetapi, sebelum mereka berjalan lebih jauh, seseorang berkata, "Tunggu!"Dua petugas itu pun berhenti dan menoleh."Tuan Muda Gray." Mereka menyapa dengan membungkuk sopan.Jack tidak menduga akan bertemu dengan orang itu sekarang. Namun, saat dia ingat dia sedang berada di mall milik keluarga Gray, dia pun berpikir bila kemungkinan besar bertemu dengan pria muda yang telah mencuri kekasihnya itu sangatlah besar.Jack melihat Tobias Gray sedang berjalan bersama Lily dengan tangan tertaut pada lengan Toby. "Ada apa ini?" Toby bertanya pada dua satpam itu."Anak muda ini adalah pengemis yang mencuri uang, Pak." Salah satu dari penjaga itu menjawab.LIily melebarkan mata. "Mencuri? Uang milik siapa yang dia curi?"Jack menghela napas dengan lelah, "Aku tidak mencuri apapun. Uang itu bukan hasil curian."Tobias menatap Jack dengan tatapan menghina
Sebelum karyawan itu sempat membalas, Lily Osborne bergerak mendekat ke arah Jack lalu merebut sepatu mewah itu dari tangan Jack yang terkejut melihat Lily sudah berdiri di dekatnya. Gadis cantik itu meneliti bahan sepatu pilihan Jack tersebut dan juga harganya. Tidak salah. Sepatu memang berharga $200.000. Lily bahkan harus menghitung angka nol di bagian belakang angka dua itu demi memastikan harga sepatu memanglah sudah benar."Apa kau sedang bercanda, Jack? Harga sepatu ini bahkan lebih besar dari gajimu selama bertahun-tahun sebagai seorang pelayan. Jadi, bagaimana mungkin kamu bisa membelinya?"Tobias ikut berjalan mendekat ke arah sang kekasih. "Sudahlah, biarkan saja, Lily. Mana mungkin dia punya uang? Dia pasti hanya ingin menipu kita saja."Lily menyerahkan sepatu itu pada sang karyawan, "Kembalikan pada tempatnya saja. Dia tak akan bisa membayarnya. Dia ... hanya membohongi kalian saja. Pasti saat dia sampai di kasir, dia akan memberi alasan bila dia tak bisa membayar kare
"Mencuri bagaimana? Aku sama sekali tidak mencuri." Jack menggelengkan kepala dengan tegas.Tobias mendengus keras, "Kau pikir kau bisa menipuku? Mana mungkin tikus got sepertimu memiliki uang sebanyak itu?"Lily mendukung argumen Tobias, sang kekasih. Dia pun ikut menambahkan dengan nada mengejek, "Untuk membeli makanan saja terkadang kau tidak bisa. Lalu, bagaimana mungkin kau sekarang bisa membayar sepatu berharga $200.000. Jelas sekali ini tidak masuk akal."Jack menatap dua orang itu secara bergantian. Pria yang masih memegang ponselnya yang bermodel kuno itu pun menanggapi, "Kenapa tidak masuk akal? Kalian sendiri tadi melihat bagaimana aku membayarnya. Aku membayarnya sendiri.""Bohong. Kau pasti menghubungi seseorang kan? Iya kan? Dasar penipu!" tuduh Lily sambil tersenyum mengejek. Tobias Gray berkata cepat, "Tunggu dulu, Lily. Bukankah kau tadi bilang jika dia memiliki teman yang lumayan kaya? Yah, meskipun aku sangat yakin dia tidak lebih kaya dariku.""Siapa orang itu? Mu
Badan Aletta Miller langsung bergetar hebat mendengar ancaman sang putra pemilik Gray Mall itu. Gadis muda itu tentu saja sangat takut. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika dia tidak memiliki pekerjaan. Dia masih memiliki seorang adik laki-laki kecil yang masih membutuhkan banyak biaya. Usianya masih dua belas tahun. Tahun depan, Aletta harus mengirimkan sang adik ke sekolah lain setelah lulus dari sekolah dasar. Lalu, bagaimana dia bisa melakukan semua itu jika dia dipecat dari mall itu? Air matanya langsung terjatuh begitu dia memikirkan bagaimana menderita hidupnya dan adiknya bila dia menjadi seorang pengangguran."Mencari pekerjaan itu tidak mudah. Aku pikir kau juga tahu akan hal itu," Tobias terlihat menatap gadis itu dengan tatapan kesal."Maafkan saya, Pak. Tapi, saya tidak mengerti mengapa sikap saya dikatakan salah. Saya benar-benar hanya mencoba melakukannya sesuai dengan peraturan perusahaan. Peraturan nomor 12, Pak." Meskipun Aletta sangat ketakutan, dia tak mau
"Pulang saja, kau tak dibutuhkan di sini," kata seorang karyawan laki-laki yang duduk tak terlalu jauh dari Jack berdiri.Eve, gadis pertama yang Jack ingat telah memberitahunya mengenai tempat duduknya itu ikut berkomentar, "Ya, benar. Kalau kau memang tak sanggup, katakan saja sekarang.""Kau bisa pulang tanpa ditertawakan," tambah seseorang lainnya.Edward, yang menjadi salah satu orang agak penasaran dengan kemampuan sang pemuda yang belum lulus dari universitas itu hanya diam saja, memperhatikan.Di luar dugaan semua orang, Jack pun kembali menjawab, "Kalau memang begitu, saya terima Anda bertanya di hadapan semua karyawan."Betapa kagetnya Richard Foster kala mendengar balasan dari Jack itu. Dengan dipenuhi amarah pun dia membalas, "Kau yang meminta. Jangan salahkan aku kalau kau nanti menangis karena tak bisa menjawabnya."Jack tak merespon dan hanya menunggu pertanyaan dilontarkan kepadanya.Hal itu membuat Richard Foster kesal setengah mati dan dengan gigi bergemeletuk dia b
"Iya. Aku tidak akan memberitahu siapapun juga mengenai sang pimpinan baru itu," ujar Emily Davidson.Dan tanpa mendengarkan komentar apapun lagi dari teman-teman kerjanya, Emily memulai untuk mengerjakan lagi pekerjaannya yang sempat tertunda.David Weylman sendiri terlihat berjalan menuju ke dalam ruang kerjanya dan mulai mengambil semua barang-barangnya dengan raut wajah sedih. Sang manajer yang tidak lagi menjabat itu tidak memiliki pilihan lain selain menerima semua keputusan tersebut.Sementara itu, Jack Morland baru saja ke luar dari ruang Gideon."Tuan Muda, apa tidak apa-apa Anda tetap berada di divisi umum?" tanya Gideon dengan raut wajah cemas."Tidak masalah." Jack menjawab.Gideon tetap tidak bisa melepaskan sang tuan muda begitu saja, "Apa Anda yakin? Pengawal mengatakan Anda menemui beberapa kesulitan di sana. Apa saya perlu berbicara dengan Richard Foster?"Jack cepat-cepat menjawab, "Tidak perlu, Gideon. Aku bisa menyelesaikannya sendiri.""Tapi, Tuan Muda. Saya khawa
Emily Davidson membalas tanpa sedikitpun rasa sombong, "Maaf, Pak. Saya diminta untuk kembali ke divisi saya dan menunggu.""Menunggu apa maksudmu?" David bertanya dengan keheranan.Arthur yang tadi sempat membela Emily itu pun terlihat menatap gadis itu dengan penuh ingin tahu. Meja kerja Emily berada tepat di sampingnya dan keduanya memang cukup akrab meskipun Arthur tadi tak menyatakan secara terang-terangan bahwa dia berada di pihak gadis itu.Emily pun bisa memahami dengan sangat jelas akan sikap Arthur. Arthur kurang lebih sama seperti dirinya, sama-sama karyawan yang tidak terlalu diinginkan oleh divisi manapun di Morland Group, seakan mereka memang tak cocok di tempatkan di manapun.Emily hanya menjawab, "Anda akan segera mengetahuinya, Pak. Saya rasa tidak akan terlalu lama."David Weylman kini bisa tertawa sinis lagi. "Aku tahu sekarang, kau hanya sedang menunda-nunda waktu untuk pergi dari perusahaan ini kan? Benar-benar sangat menggelikan sekali."Para karyawan lain pun se
Jack hanya tersenyum misterius mendengarkan pertanyaan itu.Emily Davidson sontak semakin penasaran. Akan tetapi, bukannya mundur, Emily malah lebih bersemangat mengikuti pemuda yang tentu saja usianya lebih muda darinya itu. "Masuklah lebih dulu!" pinta Jack setelah dia memencet tombol di mana lift akan membawa Emily menuju lantai di mana dia harus meminta izin untuk bertemu dengan sang pimpinan perusahaan raksasa tersebut.Emily masuk ke dalam lift yang tidak ada orang lain di dalamnya itu. Dia mengerutkan kening dengan penuh tanda tanya, "Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda tidak akan ikut bersama saya?""Ada hal yang harus aku lakukan. Tapi ... jangan khawatir, kau nanti tinggal berbicara dengan asisten di atas sana dan bilang saja kau berasal dari divisi keuangan. Mereka akan langsung memahaminya," ucap Jack.Emily mengangguk. Meskipun ada sedikit keraguan di dalam hatinya yang mulai muncul akibat perkataan Jack, akan tetapi Emily masih menaruh harapan pada pemuda itu. Dia yakin
David Weylman, si bos divisi keuangan itu menoleh ke arah sumber suara itu. Ketika dia melihat seorang pemuda yang tampak begitu asing di matanya, kening David pun mengerut, "Siapa kau?""Tidak penting siapa saya, Pak. Tapi, bisakah Anda menjawab pertanyaan saya tadi. Jika wanita muda ini berhasil bertemu dengan pemilik perusahaan ini, apakah Anda akan mengundurkan diri dari posisi Anda?" tanya Jack sekali lagi.David Weylman tidak langsung menjawab dan dia malah berjalan menuju ke arah Jack. Orang-orang di sekitar tempat itu terlihat tertarik pada Jack. Mereka pun mulai berbisik, bertanya-tanya siapa sosok pemuda yang telah begitu sangat berani menyela pembicaraan itu.Sedangkan wanita muda yang dibela Jack itu terlihat berdiri dengan bingung. Wanita bernama lengkap Emily Davidson itu jelas terkejut dan tidak menyangka ada seseorang yang berniat melakukan sesuatu untuknya.Dan hal ini adalah salah satu hal baru selama dia bekerja di Morland Group. Menurut pengalamannya, tidak ada s
Jack pun akhirnya memaksa diri untuk memakan makanannya. Ketika dia sudah menyelesaikannya, Jose Collins pun berkata, "Jack, apa kau sebelumnya tak pernah mencari tahu dulu seperti apa tempatmu bekerja?"Oh, tentu Jack mencari sudah mencari tahu. Bahkan, pendiri perusahaan itu sendiri yang memberitahunya. Bahkan, dia juga mengakses tentang hal apapun mengenai Morland Group.Hanya saja pengetahuan semacam itu hanya berdasarkan data dan laporan. Hal itu tentu saja berbeda dari kondisi di lapangan. Kakeknya bisa jadi tidak tahu mengenai ketidakadilan yang terjadi di dalam perusahaannya. Hal ini tentu saja karena pada dasarnya, sang pemilik perusahaan tidak mungkin memiliki cukup banyak waktu untuk melihat sendiri realitas yang terjadi. Semua hanya berdasarkan laporan dan jika anak buahnya mengatakan segalanya baik-baik saja, maka dia pun pasti tidak akan berpikir terlalu banyak.Jack sendiri juga baru mengetahuinya sejak dia masuk dan menjadi karyawan di Morland Group."Jose, apa yang
"Uh, kau hanya membuang-buang waktu saja." Seorang gadis pertama yang tadi ditanya oleh Jack berkata sembari mengambil segelas air minum di depan mesin.Edward menyahut, "Aku melihat dia sedikit agak berbeda dari para karyawan magang yang pernah bekerja di sini.""Oh, ayolah. Seberapa banyak ada karyawan magang di divisi kita? Aku bahkan sudah lupa dikarenakan terlalu jarang divisi kita menerima karyawan magang." Gadis bernama Eve itu membalas perkataan Edward setelah meminum air mineralnya.Edward menggaruk kepalanya. "Ah, kau benar. Hanya saja aku tetap merasa dia berbeda. Entahlah."Eve mendecakkan lidah, "Oh, mungkin karena dia terlihat masih sangat muda jadi kau merasa dia sedikit agak berbeda."Tiba-tiba Edward melebarkan matanya, "Uh, mungkin itu salah satunya. Dia masih sangat muda. Biar aku tebak, dia pasti baru lulus kuliah."Eve mengangguk setuju, "Itu mungkin saja. Dan bisa jadi karena hal itulah Pak Richard tidak menginginkannya berada di divisi kita sehingga memberinya f
Jack jelas mendengar nada sinis Richard sehingga pemuda itu pun segera membalas, "Tidak, Pak. Saya akan mengerjakannya."Richard menganggukkan kepala meskipun Jack juga bisa melihat bagaimana tatapan tidak percaya di matanya."Laporkan padaku sebelum kau pulang. Paham?" ucap Richard.Jack hampir tak mempercayai apa yang baru saja dia dengar. "Hari ini, Pak?""Ya. Kenapa? Mau mundur sekarang?" Richard berkata dengan sambil menatap lurus-lurus ke arah Jack.Jack menghela napas, "Tidak. Tentu saja tidak.""Baiklah, silakan kerjakan dan laporkan padaku sebelum jam kerja berakhir!" perintah Richard.Jack menjawab cepat dan segera mengambil setumpuk file-file besar itu lalu keluar dari ruangan Richard Foster.Saat Jack keluar dari sana, dia merasa semua orang langsung menatapnya."Oh, Pak Richard pasti tidak menyukainya," celetuk salah seorang pekerja."Hm, itu sudah sangat jelas," sahut pekerja lainnya.Jack mendesah pelan lalu berjalan sambil melihat-lihat bangku yang kosong. Karena takut
Tentu saja Jack tidak mungkin bisa berbohong pada rekan kerja yang baru ditemuinya itu, sehingga dia pun menjawab, "Aku belum lulus. Aku masih seorang mahasiswa."Jawaban Jack membuat Jose melebarkan mata, mulutnya pun juga terbuka, "Apa? Kau sedang bercanda kan?"Jack tahu pertanyaan itu bukan sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban sehingga dia hanya membalasnya dengan tersenyum samar. Dan benar saja karena setelah itu, Jose bertanya kepadanya, "Lalu, bagaimana caranya kau bisa masuk ke perusahaan ini? Bagaimana dengan statusmu? Kau tidak mungkin menjadi pegawai tetap kan?"Jack pun membenarkan dengan sebuah anggukkan. Tapi tentu saja itu belum cukup, sehingga dia menambahkan, "Aku hanya seorang karyawan magang. Tidak lama. Hanya beberapa bulan."Jose masih sulit mempercayainya. "Aku masih tidak menyangka. Divisi umum biasanya tidak menerima pegawai dengan status mahasiswa. Biasanya divisi yang lain yang masih menerimanya. Luar biasa!"Pria itu pun kini menatap Jack dengan lebih